“Bapak, Ibu mohon maaf, ini sampah kira-kira kapan diambil ya? Di tempat saya sudah penuh banget.” Demikian bunyi salah satu pesan di grup WA perumahan, yang disampaikan oleh salah satu warga.
Pesan tersebut dengan cepat ditimpali oleh warga lain yang mengeluhkan hal serupa.
Memang, sejak proses serah terima lingkungan dari developer cluster ke penghuni, pengelola sampah yang baru belum mulai bekerja. Padahal biasanya dua atau tiga hari sekali petugas sudah datang untuk mengosongkan.
Baru kali ini selama tujuh hari berturut-turut, tidak ada pengambilan sama sekali. Akibatnya sampah menumpuk, menimbulkan aroma tidak sedap dan membuat penghuni merasa tidak nyaman.
Ketua cluster sebetulnya sudah membuat perjanjian dengan vendor pengelola sampah yang baru. Tapi ya gimana, pihak sana juga masih belum bergerak meski sudah diingatkan. Beliau terpaksa meminta warga untuk bersabar.
Warga sendiri akhirnya terpaksa manut. Mereka tak bisa berbuat apa-apa karena bingung juga itu tumpukan sampah mau dibuang kemana kalau bukan diambil oleh petugas.
Saya tersenyum kecil membaca pesan-pesan tersebut. Memang begitulah pola pikir kebanyakan orang mengenai sampah. Bagi masyarakat yang berpikir praktis, membayar iuran bulanan dianggap cukup untuk membereskan sampah-sampah di tong depan rumah.
Setidaknya sampai setahun yang lalu, saya termasuk satu diantara jutaan orang yang berpikir praktis seperti itu.
Hingga tiba momen dimana saya tahu kemana perginya sampah-sampah tersebut.
Sampah memang sesuatu yang dipandang penting enggak penting. Enggak penting saat kita membuangnya dengan sembarangan dan ada yang membereskan. Penting jika tiba-tiba kita menghadapi situasi seperti di atas.
Well, sesungguhnya masalah sampah bukanlah sesuatu yang tidak ada solusi. Penyelesaian itu ada, cukup mudah dieksekusi malah, tapi apa kita mau melakukannya?
Ke Mana Perginya Sampah Kita?
Beberapa hari yang lalu, saya sempat melakukan pengamatan kecil. Dari research sederhana tersebut saya menemukan sebuah fakta yang cukup mengejutkan. Ternyata, sampah yang diangkut oleh petugas sampah langganan tidak lantas membuat sampah-sampah dari perumahan saya menghilang. Sampah itu tetap ada. Teronggok di dalam bak pengangkut, menunggu truk dan petugas sampah yang lain mengangkutnya.
“Lalu oleh petugas yang lain itu, sampahnya bakal dibawa kemana ya pak?” tanya saya penasaran.
“Wah saya kurang tahu, kayaknya sih ke TPA ya bu.”
“TPA yang manakah pak? Jatiwaringin atau Cipeucang?” tanya saya lagi. Tempat tinggal saya memang masuk wilayah Kabupaten Tangerang, namun berbatasan langsung dan lebih dekat ke Kota Tangerang Selatan.
“Enggak tahu TPA yang mana, pokoknya asal diangkut aja bu.” jawab beliau.
Saya berhenti mengajukan pertanyaan ketika menyadari sepertinya bapak petugas merasa tidak nyaman. Meski demikian, saya juga tidak bisa menahan diri untuk merasa herman, eh heran dengan fakta bahwa petugas sampahnya sendiri tidak tahu kemana sampah-sampah yang diangkut tadi akan dibawa. Jebul sampah tidak hilang, mereka hanya berpindah tempat.
Saya tidak berhenti mencari tahu sampai situ. Dari beberapa literatur serta pengamatan langsung di titik-titik pembuangan, sampah-sampah itu akan diturunkan dari truk untuk kemudian dibongkar oleh para petugas.
Mereka bekerja keras memisahkan tumpukan yang menjulang itu menjadi sampah organik dan non organik yang bisa didaur ulang. Jujur, saya menelan ludah saat menyaksikannya. Pekerjaan itu berat, tidak mudah dilakukan. Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana semua sampah itu bercampur hingga memunculkan ulat-ulat yang begitu banyak dan tampak menjijikkan.
Fiuh, membaca dan mengetahui sendiri tentang perjalanan sampah hingga ke TPA membuat saya banyak berpikir. Berapa lama kiranya sampah-sampah ini akan eksis di permukaan bumi? Lha wong di TPA Jatiwaringin saja, setiap hari setidaknya ada dua ribu ton sampah baru yang datang. Menimbun tumpukan sampah-sampah sebelumnya yang bahkan belum selesai dipilah. Begitu terus setiap hari hingga tercipta gunungan sampah yang tingginya melebihi tinggi manusia.
