Selama ini, sampah enggak pernah menjadi topik yang seksi dan asyik untuk dibicarakan karena identik dengan bau dan rasa jijik. Tapi lantaran sering baca komik dan nonton dorama Jepang, aku justru tertarik sama hal tersebut. Jalanan di negeri Sakura tuh bersih . Wajar, tata kelola sampah di sana memang terkenal bagus. Aku sering kepikiran, bisa enggak sih sistem yang mereka berlakukan dipakai sama kita?
Sejak kecil, Bu Guru dan Pak Guru selalu memberi nasihat ke aku dan murid-murid lain untuk membuang sampah pada tempatnya. Bahkan dinding-dinding sekolah pun digambari tulisan ‘Buanglah Sampah Pada Tempatnya.’ Cuma ya selesai sampai disitu aja. Penampakan sekolah tetap terlihat kotor gara-gara tidak semua warganya mau buang sampah ke tempat yang sudah disediakan.
Padahal, apa sih susahnya berjalan sekian langkah sambil membawa sampah dan membuangnya ke bak sampah? Heran akutu.
Semakin dewasa, aku jadi semakin sadar kalau aku bisa ikut berperan menanggulangi masalah sampah. Enggak ndakik-ndakik, cukup dimulai dari yang simpel seperti memisahkan sampah organik dan anorganik, menyetor sampah anorganik ke Bank Sampah, membuat lubang biopori, atau memakai menscup alih-alih pembalut wanita.
Setahun terakhir, aku juga mulai mengajak tetangga di lingkungan tempat tinggalku untuk membuat gerakan sedekah sampah. Kebetulan di depan cluster, ada seorang warga yang berprofesi sebagai pemulung. Beliau biasa mencari sampah-sampah anorganik yang masih memiliki nilai. Kami pun akhirnya bekerja sama. Setiap sabtu beliau akan datang untuk mengambil sampah terpilah yang sudah kami kumpulkan dalam seminggu.
Tidak semua warga berkenan untuk ikutan. Tapi aku rasa ini cukup lumayan. Aku rasa asal konsisten, nantinya warga lain akan tersentil dan akhirnya turut bergabung.
Kota Bandung Bergerak Untuk Sampah
Anyway, tahukah teman-teman kalau Kota Bandung ternyata punya tata kelola sampah yang cukup bagus dibanding kota-kota lainnya?
Aku cukup kaget saat tahu kalau pada tahun 2015, Pemerintah Kota Bandung mulai menginisiasi program KBS (Kawasan Bebas Sampah). Sebuah program yang diterapkan pada skala kelurahan, kecamatan, hingga kota.
Program itu berlanjut di tahun 2018, muncul dengan nama baru bernama Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan dan Manfaatkan). Program ini masuk ke dalam program 100 hari pertama walikota yang baru.
Seperti yang kita ketahui, pengelolaan sampah dari dulu cuma kumpul-buang-angkut. Sampah dikumpulkan di tempat sampah, diangkut oleh petugas, diangkut untuk ditumpuk ke TPS atau TPA kemudian di sana baru dipilah-pilah. Begitu setiap hari hingga tumpukannya terus bertambah dan membumbung tinggi. Sampai akhirnya TPA-TPA itu tidak kuat lagi menerima kiriman sampah.
Agar timbunan sampah yang harus disetor ke TPA berkurang, proses pemilahan sampah pun dilakukan sejak dari rumah. Nah, di sinilah YPBB dan pemerintah yakni Dinas Lingkungan Hidup berperan melakukan edukasi serta pendampingan. Maklum, mengubah kebiasaan yang sudah mengakar kuat itu cukup sulit.
Empat tahun telah berlalu sejak program tersebut ada, DLH (Dinas Lingkungan Hidup) Pemerintah Kota Bandung bersama YPBB (Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan) mencoba untuk melakukan evaluasi yang bisa diakses secara publik melalui acara “Konferensi Pers: Menjajaki Transisi (Perjalanan Kota Bandung Menuju Zero Waste Cities)”. Acara ini diadakan secara online pada Selasa, 29 Maret 2022 kemarin.
Ada tiga narasumber yang dihadirkan yakni :
- Deti Yulianti, S.T., M.T dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung
- Ir. Ria Ismaria, M.T dari Forum Bandung Juara Bebas Sampah
- Ratna Ayu Wulandari, S.Hut dari Zero Waste Cities YPBB Kota Bandung
Acara dipandu dan dimoderatori oleh Hanifa Paramitha Siswanti, S.Ikom yang merupakan Presenter TVRI Jawa Barat. Sebelum dimulai, teman-teman yang hadir dalam konfrensi pers tersebut disuguhi sebuah video yang menayangkan bagaimana YPBB melakukan edukasi pengelolaan sampah ke rumah-rumah warga.
