Pagi ini saya terbangun dan entah kenapa merasa rindu sama Papa. Segera deh saya sholat subuh dan berdoa. Lanjut banyak-banyak baca Al-Fatihah buat beliau yang saat ini berada di alam barzah. Semoga Allah mengampuni segala dosa serta melapangkan kuburnya.
Papa adalah salah satu korban keganasan Covid-19 varian delta. Beliau wafat tanggal 11 Agustus 2021 lalu. Ya Allah, jujur hingga detik ini saya tidak pernah berpikir atau membayangkan akan kehilangan anggota keluarga gara-gara Covid.
Mama menerapkan prokes yang sangat ketat . Sejak pandemi, Mama gak pernah ikut kumpul-kumpul di lingkungannya. Macam-macam acara seperti arisan, ngaji, dan agenda lain beliau tolak. Belanja pun lebih sering meminta saya atau saudara yang lain secara online. Meski tak dipungkiri, sesekali mereka berdua keluar mencari sarapan di pagi hari ketika suasana masih sepi.
Makannya, ketika hari Sabtu 25 Juli 2021 Mama mengeluh batuk dan pilek, saya masih santai. Pikiran saya bilang palingan Mama cuma flu biasa karena kecapekan . Kecil kemungkinan terkena Covid toh seperti yang saya bilang tadi : prokes Mama ketat.
Tapi demi mendengar keluhan beliau yang merasa badan enggak nyaman hati enggak tenang, saya pun memesan layanan swab tes untuk di rumah Jogja. Iya, separuh momen perawatan Mama dan Papa, saya dan saudara-saudara lakukan dari jauh. Waktu itu, saya menggunakan jasa dari Medi-Call kota Jogja.https://medi-call.id/
Layanan mereka bagus sih, pesannya juga gampang. Adminnya mudah dihubungi. Kelar membayar dan membuat janji, saya mengabari Mama kalau hari Senin pagi tanggal 26 Juli 2021, Mama beserta Papa akan di swab.
Mama Positif Covid
Hari Senin, saya beraktivitas seperti biasa. Menemani anak-anak sekolah karena Yusuf jadwal bekerja dari kantor. Sekitar jam 11 siang Papa mengabari :
“Papa negatif, mamamu positif.”
Mata saya langsung membulat kaget. Hah?
Mama positif?
Kok bisa Mama yang positif tapi Papa malah negatif? Bukannya yang lebih patuh prokesnya adalah Mama dibanding Papa? Piyitikih?
Saya lantas mengontak saudara yang lain. Fix, kami semua kaget. Cuman ya memang enggak lama-lama shocknya. Sekedar bingung dan mencoba menerima kalau akhirnya virus ini beneran datang ke lingkaran keluarga terdekat. Selain itu, kami juga optimis kalau Mama akan sembuh karena sudah ikhtiar mendapatkan dosis 1 vaksin Astra Zeneca.
Saya telepon Mama, penasaran dengan reaksi beliau atas kabar ini. Alhamdulillah, Mama menyikapinya dengan sangat tenang. Beliau lega karena kondisinya kini sudah pasti. Protes justru dilayangkan ke Papa. Menurut Mama, Papa tidak fair saat tes antigen tadi.
“Papamu itu sebelum tes nyuci hidungnya pakai betadine, makannya bisa negatif.” tuturnya sebal.
Saya tertawa mendengar kedongkolan Mama. Setahu saya, meski udah cuci hidung, kalau memang terpapar hasilnya pasti tetap positif deh. Kecuali alat tesnya sendiri bermasalah. Iya kan? Cuci hidung pakai Betadine gak otomatis bikin virusnya langsung hilang.
Saya sampaikan tentang hal ini ke Mama pelan-pelan. Namun tetap saja, bagi Mama, Papa tidak jujur. “Lah kan kita tinggal serumah, ngapa-ngapain juga berdua, kalau Mama memang positif, harusnya Papa juga.” sahut beliau keukeuh.
Saya tenangkan Mama. Saya bilang setidaknya kalau Papa memang sehat, hal tersebut justru sebuah keuntungan tersendiri. Papa jadi bisa merawat Mama yang sakit. Semisal dua-duanya positif dan sakit pastinya lebih repot, apalagi mereka berdua juga sudah berumur.
Nah, selesai berdamai dengan situasi, Mama akhirnya mengungsi ke kamar atas (rumah saya memiliki bagian yang bertingkat). Di sana fasilitasnya lengkap, ada kasur nyaman dan kamar mandi. Sedangkan Papa memilih di lantai bawah yang merupakan rumah utama.
Saya dan saudara-saudara yang lain pun segera koordinasi, kami mengatur gimana caranya memenuhi kebutuhan Mama dan Papa meski dari jauh. Alhamdulillah, kakak ipar saya, dr Indah Paranita adalah seorang dokter spesialis jantung. Beliau biasa menangani pasien covid juga sehingga kami bisa konsultasi personal. Gak perlu lewat aplikasi kesehatan macam Halodoc atau Alodokter.
