
Perubahan iklim adalah suatu topik bahasan yang enggak begitu relate sama kehidupan ibu-ibu. Jauuhhh banget malah. Tapi lewat drakor Forecasting, Love, and Weather yang dibintangi Song Kang dan Park Min Young, aku sebagai ibu tiga anak yang udah sepuluh tahun enggak sekolah, jadi lebih mudah mengerti.
Siapa enggak kenal sama Song Kang? Seorang aktor muda berbakat dari Korea kesayangan Netflix (dan ciwi-ciwi sejagad tentunya). Dalam series terbaru, doski memerankan tokoh yang bekerja sebagai staf BMKG. Bersama Park Min Young dan rekan lain, dia bertugas untuk memperkirakan kondisi cuaca.
Emang ya, salah satu alasan kenapa orang enggak pernah bosan nonton drakor tuh ini, tema, latar belakang serta penokohan yang diangkat sangat variatif. Enggak melulu CEO atau orang kaya yang tabrakan terus eng ing eng saling jatuh cinta gitu aja, eh ups.

Anyway, kerjaan Song Kang di BMKG Korea gak main-main loh. Dia mesti pandai-pandai membaca data, melihat posisi awan, temperatur tanah, dan suhu untuk menentukan kondisi cuaca hingga beberapa jam kedepan. Hal yang sama berlaku untuk Park Min Young, mbak-mbak cakep itu memegang tanggung jawab untuk mengambil keputusan kondisi cuaca dan mengabarkannya ke semua warga melalui media.
Pada episode pertama, aku jadi ngeuh tentang betapa pentingnya tahu kondisi cuaca. Park Min Young sebagai contoh, mengabaikan informasi tentang kemungkinan muncul hujan es. Tindakannya membawa akibat sangat fatal, kaca pesawat pecah, tanaman-tanaman rusak, bahkan ada yang mengalami kecalakaan di jalan. Andai dia mau mendengar dan memastikan hal tersebut lalu langsung mengabari atasannya, kerusakan dapat dicegah.
Masih di episode yang sama, kedua tokoh utama berdedebat tentang kemungkinan hujan lebat di ibu kota. Song Kang yakin kalau penilaian perkiraannya betul, jadilah dia nekat meminta seorang teman di BMKG Pusat untuk mengeluarkan peringatan hujan lebat ke media. Padahal Park Min Young memutuskan untuk menunggu lebih dulu.
Gara-gara peringatan tersebut, masyarakat langsung bersiap. Polisi pesisir mengabari nelayan untuk mengikat kuat-kuat perahu mereka. Ada pula yang menumpuk pinggir sungai dengan karung berisi tanah sebagai pencegah luapan air. Petugas di tempat lain pun memeriksa gorong-gorong, memastikan tak ada sumbatan. Tak lama kemudian, hujan deras betul-betul turun. Namun karena sudah ada pemberitahuan dan tindakan mitigasi, bencana pun bisa dihindari.
Dalam perjalanannya selama enam belas episode, Song Kang tidak melulu sukses ketika memperkirakan cuaca. Salah satu penyebab cuaca makin tidak bisa ditebak meski data sudah di tangan adalah perubahan iklim. Dan itu yang menjadi topik utama tulisanku sekarang.
Apa Itu Perubahan Iklim

