I feel proud of myself cause I dare enough to face my own innerchild
– Madam A –
Cerita pertama
Dear diary, namaku A. Aku adalah seorang istri dan juga ibu. Aku memiliki suami yang baik, anak-anak yang lucu, ekonomi cukup dan juga kondisi yang bahagia. Tapi ada satu hal yang selalu mengganggu : aku tak bisa mengendalikan emosiku. Setiap melihat ada hal yang tidak sesuai dengan keinginan ataupun menghadapi masalah, aku langsung meledak marah. Kata-kata yang keluar dari mulutku sangat kasar, bahkan tak jarang tangan ini reflek memberikan pukulan demi pukulan pada mereka yang bagiku menyebalkan.
Aku belajar parenting dari buku-buku, tak jarang juga hadir ke kajian, bahkan sering mengeluarkan uang demi mengikuti kelas-kelas belajar untuk memperbaiki diri. Bagaimanapun, marah-marah itu capek dan aku ingin memperbaiki diri. Tapi kenapa tak ada yang berubah. Ketika ujian itu datang semua ilmu yang kudapat menguap begitu saja, emosi selalu menguasai keadaan. Aku tahu kalau perbuatanku salah, tapi aku tak berdaya melawannya. Sebenarnya, ada apa denganku?
Cerita kedua
Hai semua, namaku B dan aku adalah seorang lelaki, suami, juga ayah dari dua orang anak. Sebagai seorang anak laki-laki dulunya aku dididik sangat keras dan selalu dipasrahi tanggung jawab. Sejak kecil, urusan sekolah sampai celana dalaman diatur dan ditentukan oleh kedua orang tuaku. Harus masuk IPA atau IPS, memakai baju kuning atau coklat, bahkan seberapa banyak makanan yang boleh kumakan. Aku tidak boleh keluar rumah selain untuk sekolah dan les. Setiap kali hendak melakukan sesuatu yang kuinginkan, mereka melarang. Mereka bilang, pilihanku tidak cukup baik, pilihan mereka yang terbaik. Padahal, ini hidupku dan aku yang menjalaninya, bukan mereka.
Belajar dari pengalaman masa kecilku, aku mantap untuk tidak menirunya. Lah tapi, sejak punya anak aku sering terjun langsung mengurus anak-anakku. Aku mengatur mereka, mulai dari sekolah, tas, buku yang harus dibaca hingga pilihan teman bermain. Anak-anakku tentu saja protes, tapi aku mengabaikannya. Aku ayah mereka, aku tahu apa yang terbaik untuk mereka bukan?
Lah, lalu aku baru menyadarinya kalau sekarang aku menjadi persis seperti orang tuaku yang dulu. Sulit sekali untuk percaya dan memberi ruang bagi anak-anak untuk memilih. Kini anak-anak menjauhiku karena bagi mereka aku terlalu suka mengatur. Apa yang harus aku lakukan?
Cerita ketiga
Aku adalah C, seorang ayah dari dua anak, laki-laki dan perempuan. Aku sangat menyayangi keluargaku dan kami hidup cukup bahagia. Tapi akhir-akhir ini entah kenapa ada yang terasa berbeda. Istriku, dia jadi mudah marah-marah. Aku tahu mungkin ini karena kesalahanku juga, yang tidak mau memperpanjang kontrak kerjaku dengan perusahaan.
Ya gimana ya, perusahaan tempatku kerja sekarang itu menyebalkan. Sama menyebalkannya dengan perusahaan yang sebelumnya lagi kutinggalkan. Mereka membuatku tidak betah. Aku sendiri tipe yang malas menghadapi masalah. Daripada penat dengan suasana kantor mending aku keluar kan ? Yah meski aku enggak tahu akan lanjut kerja dimana atau bagaimana.
Aku beruntung, istriku wanita yang rajin dan tidak mau diam saja. Dia banting tulang usaha ini dan itu untuk mencukupi kebutuhan keluarga kecil kami. Sedangkan aku? aku diam saja melihatnya bekerja, habis gimana, dulu aku buka usaha tapi enggak jalan. Akhirnya gulung tikar. Istriku protes, katanya aku baru sebentar usaha kok udah melempem tiap menghadapi masalah.
Istriku jadi sering mengungkit-ungkit masa lalu. Aku memang lahir dalam keluarga yang berantakan sih. Orang tuaku bercerai, papa meninggalkan mama entah kemana dan tidak pernah kembali. Mama kemudian menitipkan aku ke kakek dan nenek, sedangkan beliau bekerja. Bersama kakek dan nenek aku sangat dimanjakan. Aku tidak pernah tahu apa itu kerja keras, setiap ada masalah baik di sekolah maupun di rumah, mereka berdualah yang menghadapinya. Tugasku hanya belajar dan memberi hasil yang membanggakan.
Hhh…aku lelah harus bertengkar terus dengan istriku, tapi aku juga malas untuk mendaftar ke perusahaan lain. Bikin usaha lagi pun rasanya kok bakal capek banget ya, kan belum tentu laku juga. Aku tidak ingin seperti ini, tapi masa lalu di mana papa meninggalkanku alih-alih berjuang untuk keluarganya, terus mengahantui.
Bagaimana cara menghapusnya?
***
Saya yakin bahwa teman-teman pasti familier dengan cerita-cerita di atas? Banyak di antara kita mengalaminya, tapi ditutupi, diabaikan, bahkan kalau perlu berpura-pura kalau masalah tersebut tidak pernah terjadi. Banyak pasangan tidak mau membahas masalah yang ada di antara mereka. Kalaupun dibahas endingnya sudah bisa ditebak, alih-alih selesai masalah justru jadi tambah panas.
Saya pun begitu, dulunya.
Saya sering merasa bahwa ada sesuatu yang salah di dalam diri ini, tapi saya denial. Berulang kali muncul pemikiran, bahwa saya barangkali kurang iman, kurang bersyukur, kurang tawadhu, kurang qanaah dan lain-lainnya. Lha wong suami baik dan bertanggung jawab, anak-anak cantik ganteng sehat, ekonomi cukup, mertua luar biasa sayangnya. Tapi saya selalu merasa ada yang kurang. Di satu sisi, saya tidak puas dengan diri saya, di sisi lain saya enggak ngerti mau saya apa.
I know nothing about myself.
Well, enggak juga ding. Sebenarnya ya tahu dengan kelemahan-kelemahan yang ada, tapi malu mengakui. Karena saya tidak sanggup menghadapi masalah ini sendiri akhirnya hal tersebut merembet ke suami dan anak-anak. Mengganggu kestabilan hubungan kami.
Emang problemnya apa sih madam?
Hehehe, perkara sejuta umat sih : sulit mengendalikan emosi.
Rasanya lucu karena kalau sama orang lain bisa sabar, tapi ke suami dan anak-anak ? Ya Allah, saya bahkan sempat meminta suami agar anak-anak diasuh orang lain saja. Saya khawatir sekali karena mereka harus menjadi korban setiap menghadapi saya yang emosinya begitu meledak-ledak seperti gunung berapi.
Terkait dengan hal ini saya termasuk orang beruntung karena memiliki komunitas yang concern pada pengasuhan anak. Saya bertemu dan berkumpul dengan mereka yang tidak pernah kenal lelah untuk belajar menjadi orang tua yang lebih baik. Komunitas inilah yang kemudian mempertemukan saya dengan Ibu Safithrie Sutrisno, seorang psikolog serta konselor keluarga.
Beliau ini adalah salah satu trainer yang di coaching langsung oleh Ibu Elly Risman. Tapi tidak hanya itu, pengalaman beliau selama puluhan tahun menghadapi masalah keluarga dan hubungan suami-istri secara langsung membuatnya menjadi seorang konselor yang amat mumpuni.