Selanjutnya Mama melaporkan kondisi di rumah ke RT dan RW. Dari sana, keduanya mendapatkan fasilitas makanan selama isoman. Alhamdulillah support lain juga berdatangan. Banyak sekali doa yang isinya mendoakan agar Mama tetap semangat dan segera sembuh juga kiriman makanan serta suplemen kesehatan lainnya.
Saya melakukan telepon dengan mbak Indah, bertanya kira-kira obat apa saja yang mesti dikonsumsi oleh Mama. Mbak Indah menjawab kalau di rumah sakit, dengan kondisi gejala ringan biasanya pasien mendapatkan antivirus. Tak lama beliau mengirim kopi resep via WA.
“Ajeng, bagusnya Mama tetap dikasih antivirus, tapi harganya sekitar 1,3 juta. Gimana? Obatnya juga gak selalu ada. Ajeng boleh coba cari ke apotek-apotek yang ada di Jogja.” terang beliau.
Saya menelan ludah, shock dengan harga obatnya. Ajegils, 1,3 juta brooo! Menangisss, huhuhuhu. Meski demikian, tetap saja saya mengangguk oke. Masalah harga insya Allah enggak masalah selama obatnya ada. Toh si Anelies (adik) atau Alvin (kakak) saya bersedia mbayarin.
Siang tersebut akhirnya saya habiskan untuk menelepon apotek-apotek yang berlokasi di Jogja. Mulai dari Kimia Farma, K-24 jam, Apotek Merapi, Apotek Farmarin. Jawaban paling memberi harapan datang dari apotek Farmarin. Melalui telepon apotekernya memberi tahu kalau obat yang saya cari sedang habis, tapi…..tapi kemungkinan akan restock sore hari. Beliau meminta saya untuk menyimpan nomer WA beliau dan menghubungi sekitar jam 4 sore.
Selesai sholat dzuhur, saya mengontak apoteker tersebut, namanya Pak Munawar. Melalui WA, saya memperkenalkan diri dan mengingatkan agar langsung menyisihkan obat yang saya butuhkan jika obat sudah datang.
Saya WA beliau sekitar jam satu siang, ealah setengah 2 dikabari kalau obat sudah datang. Ya Allah! *jingkrak-jingkrak* Langsung deh pembayaran saya lunasi. Tak lupa ojek online saya pesan untuk mengantar ke rumah. Fyi, memesankan ojol dari jauh ternyata butuh waktu lumayan lama yo, huhu.
Saya baru bisa merasa benar-benar tenang ketika obat tersebut sudah sampai rumah dengan selamat. Anyway, harga obatnya di Apotek Farmarin sekitar 1,1 juta, lebih murah dibanding yang diberi tahu Mbak Indah. Dosis pemakaiannya hari pertama pagi 8 butir, hari pertama sore 8 butir, setelahnya pagi 3 butir, sore 3 butir sampai habis.
Untuk teman-teman di Yogyakarta yang membutuhkan kontak WA Pak Munawar dari Apotek Farmarin bisa menghubungi saya ya. Apotik tersebut insya Allah lengkap. Selain obat antivirus, saya juga membeli berbagai vitamin untuk kedua orang tua di situ, sekalian, hehehe.
Drama Merawat Orangtua Isoman Dari Jauh
Hasil positif Mama tak urung membuat mental Papa jatuh juga. Melalui telepon video, Papa terlihat sangat cemas. Papa bingung. Maklum, selama ini Mama-lah yang mengurus semua kebutuhan Papa sehingga ketika Mama sakit, Papa enggak tahu harus ngapain. Apalagi sakitnya kali ini karena Covid-19.
Akhirnya, terjadilah drama kumbara yang sering muncul di sinetron-sinetron itu. Mama kelaparan, tapi Papa belum sempat ngirim makanan ke lantai atas. Menurut Papa, beliau merasa capek kalau harus berkali-kali naik turun tangga.
Yawis, demi mendengar alasan tersebut Mama pun mengalah, Mama mau turun dan ambil makanan. Ndilalah saat turun Mama menemukan makanan enggak disajikan dengan proper. Mama tentu saja jengkel. Udahlah beliau ini sakit, mesti naik turun, kok ya ternyata makanannya enggak disimpan dengan baik. Sakitnya mendadak hilang diganti marah-marah dan curhat ke anaknya.
Mama cerita betapa gemesnya dia ketika Papa kok enggak bisa merawat orang sakit dengan sepantasnya. Sedangkan Papa cerita betapa keselnya dia dimarah-marahin Mama terus. Wkwkwkwk, astaga, dua orang kesayangan saya itu sungguh lucu. Saling kesel tapi ya sebenernya saling butuh.