Kondisi tersebut jelas sangat menyedihkan. Apalagi kita tahu kalau waktu yang dibutuhkan oleh sampah plastik, kaleng, botol, dan lain-lainnya untuk terurai itu sangat lama. Lebih lama dibanding usia manusia. Kita bisa saja hidup hingga seratus tahun (kalau memang dikasih umur dan lifestyle-nya bener ye). Namun sampah bungkus Indomie yang kita makan saat berusia lima tahun dan menyangkut entah di mana belum tentu sudah terurai.
Aduh, pengen mewek sih membayangkan ini?
Sampah Dalam Angka
Kementrian Lingkungan Hidup (KLHK) telah melaporkan data terbaru mengenai sampah yang ada di Indonesia selama tahun 2020. Pada tahun tersebut, jumlah produksi sampah nasional telah mencapai 67,8 juta ton. Angka yang cukup fantastis dan bisa bikin megap-megap.
Teman-teman mampu enggak bayangin sampah sebanyak itu kayak apa? Demi lesung pipit Han Ji Pyeong, imajinasi saya pun enggak sanggup menampung gambaran sampah sebanyak itu. Sumpah! Lebih ngenesnya lagi, Indonesia dinobatkan menjadi negara terbesar kedua yang paling banyak membuang sampah ke laut, satu peringkat di bawah China. Daebak, sungguh prestasi yang membagongkan.
Kemudian, dari angka tersebut diperkirakan ada 185.753 ton sampah dalam sehari, yang diproduksi oleh 270 juta penduduk. Kalau dibagi lagi, maka akan ketemu angka sejumlah 0,68 kilogram sampah yang dibuat satu orang dalam kurun waktu 24 jam.
Entah, sepertinya pandemi juga memberi kontribusi meningkatnya produksi sampah di Indonesia. Untuk menekan laju penularan virus, produsen makanan jadi lebih banyak menggunakan benda-benda sekali pakai. Suka tidak suka, akhirnya jumlah sampah jadi naik tajam deh. Padahal pada tahun 2018 jumlah produksi sampah ‘hanya’ 64 juta ton saja.
Nah, dari angka yang luar biasa guede itu, diketahui kalau 10-15% berhasil didaur ulang, 15-30% terbuang ke sungai,danau, laut. Sisanya yaitu 60-70% tertimbun di TPA. Aduh, waste management Indonesia masa gini banget ya?
Berbanding lurus dengan laporan dari KLHK, BPS juga memiliki data yang menujukkan bahwa tingkat ketidakpedulian masyarakat Indonesia terhadap sampah. Bentar saya ulangi, ini angka KETIDAKPEDULIAN LOH YA. Saya takut teman-teman salah baca jadi kepedulian. Ehem jadi sekali lagi, angka ketidakpedulian masyarakat Indonesia adalah 72%.
Menanggapi hasil survey dari BPS saya tidak terlalu kaget sih. Angka yang disajikan sesuai dengan fakta di lapangan. Ayo ngaku, pemandangan sampah-sampah yang berserakan di pinggir jalan, di lapangan, di tanah kosong yang tidak dihuni, di selokan, di sungai adalah sesuatu yang normal bagi kita. Bahkan di tempat-tempat lain yang sudah disediakan tempat sampah sekalipun, tetap saja ada orang bebal yang buang sampah sembarangan. Iya kan?
Pendidikan pun tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya. Saya yakin teman-teman pembaca sudah sering melihat bagaimana orang-orang bermobil enteng banget melempar sampah begitu saja dari jendela. Tanpa merasa berdosa sedikitpun.
Lebih gila lagi adalah kejadian yang belum lama ini terjadi di Taman Safari. Ada pengunjung yang berhasil merekam kelakuan pengunjung lain, yang dengan jahatnya membuang sampah kaleng ke dalam mulut Kuda Nil. Astaganaga, astaghfirullah astaghfirullah astaghfirullah. Perlu kesabaran tingkat tinggi untuk tidak berkata-kata kasar menonton video perilaku manusia enggak ada akhlak. Sungguh terlalu.
Seberapa susah menyimpan sampah di dalam mobil sementara, untuk nanti dibuang di tempat yang sudah disediakan ketika tour selesai? Enggak seberat usahanya Nam Do San merebut hati Seo Dal Mi kan? *pecinta drakor detected*
Yap, banyaknya kejadian mengerikan seperti itu menunjukkan bahwa masalah sampah bukan sekedar masalah lingkungan semata. Lebih dari itu, pemahaman tentang sampah juga mempengaruhi pola pikir manusia. Cara berpikir ini yang kemudian akan membentuk perilaku manusia pada akhirnya.