YPBB memang mencoba untuk mengembangkan program Zero Waste Cities yang diadopsi dari Mother Earth Foundation (MEF) di Filipina. Prinsip Zero Waste Cities sendiri menekankan pada penanganan dan pencegahan sampah yang dilakukan secara menyeluruh, dari hulu sampai hilir. Dalam pelaksanaannya, pemilahan sejak dari rumah menjadi prinsip utama yang ditekankan di setiap kawasan.
Ibu Ria dari Forum BJBS menyampaikan latar belakang hadirnya Kawasan Bebas Sampah. Mulai dari Rencana Induk Pengelolaan Sampah di tahun 2016, kemudian berlanjut menjadi Kebijakan dan Strategi Daerah (Jakstrada) yang tertuang di Perda Kota Bandung No. 9. Peraturan ini menjadi payung hukum yang mendukung tata kelola sampah menjadi lebih baik.
Tidak berhenti sampai disitu karena pada tahun 2020-2021 YPBB berhasil melakukan penguatan sistem, meluaskan wilayah KBS (Kawasan Bebas Sampah), dan menata kelembagaan serta pembiayaan Pemilahan Sampah.
Apakah hal ini mudah untuk dilakukan? Jawabannya tentu saja sulit. Memilah sampah itu tidak mudah. Lha wong dari video di atas aja kita bisa melihat kalau warga butuh waktu untuk memahami bagaimana cara memisahkan sampah organik dan anorganik dengan benar. Harus merasakan trial dan error terlebih dahulu.
Inilah sebabnya Kketika memasuki akhir pemaparan materi, Ibu Ria memberi kesimpulan bahwa peranan pemerintah terhadap persoalan penegakan aturan amat sangat penting dalam usaha kota Bandung menuju ZWC (Zero Waste Cities).
“Saat menjadi aturan maka warga bisa ikut terdorong agar terjadi perubahan lebih cepat. Pemerintah dengan beragam cara, sumber pembiayaan, agar bersiap untuk segala perangkat aturan agar kelembagaan efektif dan efisien,” tutur beliau.
Dukungan Terhadap Sektor Pengelolaan Sampah
Puas mendengarkan pemaparan Ibu Ria, selanjutnya ada Ibu Ratna yang bersemangat menyampaikan apa-apa saja yang sudah dikerjakan oleh YPBB dalam rangka mewujudkan Bandung menjadi ZWC.
Kerja nyata dilakukan oleh YPBB yang merupakan organisasi non-profit dan non-pemerintah terkait pengelolaan sampah ternyata sangat banyak. Mulai dari mendukung inisiasi DLH Kota Bandung untuk membentuk KBS, melakukan pendampingan ke wilayah-wilayah, melakukan edukasi, merekayasa sistem, hingga menyebarkan semangat masyarakat agar lebih peduli terhadap sampah.
Dua kelurahan yang dipilih sebagai pilot project program KBS adalah Sukaluyu dan Babakan Sari. Lalu pada tahun 2020, ada Kelurahan Cihaurgeulis dan Kelurahan Sukamiskin yang menjadi model RTPS (Rencana Teknis Pengelolaan Sampah).
Kemudian di tahun 2021 yang lalu, ada integrasi antara program KBS dengan TPS. Bahkan, agar benar-benar bermanfaat, pengolahan sampah diusahakan agar dekat dengan sumbernya. Hal ini menarik minat para penawar jasa yang membutuhkan sampah seperti pegiat maggot hingga pengusaha peternakan.
Tantangan Yang Dihadapi
Jalan YPBB, BJBS, dan DLH Kota Bandung dalam mengatur ulang tata kelola sampah jelas tidak semulus dan senikmat paha ayam goreng. Ada banyak masalah bermunculan dari sejak hulu sampai ke hilir. Aku coba rangkum supaya teman-teman lebih mudah memahaminya :
Sangat Bergantung Pada Tokoh, Bukan Sistem
YPBB menemukan, bahwa dalam proses melaksanakan program KBS , dua kelurahan yang menjadi percontohan sangat tergantung dengan tokoh penggerak yang berada di RW setempat. Bahkan studi kasus di RW 2 Babakan Sari, warga hanya menyetor sampah organik untuk memenuhi syarat ZWC.
Pemilahan Sampah Dari Sumber Masih Naik-Turun
Seperti yang sudah disebut sebelumnya, kebanyakan warga hanya menyetor sampah organik. Sedangkan penyerahan untuk sampah anorganik masih tercampur. Petugas pengumpul sampah yang akhirnya harus melakukan pemilahan.
Hal ini tentu saja berbeda dengan tujuan awal yang mana pemilahan dimulai dari rumah tangga. Petugas sampah hanya menerima. Hal ini cukup pelik mengingat para petugas juga tidak terikat secara kewilayahan dengan warga dan mau berkoordinasi dengan pemerintah setempat pun tidak bisa.
Ketergantungan Pada Insentif
Tidak bisa dipungkiri, kerja-kerja terkait pengelolaan sampah akan lebih mudah bila ada pembiayaan yang sesuai. Sayang, tata kelola sampah terpilah belum mendapatkan porsi anggaran secara resmi dari pemerintah kota.