Pada saat merawat Mama, Papa baru tahu kalau memasak nasi adalah pekerjaan yang sangat merepotkan. Mesti ngilangin nasi kering yang nempel dulu terus direndam dan cuci wadahnya sampai bersih. Ndilalah, saat memasak Papa lupa untuk cetrekin tombolnya ke bawah. Jadilah itu nasi gak mateng-mateng dan mama yang kelaparan jadi makin santer ngomel-ngomelnya.
Jiaaahh, beneran tepok jidat mendengar kelakuan mereka berdua. Hahaha.
Sebagai anak, saya memposisikan diri menjadi pendengar yang baik untuk keduanya. Cuman tiap kali selesai teleponan dengan salah satu dari mereka, saya gak bisa nahan diri untuk ngikik. Begitulah gaes, menikah puluhan tahun lamanya gak menjamin bisa beringsut dari masalah ginian, wkwkwk.
Bersyukur sekali pandemi ini terjadi di jaman modern. Ketika WA, Video Call, Gojek dan Grab sudah diciptakan. Setidaknya meski terbentang jarak hampir 400km, saya tetap bisa memantau dan menjaga orangtua yang sakit dan wajib isoman dengan mudah dan realtime.
Akhirnya, Papa Positif…
Pada sore hari di hari pertama Mama dinyatakan positif, Papa menelepon saya. Beliau gelisah, cemas, dan bingung. “Papa harus gimana? Apa yang harus papa lakukan?”
Saya tentu saja menjelaskan pelan-pelan agar papa tidak panik. Pokoknya selama beliau patuh memakai masker, cuci tangan, dan menyemprot desinkfektan di bekas ruangan yang didatangi Mama, insya Allah semua aman.
“Kalau misalnya nanti Papa positif juga gimana? Kalau Papa sakit juga gimana?” tanyanya khawatir.
“Papa tenang dulu. Kalau memang begitu, nanti aku pulang. Aku akan pulang ke Jogja.” jawab saya segera. Sungguhan loh ini, bukan sekedar manis di bibir memutar kata tok. Denger Mama positif aja rasanya pengen langsung terbang ke Jogja kok.
Esok harinya, kasus serupa hampir terjadi. Mama cerita kalau dirinya baru bisa sarapan pagi sekitar jam 10. Itupun nasinya dibeliin kakak saya yang memang tinggal di Jogja, bukan buatan Papa. Jangan ditanya kekinya Mama kayak apa, rame banget pokoknya pas itu.
Saya penasaran, apa sih yang sebenarnya terjadi dengan kedua orang tua saya itu? Habis, dari beberapa kasus yang pernah saya dengar, kalau seorang istri atau suami sakit, pasangannya akan berjuang banget untuk merawat. Lha ini mereka berdua, kondisi fisik sedang sakit, tensi situasi justru meningkat.
“Papa mau aku pesenenin hotel aja po? Pisah tempat tinggal dulu sama Mama, biar Papa menenangkan diri sementara. Kalau Papa di hotel, Mama insya Allah bisa merawat diri sendiri dan jadi lebih leluasa juga di rumah.” tanya saya melihat Papa yang kelihatan stress berat.
Emosi Mama memang sudah mencapai puncak. Dia jengah dengan keadaan rumah yang berantakan plus Papa yang terlihat sangat parno. Keduanya sering terlibat konflik kecil yang menurut saya sebetulnya enggak perlu. Agar suasana tidak memanas, saya berinisiatif untuk memisahkan keduanya dulu. Papa di hotel menenangkan diri, dan Mama di rumah memulihkan diri.
Awalnya, Papa bersedia dengan ide tinggal terpisah sementara ini. Saya sedang meminta adik saya mencarikan hotel ketika Papa tiba-tiba meralat keputusannya.
“Kalau nanti Mamamu tiba-tiba sesak dan Papa di hotel, siapa yang akan nolongin?” tanyanya, “Udahlah Papa di rumah aja ngerawat Mama, supaya Mama gak sendirian.” putusnya kemudian.
“Yaaaa alhamdulillah kalau emang gitu. Papa sabar ya ngadepin Mama, namanya juga lagi sakit.” sahut saya menjawab keputusan Papa.
Saya merasa lega. Setidaknya, kali ini keputusan untuk merawat Mama datang dari diri Papa sendiri, bukan karena terpaksa. Papa memilih untuk membersamai Mama yang artinya Papa sudah siap dengan segala konsekuensinya.
Sehari dua hari, tidak ada lagi keluhan-keluhan tentang makanan atau yang lain. Papa mengabari kalau dirinya mulai batuk-batuk dan demam. Pada hari kelima Papa memang harus diswab ulang untuk memastikan kondisinya karena kontak erat. Tapi karena sudah bergejala, akhirnya saya menjadwalkan Papa untuk swab di hari ke-4 pasca Mama dinyatakan positif.