Komunitas parenting kami dibersamai oleh bu Fithrie, demikian kami memanggilnya, dimulai sejak tahun 2016 dan masih berjalan sampai sekarang. Kami belajar banyak sekali, tak jarang bahkan kami memanggil beliau secara personal. Saya dan Yusuf pernah bermasalah dan beliaulah yang kami pilih sebagai penengah untuk membantu menyelesaikannya. Saya sempat menulisnya di
Cemburu Dan Cara Terbaik Menyampaikannya
Empat Tipe Kepribadian Manusia
Mungkin bagi banyak orang kami adalah keluarga yang lemah dan ‘sakit jiwa parah’ sampai harus memanggil bantuan psikolog. Ya enggak apa-apa sih, pada titik ini saya mulai sadar kalau butuh bantuan, saya lelah harus denial terus-menerus dan menganggap bahwa I’m ok, I’m fine. Padahal kenyataannya sangat bertolak belakang.
Saya tahu ada sesuatu yang tidak klik ketika sudah belajar begitu banyak tentang parenting, komunikasi ataupun hadir ke kajian tapi kok susah banget mengaplikasikannya di dunia nyata.
Saya tahu ilmunya, tapi kacau penerapannya.
Belum lagi dengan derasnya arus informasi. Semua ilmu diambil mentah-mentah sampai pada akhirnya saya tidak tahu yang mana yang terbaik untuk keluarga. Saya letih, capek banget…
Saya tahu sebagai ibu saya seharusnya memiliki kesabaran tanpa batas. Saya tahu bedanya marah dan marah-marah. Saya tahu sebagai istri, saya harus berusaha untuk bersikap lembut serta menurunkan nada suara ketika bicara pada suami. Tapi saya tidak bisa.
Pernah sehari dua hari saya mencoba untuk menahan rasa marah, memelankan suara. Berhasil sih, tapi tak lama kemudian saya akan kembali seperti Ajeng yang dulu lagi. Ajeng yang suka marah-marah dan tinggi nada suaranya. Kenapa ya Allah kenapa? Kenapa sekeras apapun saya berusaha, saya tidak bisa berubah? Apayang salah dengan diri saya? Apa lagi yang harus diperbaiki?
I keep asking myself until…sampai pada akhirnya bu Fithrie bilang,
“Nak, kamu punya innerchild yang belum selesai.”
APA ITU INNERCHILD?
Secara komperehensif innerchild beserta penanganannya dibahas pada tahun 1976 oleh Lucia Capacchione. Inner child merupakan bagian dalam diri seseorang yang merupakan hasil dari pengalaman masa kecilnya. Inner child merupakan salah satu bagian dari alam bawah sadar manusia.
Mengacu pada John Bradshaw (1992), inner child merupakan pengalaman pola asuh masa lalu yang tidak atau belum mendapatkan penyelesaian dengan baik. Orang dewasa bisa memiliki berbagai macam kondisi inner child yang dihasilkan oleh pengalaman positif dan negatif yang dialami pada saat mereka kecil dulu.
Nah, kalau saya sendiri menggambarkan innerchild sebagai sosok saya ketika kecil, yang terbawa hingga dewasa. Sosok ini sebenernya lebih suka sembunyi di pojokan relung hati yang paling dalam. Keluar hanya pada saat-saat tertentu, yaitu ketika sedang ada masalah atau ada sesuatu yang tidak berkenan di hati.
Disadari atau tidak, innerchild ini mengganggu banget loh. Banget. Banget.Banget.
Hmm… untuk lebih jelasnya, mungkin teman-teman bisa baca penjelasan innerchild di instastory saya di link ini biar lebih mantep. Yang udah baca boleh skip aja.
HOW TO DEAL WITH INNERCHILD
Setelah sekian lama, akhirnya saya dan beberapa teman sepakat untuk mengadakan workshop innerchild healing bersama Bu Fithrie. Iya iya, setelah dua tahun lebih kebersamaan , enam kelas parenting, serta beberapa kali konsultasi pribadi akhirnya baru sekarang saya berani.
Lemah akutu kalau disuruh untuk ngulik-ngulik masa lalu, apalagi kalau itu tentang kenangan menyakitkan yang sampai sekarang belum selesai. Takut banget. Tapi mau sampai kapan begini terus? Jatuh ke dalam lubang yang sama melulu. I need to get over it and move on. Saya tidak mau menjadi pribadi yang baperan atau emosional. Saya ingin menjadi ibu yang bahagia, yang ikhlas dengan peran saya saat ini sebagai ibu dari tiga orang anak. Enggak muluk-muluk banget kan?
Dan di atas semua alasan itu, saya tidak mau Yuan, Luna, dan Aylan memiliki innerchild. Mereka berhak dan wajib memiliki kenangan yang indah tentang masa kecil. Bahwa ayah dan ibunya adalah orang yang sabar dan sangat mencintai mereka.
It’s time to stop. Biarlah innerchild ini berhenti di saya.
THE “FIGHT” DAY
Finnally, hari itu tiba. Sabtu, 19 Januari 2019 adalah saat-saat yang akan selalu saya kenang. Nah, agar kenangan tersebut tidak mati dan bisa saya buka lagi kalau butuh, maka saya akan tuliskan detail-detailnya. Semampu saya.
Teman-teman siap kan untuk menyimak pengalam saya berjuang menggali masa lalu untuk masa depan yang lebih baik?
Bertempat di Workplay Bintaro, saya bersama dengan dua belas teman lain yang memiliki ‘keberanian’ yang sama duduk manis berkumpul bersama Bu Fithrie. Acara dibuka dengan perkenalan, sebagian besar diantara kami alhamdulillah sudah saling kenal, hehe. Sebagai penyelenggara, saya juga menyediakan tissue yang banyak, karena saya yakin hari itu akan menjadi hari penuh air mata.
Tak lama setelahnya, lampu dimatikan sehingga kami bisa melihat gambar yang berada di layar. Saya tertegun saat memandang gambar tersebut,sebuah rumah gubuk dengan tulisan “Pulang ke rumah masa kecil”
“Baik, sekarang tolong tutup mata dan cobalah untuk membayangkan saat kecil kita dulu.” Perintah Bu Fithrie.
Saya memperbaiki posisi duduk senyaman mungkin dan menutup mata ketika sebuah alunan lagu yang begitu dikenal dimulai.
Hanya satu pintaku
Tuk memandang langit biru
Dalam dekap seorang ibu
Hanya satu pintaku
Tuk bercanda dan tertawa
Di pangkuan seorang ayah
Oh tidak, why oh why hanya dengan mendengar lagu ini, entah kenapa mata mulai terasa panas. Butiran-butiran air memaksa untuk keluar, mengalir menuruni pipi.
Bu Fithrie dengan lembut dan secara perlahan-lahan memberikan afirmasi. Beliau berkisah tentang ‘aku’ yang pulang ke rumah. Sebuah cerita yang membuat saya terlempar ke masa lalu. Terbayang dengan jelas di pikiran, rumah masa kecil itu. Tempat di mana saya selalu pulang. Sebuah rumah dengan pagar yang tidak berubah, bangku tempat di mana Ayah membaca koran, serta dapur dan ruang makan.
Rumah itu kosong, tapi kamar saya tetap seperti yang dulu. Dengan sprei hitam-putih bergambar babi. Saya merabanya, masih ingat dengan jelas bagaimana teksturnya. Lalu ketika Bu Fithrie memaksa kami untuk mengalihkan kenangan ke kamar orang tua, di mana ada kasur milik mama dan papa yang lebih besar, air mata tidak bisa terbendung lagi.
Apabila ini
Hanya sebuah mimpi
Ku selalu berharap
Dan tak pernah terbangun
Hanya satu pintaku
Tuk memandang langit biru
Di pangkuan ayah dan ibu
Apabila ini
Hanya sebuah mimpi
Ku selalu berharap
Dan tak pernah terbangun
Hanya satu pintaku
Tuk memandang langit biru
Dalam dekap ayah dan ibu
(Mocca – Hanya Satu Pintaku)
Ketika akhirnya Bu Fithrie kembali memberikan afirmasi, bahwa telah tiba saatnya kami untuk pergi, meninggalkan semua kenangan yang berada di rumah itu, saya semakin terisak-isak.
