Isu tentang childfree kembali memanas! Berawal dari stories Kei Savoire yang secara terbuka menyatakan dia serta pasangannya telah memilih menjadi keluarga tanpa anak. Netizen pun heboh. Perdebatan tentang masalah ini lumayan mengalihkan perhatian masyarakat dari isu larangan mudik dan juga video malam pertama Atta Halilintar dan Aurel. Eh.
Padahal belum lama ini, mbak Kalis Mardiasih melalui Mojok sempat menulis surat terbuka untuk Atta yang kepengen punya 15 anak bersama Aurel. Surat tersebut mendapat dukungan hangat dari kebanyakan pembacanya. Lah, tapi kok sekarang malah ada pasangan yang justru memutuskan enggak mau punya anak.
Saya jadi kepengen membandingkan dua sosok ini. Atta yang pengen punya banyak anak vs Kei yang justru memilih childfree. Dua-duanya tidak memiliki masalah secara ekonomi atau kesehatan. Cuman memang namanya beda prinsip ya enggak bisa dipaksakan.
Bagi saya pribadi, masalah anak memang sesuatu banget sih. Serba salah. Meski lebih banyak dinilai salah dibanding benernya. Punya anak banyak salah, belum punya anak salah, anak cuma satu salah, anak dua perempuan semua salah, anak tiga laki-laki semua salah. Pokoknya semua salah.
Padahal seperti yang kita tahu, anak adalah hak perogratif Allah. Jumlahnya berapa, jenis kelaminnya apa, itu urusan Allah, bukan kita.
Terus gimana dengan orang-orang yang pada bayi tabung atau program lainnya itu? Well, itu semua kan ikhtiar untuk punya anak. Bila seseorang telah memilih jalur tersebut, bisa dipastikan bahwa orang itu sudah punya kesiapan lahir batin menjadi orang tua.
Namun kita juga paham bahwa sehebat-hebatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kemungkinan gagal atau melengse jenis kelaminnya kan tetep aja ada. Tapi kalau Allah yang udah berkehendak, sekelas Mark Zuckerberg pun nggak bisa berbuat apa-apa.
Anyway, saya enggak mau menyoroti tentang benar-salah keputusan childfree. Menurut saya itu adalah sesuatu yang sifatnya sangat personal. Banyak faktor yang bisa mempengaruhi keputusan seseorang. Saya yakin keputusan itupun pastinya sudah dipikirkan baik-baik, lengkap dengan segala konsekuensinya.
Mas Kei dan Mas Atta sebagai contoh, keduanya memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda. Atta adalah anak pertama dari sebelas bersaudara. Kei sendiri saya enggak tahu saudaranya ada berapa. Yang pasti, perbedaan inilah yang menyebabkan pola pikir mereka juga berbeda.
Anak, Beban atau Anugerah?
Pertanyaan ini bikin saya pengen bertanya langsung ke orang tua saya sendiri. Tapi enggak mau ah, malu. Hahaha. Kalau entar Mama atau Papa beneran jawab saya adalah beban gimana? Bisa broken heart saya nanti, huhu.
Ada satu pengalaman yang hingga saat ini saya tak bisa lupa. Setelah melahirkan anak kedua, Mama bersikeras agar saya segera memasang KB. Jujur, saya merasa tidak nyaman menggunakan KB IUD sehingga saya pun menunda untuk melakukannya. Penundaan ini ternyata berbuntut. Jebul saya hamil lagi saat usia anak kedua baru 8 bulan.
Saya shock berat saat melihat garis dua pada testpack. Saya menangis tersedu-sedu, merasa bersalah pada anak kedua yang belum bisa ngapa-ngapain itu. Saya juga merasa sangat ketakutan saat harus mengabari Mama.
“Nanti yang repot kamu sendiri Jeng kalau kebobolan. Kasihan si abang dan Luna.” tutur beliau yang sering saya tanggapi dengan ogah-ogahan.
Nasi sudah menjadi bubur. Allah sudah berkehendak bahwa saya akan hamil lagi saat itu. Butuh waktu cukup lama bagi saya untuk menata hati menerima takdir-Nya. Duh, rasanya lebay dan enggak bersyukur banget ya? Tapi mau gimana, saya sudah parno dan negatif thinking duluan.
Kehidupan saya selanjutnya berubah total. Sebelum hamil, saya sedang merintis online shop, menjual bumbu kare dan bumbu pecel. Usaha itu cukup menjanjikan, namun karena mabok hamil dan harus mengurus anak pertama yang masih TK dan anak kedua yang piyik, usaha itu saya lepas.
Saat hamil anak ketiga, saya mengalami kontraksi sehingga terpaksa menyapih anak kedua di usianya yang baru 11 bulan. Saya pun makin sering berkunjung ke klinik atau rumah sakit karena entah kenapa anak-anak gampang sakit. Dokter anak bahkan sempat memvonis anak kedua saya kurang gizi. Vonis yang membuat saya merasa gagal menjadi orang tua.