Swab dilakukan pada siang hari. Hasilnya bisa ditebak : Papa positif.
Kabar dari Papa tidak membuat saya shock. Entah kenapa saya juga tahu cepat atau lambat Papa akan positif karena keduanya memang kontak erat. Paling tidak, Mama jadi bisa turun ke bawah dan beraktivitas bersama lagi. Terutama karena pada hari ke-5 kondisi Mama sudah jauuuhhh lebih baik. Recovery Mama terbilang cukup cepat. Sudah tidak ada demam dan nyeri, saturasi pun selalu sekitar 97-98.
Saya kembali berkonsultasi dengan mbak Indah terkait kondisi Papa. Perawatannya kurang lebih sama karena bergejala. Ada antivirus serta obat lain untuk mengatasi gejalanya. Papa sendiri mengeluhkan batuknya yang terasa menyakitkan, demam serta sakit kepala.
Pada saat yang sama saya memutuskan untuk mulai mencari tabung oksigen yang bisa ditaruh di rumah. Sekedar berjaga-jaga. Alhamdulillah, saya dapat pinjaman dua buah tabung ukuran 1m3 dari teman yang juga merupakan tetangga di sana. Kakak saya yang di Jogja saya tugaskan untuk mengambil.
Saya kembali mengontak Pak Munawar, bertanya tentang kesediaan obat yang sayangnya tidak mendapat balasan. Was-was, akhirnya kakak saya yang di Bandung menghubungi tante di Karawang. Kebetulan beliau punya apotek. Kami bertanya tentang kesediaan obat dan alhamdulillah ada. Obat akan dikirim malam itu juga menggunakan JNE Yes.
Besok sorenya obat sampai dan Papa mulai minum. Papa dinyatakan positif tanggal 28 Juli, dan sejak itu saya merasa komunikasi jadi sangat minim. WA saya hanya dibaca, kalaupun dibalas pasti cuma sekedarnya. Khawatir, saya pun meminta Mama untuk selalu mengecek kondisi Papa.
Setiap kali Mama turun ke bawah untuk menengok, Papa selalu tertidur. Well, beberapa teman yang terinfeksi covid varian delta memang sempat cerita kalau mereka ambruk sekali.
Sambil tetap berpikiran positif, saya selalu menanyakan kondisi Papa. Meski sekedar sudah makan atau belum, gimana rasanya, saturasi berapa, sesak atau enggak.
Sejauh ini saturasi Papa selalu stabil antara 96-97, tapi entah kenapa Papa tampak sangat cemas. Dengan saturasi seperti itu, Papa selalu meminta untuk dipasang oksigen. Padahal waktu saya tanya, Papa bilang tidak sesak.
Saya mulai deg-degan ketika suatu sore Mama meminta semua anak-anaknya untuk telepon. Papa lemas! Tidak bisa bangun sama sekali. Tidak mampu bicara dan tangannya pun gemetar tiap kali memegang sesuatu. Saturasi masih bagus, tapi Mama sudah mulai tanya-tanya cara mengoperasikan tabung oksigen.
1 Agustus selepas isya Mama mengirim sebuah video yang menunjukkan Papa sudah bisa makan sendiri meski makanannya jatuh-jatuh. Saya menonton video tersebut dengan hati yang diremas-remas, Papa nampak sangat tua dan tak berdaya, berjuang untuk bisa makan dengan tangan yang agak gemetar. Ya Allah…Papa..
Malam itu saya bersimpuh, meminta kepada Allah agar memberikan kekuatan dan kesembuhan untuk Papa. Tanggal 2 Agustus, kondisi Papa tampak lebih stabil. Mama mencoba ngotak-atik tabung oksigen, tapi belum berhasil. Saya sendiri berjuang mencari layanan homecare, tapi kok ya gak dapat-dapat. Perasaaan waktu itu mulai kacau sampai saya sempat meminta Yusuf untuk ijin pulang. Yusuf bilang tunggu.
Tanggal 3 Agustus subuh, Mama mengabari kalau beliau sudah diajari cara mengaktifkan tabung oksigen beserta regulatornya di rumah. Mama juga masih meminta dibelikan susu beruang dan kebutuhan lainnya.
Pada jam setengah delapan pagi di hari yang sama, Mama mengirim foto saturasi papa. Allah, saturasi Papa anjlok ke angka 90! Hati saya langsung mencelos. Kondisi ini sudah tidak baik!
Alhamdulillah, Mama sudah berhasil mengaktifkan tabung oksigen yang ada di rumah sehingga Papa bisa mendapatkan pertolongan pertama. Begitu mendapatkan oksigen, saturasi Papa naik. Selain oksigen, Papa juga melakukan proning. Saturasi naik lagi ke angka 95.