“Tapi aku harus pergi.” Begitu lirih, suara beliau ketika mengucapkannya.
Saya masih membiarkan lelehan bening ini terus turun saat lampu dinyalakan. Selama beberapa waktu ruangan terasa hening, hanya berisi isakan. Saya beserta teman-teman sibuk menyeka air mata sambil berjuang menguasai diri.
KONSEP DIRI
Begitu kami terlihat cukup tenang, sebuah kertas dibagikan. Ibu memerintahkan kami untuk menulis segala hal tentang ayah di halaman depan, dan tentang ibu di halaman sebaliknya.
“Tujuh menit dari sekarang ya.” Kata beliau.
Ruangan kembali hening, hanya terdengar suara gesekan pena dan kertas. Selama tujuh menit itu saya menulis semua hal tentang papa dan mama, baik ataupun buruknya, kenangan manis serta pahit bersama mereka.
Selesai dengan tugas tersebut, Ibu memperlihatkan slide selanjutnya. Kali ini tentang konsep diri. Beliau kembali berkisah, mengenai seseorang bernama Minah.
“Minah adalah seorang anak perempuan. Ibunya berkata bahwa Minah adalah gadis yang nakal. Tetangganya berkata kalau Minah gadis yang nakal. Gurunya berkata kalau Minah gadis yang nakal. Teman-temannya berkata kalau Minah gadis yang nakal. Semua orang mengatakan kalau Minah gadis yang nakal.”
“Terus seperti itu, sampai akhirnya hal ini terkonsep ke dalam kepala Minah bahwa dia adalah gadis yang nakal. Sudah bisa ditebak, ketika besar Minah betul-betul tumbuh menjadi gadis yang nakal.”
Saya langsung merinding, teringat bagaimana dulu (dan sampai sekarang) sering memberikan label pada anak-anak. Entah itu lamban, ceroboh, dan lain sebagainya. Sungguh, kata-kata negatif seperti ini sangat berbahaya bagi anak. Bagaimana kalau label yang kita sematkan membuat mereka mengkonsep dirinya seperti itu? Seperti kasus Minah?
Hiiii, Naudzubillahmindzalik….*nangis*
Selanjutnya, kami diperintahkan untuk mengambil cermin. Bu Fithrie meminta kami untuk berkaca sungguh-sungguh. Cermin yang saya bawa cukup besar, model lingkaran yang biasa digunakan di kamar mandi.
Rasanya aneh dan kikuk memandang refleksi diri sendiri. Selain menemukan beberapa jerawat dan komedo, saya mencoba untuk menggali lebih dalam tentang diri sendiri. Siapa sebenarnya yang berada di dalam cermin itu?
“Baik, coba Ajeng jawab pertanyaan-pertanyaan ini ya?” Kata Bu Fithrie sambil menunjukan slide lain.
“Ajeng mau pilih jawab yang mana dulu?”
Saya yang kaget karena tiba-tiba ditunjuk untuk menjawab langsung kelimpungan. Duh, yang mana ya? Khawatir menghabiskan waktu akhirnya saya menjawab yang terakhir, sebagai orang tua.
Saya kembali melihat cermin, mencoba menggambarkan orang tua macam apa sih makhluk yang berada di dalam cermin ini? Dan jawabannya adalah…saya tidak sanggup menjawab.
“Jadi, bagaimana Ajeng menggambarkan diri Ajeng sebagai orang tua?” tanya beliau.
Lagi, saya memandang cermin tersebut. Ya Allah, entah kenapa yang terbayang saat itu justru kenangan tentang Yuan yang sedang marah dan berteriak, “Mama Jahat!”
“Ajeng?”
Saya menggelengkan kepala, sambil mencoba menahan isakan yang kembali keluar. Ya Allah…Ya Allah…Ya Allah…
“Saya…saya…saya ibu yang jahat bu…”
“Sebagai orang tua saya barangkali orang tua yang sangat jahat dan tidak dirindukan oleh anak-anak. Saya sering marah-marah, menjerit dan berteriak di hadapan mereka. Saya…saya…” Kembali saya menjawab dengan terbata-bata.
Tahukah kalian, pada detik itu saya merasa tidak sanggup untuk bicara. Saya, dengan kepribadian sanguins yang biasanya tidak pernah bisa diam, kehabisan kata-kata…
“Baik, sekarang coba Ajeng lihat dari kelima pertanyaan ini yang jawabannya mungkin bisa bikin Ajeng bahagia yang mana?” tanya beliau dengan lembut. Saya yakin beliau langsung mengalihkan pertanyaan karena kasihan melihat saya yang begitu shock.
“Se, sebagai pribadi bu.” Jawab saya berusaha lebih tenang.
“Saya sebagai pribadi adalah orang yang periang, bisa membuat suasana hidup, mudah meminta maaf dan…”
Begitulah. Kami berdua belas masing-masing wajib menggambarkan diri kami secara jujur dalam kapasitas kami masing-masing baik sebagai anak, orang tua, pasangan dan yang lainnya. Ah, tentu saja di sini kami kembali menangis. Lha wong baru menyadari betapa negatif konsep diri yang selama ini kami bangun.
Ada satu hal di sini yang mengubah mindset saya. Hampir semua orang, terutama yang berprofesi sebagai IRT alias Ibu Rumah Tangga selalu menjawab bahwa sebagai anak, kami belum mampu membalas budi kepada orang tua karena tidak bekerja.
Nah, teman-teman sesama IRT mana suaranyaaaa??
“Coba tolong kalian buka Al-Quran dan tunjukan pada ibu, adakah ayat yang mengatakan bahwa seorang anak wajib bekerja atau wajib menjadi ASN untuk membalas jasa orang tuanya?” tanya beliau tajam.
Kami terdiam.
” Coba buka Al- Isra ayat 23 dan 24. Baca, pahami baik-baik artinya.”
Kami ternganga.
“Iya nak, balas budi terbaik yang bisa kita lakukan terhadap orang tua adalah mendoakannya…” lanjut beliau sambil memiringkan kepala dan tersenyum.
“Jika memang ingin membuat orang tua bahagia coba lakukan hal-hal ini : menggandeng tangan mereka ketika berjalan, mendengarkan cerita mereka, memasakan makanan kesukaan mereka. Itu sesuatu yang pastinya membuat mereka merasa bersyukur memiliki anak seperti kalian.”
Saya tercenung. Apa yang disampaikan oleh Bu Fithrie memang betul. Berapa banyak kisah yang pernah kita dengar tentang orang tua dengan anak-anak sukses tapi tidak bahagia. Mereka sedih dan menyesal karena anak-anak mereka hanya memberi orang tuanya uang, bukan perhatian, ataupun kesempatan untuk bertemu.
Lagi-lagi saya tertampar.
“Seorang ayah yang bekerja untuk menyekolahkan anak-anaknya, itu adalah sebuah kewajiban. Memang tugas mereka, dan itulah yang nantinya akan ditanya oleh Allah di akhirat nanti. Sehingga orang tua seharusnya justru bersyukur karena telah dimampukan untuk melakukan hal tersebut. Bukan malah meminta balas budi.”
Mendengar penjelasan tersebut, salah satu di antara kami bertanya,”Lalu bagaimana cara menghadapi orang tua yang kecewa ketika kita memilih untuk tidak bekerja kantoran bu?”
“Tarik saja perasaannya. Kita bisa menjawab,’ Ayah kecewa ya? Maaf tapi saya bahagia menjadi Ibu Rumah Tangga’, begitu kira-kira.” Jawab beliau lagi.
“Ketika orang tua tidak bahagia karena hal ini, kita harus bisa mencoba memahami bahwa hal tersebut bukan urusan kita. Kekecewaannya adalah problem dia sendiri, dan kita tidak bertanggung jawab karenanya.”