Aku mau mencoba menyampaikan apa yang dimaksud dengan perubahan iklim pakai bahasa paling mudah. Mohon dimaklumi ya, aku sudah cukup ruwet dengan hapalan bumbu serta resep makanan serta tips-tips mengasuh anak, jadi weh enggak sanggup mencerna istilah-istilah empiris. Bisa berasap nanti kepala ini, huhu.
Jadi, yang aku pahami perubahan iklim adalah suatu kondisi di mana ada terlalu banyak karbon dan unsur-unsur lain yang terbang ke angkasa. ‘Benda-benda’ tersebut menyebabkan panas matahari tak bisa terpantul keluar dan malah kembali ke bumi. Terjebak di dalam. Ujung-ujungnya, bumi jadi semakin panas dan pola iklim pun berubah di mana-mana.
Karena bumi makin panas, es yang ada di kutub mencair. Terus karena es mencair, permukaan air laut jadi naik. Inilah yang kemudian memicu munculnya bencana-bencana yang dulu cuma kita baca buku di cerita. Mulai dari kekeringan, banjir, kebakaran hutan sampai badai. Jenis bencana ini oleh para aktivis sering disebut sebagai bencana hidrometeorologi.
Indonesia sudah merasakan dampaknya, badai di Kupang Nusa Tenggara Timur, banjir di Kalimantan Selatan, kekeringan di Jawa Tengah, dan masih banyak lagi. Coba cek media atau twitter deh, bencana alam kayak semakin sering kejadian.
Kompas.com menulis kalau Badai Seroja di Kupang, NTT adalah yang pertama setelah puluhan tahun sebelumnya aman-aman saja. Fenomena ini dipicu oleh kenaikan suhu permukaan air laut sebanyak dua derajat. Bibit siklon Seroja muncul ketika suhu di Samudera Hindia mencapai lebih dari 26,5 hingga 29 derajat celcius atau melebihi rata-rata. Hal ini harusnya enggak terjadi di negara beriklim tropis seperti Indonesia.
Mungkin, kekhawatiran akan akibat perubahan iklim yang dirasakan ibu-ibu kayak aku hanya seputar jemuran yang enggak kering-kering karena hujan muncul tiba-tiba atau hawa yang makin panas. Tapi buat para petani, efeknya enggak main-main. Aku tahu tentang hal ini karena lingkungan di sekitar rumahku masih banyak persawahan, dan aku kenal langsung dengan para petani yang menggarapnya.

Kacaunya kondisi cuaca akibat perubahan iklim membuat mereka sulit menentukan kapan harus menanam padi. Salah perkiraan, bisa membuat padi harus puso bila kemarau berlangsung lebih panjang. Sebaliknya, padi juga bisa hancur disapu air bila hujan yang ditambah angin datang terus-menerus.
Gagal panen tidak hanya membuat petani rugi lahir batin. Lebih jauh lagi, bila tidak diatasi kondisi seperti ini jelas mengancam ketahanan pangan negara. Kalau sudah begini, tinggal siap-siap saja menghadapi bencana kelaparan yang bisa mengancam kelangsungan hidup manusia
Mengatasi Perubahan Iklim Dari Rumah