Jepang misalnya . Negeri sakura ini telah memasukkan problematika sampah ke dalam kurikulum pendidikannya. Selama 12 tahun bersekolah, mulai dari sekolah dasar hingga menengah atas, bersih-bersih merupakan bagian dari jadwal rutin pelajar. Begitu juga di rumah, mereka terbiasa diajarkan untuk menyimpan barang serta menjaga kebersihan.
Konsep pendidikan ini dengan sendirinya meluas. Dari yang tadinya hanya menjaga ruang kelas dan rumah, lama-lama jadi menjaga lingkungan sekitar, kota, dan negara. Saat piala dunia di Brazil dan Rusia lalu, pendukung timnas Jepang tetap stay di stadion untuk memunguti sampah. Para pemain timnas Jepang pun meninggalkan ruang ganti dengan kondisi mengilap. Apa yang mereka lakukan telah mengundang decak kagum penduduk dunia.
Saya tahu, hal ini sangat sulit untuk diterapkan di Indonesia karena kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya hanya menjadi semboyan serta retorika. Sangat sedikit orang tua, guru, pemimpin, atau orang-orang dewasa lain yang peduli dan mampu memberi contoh untuk konsisten menjaga kebersihan. Boro-boro, sekedar membuang sampah di tempat sampah saja susye.
Meski demikian, kita tidak boleh putus asa kan? Karena dari survey yang sama,masih ada 28% orang yang peduli pada sampah. Yakin kalau pengelolaan sampah ke depannya akan menjadi lebih baik.
Tips Meminimalisir Sampah
Kembali ke cerita tentang permasalahan sampah di cluster, akhirnya saya memberanikan diri untuk sharing tentang cara mengurangi sampah yang selama ini telah saya lakukan. Sebetulnya, saya sudah lama ingin mengajak warga cluster untuk lebih peduli tentang sampah. Tapi saya sungkan dan takut. Siapa gue gitu loh? Kok berani-beraninya ngajakin kayak gitu? Ehe.
Nah, karena momen yang kemarin itu saya rasa tepat, akhirnya saya buka suara deh. Melalui grup tersebut, saya membagikan dua buah tulisan yang sempat tayang di blog. Satu tentang pengalaman setor sampah ke bank sampah, satunya lagi tentang proses pembuatan biopori sebagai media pembuangan sampah organik.
Alhamdulillah, beberapa warga menanggapi positif tulisan saya. Huah, lega dan seneng banget rasanya ya Allah. Padahal saya udah takut bakal disemprit atau dikomentarin aneh-aneh. Untunglah hal tersebut tidak terjadi, tetangga saya baik-baik, hehehe.
Jadi, karena terbiasa memilah sampah dan menyetorkannya, bak sampah di depan rumah saya tidak penuh meski sudah tujuh hari tidak diambil. Melakukan pemilahan membuat sampah-sampah yang masuk ke dalam tong adalah sampah sisa yang tidak bisa disetor saja. Minimnya jumlah sampah membuat saya tidak kalang kabut ketika petugas sampah terlambat datang.
Meski demikian, sebetulnya usaha yang saya lakukan untuk meminimalisir produksi sampah tidak terbatas hanya dua hal itu saja. Ada hal-hal sederhana lain yang konsisten saya terapkan dalam upaya bertanggung jawab terhadap sampah.
Saya paparin satu persatu ya :
1. Memakai lap, bukan tisu.
Memiliki anak kecil di rumah ( 3 anak loh helooww) membuat saya sadar kalau kejadian seperti air tumpah dan makanan berceceran adalah suatu keniscayaan. Dahulu, saya sering menggunakan tisu untuk membersihkannya. Setiap belanja bulanan, saya tidak pernah lupa untuk membeli tisu berukuran besar. Tisu-tisu tersebut sukses habis dalam sebulan.
Boros? Iya memang boros banget. Tapi waktu itu saya mikir simpel, toh saya sudah bayar kok, wajar kan bila dihabiskan? Haha, malu deh kalau inget betapa tidak empati-nya mindset saya yang lalu.
Alhamdulillah, kebiasaan ini berhasil saya rubah. Saya kembali pada apa yang orang tua dulu sering lakukan, yaitu menggunakan lap untuk membersihkan air, noda, atau ceceran apapun yang jatuh di lantai. Memang, menggunakan tisu terasa lebih praktis, tinggal tarik, usap, dan buang. Sedangkan kalau memakai lap, kita mesti membersihkan dan mengeringkannya lagi.