Pemindahan TPA ke Legok Nangka
Tahun 2024 nanti TPA Kota Bandung akan pindah ke TPA Legok Nangka dari sebelumnya di TPA Sarimukti. Ibu Deti mengatakan bahwa Legok Nangka hanya sanggup menerima timbulan sampah sebesar 800-1025 ton sehari, maksimal. Padahal produksi sampah yang ada saat ini setiap hari mencapai 1750 ton.
Program KBS sudah bisa mengurangi timbulan hingga 150 ton sampah namun tetap masih belum cukup. Pada tahun tersebut, DLH wajib mengurangi timbulan sampah minimal 700 ton sehari agar tidak terjadi penumpukan atau tragedi seperti di Leuwigajah tahun 2005 lalu.
Ada Sampah Yang Belum Masuk Sistem Layanan Sampah Kota
Nah ini nih, meski sudah dikoordinir, ada saja warga yang tidak suka menyetor sampah ke tempat-tempat yang tersedia. Mereka lebih memilih untuk asal buang ke lahan kosong atau membakarnya.
Meski tidak tinggal di kota Bandung, aku tahu banget tantangan ini. Kampung tempat aku tinggal, warganya tidak mau menyetor sampah ke petugas sampah karena harus bayar iuran tiap bulan. Akhirnya, sampah-sampah yang mereka hasilkan dibuang begitu saja ke lahan kosong atau sesekali dibakar.
Aku pribadi kesel sama yang beginian, toh iuran sampah perbulan pun hitungannya sangat murah dan terjangkau. Hasil akhirnya bisa ditebak, lingkungan jadi terlihat kumuh, dan asap pembakaran jadi sangat mengganggu.
Biaya Pengelolaan Sampah dari Hulu ke Hilir Cukup Besar
Ternyata gaes, untuk mengelola satu ton sampah saja harus mengeluarkan biaya diatas seratus ribu rupiah. Ini berarti kalau yang dikelola setiap hari seribu ton, biaya yang dibutuhkan hampir seratus jutaan. Itu kebutuhan sehari loh.
Mari kita ambil kalkulator, seratus juta sehari sebulan tiga milyar, setahun 36 milyar. Itu kalau jumlah sampahnya genap seribu ton sehari. Jika lebih berarti biaya yang dibutuhkan nambah lagi. Itu semua duit ya, bukan daun yang jatuh dari langit.
Masalah biaya ini memang tantangan juga bagi DLH Kota Bandung sehingga mau tidak mau mereka mencoba untuk menyeimbangkan diri, antara mendorong program KBS dan menyiapkan infrastuktur untuk menerima sampah terpilah.
Kesimpulan Akhir
Menyimak pemaparan tiga wanita hebat (iya, pembicaranya perempuan semua bok!), terkait tata kelola sampah di Kota Bandung, aku kok rasanya pengen tepuk tangan dan kasih standing ovation sebagai bentuk apresiasi. Keren banget, meski memang ada PR disana-disini yang kudu diperbaiki.
Salut untuk YPBB yang sebelumnya melakukan pengelolaan sampah yang sifatnya sporadis, bergantung pada keterlibatan masyarakat, lalu melakukan advokasi dan sukses mempengaruhi pemerintah. Sekarang pemerintah Kota Bandung jadi punya rencana jangka panjang terkait pengelolaan sampah.
Ada tugas besar yakni mengurangi timbulan sampah hingga 500 ton sehari, tapi aku yakin hal ini bisa terwujud. Selama YPBB, DLH Kota Bandung, dan BJBS terus bekerja sama menciptakan sistem yang cocok bagi kota mereka. Tidak boleh berhenti hanya di edukasi dari rumah ke rumah, pelatihan petugas pengumpul sampah, pembangunan infrastruktur pengolahan sampah, dan menciptakan regulasi yang ketat (seperti Singapuran)
Saat ini, salah satu program lain yang sudah terlaksana di Kota Bandung adalah membuat jadwal pengangkutan sampah terpilah dari sumber. Ini mirip dengan apa yang ada di Jepang loh. Coba deh baca komik Sentaro, tokohnya pernah kebingungan karena telat menyetor sampah di hari yang sudah ditentukan.
Jadwal penyetoran sampahnya sendiri antara lain :
- organik : Senin, Rabu, Kamis, Sabtu, minggu (lima hari seminggu)
- anorganik : Selasa dan Jumat (dua hari seminggu)
Menurut aku pengaturan seperti di atas asyik banget sih, bikin sampah-sampah yang ada di rumah juga tidak menumpuk.
Tata kelola ini diharapkan mampu membuat timbulan sampah yang harus disetor ke TPA berkurang secara signifikan. Haduh, betapa aku berharap kota tempat aku tinggal juga bisa seperti ini. Iri banget, karena cita-cita Kota Bandung untuk menjadi Zero Waste Cities, aku yakin bakal tercapai.