Aku merasa sesak dan kelu setiap membaca berita tentang bencana dan efeknya yang menjalar kemana-mana. Aku meyakini kalau kita tidak mampu untuk berkomitmen melawan perubahan iklim sejak sekarang, kita akan segera turut merasakan dampak buruknya juga.
Saat ini kita mungkin masih bisa tidur dengan nyaman ataupun makan dengan enak. Tapi coba bayangkan kondisi lima hingga sepuluh tahun ke depan? Jika suhu semakin tinggi dan permukaan air laut makin naik? Haduh, memikirkannya aja jadi gemeter sendiri, ihiks.
Aku enggak mau anak dan cucuku nanti mengalami kesulitan karena kondisi bumi makin parah. Maka dari itu, aku pun sudah mmemulai langkah untuk meminimalisir semakin parahnya perubahan iklim. Aku memang hanya seorang ibu-ibu, ruang gerakku jelas terbatas, dan aku enggak punya kekuasaan untuk membuat perubahan signifikan lewat sebuah aturan. Tapi bukan berarti aku enggak bisa berbuat apa-apa.
Aku percaya bahwa sesuatu yang besar dimulai dari hal-hal kecil. Cara terbaik mengatasi perubahan iklim pun aslinya sudah digaungkan sejak jaman dahulu kala. Ada penghijauan kembali, membuat ulang aturan penebangan pohon, atau mengetatkan aturan AMDAL untuk industri. Tiga contoh ini tentu saja enggak bisa aku lakukan karena aku bukan pemegang kebijakan.
Apa yang aku bisa lakukan adalah membangun habbit untuk patuh kepada 3R. Hayo, teman-teman tahu enggak apa itu 3R? Itu loh, 3 R adalah singkatan dari Reduce, Reuse, Recycle alias Kurangi, Gunakan Kembali, dan Olah. Sebuah lifestyle alias gaya hidup yang dibangun dari rumah dan dianggap mampu mengubah perubahan iklim.
Jujur nih, aku belum bisa melakukan ketiganya. Mentok-mentok sampai yang nomor dua aja yakni reuse. Untuk melakukan yang ketiga atau recycle, rasanya udah gak kober. Aku menyerahkan tugas ini ke pihak lain. Tapi itupun sudah mending, daripada enggak sama sekali bukan?
Nah, aku mau berbagi tentang beberapa aktivitas yang masuk dalam kategori reduce dan reuse. Simak bareng-bareng yuk, barangkali bisa jadi inspirasi :
Menerapkan gaya hidup minimalis
Buatku gaya hidup minimalis tuh bahasa kerennya sederhana. Agama yang aku anut sebetulnya udah mengatur hal ini, bahkan Rasulullah SAW pun hidupnya penuh dengan kesederhanaan. Tak pernah berlebih.
Susah-susah gampang sih menerapkan lifestyle sederhana, apalagi di jaman jigeum yang mempertontonkan flexing dan segala hal mubazir lainnya. Sederhana itu tentang mindset, rasa syukur, dan tanggung jawab.
Kita mampu membayar listrik rumah yang lampunya menyala siang malam, tapi buat apa coba? Aku bisa saja beli baju baru setiap minggu dan mengumpulkannya sampai selemari penuh, tapi toh kita hanya bisa memakai sekali satu baju bukan? Aku juga bisa memasak sampai sepuluh menu sekaligus untuk sekali makan lima orang, tapi entah kenapa setiap ada sisa rasanya sayang.
Jadi ya, aku berjuang banget untuk mematikan lampu-lampu ketika subuh tiba, tidak menyalakan AC kecuali memang sangat panas atau di malam hari, dan memastikan bahwa charger ponsel hanya menyala ketika dibutuhkan.
Sejak menonton Konmari, aku juga memastikan bahwa lemari bajuku dan anak-anak terisi oleh baju yang memang terpakai. Untungnya aku bukan termasuk tipe orang yang suka OOTD-an di sosmed, jadi enggak pernah merasa mesti update penampilan.
Hal yang sama aku terapkan di masalah makan. Kebetulan suamiku tipikal orang yang dimasakin apa saja mau, enggak ribet. Jadi, dia mengedukasi aku dan anak-anak untuk makan apa yang sudah disediakan dan berusaha untuk menghabiskannya. Sejak rajin membuat catatan pengeluaran, aku juga jadi rajin membuat daftar menu harian. Jadi ya, bahan-bahan yang ada di kulkas aku usahakan untuk habis terpakai sebelum belanja lagi.
Ketika menerapkan hal ini di rumah, aku jadi tahu gimana cara menerapkan prioritas. Mana yang harus dibeli, mana yang bisa ditunda, mana yang enggak kita butuhkan. Trust me, gaya hidup sederhana bakal bikin kita mudah merasa bahagia.
Menggunakan Menscup