But hey, it’s ok loh. Sedikit keribetan itu toh tidak membuat hidup saya jadi menderita juga. Paling saya butuh semenit atau lima menit lebih lama saja. Pun kalau memang urgent banget, kadang lap-lap kotor saya kumpulkan di ember untuk nantinya saya bersihkan sekalian.
2. Membawa kantong dan wadah saat belanja mingguan.
Ada sebuah pasar yang hanya buka setiap hari minggu pagi di dekat rumah saya. Pasar tersebut menyediakan kebutuhan pangan yang cukup lengkap. Saya sering berbelanja ke sana untuk melakukan stock update kebutuhan makan penghuni rumah.
Sebelum berangkat, biasanya saya sudah menentukan menu-menu masakan serta camilan yang akan dibuat selama seminggu kedepan. Hal ini memudahkan saya memastikan bahan-bahan apa saja yang mesti dibeli. Saya juga jadi tahu harus membawa wadah-wadah apa saja untuk menyimpan bahan belanjaan tersebut.
Penjual ayam, daging, ikan, telur, tahu, dan sayur-mayur yang menjadi langganan paham betul kebiasaan saya. Dan mereka menyukainya.
“Hebat banget ibuk, jadi enggak nyampah plastik lagi ya.” celetuk penjual telur ketika saya mengeluarkan dua wadah khusus penyimpanan telur.
“Hehehe, iya nih mbak. Semua saya wadahin biar nanti tinggal masuk kulkas. Telurnya juga kalau diwadahin gini kan jadi enggak gampang pecah biar diayun-ayun juga.” balas saya sambil nyengir.
Membawa wadah ketika belanja di pasar memiliki kelebihan tersendiri :
- Minim sampah plastik. Perhatikan deh, kalau belanja tanpa bawa wadah, pasti sampah plastik yang dihasilkan banyak banget.
- Hemat uang. Terkadang kita suka enggak bisa ngontrol hasrat belanja, segala-segala dibeli dan justru pada akhirnya malah kebuang. Bila tidak ada lagi wadah yang tersisa, mau enggak mau kita harus merasa cukup dan stop belanja.
- Hemat waktu. Bahan yang habis dibeli bisa langsung masuk kulkas. Enggak usah pake acara mindahin segala.
- Sering dibonusin sama penjualnya. Terkadang, saya diberi lebihan bawang atau tomat ekstra.
“Anggep aja gantinya kantong plastik Bu.” sahut penjual telur yang memaksa saya untuk menerima tambahan sebutir telur lagi. Padahal telur yang saya beli sudah genap satu kilogram.
Sebetulnya saya enggak enak, tapi yang namanya rejeki enggak boleh ditolak kan? Wkwkwkwk. Saya bersyukur sekali, sedikit pengorbanan saya untuk lebih ribet membawa wadah saat belanja dibayar tunai dengan apresiasi dari para pedagang yang saya beli dagangannya di sana.
3. Selalu Sedia Satu Buah Kantong di dalam Tas
Ketika pergi menggunakan motor, sekedar untuk nganter anak sekolah misalnya. Seringkali saya kepikiran untuk membeli sesuatu. Enggak tahu kenapa pikiran ini baru muncul di tengah jalan. Maklum, namanya juga ibu-ibu kali yaaa. Pikirannya sebelas dua belas sama tahu bulat yang suka digoreng dadakan.
Nah, kantong yang ada di dalam tas itu bermanfaat untuk menyimpan belanjaan. Jadi enggak nambah sampah plastik lagi dehh!
4. Hello Menscup and Bye Pembalut!
Sampah pembalut tuh termasuk sampah yang sejujurnya enggak begitu nyaman saya buang. Apa ya, malu aja karena itu kan bekas darah. Meski udah dicuci tapi ya tetep aja kan, hehehe.
Selain malu, pemakaian pembalut membuat saya iritasi serta gatal-gatal. Sangat tidak nyaman. Saya suka ngeri kalau masa periode haid tiba. Soalnya pasti tersiksa . Udahlah sakit perut, lemes, iritasi, gatal, dan enggak bebas gerak pula. Problem banget!
Meski memang kalau enggak haid itu lebih ngeri lagi sih, HAHAHAHA.
Terus nih, sampah pembalut yang saya hasilkan pun banyak banget. Pada hari-hari pertama, saya bisa memakai tiga lapis pembalut sekaligus. Setiap buang air, saya pun menggantinya supaya tetap higienis dan nyaman. Kalau dalam sehari saya lima kali ganti pembalut, setidaknya ada 15 sampah pembalut muncul.