Para ayah dan ibu, tolong diingat kembali bahwa seorang anak perempuan, ketika menikah maka baktinya beralih kepada suami, bukan orang tua. Sehingga para ibu, perintah suamilah yang wajib kita patuhi, bukan orang tua
Safithrie Sutrisno
Ya Allah, saya jadi kembali mengingat sebuah momen bersama Yusuf. Dia begitu keukeuh dan berani untuk mengatakan ‘tidak’ kepada Papa ketika saya ditawari untuk bekerja. Saya dan Yusuf tentu saja bertengkar hebat. Saya menjadi IRT pada awalnya dengan sangat berat hati, tapi sekarang malah jadi bersyukur banget.
Alhamdulillah Allah cukupkan rejeki untuk kami. Orang tua pun lama-lama luluh dan sekarang justru berbalik mendukung saya untuk fokus terhadap anak-anak.
Saya bersyukur karena kembali menemukan pijakan kuat untuk semakin ikhlas dalam mendidik dan merawat anak-anak, karena memang itulah tugas kami sebagai manusia, dan orang tua di bumi Allah…
Duh ibu, terima kasih pengingatnya bu…
Topeng Kepribadian
Setelah kenyang ditampar-tampar dengan banyak pesan yang luar biasa saat sesi self reflection, kini kami kembali maju ke sesi berikutnya.
Ternyata, penyebab kita susah menahan marah itu banyak banget ya, walau kesalahan pola asuh adalah pencetus yang utama. Nah, mari kita coba kupas satu persatu.
- Pola Asuh
Pada kesempatan ini, Bu Fithrie bercerita tentang kisah masa kecilnya. Bu Fithrie kecil pernah memecahkan sebuah mangkuk, yang kemudian beliau sembunyikan di bawah sink cuci piring. Suatu ketika, ayahnya memanggil. Tanpa babibu, Bu Fithrie ditampar dengan sangat keras sampai terlempar mundur ke belakang.
“Waktu itu karena papi tidak mengatakan apa-apa, yang ada di dalam pikiran saya hanya satu : pasti mami yang mengadu,” kata beliau santai sambil memainkan kursi. “Karena siapa lagi yang tahu kalau saya memecahkan piring?”
“Kenangan itu begitu membekas di kepala saya. Saya selalu bertanya-tanya, kenapa papi bersikap seperti itu? Padahal beliau bisa bertanya baik-baik pada saya daripada langsung memberi pukulan. Momen itu, juga momen lain seperti dipukul saat terlambat pulang sekolah, membuat saya sangat membenci papi saya sendiri. Kebencian itu terbawa sampai bertahun-tahun, bahkan sampai saya menikah dan punya anak.”
Kami sempat tertawa karena mendengar kalau salah satu alasan beliau menikah adalah supaya bisa segera keluar dari rumah masa kecilnya. Kami tertawa karena diakui atau tidak, banyak orang melakukan hal yang sama persis seperti ini. Daripada menderita di rumah mending nikah aja, iya to?
“Saya begitu membenci papi. Bahkan sampai pernah ada saat di mana papi tiba-tiba datang bersama suami, menjemput saya dan anak-anak di sekolah. Saya kaget, dan marah sekali. Suami saya dan papi duduk di depan, saya di belakang bersama anak-anak, diam seribu bahasa. Saya terus mendiamkan papi, dan juga marah pada suami. Saya tidak peduli dengan fakta bahwa papi adalah ayah saya, karena saya membencinya.”
“Dua puluh satu hari papi tinggal di rumah tapi tidak sekalipun saya bicara padanya.”
Saya dan teman-teman terdiam, begitu serius menyimak cerita masa kecil ibu.
“Sampai akhirnya saya tahu punya innerchild, dan ikut workshop innerchild healing berulang kali. Setelah ikut hingga ketiga kali, barulah saat itu saya bisa memaafkan papi. Saya bisa bertemu, tersenyum dan memeluknya tanpa ada perasaan marah, benci ataupun dendam.”
Meski memiliki akhir yang menyenangkan, ternyata Bu Fithrie sendiri berjuang sangat keras untuk menghapus luka-luka lama yang muncul akibat pola asuh yang salah. Beliau mengakui bahwa dulu, sebelum membersihkan diri, dirinya sempat memukul anak-anaknya. Persis seperti yang dilakukan oleh mami dan papi beliau.
“Tapi sekarang, sejak innerchild itu terhapus, saya bahkan merasa sulit untuk marah.” pungkasnya sambil nyengir.
Selesai dengan cerita masa lalunya, ibu kemudian bertanya pada kami tentang pola asuh mana yang begitu membekas di memori kita. Tentu saja kami langsung mengeluarkannya satu per satu. Hal ini sangat penting, karena dari sinilah awal mula innerchild itu berasal.
Cerita-cerita bermunculan. Ada yang merasa masa kecil tidak bahagia karena sering menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar. Ada pula yang merasa terkekang karena terlalu diatur sampai akhirnya ketika dewasa menjadi pribadi yang tidak bisa menentukan pilihan, bahkan tidak bisa mengenali dirinya sendiri.
- Konsep diri yang keliru
Orang tua sering sekali melabeli anak, entah itu sadar ataupun tidak. Sering kita dengar ucapan-ucapan seperti : kamu pemarah, kamu pelit, kamu nakal, dan kamu-kamu lainnya. Maka jangan heran kalau anak nantinya tumbuh menjadi seperti itu. Iya kan?
PR banget nih buat kita untuk membangun konsep diri yang positif pada anak-anak. Kita bisa mengatakan bahwa mereka anak yang suka berbagi, senyumnya cantik, kata-katanya lembut and so on.
Dengan penanaman konsep diri yang tepat, maka anak akan tumbuh menjadi seseorang yang memiliki pribadi yang baik.
- Mitos, pemahaman yang salah
Sedih sih waktu sadar bahwa mitos sebenarnya turut membangun perilaku yang keliru. Saya ingat sekali waktu kecil dulu kerap mendengar kata-kata ini “anak itu kalau enggak dipukul ya enggak akan nurut, enggak akan ngerti.” Sebuah mitos tentang pengasuhan yang salahnya kebangetan.
Sayangnya, Hal ini terekam begitu jelas di dalam memori dan keluar sebagai pembenaran atas setiap kemarahan dan pukulan yang saya tujukan pada anak-anak.
Malu ya Allah, malu tiap kali ingat hal tersebut, “Oh aku berhak marah, karena anakku melakukan ini. Toh si A dan si B juga marah saat anak mereka melakukan hal yang sama.”
Ini melenceng sekali-teman, salah banget…banget…banget… Kita tidak sepantasnya diperlakukan demikian oleh kedua orang tua kita. Kita juga tidak lantas boleh melakukan hal yang sama terhadap anak kita.
Dulu saya merasa bahwa saya pantas mendapatkan kemarahan orang tua karena memang saya salah. Akibatnya, saat ini saya pun melakukan hal yang sama pada anak. Padahal, yang seharusnya saya lakukan adalah menahan diri dan membantu anak untuk membetulkan perilakunya yang keliru.
Tapi kita malah terus menerus terjebak dalam hal yang salah.
Allah…
Inilah sebabnya lingkaran setan itu terus berputar. Seorang anak yang kerap ditinju oleh ayahnya, akan meninju anaknya kelak. Seorang anak yang selalu dikunci di kamar mandi tiap melakukan kesalahan, nantinya dia akan melakukan hal tersebut pada anaknya. Seorang anak yang kerap diabaikan oleh orang tuanya, maka dia akan menjadi orang tua yang abai pada anak…
Saya dan teman-teman kembali menangis. Betapa mitos mengenai pola asuh kita yang dulu berpengaruh sangat kuat pada tindakan kita yang sekarang…
- Komunikasi tidak pas
Hal lain yang menjadi gara-gara kemarahan kita adalah komunikasi. Kita tidak tahu dan tidak pernah diajari cara berkomunikasi yang tepat.
Contohnya begini. Dulu, saya sulit sekali menahan emosi ke Yusuf. Saya stress dan muak dengan kebiasaannya main game. Sebagai seorang istri, saya kesal karena tiap pulang kantor dia justru bermesraan dengan game-nya tanpa memperdulikan saya.