Tahun ini adalah tahun ketiga aku menggunakan menscup alih-alih pembalut ketika masa haid tiba. Banyak hal positif yang aku rasakan seperti tidak menghasilkan sampah pembalut bekas darah sama sekali, uang untuk beli pembalut bisa dipakai untuk beli coklat, dan merasa nyaman saat haid.
Sebelum kenal menscup, aku selalu ketakutan jika period datang. Hari pertama dan kedua adalah yang paling parah, pasti banjir gak keruan. Aku bisa ganti pembalut hingga lima kali dalam sehari. Terus supaya enggak bocor, sekali ganti aku pakai dua lapis pembalut, minimal. Belum lagi rasa tidak nyaman karena lecet dan gatal.
Harga menscup yang impor memang agak mahal, tapi pemakaiannya bisa sampai sepuluh tahun. Kalau dihitung-hitung sih jatuhnya sangat hemat dibanding pembalut. Selain itu, menscup juga mengurangi keribetan ketika mencuci bekas darah.
Kesimpulan yang bisa diambil, cobain deh pakai menscup. Efektif banget mengurangi sampah pembalut bekas pakai, mengurangi rasa tidak nyaman akibat haid, dan menghemat waktu membersihkan bekas darah.
Membawa Kantong Belanja Sendiri

Enggak cuma kantong, aku bahkan membawa wadah semacam tupperware ketika belanja mingguan. Wadah-wadah tersebut udah aku set khusus daging, sayur, tahu, tempe, dan juga telur. Selain mengurangi penggunaan kantong plastik, aku juga ngerasa bahwa membawa wadah menghemat waktu. Sampai rumah tinggal masukin ke dalam kulkas, enggak perlu ditata lagi.
Membuat Lubang Biopori Untuk Sampah Organik

Semua aktivitas manusia hampir pasti menyisakan sampah. Begitu juga dengan memasak dan makan. Sampah-sampah yang muncul adalah sampah organik, bisa membusuk. Nah, aku udah lama banget belajar untuk memisahkan jenis sampah sisa makanan dan sampah plastik atau daur ulang.
Setelah pindah ke rumah sendiri, aku dan suami sepakat untuk membuat lubang biopori. Kami menghabiskan satu hari full melubangi tanah dan mengisinya dengan pipa yang sudah dibolong-bolong. Sejak memiliki lubang biopori sebanyak 7 buah dengan kedalaman masing-masing hanpir 1 meter, aku udah enggak pernah bingung lagi membuang sampah organik.
Saat cuci piring dan bebersih, aku tinggal memisahkan lalu memasukannya ke dalam lubang biopori. Nantinya, sampah-sampah ini akan terurai. Selain menampung sampah sisa, lubang biopori juga bermanfaat untuk mencegah genangan serta menampung air. Coba deh bikin sendiri, insya Allah biayanya masih sangat terjangkau.
Menyetor Sampah Masker Ke Tempat Khusus

Problem perubahan iklim, bencana, dan tata kelola sampah belum juga selesai, pandemi tiba-tiba datang. Kehidupan manusia di seluruh belahan dunia kembali berubah. Untuk mencegah penularan virus, orang-orang wajib mengenakan masker. Hal ini membawa masalah baru : jumlah sampah masker semakin meningkat.
Pada awal-awal pandemi, aku merasa sangat bingung dengan tempat pembuangan sampah masker ini. Aku tidak tahu kemana harus membuangnya karena bank sampah pun tidak menerima sampah jenis ini. Mau buang ke bak sampah kok rasanya gak tega karena masker-masker bekas tersebut hanya akan pindah tempat saja, bukan hilang.
Aku pun memilih untuk mencuci dan mengumpulkannya sampai nanti menemukan ada info tentang pihak yang menerima sampah masker. Alhamdulillah penantianku terjawab, ada sebuah produsen masker yang berlokasi di daerah Depok, Jawa Barat yang menerima sampah masker meski bukan produknya.
Aku senang sekali, terlebih syarat yang mesti dipenuhi jika mau menyetor sampah masker sangat mudah. Aku harus mengisi form online yang telah disediakan, lalu memisahkan bagian kawat yang ada di dalam masker. Selain itu, tentu saja kita harus mencuci atau menyemprotnya dengan desinkfektan terlebih dahulu.
Sebagai ganti karena telah bersedia membuang sampah masker ke mereka, perusahaan tersebut juga memberikan diskon khusus jika kita berniat membeli masker-masker buatan mereka. Sungguh sebuah solusi yang win-win solution.
Menginisiasi Gerakan Sedekah Sampah Di Lingkungan Tempat Tinggal