Masalah ini teratasi ketika saya beralih menggunakan menscup. Sungguh, terpujilah wahai engkau penemu benda bernama menscup. Benda ini bentuknya seperti mangkuk kecil yang bisa dimasukan ke dalam Miss V untuk menampung darah haid. Bila penuh, kita tinggal menariknya keluar, membuang isinya, mencucinya, kemudian memakainya lagi. Tidak ada sampah yang dihasilkan, tidak ada gatal-gatal, tidak ada iritasi. Saya bisa bebas bergerak kesana-kemari. Mau lompat-lompat, lari, glundang-glundung, bahkan berenang sekalipun.
5. Membuat Biopori.
Bagi teman-teman yang merasa enggak bakal telaten bikin komposter tapi pengen tetap memilah sampah organik, biopori adalah jawabannya. Biopori merupakan lubang-lubang di tanah yang sengaja dibuat untuk nantinya diisi oleh sampah organik.
Sampah organik yang dibuang jadi satu dengan sampah non organik itu berbahaya loh. Soalnya kalau ditumpuk, bisa menghasilkan gas metan dan meledak. Masih ingat kan sama kejadian di TPA Leuwigajah? Ledakan metana dan hujan menyebabkan bencana longsor yang menimbun tiga desa di sekitarnya. Itu bencana lingkungan yang betul-betul mematahkan hati banyak orang.
Agar peristiwa memilukan itu tidak terjadi lagi, sangat penting untuk pelan-pelan belajar memisahkan sampah non organik. Membuat biopori memang butuh effort dan lahan yang cukup. Enggak perlu luas-luas banget kok. Halaman saya luasnya sekitar 2×3 meter, tapi bisa dibuat 8 lubang biopori.
Effort yang dibutuhkan adalah membeli alat untuk melubangi tanah dan menyiapkan tenaga untuk membuat lubang-lubang tersebut. Lumayan berat sih, karena tanah di tempat saya berbatu. Selain itu perlu juga membeli pipa-pipa yang lebar beserta tutupnya. Agar lubang tersebut tidak dimasuki tikus atau hewan lain.
Sudah setahun lebih saya merasakan manfaat lubang biopori. Selain menjadi tempat pembuangan sampah sisa makanan, lubang tersebut membuat halaman saya tidak mudah tergenang ketika hujan. Selain itu, tanah di sekitarnya juga menjadi lebih gembur. Bahkan saya sering menemukan ada tunas muncul di dalam lubang. Terharu banget melihat ada kehidupan yang tumbuh di dalam sampah.
6. Menyetorkan Sampah ke Bank sampah
Nah ini nih, biasanya kalau berhubungan sama cuan mata ibu-ibu langsung ijo, haha. Semenjak pindah ke rumah sendiri, alhamdulillah saya menemukan tidak hanya satu, tapi dua bank sampah sekaligus. Hihihihi, mantap yak.
Bank Sampah beroperasi rata-rata dua minggu sekali. Gara-gara bank sampah, saya jadi mendapatkan edukasi tentang ragam sampah yang bisa disetor. Setidaknya, ada sekitar dua puluh jenis sampah berharga yang bisa didaur ulang. Kaleng alumunium menjadi sampah yang nilai jualnya paling tinggi diantara yang lain. Sedangkan plastik multilayer (plastik beralumunium) dan styrofoam tidak diterima. Nah loh.
Jadi weh saya kalau belanja memperhatikan produk-produk apa saja yang menggunakan plastik multilayer sebagai pembungkusnya. Lalu berupaya mencari pengganti atau mengurangi.
Keberadaan Bank Sampah bermanfaat mengurangi volume sampah yang disetor ke TPA loh. Bisa menambah pundi-pundi tabungan kita juga pastinya. Meski tidak besar, celengan dari bank sampah bisa banget dipakai buat jajan bakso sama keluarga. Bank Sampah juga mengubah mindset banyak orang tentang sampah. Sampah bukanlah sesuatu yang tidak berguna. Sampah bahkan masih memiliki nilai secara kegunaan maupun nominal.
Menginisiasi Gerakan Sedekah Sampah di Cluster
Pandemi membuat semua sendi kehidupan berubah. Salah satu efeknya, bank sampah tempat saya biasa setor jadi berhenti beroperasi sementara. Dua-duanya pula. Saya yang sudah mengumpulkan sampah-sampah otomatis jadi kelabakan.