Suatu ketika, saya mengajak Yusuf ngobrol tentang hal ini. Coba tebak kata-kata yang keluar dari mulut saya? Kamu itu enggak perhatian sama aku, kamu enggak peduli sama aku, kamu jahat, kamu tuh menyebalkan, kamu dan kamuuuuuuu terus pokoknya sampai puas.
Tanggapan Yusuf? Hahahaha, melihat saya marah-marah dan terus menyudutkan dia, dia justru lari. Masalah selesai? Tentu saja tidak, yang ada dia malah makin sering bermain dengan sengaja untuk menyulut kemarahan saya. Kalaupun dia berhenti main, itu karena untuk membuat saya diam. Bukan karena ingin merubah dirinya menjadi sosok yang lebih perhatian.
Mari kita bandingkan dengan cara yang satunya. Kalau sebelumnya saya marah-marah dan hanya menyalahkan, kali ini saya mencoba menyampaikan apa yang saya rasakan.
“Ayah aku kesal. Aku merasa diabaikan tiap kali kamu pulang langsung nge-game. Aku merasa tidak dicintai. Aku ingin kamu ngobrol dulu sama aku, meluk aku dulu, dsb..dsb…”
Menurut teman-teman, dengan kata-kata di atas (apalagi kalau disampaikan dengan nada suara yang normal), apakah Yusuf akan menanggapi rasa marah saya dengan baik? Pastinya iya dong.
Berberapa kali saya melakukan hal ini dan hasilnya betul-betul berbeda. Saya lebih tenang, tidak grasa-grusu, Yusuf pun jadi tahu cara menanggapinya. Dia akan memeluk dan mengecup pipi saya, untuk kemudian minta maaf. Sesuatu yang sering luput dari perhatian kita karena marah tidak identik dengan kecupan dan pelukan.
And you know what, secara perlahan-lahan Yusuf juga mulai meninggalkan game. Tapi itu bukan karena ingin saya diam loh. He do it because he want to do it. Karena dia mulai menyadari bahwa bermain game betul-betul membuat saya sedih dan merasa diabaikan. Alasan lain adalah karena dia tidak mau membuat saya kecewa menjadi istrinya.
See the difference?
Itulah, kita ini betul-betul nol dalam memahami komunikasi. Kita tidak tahu bagaimana cara menyampaikan perasaan kita, sebaliknya pasangan kita juga tidak tahu bagaimana cara menanggapi kita. Klop banget kan ble’enya? Hiks
Nah, sampai di tahap ini kami akhirnya mulai mampu meraba-raba. Mundur, mencari kenangan masa lalu lain yang mungkin menjadi benang merah atas perilaku dan sikap minus kami saat ini.
MELAWAN KONSEP DIRI NEGATIF
Seperti yang sudah dibahas di atas, kita tumbuh dan berkembang bersama label-label negatif yang sebenarnya bukan diri kita. Saat itu kita masih kecil, belum paham apa-apa. Kita tidak bisa melawan hal tersebut, meski sebenarnya kita ingin.
Bahkan ketika kita sudah dewasa, konsep diri negatif terus menerus disampaikan oleh orang-orang yang ada di lingkungan kita. Meski bentuknya berbeda ya. Kalau dulu kita disebut pemarah, saat ini kita dipanggil sebagai Ibu Rumah Tangga yang tidak menghasilkan apa-apa.
Gemes enggak sih sama yang ginian?
Kalo saya sih gregetan banget. Dan ini jelas bikin baper setengah modyar. Hiks. Nah, karena saat ini kita sudah dewasa dan otak kita bisa memahami kalau hal tersebut salah, kita bisa loh berontak. Well, berontak yang dimaksud bukan dengan kekerasan fisik ya. Tapi kita harus melawan pemikiran tersebut agar tidak masuk ke dalam pikiran kita.
Caranya gimana?
Pengembangan kognitif adalah proses berpikir berupa kemampuan untuk menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan sesuatu. Misal begini, Mbak B melihat saya yang sebagai IRT yang pekerjaannya membosankan. (Nah, inilah batas kemampuan berpikir kognitif si Mbak B, sempit banget ya?*eh )
Konsep affektif adalah materi yang berdasarkan segala sesuatu yang berkaitan dengan emosi seperti penghargaan, nilai, perasaan, semangat, minat, dan sikap terhadap sesuatu hal. Jadi di sini kitalah yang perlu membangun pikiran dan perasaan bahwa menjadi IRT justru menyenangkan, kerjaannya ada terus dan selalu bisa membersamai anak.
So, setiap kali mendengar komentar atau kalimat-kalimat tidak mengenakkan yang bikin baper, lawan dengan ini!
“Ya ampun, capek-capek sekolah tinggi cuma jadi IRT yang ngurus anak di rumah.” (aspek koginitif)
Halau kalimat tersebut dengan : “Oh iya, aku memang cuma IRT yang ngurus anak di rumah, tapi aku bahagia karena bisa terus membersamai mereka.” (aspek kognitif dan afektif)
“Mbak Ajeng, beli rumah kok di Cisauk, jauh banget dari peradaban.” (aspek kognitif)
Halau dengan : “Iya, rumahku di Cisauk, jauh ya. Tapi aku seneng loh, itu rumah sendiri, suasananya masih asri, lingkungannya asyik, dan deket stasiun kereta api, betah banget!” (aspek kognitif dan afektif)
“Ih kamu, masak kok ini-ini aja.” (aspek kognitif)
Halau dengan : “Iya, aku masak ini-ini aja. Tapi ahamdulillah suami dan anak-anak suka banget, selalu habis loh!” (aspek kognitif dan afektif)
“Kamu enggak sayang ngelepas kerjaan di bank buat jadi IRT?”
Halau dengan : “Mungkin kelihatannya sayang ya. Tapi aku justru bahagia tuh, karena bisa full membersamai anak-anak yang selama ini aku titipkan ke mana-mana.”
“Kamu kok jadi tambah gendut?”
Halau dengan : “Iya nih, aku juga ngerasa gemukan. Tapi suamiku bilang aku tambah cantik loh, dan dia jadi tambah sayang ke aku.”
Nah, ketika kita bisa menyingkirkan kalimat-kalimat negatif itu dengan mengembangkan konsep kognitif-afektif seperti di atas, kira-kira kita perlu baper enggak?
Perlukah kita marah-marah ke suami? Perlu enggak kita melampiaskan perasaan negatif itu ke anak?
Ya Allah, saya merasa ditampar untuk kesekian kalinya. Ternyata yang perlu dilakukan untuk bisa lebih menerima diri kita apa adanya semudah itu. Hanya dengan mengembangkan kemampuan afektif, mencari perasaan-perasaan positif atas semua yang sedang kita lakukan, kita bisa mencintai diri sendiri.
It’s about the game of mind.
Whatever dengan apapun yang mau dibilang orang di luar sana . I’m happy with myself, aku mencintai bentuk tubuhku, dengan perut berparut sebagai bukti melahirkan tiga orang anak. Dengan jari-jari yang kasar karena pekerjaan rumah dan bermain bersama anak. Dengan ruang kerja yang hanya berada dalam lingkungan rumah.
I love to be myself, karena berani untuk mengurus ketiga anak sendiri. Karena mau terjun langsung menghadapi segala kesulitan dan kebosanan dalam melakukan kewajiban. Karena mau belajar untuk mencari kegiatan yang mampu membangun aktualisasi diri tanpa meninggalkan kewajiban.
Yes genks, gara-gara sesi inilah saya menjadi lebih percaya dan mampu menyayangi diri sendiri. Sesuatu yang sebelumnya sangat sulit saya lakukan, *terharu*. Sekarang saya betul-betul jadi lebih enjoy dan bisa santai menanggapi kata-kata orang. Terutama mereka yang enggak tahu tentang kehidupan saya. Hahaha
MENGUBAH MINDSET
Maju lagi ke sesi selanjutnya. Kali ini kami diminta untuk melipat kertas yang baru saja dibagikan, menjadi tiga bagian.