Usaha #UntukmuBumiku terbaik yang pernah aku lakukan adalah ketika mampu mengajak tetangga kanan-kiri di lingkungan tempat tinggalku untuk berpartisipasi dalam gerakan sedekah sampah setiap hari sabtu, seminggu sekali.
Gerakan ini bermula ketika aku berhenti melakukan setor sampah ke bank sampah dan lebih memilih untuk menyetorkannya ke tetangga depan cluster yang memang berprofesi sebagai pemulung. Tetangga ini namanya Pak Udin, beliau biasa mengambil sampah-sampah yang masih memiliki nilai yang ditinggal begitu saja di pinggir jalan.
Menyetorkan sampah di bank sampah memang bisa menghasilkan uang. Aku pernah merasakan ketika sampah-sampah yang aku setorkan ditimbang, dinilai, dan dikonversikan dengan rupiah. Tabunganku saat rutin menyetor sampah dua minggu sekali bahkan pernah mencapai 50 ribu rupiah.
Sayang, jadwal penyetoran sampah sering di-cancel ataupun ditunda bila pengurusnya sibuk. Sampah yang aku kumpulkan jadi tidak bisa disetor, padahal sudah menumpuk. Untung saja aku ketemu Pak Udin, jadi usahaku memilah sampah tidak sia-sia.
Gerakan sedekah sampah membawa banyak manfaat. Pertama, tetangga kanan-kiri semakin teredukasi dan berkenan ikut memilah sampah. Kedua, hubungan antara penghuni cluster dan warga sekitar jadi lebih baik karena kami menghargai Pak Udin. Ketiga, Pak Udin bisa datang dan mengambil sampah secara terhormat, tanpa perlu mengorek-orek bak sampah. Keempat, secara tidak langsung Pak Udin mendapatkan manfaat ekonomi lebih besar karena sampah terpilah yang ada di Cluster dalam seminggu cukup banyak dan bernilai.
Gerakan sedekah sampah yang aku mulai, entah kenapa ternyata didengar oleh pegiat lingkungan di daerah lain. Bulan Maret lalu tiba-tiba saja aku mendapatkan undangan untuk menghadiri webinar yang diselenggarakan oleh sebuah perusahaan dan juga Bupati Tangerang.

Pada momen tersebut, gerakan sedekah sampah-ku mendapat piagam penghargaan. Meski aku merasa agak kurang sreg karena oleh pihak penyelenggara gerakan tersebut ditulis sebagai Bank Sampah, aku tetap senang karena diapresiasi.
Perubahan Iklim Harus Dilawan Dengan Keterlibatan Semua Pihak
Aku berharap, gerakan sporadis yang digawangi oleh para aktivis lingkungan, pegiat zero waste, relawan bank sampah, pengusaha minim sampah, pengusaha bulk store, dan juga pihak-pihak lain bisa mendorong pemerintah untuk lebih serius menangani isu perubahan iklim.
Selama ini, seperti masalah sampah pun hanya diselesaikan di bagian hilir saja. Padahal, masalah akan lebih cepat teratasi jika bagian hulu-nya juga diatur. Hal ini tentu membutuhkan intervensi pemerintah lewat rancangan peraturan yang ketat terkait AMDAL. Masalah sanksi pun perlu diatur agar masyarakat bersedia untuk patuh.
Yuk bisa yuk, bersama #TeamUpForImpact kita cegah munculnya bencana dan kerusakan lingkungan mulai dari diri sendiri, mulai dari rumah.