Saya mendesah lega, namun tidak benar-benar merasa tenang. Berdasarkan hasil diskusi dengan perawat dari Puskesmas Mantrijeron (Iya, untuk menghubungi nakes di sana pun mesti saya duluan yang maju) saya mesti menghubungi 911 atau nomor gawat darurat lain yang beliau berikan, terutama jika ingin mendapatkan perawatan di RS untuk Papa.
Saya masygul sekali tapi layanan Puskesmas Mantrijeron yang tampak sangat lambat tak sanggup saya keluhkan. Jogja memang sedang tidak baik-baik saja, lonjakan kasus disana sangat tinggi sehingga nakes dan RS pun kewalahan.
Saat akhirnya tersambung dengan 911, mereka mengatakan bahwa Ambulance hanya bisa mengangkut pasien jika keluarga telah berkontak terlebih dahulu dengan RS dan pasti mendapatkan kamar. Mereka tidak bisa mengantar pasien tanpa kepastian, dan tidak mampu berputar-putar mencari RS yang memiliki tempat. Telepon saya tutup dengan perasaan campur aduk.
Baiklah, saya langsung melalukan pengecekan ketersediaan bed melalui aplikasi siranap. Pada aplikasi itu, terlihat ada beberapa bed kosong di RS Sardjito. Saya pun kembali menelepon 911. Jawaban mereka membuat saya berat. Aplikasi siranap belum tentu menggambarkan kondisi riil lapangan karena update-nya tidak realtime. Singkatnya, mereka tidak bersedia mengangkut pasien yang belum pasti karena khawatir akan ada pasien yang kondisinya lebih urgent.
Saya sendiri sudah menelepon RS Sardjito untuk menanyakan ketersediaan bed. Petugas yang menjawab mengatakan bahwa mereka masih menerima pasien, tapi karena antrian membludak maka siapapun yang kesana harus bersabar. Berdasarkan pantauan dari berbagai berita, Sardjito bisa dibilang justru tidak begitu nyaman karena pasien IGD harus menunggu di tenda hingga berjam-jam sebelum mendapatkan pelayanan.
Tidak, saya tidak sanggup bila Papa yang kepayahan harus terlunta-lunta di IGD RS terbesar di Jogja. Saya memilih untuk berkonsultasi kembali dengan mbak Indah.
“Ajeng, di Jogja sekarang hujan, pasien IGD Sardjito itu di tenda. Apa enggak kasian sama Papa? Selama masih ada oksigen di rumah, akan lebih nyaman kalau Papa dirawat di rumah dulu sambil cari RS. Insya Allah masih aman.” kata beliau menenangkan.
Saya mengangguk mendengar penuturan mbak Indah. Saat itu saya juga sudah membuat janji dengan salah satu RS untuk pelayanan homecare. Sehabis sholat ashar nanti akan ada dokter dan juga perawat yang datang ke rumah.
Tapi kok… tapi kok… tetap saja hati saya enggak tenang ya?
Saya sempat meminta kakak saya di sana untuk menyewa mobil dan mengangkut Mama serta Papa, mencari bed di RS yang tersedia. Saya pikir dia bisa pakai jas hujan atau apalah sebagai pelindung, supaya Papa bisa segera dirawat. Ndilalah dia menolak, takut karena beberapa waktu sebelum ini dia juga sempat positif. Dia bilang dia mau mencarikan ambulance saja dan mengikuti dari belakang. Ya Allah, andai saya yang di Jogja, saya pasti enggak akan berpikir lama untuk melakukan hal ini untuk kedua orang tua saya sendiri.
Astaga, saya putus asa. Semua jalan terasa buntu. Saya Stuck.
Kembali saya menanyakan pihak Puskesmas, berharap barangkali mereka bisa memberikan solusi lain. Ibu mohon maaf, apa yang harus saya lakukan agar orang tua saya bisa dibantu mendapatkan perawatan? Saya pun menulis pesan demikian saking putus asanya. Lagi, balasannya adalah untuk menghubungi 911.
Saya ingin menyumpah dan membanting handphone membaca jawaban normatif itu. Saya kesal dengan layanan kesehatan di Jogja. Saya juga kesal dengan diri sendiri yang tidak berdaya, tidak bisa melakukakan apa-apa. Membayangkan Papa tergelatak sakit ratusan kilometer jauhnya hanya dengan ditemani Mama yang juga sama-sama positif…Ya Allah, hati ini berasa sangat sakit…
Mata saya mengembun ketika ingat sebuah ayat di dalam Al- Quran : inna ma‘al usri yusra “Sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan“
Yes, saya enggak boleh menyerah. Saya mengambil air wudlu dan sholat, terisak-isak meminta pertolongan dari Allah. Setelah sholat, semangat saya pun seperti terpompa kembali. Saya duduk di depan laptop, membuka official website semua RS yang ada di Jogja. Saya juga meminta suami untuk mengisikan pulsa telepon agar mudah.