“Tulis apa sih hal yang paling bikin kita marah di sisi sebelah kiri. Lalu tulis apa yang kita lakukan saat menghadapinya di sisi paling kanan. Kosongkan yang tengah, tulis jawaban paling jujur.” kata Bu Fithrie memberi petunjuk.
Kami semua berpikir sejenak. Saya sendiri masih mencoba mengingat-ingat hal apa yang akhir-akhir ini sering membuat saya naik darah. Begitu ketemu, langsung deh ditulis.
Setelah selesai, beliau langsung menanyai kami satu persatu seperti biasa. Ada salah satu teman menulis hal yang menarik. Dalam tulisannya, dia menyebutkan bahwa hal yang paling membuatnya marah adalah ketika melihat si suami tidur di hari libur.
Saya langsung ngakak. Ya ampun, itu kasus saya banget juga loh! Bahkan mungkin, masalah ini juga jadi problematika ibu-ibu lain se-Indonesia raya. Wkwkwkwk.
Tapi, penjelasan dari Bu Fithrie justru bikin kami melongo.
“Tidur adalah duplikasi. Selama ini, kita selalu melihat ayah kita pada saat hari libur kerjaannya itu tidur. Sehingga ketika para lelaki ini menjadi suami dan ayah, mereka merasa bahwa hari libur adalah hari untuk tidur.”
Safithrie Sutrisno
Nah iya, kesel loh rasanya kalau suami kayak gini. Sebagai seorang istri yang ditinggal untuk bekerja dari senin-jumat, kita pasti kepengen diajak jalan atau sekedar dibantuin pekerjaan rumah tangganya, atau gantian jaga anak-anak.
Bete banget ketika harapan itu terpaksa kandas hanya gara-gara tidur.
Lalu, bagaimana cara menghadapinya?
“Tentu saja dengan negosiasi di hari-hari sebelumnya. Kita bisa bilang, hari sabtu tolong temani belanja ke pasar, dan anak-anak diajak main sembari kita memasak. Main keluar, tanpa handphone. Berikan keterangan yang mendetail, karena laki-laki dengan otak kiri-nya, biasanya mereka hanya fokus pada permintaan yang pertama.” ucap beliau.
Kami tertawa, sambil merasa ngenes. Saya sendiri sebetulnya termasuk orang yang suka mengabari suami tentang rencana untuk esok hari. Besok mau ngapain, ke mana, kapan, dan lain sebagainya. Sehingga kalau untuk kegiatan, memang jarang bertengkar.
Tapi kalau tidak ada kegiatan, Yusuf ya pasti molor aja kerjaannya, dan hal ini bikin ribut. Saya sering merasa kalau dia itu pemalas, enggak kreatif, bahkan lemah. Masak main game sampai jam 3 pagi kuat, disuruh jaga anak 30 menit aja udah cawe-cawe minta pertolongan.
Pada momen ini, ibu mengatakan kalau laki-laki butuh yang namanya hobi, dan kita tidak bisa serta-merta melarangnya. Laki-laki butuh menyalurkan kelebihan energi mereka untuk melakukan hobinya dengan catatan, ya harus yang bergerak dan negosiasi supaya tidak lupa waktu, lupa punya anak dan istri.
Tentu akan lebih baik lagi kalau hobi suami bisa dilakukan bareng anak. Sehingga waktu yang tersedia betul-betul dipakai maksimal bersama keluarga. Alasan lain kenapa seorang istri kesel kalau suaminya tidur mulu ya itu, mubazir waktu.
Saya sendiri, sejak rutin ngeblog dan bergabung komunitas lumayan sering punya agenda di luar. Hal tersebut biasa saya komunikasikan, dan biasanya sih dikasih ijin. Seneng loh rasanya kita bisa keluar sejenak untuk menetralkan perasaan. Toh ketika pulang lagi ke rumah, saya jadi kangen sama mereka.
Oh iya, hal lain yang harus diperhatikan adalah, bila kita menitipkan anak-anak pada suami maka kita TIDAK BOLEH PROTES sama sekali mengenai cara ayah mengasuh anak-anak. Walau kita gregetan, meski kita gemes dan gatel banget pengen ngasih tahu kalau ngurus anak tuh harusnya begini dan begini, kita wajib diam, duduk manis memperhatikan. Ini penting karena ayah memang memiliki gaya sendiri.
Pokoknya kalau anak udah dibawa ayahnya ya kita pasrah aja itu si anak mau dibeliin es krim atau diajak jumpalitan di taman kota. Kita wajib percaya pada suami, toh anak kita kan anaknya dia juga. Enggak mungkin niat mau melukai kan?
Sedangkan untuk kasus saya sendiri, Bu Fithrie mengingatkan bahwa batas kelulusan Toilet Training anak adalah tiga tahun. Sehingga bila di bawah tiga tahun dia masih ngompol dan sebagainya, saya harus memakluminya. Catatan lain tentang hal ini, saya masih mempunyai tugas untuk terus sounding dan mengingatkan ke Luna bahwa pipis maupun pup itu di kamar mandi.
RUMUS MENGASUH ANAK : TIDAK BOLEH BEREKSPEKTASI APAPUN TERHADAP ANAK
Safithrie Sutrisno
Yes ma’am, jangan berekspektasi apapun ketika kita sedang mengasuh anak. Kita sering terluka dengan ekspketasi dan harapan-harapan kita sendiri. Akibatnya, ketika tidak tercapai, kita jadi marah-marah dan menyalahkan anak.
Kita siapin makan anak lima sendok makan, harapannya dia akan menghabiskan itu semua. Ealah, enggak habis. Nah, kita marah dong.
Kita bacain buku buat anak dengan harapan dia cepet tidur. Duh, ternyata enggak tidur-tidur. Alhasil, kita marah lagi.
Tamparan yang lain lagi bagi saya sebagai orang tua. Kita wajib melatih dan mendidik mereka, tanpa harapan yang nantinya justru akan menyakiti mereka. Mungkin inilah yang disebut ilmu ikhlas yang hakiki ya?
Tapi dalam kasus saya tentang toilet training ini, kita boleh loh menyampaikan perasaan kita. Misal saya ngomong, “Mama kecewa karena Luna pipis di celana.” Kalau perlu tambahkan mimik sedih, supaya memperkuat penyampaian perasaan kita. Supaya dia betul-betul paham bahwa saya kecewa banget.
Di akhir sesi ini, kami menulis tentang apa yang sebenarnya bisa dilakukan bila menemui masalah-masalah yang membuat kita marah. Saya sendiri menulis bahwa saya perlu kembali sounding terus-menerus ke Luna tentang kemampuannya untuk konsisten Toilet Training, serta menyampaikan rasa kecewa.
Hal terakhir yang perlu kami lakukan adalah menyobek kertas yang paling ujung, yang isinya kegiatan marah-marah itu.
Ketika mengerjakan materi ini saya jadi tersadar, ya ampun ternyata solusi lainnya supaya enggak mudah naik darah tuh sesimpel ini ya. Cukup tulis masalah kita dan tuliskan bagaimana cara menanggulanginya.
Ajaib banget rasanya ketika semua permasalahan ditulis, kita bisa membaca dan melihatnya dengan lebih objektif. Cara ini membuat saya sadar bahwa, segala sesuatu yang berpotensi jadi masalah tuh sebetulnya bisa dihindari, bahkan ditiadakan. Sehingga, marah-marah tidak lagi diperlukan…
MENGENAL PERASAAN
Masih terkait dengan pemaparan di atas, saya mau tanya satu hal dulu deh. Selama ini pernah enggak sih kita belajar untuk mengenali perasaan selain marah, benci, dendam, bahagia, dan cinta?
Kayaknya kok enggak ya.
Nah, jadi semakin terang benderang nih alasan kenapa kita tidak mampu mengenal diri sendiri. Karena kita tidak tahu apa yang kita rasa.