Waktu itu saya sempat mencari bank sampah lain via gmaps. Nemu satu sih. Tapi ketika ditelepon untuk konfirmasi bisa nerima sampah terpilah atau enggak, eehh enggak diangkat. Saya jadi galau setengah mati. Yawis, dengan berat hati, sampah-sampah terpilah yang sudah menumpuk banyak itu saya serahkan ke tukang sampah biasa. Sedih banget rasanya, kayak enggak rela gitu.
Selama beberapa waktu, saya berhenti melakukan pemilahan sampah. Soalnya percuma, dilakukan pun pada akhirnya mentok ke tukang sampah. Sebagai seseorang yang sudah punya habbit untuk peduli sama sampah, kayak gini tuh rasanya hopeless banget.
Lalu entah gimana ceritanya, saya mengamati kalau ada beberapa pemulung yang cukup sering lewat di jalanan depan gerbang cluster. Ada yang pakai gerobak, ada yang dipanggul. Suatu hari, kipas angin saya patah jadi dua gara-gara dimainin anak-anak. Bagian kipasnya masih bisa dipakai dan saya sumbangkan untuk pos satpam. Tapi bagian badan serta dudukannya harus dibuang. Pertanyaannya, mau dibuang kemana?
Kalau cuman sekedar ke tempat sampah rasanya kok eman. Itu sampah besar dan sepertinya masih bernilai. Udahlah, daripada pusing-pusing, akhirnya saya nekat manggil salah satu pemulung yang kebetulan lewat menggunakan gerobak bermotor.
“Pak, bisa nerima kipas angin rusak?” tanya saya.
“Bisa.” jawab si bapak.
Yes! Saya bersorak gembira dan nari hula-hula dalam hati. Dengan semangat saya meminta si bapak untuk masuk gerbang dan memarkirkan gerobaknya di depan rumah. Si bapak senang sekali karena saya menyerahkan tidak hanya dudukan kipas angin rusak, tapi juga tumpukan kardus, botol plastik, kaleng, dan sampah-sampah lain yang sempat saya kumpulkan.
Berdasarkan pengalaman tersebut, saya jadi sadar kalau menyetorkan sampah tidak melulu harus di bank sampah. Ke pemulung pun bisa. Malah seneng banget mereka, berasa dapet rejeki nomplok.
Begitulah, semangat untuk memilah sampah akhirnya kembali. Alhamdulillah, emang niat baik tuh selalu menemukan jalannya sendiri. Anyway, kemudahan yang saya dapat tidak hanya itu. Waktu saya bilang ke satpam yang berjaga untuk menghentikan pemulung lewat, mereka justru memberi tahu kalau di depan cluster saya ini juga ada seorang pemulung. Enggak perlu ribet, cukup panggil dia aja untuk mengambil sampah terpilah.
Ya Allah, kemana saja saya selama ini sampe enggak ngeh kalau tetangga sendiri berprofesi sebagai pemulung?
Akhirnya, dengan dibantu pak satpam, Pak Udin (yang bekerja sebagai pemulung) datang ke rumah sambil membawa karung untuk menampung sampah saya.
“Nanti kalau mau setor lagi, tinggal panggil aja ya buk.” kata Pak Udin dengan wajah sumringah. Duh, kalau orang lain ngeliat sampah mah eneg, tapi Pak Udin malah bahagia.
“Siap pak!” jawab saya sambil mengacungkan jempol.
Saya kembali bersyukur. Sekarang kalau punya sampah terpilah agak banyak, saya tinggal panggil beliau. Enggak perlu lagi nunggu dua minggu dan naik motor pergi ke Bank Sampah. Akhirnya, masalah persampahan jadi teratasi. Nah, saya cerita tentang kebiasaan ini sama beberapa ibu-ibu di Cluster. Saya ajakin mereka untuk ikutan.
“Biar kalau ada kejadian petugas enggak dateng untuk ngangkut sampah, kita enggak bingung lagi.” kata saya, mencoba membujuk dan merayu. Huahahaha.
Beberapa ibu pun tertarik. Kami mencoba merumuskan konsep. Sebetulnya sejak awal saya kepikiran untuk mendirikan bank sampah sendiri di cluster. Tapi ada beberapa masalah yang menghantui :
- Minim volunteer. Bank sampah membutuhkan relawan yang benar-benar komit terhadap tugas. Setidaknya dibutuhkan tiga orang untuk menjadi ketua, sekretaris, dan bendahara. Berhubung di cluster saya kebanyakan ibu bekerja dan punya anak kecil, hal ini sulit dilakukan.
- Belum menemukan vendor yang cocok. Vendornya kadang cocok secara harga, namun tidak berkenan datang di hari yang ditentukan. Vendor pun biasanya bisa datang sekitar dua minggu sekali.