Saya telepon satu persatu RS tersebut : JIH, Siloam, Panti Rapih, Bethesda, Hardjolukito, PKU Muhammadiyah dan lain-lain. RS swasta menjawab bahwa semua bed perawatan Covid penuh. Sedangkan RS pemerintah harus menggunakan rujukan Puskesmas atau Kemenkes.
Rasa frustasi kembali menghampiri. Broooo, gimana ceritanya Papa saya bisa dapat rujukan kalau nakes dari kecamatan saja hanya menyuruh untuk menghubungi 911? Ngaco betul!
Pada saat sedang sibuk melakukan usaha pencarian RS, sebuah WA masuk, mengabarkan bahwa ada satu bed tersedia di RS Jogja. Hanya saja, pasien harus sesegera mungkin datang ke RS.
Allahu Akbar! Saya bergegas menelepon Mama, yang saat itu sedang duduk di sebelah Papa. Dengan semangat saya kabarkan ke mereka bahwa Papa punya kesempatan dirawat di RS, bila memang bersedia. Tapi harus cepat!
“Papa bersedia, Papa bersedia…” samar-samar saya mendengar suara Papa dari telepon Mama. Alhamdulillah.
“Oke, Mama dan Papa siap-siap ya, Ajeng carikan mobil dulu sekarang!”
Begitu sambungan telepon terputus, saya meminta Yusuf memesan Grab Car Protect untuk mereka. Saya lakukan sesegara mungkin in case drivernya menolak membawa pasien positif covid sehingga bisa langsung mencari driver pengganti tanpa membuang waktu.
“Eh, dapat drivernya ini.” kata Yusuf, “Aku tanyain dulu ya, berkenan enggak bawa pasien positif Covid.” lanjutnya.
Yap, saya dan Yusuf sepakat untuk terbuka kepada semua orang tentang kondisi orang tua kami. Bagaimanapun, mengangkut Mama dan Papa yang terpapar Covid jelas beresiko, sehingga amat wajar bila mereka menolak.
Tetap saja, saya menunggu sambil berharap-harap cemas.
“Alhamdulillah, drivernya mau nih bawa Mama sama Papa ke RS. Dia bilang nanti AC akan dimatikan, jendela dibuka, dan Mama Papa nggak boleh bicara ya di dalam mobil.” sahutnya, membuat saya tersungkur lega.
Mama saya kabari segera, terutama karena jarak si driver dan rumah cukup dekat sehingga mereka tidak perlu menunggu lama. Pukul setengah tiga siang, keduanya sudah meluncur mulus menuju RS.
RS Jogja ini jaraknya cukup dekat dari rumah, sekitar lima belas menit perjalanan juga sampai. Sepuluh menit malah kalau ngebut dan dapat lampu hijau terus. Mata kami berdua terus mengamati layar. Benar saja, tak sampai 15 menit orang tua kami sudah sampai di RS. Saya langsung memberi bonus besar kepada si driver.
Mama belum memberi kabar, tak apa. Saya paham kalau proses pendaftaran dan administrasi lain pasti cukup ribet. Alhamdulillah, tak lama kemudian Mama mengirim foto beliau bersama Papa yang tiduran di bed IGD yang telah mendapatkan oksigen dan infus. Mata saya berkaca-kaca, merasa sangat bersyukur melihat Papa masih bisa tertangani.
Mama cerita kalau Papa harus mengikuti serangkaian tes seperti swab PCR, thorax, dan tes darah. Oh iya, karena Mama juga positif, Mama diijinkan menemani Papa di ruang IGD khusus Covid, yang pastinya infeksius banget itu.
Jam demi jam berlalu, Mama mulai gelisah karena hingga jam 6 sore masih belum ada kabar dari perawat ataupun dokter. Saya dan saudara-saudara yang lain sempat menawari untuk pesan makanan namun mama menolak. Akan tetapi, penolakan tersebut tidak berlangsung lama karena hingga jam 7 malam Mama masih harus menunggu.
Jam 8 malam Mama bertanya ke perawat, sepertinya hasil lab darah cukup bagus. Sedangkan tes thorax menunjukkan ada penumonia sehingga Papa akan fix rawat inap. Begitu mendapat kepastian serta menandatangani dokumen yang dibutuhkan, Mama meminta saya kembali memesan Grabcar untuk pulang.
Sedih banget ya Allah, Mama masih dalam masa isoman. Iya sih sudah membaik, tapi tubuhnya kan belum benar-benar pulih. Dengan kondisi seperti itu, Mama merawat Papa, mengantar ke RS bahkan menungguinya di IGD. Sungguh luar biasa sekali ibundaku itu.
Bersyukur Allah kembali memberi kemudahan. Driver grabcar yang saya pesan juga langsung bersedia membawa Mama yang positif dengan syarat seperti sebelumnya. Mama pun pulang, bersih-bersih, dan beristirahat.