Ketika melihat si A melakukan suatu hal, kita tidak mengerti apa yang kita rasa. Ketika kita melakukan pekerjaan B, kita tidak tahu apakah kita sebetulnya suka atau tidak, atau hanya terpaksa sekedar bikin orang tua senang. Ketika bertengkar dengan saudara, kita juga tidak tahu apa yang kita rasa.
Karena itulah, penting sekali bagi kita untuk belajar tentang macam-macam perasaan. Seperti di bawah ini :
Mempelajari ini bermanfaat banget loh. Membantu komunikasi kita dengan pasangan, anak, maupun lingkungan sosial menjadi lebih baik.
Anak yang selalu jahil menganggu kita, barangkali sebenarnya dia bosan karena tidak ada hal yang bisa dilakukan. Tapi kita tidak tahu, bahkan tidak pernah mencoba mencari tahu, jadilah kita marah-marah, “Kamu kok gangguin mamah melulu sih?”
Anak yang menjerit-jerit ketika petir menggelegar, dia itu ketakutan loh. Bukan bersikap lebay. Tapi apa tanggapan kita? “Halah dasar penakut, sama petir aja teriak-teriak.”
Seorang istri yang mengajak suaminya mengobrol ketika waktu tidur tiba, bisa jadi dia kesepian. Sehingga dia butuh teman bicara dari hati ke hati, supaya tidak lagi merasa sendiri. Tapi apa tanggapan yang sering diberikan para suami. “Kamu kok cerewet banget.”
Anak kita jatuh tersandung dan menangis. Apa yang kita lakukan? Paling mengatakan, “Ayo berdiri. Jangan nangis.” Padahal pasti dia merasakan sakit pada tubuhnya, yang menyebabkan dia menangis. Tapi kita abai dengan perasaan itu.
Itulah sebabnya dia menangis lebih kencang.
Maka alangkah baiknya, kita mulai belajar memperkenalkan rasa, “Ya Allah, adek sakit ya kakinya? Sini mama tiup dulu.” Percayalah, kalimat ini rasanya sederhana, tapi efekya luar biasa karena kita menerima perasaan sakit anak kita. Saya sendiri mencoba mempraktekannya dan beneran, anak jadi sebentar banget nangisnya.
Anak-anak, orang tua, dan pasangan kita, mereka ini hanya ingin dimengerti… Tapi entah kenapa begitu sulit bagi kita untuk menyampaikannya.
Coba deh teman-teman telaah satu persatu, ketika ngobrol tadi pagi bersama suami, apa yang dirasakan? Ketika mengantar anak sekolah, apa yang dirasakan? Ketika melihat anak menumpahkan air dari gelas, apa yang dirasakan?
Tidak melulu tentang marah dan kesal bukan?
Nah, karena kebetulan pada saat sesi yang ini waktunya sudah habis, kami memutuskan untuk menjadikannya tugas. Bu Fithrie memerintahkan kami untuk mengisi bagian yang kosong di atas. Sebuah tugas super ringan supaya kami belajar untuk mengenali perasaan.
Tidak hanya itu, kami juga diwajibkan untuk membuat pohon impian alias dreams tree
KENANGAN HARI PERTAMA INNERCHILD HEALING
Begitu workshop hari pertama selesai, kami pun beberes dan bersiap untuk pulang. Saya sendiri pulang agak akhir karena menanti jemputan Yusuf. Bersama teman-teman lain yang juga sedang menunggu, kami pun sedikit ngobrol-ngobrol tentang kelas yang baru saja kami lalui.
Saya mengamati wajah teman-teman yang terlihat letih, bahkan ada yang matanya bengkak saking banyaknya menangis. Hari itu betul-betul menjadi hari paling emosional karena banyak di antara kami mengeluarkan kenangan-kenangan buruk yang selama ini menempel di kepala.
“Rasane kesel banget, tapi aku lego.” (asanya capek sekali, tapi aku lega) celetuk seorang teman.
Saya mengiyakan. Tidak mudah untuk melakukan hal tersebut, ha wong baru ngomong satu atau dua kalimat saja air mata sudah membanjir. Tapi entah kenapa, ketika hal tersebut keluar, ada perasaan lega dan ringan di hati ini.
Ketika pulang ke rumah dan selesai membersamai anak-anak yang sudah tertidur, Yusuf bertanya tentang apa saja yang saya lakukan di kelas tadi. Dengan penuh semangat, saya pun langsung cus cerita.
Saat itu, untuk pertama kalinya saya bicara jujur pada Yusuf tentang kenangan-kenangan masa lalu yang saya coba abaikan. Kali ini, tidak ada lagi yang saya tutup-tutupi, karena saya tahu betul selama kenangan itu masih tertanam maka akan sulit untuk dihapuskan.
“Ayah, aku mau cerita. Mungkin bagimu hal ini memalukan, tapi aku mohon…aku mohon kamu dengarkan dulu. Aku pengen kamu tahu, aku butuh kamu tahu tentang hal ini.” kata saya pelan.
Lalu sambil beristighfar dan menarik nafas, sayapun menceritakan segalanya. Kenapa saya bisa bersikap begitu kasar, kenapa saya sangat sulit mengatur emosi, kenapa saya menjadi ibu yang insecure dan cemburuan.
Saya kembali menangis terisak-isak untuk kesekian kalinya hari itu. Namun, ada hal yang terasa berbeda. Ketika saya mengungkapkannya di kelas, rasa sakitnya begitu terasa sampai dada ini nyeri dan sekujur tubuh gemetar menahan emosi. Tapi ketika mengisahkannya kembali di hadapan Yusuf, saya merasa bahwa rasa sakit itu berkurang. Belum hilang sepenuhnya , rasa sakit itu masih ada tapi tidak seberat sebelumnya.
“Sakit ayah, aku merasa sakit sekali…huhuhu…” isak saya sambil mengulurkan tangan, minta dipeluk.
“Iya, aku tahu kalau itu pasti sakit…kasihan sekali kamu…” kata Yusuf sambil memeluk dan mengelus rambut saya.
Malam itu Yusuf terus menerus memeluk dan mengelus kepala saya, mencoba menenangkan. Dia tidak berkomentar apapun, selain menerima apa yang saya rasakan.
Dalam pelukan Yusuf saya tahu, pada akhirnya nanti akan tiba masa di mana saya mampu bercerita tentang hal ini dengan senyuman, tanpa rasa sakit sama sekali. Oh betapa itu adalah saat yang amat sangat saya nantikan.
Karena itu artinya, saya sudah mampu memaafkan…
Bersambung part 2…
Catatan penulis:
Alhamdulillah, akhirnya tulisan ini selesai juga. Maaf buat teman-teman yang sudah menunggu. Jujur, menulis tentang hal ini susah banget, apalagi kemarin Aylan dan Yuan sempat demam. Saya sendiri juga ambruk karena kelelahan.
Terima kasih banyak untuk ibu Safithrie Sutrisno atas ijin yang diberikan untuk menulis detail jalannya workshop kemarin. Sungguh, apa yang saya tulis hanyalah sepersekian persen dari yang terjadi sebenarnya di dalam kelas, karena acara kemarin tuh betul-betul…enggak bisa dideskripsikan.
Di hari pertama, saya sudah menemukan benang merah atas kasus saya. Tapi saya minta maaf kalau belum bisa cerita banyak di sini. Insya allah akan saya coba paparkan masalah sekaligus penyelesaiannya yang terjadi di hari kedua workshop. Nantikan detail hari kedua dimana akhirnya saya bisa memaafkan dan berdamai dengan masa lalu yaa! Kiss kiss
27 Komentar. Leave new
Barokallah mba Ajeng, selamat berdamai dengan masa lalu, insya Allah untuk masa depan yang lebih baik 🙂
Terimakasih banyak sudah berbagi, sangat bermanfaat untuk siapapun yang membacanya 🙂
Peluk dan doa dari jauh, semoga makin bahagia <3
Mbak ini menarik sekali tulisannya. saya bookmark dulu ya, belum selesai bacanya.
jadi penasaran…
workshopnya dimana ya?