- Khawatir partisipasi warga untuk mengumpulkan sampah masih rendah.
Dari tiga hal tersebut yang paling sulit adalah mencari SDM yang benar-benar tanggung jawab. Berdasarkan pengalaman, menimbang sampah di bank sampah butuh waktu dan ketelitian, apalagi bila jenis sampahnya banyak. Harus ditimbang satu persatu. Iya, menjadi relawan bank sampah memang cukup melelahkan. Jangan dianggap remeh loh.
Nah, dari situlah saya mengambil jalan tengah. Bagaimanapun, saya ingin tetangga-tetangga saya merasakan manfaat dari memilah sampah namun dengan effort seminim mungkin. Saya memutuskan untuk bekerjasama dengan tetangga sendiri, yaitu Pak Udin yang memang berprofesi sebagai pemulung. Kami pun sepakat untuk menamai program tersebut menjadi “Sedekah Sampah”.
Ada beberapa hal yang saya rumuskan ketika membuat sedekah sampah :
- Waktu penyetoran seminggu sekali, setiap hari Sabtu pukul 09.00-10.00
- Tempat penyetoran dilakukan di samping rumah saya yang memang merupakan gang buntu. Pak Udin akan membawa gerobak dan menyimpannya di situ agar warga yang ingin setor tinggal memasukkan sampah ke dalam gerobak.
- Merinci jenis sampah yang bisa disetor. Untuk rinciannya saya menyamakan dengan bank sampah.
Alhamdulillah, antusiasme warga yang mengikuti program ini bisa dibilang cukup lumayan. Dari 28 penghuni, separuhnya berkenan untuk setor sampah. Pada saat awal-awal pengumpulan, saya berjaga di sebelah gerobak. Di sana, sambil ngobrol ngalor-ngidul ala ibu-ibu, saya memberikan edukasi tentang jenis sampah yang bisa disetor serta kenapa kita harus melakukan pemilahan sampah.
Sedekah sampah berarti saya dan warga yang melakukan penyetoran tidak mendapatkan keuntungan secara nominal. Tapi hei, ini tidak menyurutkan semangat warga yang mulai rutin ikut menyetor setiap minggunya. Penggunaan kata “sedekah” justru memotivasi mereka.
“Aku seneng mbak kalau sampah-sampah ini ternyata bisa bermanfaat buat orang lain.” kata salah satu tetangga sambil menaruh plastik berisi barang-barang yang telah dipilahnya.
Jujur, saya hampir menangis mendengar respon positif dari teman-teman. Memang, pada minggu pertama dan kedua, orang-orang yang menyetor tidak banyak. Namun saya tidak peduli, saya berpikir untuk tetap konsisten melakukan ini. Toh saya sudah memilih konsep yang paling simpel.
“Sampahnya bertambah terus bu setiap minggunya, alhamdulillah.” ujar Pak Udin ketika beliau datang untuk memarkir gerobaknya di samping rumah.
Saya tersenyum lebar, bahagia dengan laporan yang disampaikan Pak Udin. Berdasarkan pengamatan langsung, saya juga melihat bagaimana para tetangga berlatih memilah sampah. Bungkus-bungkus makanan yang dulunya asal dibuang ke dalam tong, kini mereka lipat dan sisihkan untuk disetor ke Pak Udin.
Sedekah Sampah, Cara Termudah Mengubah Mindset Tentang Sampah
“Mbak, sekarang aku kalau makan sesuatu atau jajan minuman botol, sampahnya tak sisihin. Wadah-wadah kosmetik juga. Beneran loh, bak sampahku sekarang jadi enggak penuh lagi, padahal petugas sampahnya kemarin lama enggak datang juga kan?”
Ahey, program sedekah sampah lambat laun mulai berhasil merubah pola pikir sebagian warga di cluster saya. Sampah kini dipandang sebagai sesuatu yang punya nilai. Setidaknya dengan sampah, kami bisa membantu Pak Udin menambah pundi-pundi penghasilan.
Pernah suatu malam kami mengadakan acara makan bersama khusus ibu-ibu. Kami saling membawa makanan dan membaginya. Begitu acara selesai dan bebenah, salah satu tetangga berkata,
“Ini sampah plastiknya disisihin dong, bisa disetor ke Pak Udin kan? Terus itu plastik-plastik bekas makan kita cuci aja. Nanti kalau udah bersih kita kasihin Pak Udin juga.”
Ya Allah, secuil rasa haru terbit di hati karena inisiatif untuk melakukan pemilahan kini datang dari warga, bukan saya.