Malam itu, akhirnya saya bisa tidur dengan tenang.
Memutuskan Pulang ke Jogja
Sehari setelah Papa dirawat, saya kembali meminta ijin ke Yusuf untuk pulang. Ya gimana, kali ini situasinya lebih serius. Papa dirawat di RS dan Mama isoman sendirian di rumah. Apalagi waktu teleponan sama kakak saya, dia bilang meski melarang, orangtua tuh sebenarnya senang kalau anaknya ada di dekat mereka. Bisa memicu semangat untuk kembali sembuh.
Saya sempat berpikir untuk pulang sendiri. Maklum, Jogja sedang disorot karena tingginya lonjakan kasus. Saya merasa gak sanggup membawa anak-anak yang tiga biji itu, mau ditaruh di mana? Kalau nanti kenapa-kenapa gimana? Mendorong diri saya sendiri ke titik resiko tertinggi nggak papa, tapi kalau melibatkan anak-anak, tentu saja tak bisa.
Yusuf bimbang, di satu sisi dia paham perasaan saya yang ingin membersamai orang tua, di sisi lain dia khawatir kalau kami berjauhan. Saya berniat untuk tinggal di hotel. Sendirian insya Allah bisa dan gak akan bosen-bosen amat. Sebaliknya, kalau membawa anak-anak malah kasian, ruang gerak mereka jadi terbatas. Apalagi di hotel kan banyak orang. Duh.
“Baiknya jangan tinggal di hotel Jeng. Hotel-hotel di Jogja banyak dipakai untuk isoman.” kata kakak ipar saya. Nah loh, makin galau aja deh.
Setelah berpikir lama, saya teringat kalau mertua dari adik saya punya homestay di daerah Palagan atas. Sontak saya langsung menghubungi dia dan suaminya, menanyakan ketersediaan rumah tersebut. Bila memang ingin membawa keluarga, homestay pilihan paling tepat. Homestay kan bentuknya rumah, ada dapur dan mesin cuci sehingga bisa masak dan mencuci baju sendiri tanpa laundry.
Saya bilang ke mereka bahwa kami bersedia membayar (eh kakak saya ding yang mbayarin). Ndilalah, bapak mertua adik saya itu baik banget.
Beliau membolehkan kami memakai homestay tersebut dengan gratis!
Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah. Sujud syukurku padaMu Ya Allah. Allah benar-benar Maha Baik, dalam situasi seperti ini, ada saja bantuan dari mana-mana.
Saya sempat melihat-lihat homestay ini di Instagram, namanya dipan.id. Ada 2 homestay yang dibangun bersebelahan, keduanya sama-sama milik dipan , yang membedakan adalah ukuran. Rumah yang besar terdiri dari 4KT, dapur, ruang makan, ruang TV, ruang cuci, juga kamar mandi dalam hampir di tiap kamar. Rumah yang lebih kecil, tingkat dan hanya 1 KT dengan 2 KM, dapur, ruang santai, dan ruang cuci. Dipan homestay sendiri berlokasi di perumahan Green Hills, sebuah perumahan elite di kawasan bawah lereng merapi Jogja.
Masya Allah, saya membayangkan betapa leluasanya kami jika tinggal di sana karena bentuknya rumah di perumahan. Aanak-anak bisa bergerak bebas dan masih bisa jalan-jalan di area sekitar. Kami tiak akan terkurung seperti jika menginap di hotel. Allah betul-betul memberi jawaban terbaik atas kegundahan saya.
Urusan tempat tinggal selesai, Yusuf kemudian menghubungi persewaaan mobil. Kami mendapatkan tempat sewa mobil lepas kunci dengan harga terjangkau. Selanjutnya kami melakukan swab tes antigen sebagai salah satu syarat perjalanan dan juga print sertifikat vaksin. Alhamdulillah kami berdua juga sudah mendapatkan vaksin lengkap.
Selesai? beluummm. Saya masih harus packing barang bawaan 5 orang, termasuk si abang yang akan tetap sekolah jarak jauh. Eh, si teteh juga ding. Kami juga benar-benar mempersiapkan diri dengan berbagai persenjataan seperti masker, HS, sabun cuci tangan, semprotan desinkfektan, dan lain-lain. Beneran deh, bepergian selama pandemi kerempongannya naik dua kali lipat.
Tak lupa, kami sounding ke anak-anak tentang tujuan pulang ke Jogja kali ini. Mereka tentu saja excited luar biasa, setelah berbulan-bulan terkurung di rumah akhirnya bisa melakukan perjalanan panjang lagi.
Keesokan harinya (hari ke-2 papa dirawat) kami berangkat. Bismillah, modal nekat dan niatan lurus untuk merawat orang tua. Dalam perjalanan, saya mendaptkan sebuah WA dari Papa yang menanyakan apakah betul saya akan ke Jogja. Lalu saya menjawab betul.