Masalah lainnya muncul. Pada kehamilan ketiga kulit saya menjadi lebih sensitif, mudah sekali kering dan berjerawat. Padahal tau sendiri, kalau hamil pemakaian skincare amat dibatasi. Belum lagi berat badan saya naik cukup banyak. Udahlah wajahnya jelek, badan saya pun seperti karung. Penampilan saya tidak terawat dan jelek. Saya benci melihat diri saya di kaca.
Selama ini saya selalu mengedepankan ASI, namun kondisi anak kedua mau tidak mau memaksa saya untuk memberinya sufor. Sufornya khusus untuk yang BBLR pula. Sudah harganya mahal, susah pula dicarinya. Alhasil, saya pun tidak bisa menabung karena banyak sekali dana tersedot kesana.
Ya gitu deh, saya suka bergidik kalau ingat masa-masa tersebut.
Jadi, apa yang ditulis oleh Kei bahwa punya anak itu ribet dan punya beban finansial yang amat besar itu benar. Ribet serta mahalnya minta ampun. Apalagi kalau kita ingin memberikan yang terbaik untuk anak.
Terus PR lain yang enggak kalah penting adalah, kalau kita masih punya innerchild dan masih kebawa pola asuh lama. Terutama bila kita sendiri belum punya cukup ilmu menjadi orang tua.
Fiuuhh….
Punya anak memang enggak mudah. Tingkah laku anak-anak memang sering membuat saya stress, kecapekan, nangis, dan gemaassss banget. Sangat menguji kesabaran, ketaqwaan, dan keimanan seseorang.
Namun untuk menyebut mereka adalah beban, saya enggak sanggup.
Mau seberat apapun proses kehamilan dan melahirkan yang saya jalani, entah seberapa banyak uang yang saya keluarkan, saya tak kuasa memanggil makhluk-makhluk mungil tanpa dosa itu sebagai beban. Meski harus diakui, saya cukup sering curcol kalau mereka itu “ujian” kehidupan sesungguhnya. Huahaha.
Melihat anak-anak membuat saya takjub dengan kebesaran Allah. Bagaimana mereka dulu pernah berada di dalam perut saya selama sembilan bulan, bagaimana mereka tumbuh. Menyadari bahwa di dalam tubuh mereka mengalir darah saya saja terkadang sukses bikin saya terharu.
Hingga saat ini, saya pun merasa takjub dengan bagaimana Allah memampukan kami memenuhi kebutuhan mereka. Berulang-ulang saya mengalami, tidak mampu beli barang mewah, tapi mampu menyekolahkan anak. Enggak bisa beli benda A, tapi ketika anak-anak butuh sesuatu, rejekinya makbedunduk datang begitu aja. Entah dari pintu mana, pokoknya ada aja.
Memiliki anak membuat saya belajar untuk yang namanya ilmu ikhlas. Memiliki anak juga membuat saya tidak pernah berhenti belajar untuk menjadi lebih baik. Memiliki anak membuat saya berpikir bahwa Allah telah memberi saya anugerah yang luar biasa.
Siapkan Diri Menjadi Orang Tua
Perdebatan tentang childfree membuat saya jadi sadar, bahwa menjadi orang tua bagi sebagian orang adalah sesuatu yang mengerikan. Memiliki anak menghabiskan waktu, merusak tubuh, dan mengosongkan isi rekening.
Itu fakta.
Oleh karena itu, sebelum menikah, pastikan dulu tujuan kalian menikah itu apa. Kalau perlu, buka dikusi tentang anak bersama pasangan. Tanyakan pandangan dia tentang tanggung jawab memiliki anak, siap atau tidak berbagi tugas, siapkah mencari rejeki lebih banyak, siap menjadi panutan atau tidak.
Setelahnya, belajar untuk menyembuhkan innerchild masing-masing dan juga cari tahu lebih banyak mengenai tips parenting. Berdiskusi, healing innerchild, dan juga belajar parenting adalah sesuatu yang cukup penting untuk menjadi bekal saat mengasuh anak.
Oh iya, tidak perlu harus kaya dulu untuk menjadi orang tua. Namun setidaknya kita juga perlu persiapan finansial yang cukup, jika memang ingin memiliki anak. Beli popok butuh uang soalnya, bukan cinta.
Jangan lupa pastikan punya BPJS atau asuransi lainnya yang bisa menjadi pegangan bila terjadi masalah kesehatan pada anak atau diri kita sendiri. Dengan memiliki bpjs atau asuransi, kita tidak menjadi beban bagi orang lain saat sakit dan membutuhkan biaya besar.
Kesimpulannya, menjadi orang tua tidak semengerikan itu jika kita memang siap. Saya sendiri ya enggak siap-siap amat sih saat awal-awal menjadi orang tua. Tapi setidaknya saya mau belajar supaya bisa jadi orang tua yang bahagia.
Anyway, terima kasih banyak untuk Kei dan teman-teman lain yang sudah menyuarakan childfree. Hal ini sedikit banyak mengingatkan saya untuk tidak sedikit-sedikit sambat tentang anak-anak ataupun beratnya tugas menjadi orang tua di media sosial.
Hmmm, padahal kalau mau adil, mengeluh capek mengurus anak pun sesuatu yang wajar banget. Bukan berarti kita enggak cinta sama anak. Iya kan?