Pemilik rumah yang menjadi tempat kami kumpul-kumpul pun setuju. Dengan mengadakan pemilahan, maka sampah yang dihasilkan akan minimal, padahal biasanya kan banyak banget tuh.
Tidak hanya itu, petugas sampah juga sempat beberapa kali tidak datang di waktu yang telah ditentukan. Namun karena sebagian warga telah terbiasa melakukan pemilahan, sampah jadi tidak terlalu menumpuk. Sesuatu yang dulu jadi masalah, kini tidak lagi.
Sedekah Sampah, Pemutus Jurang Antara Warga Cluster Dengan Warga Asli
Program Sedekah Sampah tidak melulu mengatasi persoalan sampah. Program ini juga telah berhasil menghilangkan jarak antara warga cluster dengan penduduk sekitar. Memang sih selama ini kami lebih banyak berhubungan langsung dengan Pak Udin, namun hal ini tidak luput dari pandangan mereka.
Selama ini, warga cluster sering dianggap sebagai warga yang angkuh dan tertutup. Maklum, kalau di cluster kan ada gerbang dan penjaga sehingga tidak semua orang bisa masuk. Pedagang-pedagang pun kadang sungkan untuk masuk dan menjajakan jualannya di dalam. Apalagi pemulung. Mereka beranggapan sampah cluster adalah sampah yang terlarang diambil karena sudah jelas akan disetor ke tempat lain.
Namun, program sedekah sampah justru mengundang hadirnya pemulung ke dalam lingkaran perumahan. Udah gitu, pemulungnya tidak perlu mengorek-orek tempat sampah. Sebaliknya, warga sendirilah yang justru telah memilah sampah-sampah berharga yang menjadi sumber nafkah mereka. Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bagaimana warga sangat menghormati dan menghargai Pak Udin yang berprofesi sebagai pemulung.
Gara-gara ini, warga sekitar pun jadi balik menaruh respect pada warga cluster.
Selama melakukan program sedekah sampah, saya maupun warga yang lain tidak pernah sekalipun menanyakan perihal nominal yang dihasilkan dari sampah yang telah disetorkan kepada Pak Udin. Tidak pernah! Bagi kami, sampah-sampah tersebut telah menjadi milik Pak Udin untuk diambil manfaatnya.
Namun ternyata, Pak Udin melakukan pencatatan atas sampah-sampah tersebut.
“Dari beberapa setoran dapatnya sekitar seratus lima puluh ribu buk.” kata beliau.
Lagi-lagi saya tersenyum. Sampah-sampah yang kami sisihkan benar-benar memiliki harga dan bisa bermanfaat bagi orang lain ternyata. Apalagi Pak Udin selama ini masih mengontrak. Uang sejumlah itu amatlah berharga baginya.
Kesimpulan Akhir
Niat awal cuma pengen cerita tentang pentingnya melakukan pemilahan sampah sebagai bentuk tanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkan, enggak taunya malah jadi nulis panjang banget, Hahaha.
Well, tulisan ini sebetulnya adalah curahan hati saya, seorang ibu rumah tangga dari tiga orang anak yang cukup peduli dengan isu sampah. Meski bekerja di ranah domestik, saya meyakini pintu keluar masalah sampah justru berawal dari rumah. Peran ibu sangat penting untuk melakukan revolusi mindset dalam komitmen perang melawan sampah.
Saya mungkin tidak punya power untuk meneken sebuah regulasi. Saya juga tidak terlalu pintar dalam hal mengamati angka serta membuat makalah. Tapi setidaknya saya mampu menggerakkan ibu-ibu lainnya untuk meningkatkan kepedulian tentang sampah. Dan itulah yang saya lakukan. Dimulai dari diri sendiri, lingkungan terdekat, dan semoga nantinya semangat ini akan melebar ke tempat lain.
Sedekah Sampah adalah sebuah gerakan yang paling mungkin saya lakukan saat ini. Saya berharap, gerakan ini bisa menginspirasi cluster atau perumahan lain melakukan hal yang sama. Mengundang pemulung untuk masuk dan turut ambil bagian dalam mengatasi permasalahan sampah sejak dari hulu. Agar sampah yang masuk ke TPA benar-benar sampah sisa.
Fiuh, sudah panjang sekali tulisan saya. Semoga teman-teman tidak bosan membacanya. Terakhir, semoga semangat #BijakKelolaSampah yang saya kobarkan bisa turut membakar semangat teman-teman lain yang memiliki visi dan misi sama. Harapan itu selalu ada. Nah, sampai jumpa di tulisan berikutnya!
Referensi tulisan :
https://indonesia.go.id/kategori/indonesia-dalam-angka/2533/membenahi-tata-kelola-sampah-nasional
https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-49956017