Saya pun sering berperang dengan innerchild, memang terasa lebih dominan hal negatif. Karena posisi saya anak kedua dan kesusul adik saya banyak org bilang saya susah diatur, mungkin orgtua saya lelah mengurus sy huhu
Mba ini panjang tulisannya tapi saya suka membacanya dari awal sampai akhir hihi, terima kasih ya mba sharingnya bermanfaat sekali untuk saya. saya pun termasuk orang yang ingin menikah agar keluar dari rumah, setelah menikah saya malah mau pulang kerumah 😀
Huft, kalo bicara innerchild, yg kebayang tuh aku dibilang anak yg cuek dan gak begitu peduli sama sekitar. Hahhaaa.. padahal gak segitunya juga sih. Kadangkala aja kalo emang pas lagi gak ada mood booster nya. Pasti cueknya kambuh.
Wow, keren banget ini. Banyak ilmu baru yang saya dapat. Ada beberapa bagian yang sama dengan saya. Meski tak sering meledak-ledak, saya kayaknya punya sisi innerchild juga. Nanti aku baca lagi lebih perlahan-lahan tulisannya. Saya bookmark, ya. Bener-bener wawasan dan ilmu baru buat saya.
Ini panjang banget tapi sepadan buat dibaca..
sampe enggak bisa berkata-kata akutuuu
Dirimu warbiyasaaah, belajar sampai sejauh itu.
Aku tunggu bagian 2 nya yaaa..enggak sabar, jangan kelamaan nulisnya
Memang benar kenangan masa kecil akan terbawa terus hingga dewasa ya. Makanya sangat penting bagi ortu untuk memperlakukan anak dengan tepat. Makasih sharingnya mba
MasyaAllah mba.. semoga Allah memberkahi mba sekeluarga. Pengen2 banget ikutan workshop kaya gini.. pengen2 banget sharing langsung ma bu fitri dan mba ajeng juga..
Semoga segera bs terwujud
Kutunggu tulisan part 2 mba
Setiap orang pasti punya innerchild yang munculnya di waktu yang berbeda. Dan dari masa kecil itu juga menjadi pengalaman berharga agar semakin #SemangatCiee menghadapi kehidupan ini
Hihi zampe ga kedip baca postingan kak Ajeeg yg ini. Aku kenal istilah innerchild udah dua tahun lebih. Bahkan pernah ikut kulwapmya tp entah ke apa blm tertarik. Eh ternyata di IP (seingatku) juga dibahas dan indeed pentinh banget mengenali dan meng-healing-nya. Hiks, jgn sampai nurun ke pola asuh kita ke anak…
Kalo soal eksistensi diri dan menghadapi nyinyiran pihak lain, yg terpenting adl bangga terhadap keberadaan diri.
Keren acaranya, saya juga menyadari dengan innerchild saya yang terus membayangi. Sedih sekali kalau saya udah emosi apalgi si sulung kenyang banget diomelin hahaha..
ditunggu part ke-2 nya mba btw aku kira suamiku doang yang doyan game dan aku suka kesel sendiri ternyata mba ajeng juga mengalami makasih untuk sharing komunikasi yang baik 🙂
Keren parah jeng, penjelasannya lengkap bangeet. Sampe fokus nyimak tiap kata-katanya. Memang ya inner child tuh PR banget buat kita yang punya something di masa lalu. Tapi, intinya kembali lagi pada diri kita, sudah ikhlaskan dengan itu semua? Jika belum, maka harus bener2 rela untuk mengikhlaskan itu semua. Meski, kenyataannya sulit banget heheeh, malah jadi curcol gue. Maafkaann
Alhamdulillah aku mengucap syukur bahwa akhirnya mba ajeng bs ikut workshop seperti ini. Tentu membawa dampak positif ya mba. Bayangkan org lain yg masih terjebak dgn masa lalunya dan ga tau mau ngapain 🤗
Panjaaaang. Msh ada sambungannya pula hehe. Tapi aku berpikir jg jadinya mbak, aku tu kyknya ngrasa ortuku mendidikku dengan luar biasa, hampur enggak pernah marah, tapi aku kok ya gak sabaran ya. Apa mungkin inner child itu bisa disebabkan krn faktor eksternal jg ya? Krn waktu kecil emang ada bbrp faktor eksternal yg bikin aku kyknya ya msh menyimpan kemarahan sampai skrng…
Ulasannya lengkap banget ini mbak. Tapi memang ada beberapa hal yang kadang aku merasa ada beberapa hal yang memang gak mau diterapkan untuk anakku tapi ada beberapa hal yang bagus untuk diterapkan. Karena perkembangan zaman saya kecil dan anak saya berbeda tapi ada hal positif yang dilakukan mamah saya pada saat saya bertumbuh dan ini sedang saya terapkan.
Mba Ajeng, dari awal paragraf udah ngiket banget tulisannya untuk terus diikuti. Aku jadi semacam bercermin aku juga gampang banget emosi dan teriakin anak, Astaghfirullah. Setuju juga kalau misal kita udah diizinin suami buat “ngabur” bentar (padahal ke event blogger) jangan protes kalo gaya pengasuhan suami beda sama kita (paling sering mah ga telaten ngasih makan anak) hehe. Semoga kita sebagai ibu terus diberikan kesabaran dan kekuatan dalam menjalani hari hari yaa 🙂 Aamiin.
Bermanfaat banget mbak tulisan ini, meski panjang tapi banyak hal yang bisa saya pelajari disini, baik untuk diri saya sendiri maupun untuk orang lain yang sering curhat sama saya. Terima kasih ya mba…
Setiap orang punya inner child. Kalau saya ikutan acara begini, bisa terbongkar deh sisi gelap saya wkwk.. Tulisannya panjang banget. Baiknya dibikin 2 tulisan.
Waaah mbak, suka ni sama isi blognya. walau saya baru 18 tahun. Saya jadi banyak belajar tentang hal ini juga untuk ilmu ke depannya
Baru sempat baca madaaammm..
Dan bener yaaa, seperti melihat diri saya di dalam diri madam.
Dan dilihat dari komen-komen di atas, bisa disimpulkan, sebenarnya pola pengasuhan jadul itu hampir sama, sehingga meninggalkan jejak innerchild yang mengerikan.
Lingkunganlah yang membuat masing-masing bisa meredam kadar sisi buruk dari inner child tersebut.
Dan untuk saya, yup bener.
Kita sama madam huhuhu
Tulisannya keren jadi nambah wawasan dan pengetahuan tentang bagaimana dapat berdamai dengan masa lalu, seperti di tempat saya dulu ada training berdamai dengan hati yang dapat membuat wanita bisa lebih terbangkitkan lagi potensi dirinya karena tidak lagi dibayangi oleh masa lalu yang negatif.
Oh betapa ini bacaan yang berdaging di malam yang panjang ini. Hehehe…baru sempat baca artikel mbak Ajeng tentang Innerchild dan udah mulai paham. So lucky to have a very supporting husband, like…mine too. Walau bedanya kami berdua sama sama punya innerchild yang kayaknya belum katam (apalagi saya). Andaikata bisa ikutan innerchild healing macam itu pasti sangat membantu ya…pngin banget jadinya.
Wah, terima kasih banratas sharing nya, Mbak. Bermanfaat bangeeet bagiku.
Terimakasih mba membaca bagai mengaduk ngaduk perasaan tapi yang lambat laun menjadi semakin tenaang…
Apakah akan ada part II nya..
Ini sangat menarik.. Somehow saya merasa perlu melakukannya..
Mungkin ada infonya dmn kalau di Malang..
[…] dengan ingatan masa lalu dimana suami pernah mengabaikan dan menyakiti perasaanku. Kemudian tentang innerchild, tentang pengalaman melahirkan tanpa jahitan, tentang Aylan yang gendang telinganya hampir pecah di […]
[…] issue kepada manusia berjenis kelamin pria gara-gara beliau. Aku sempat juga merasa insecure dan innerchild cukup parah akibat kata-kata yang ia […]