Papa mengingatkan untuk prokes. Membaca pesan Papa membuat saya tersenyum, meski khawatir saya yakin sekali kalau Papa sebetulnya senang dan lega kami akan datang ke Jogja untuk menemuinya.
Anyway, perjalanan berjalan lancar. Tidak ada polisi yang mencegat untuk pengecekan kelengkapan berkas. Kami sempat berhenti di beberapa rest area untuk makan dan kakus. Menjelang isya’, alhamdulillah kami semua sudah sampai di Jogja dan beristirahat di dipan dengan nyaman.
Merawat Orangtua di Jogja Karena Covid
Hari ketiga papa dirawat di RS adalah hari pertama saya terbangun di Jogja. Rencana saya saat itu adalah kembali membiasakan diri untuk menyetir karena nantinya yang akan bolak-balik dipan-RS atau dipan-minggiran (rumah saya di daerah minggiran) adalah saya. Yusuf dan anak-anak stay di rumah untuk meminimalisir kontak. So, mau tidak mau saya harus bisa jadi driver cantik yang mandiri.
Saya menyetir dari dipan ke rumah mertua di daerah Karangwaru, lalu ke superindo dan RS. Sengaja mampir ke Superindo untuk beli barang-barang yang papa butuhkan.
Emang boleh ke RS? Boleh asal prokes ketat. Saya dobel masker, pakai jaket atau cardigan. Begitu keluar dari RS, sebelum masuk mobil semprot seluruh badan dari atas sampai telapak sandal. Begitu masuk mobil langsung ganti baju. Baju dimasukin ke dalam kantong plastik, terus semprot lagi. Cuci tangan juga berkali-kali.
Nah, di RS saya hanya boleh sampai ruang perawat. Di sana ada TV besar yang menunjukan kondisi di ruang rawat isolasi Covid. Saya memperkenalkan diri sebagai putri Pak Briyanto. Salah satu perawat kemudian menunjukkan gambar papa dan memperbesarnya sehingga tampak jelas. Itulah kali pertama saya melihat kondisi Papa di RS.
Posisi Papa yang tiduran membuat saya hanya bisa melihat kepala, rambut, serta dadanya yang naik turun. Ya Allah, melihat Papa bernafas dan tampak stabil seperti itu saja mata saya langsung mengembun. Saya bahagia sekali. Akhirnya bisa ketemu Papa meski hanya lewat CCTV. Sayang sekali saya tidak boleh mengambil gambar apapun, saya hanya melakukan video call dengan Mama dan saudara-saudara yang jauh, menunjukkan kondisi Papa. Sepulang dari RS, kami seharian istirahat di dipan, memulihkan diri pasca perjalanan.
Keesokan harinya saya merasa cukup PD untuk menyetir sendiri. Hari itu adalah hari dimana Mama dinyatakan bebas isoman. Berdasarkan saran dari Mbak Indah, Mama sebaiknya ke RS untuk tes darah dan thorax, memastikan kondisinya. Jadilah saya untuk pertama kalinya setelah 2 lebaran enggak pulang, menjemput Mama di rumah minggiran.
Alhamdulillah, Mama terlihat segar dan ceria. Mama tampak sangat senang ketika akhirnya bisa bertemu saya. Kami tidak berpelukan atau cium tangan, Mama hanya menanyakan kabar dengan nada suara yang menunjukkan kerinduan serta kelegaan. Lelah yang kemarin saya rasakan karena perjalanan mendadak hilang.
Mama masih sangat khawatir sehingga alih-alih duduk di samping saya, Mama memilih duduk di belakang. Beliau juga meminta saya untuk mematikan AC serta membuka jendela lebar-lebar.
“Kamu gak boleh tertular.” tegas Mama. Saya hanya mengangguk patuh.
Kemampuan saya untuk menyetir mobil ternyata masih bagus karena kami berdua sampai RS dengan selamat. Saya bahkan bisa memarkirkan mobil dengan rapi, uhuy. Dari sana kami langsung menuju pendaftaran.
Mama melakukan tes darah di lab dan thorax di ruang rontgen. Saya disuruh menunggu di depan poli karena ruang rontgen menjadi tempat pasien covid lalu lalang. Kemudian setelah membayar, sembari menunggu Mama menelepon Papa dengan video.
Kalau diingat-ingat lagi, lucu juga rasanya karena kami bertiga saat itu berada di tempat yang sama. Bedanya, papa di ruang isolasi khusus Covid sedangkan saya dan Mama sudah bebas beraktivitas.
Kondisi Papa terlihat lebih segar dan santai. Beliau memakai masker oksigen yang bentuknya sungkup menutupi mulut dan hidung. Agak sulit bagi saya mendengar kata-kata Papa karena tertutup masker tadi, tapi entah kenapa Mama paham-paham aja. Uwow banget memang, kalau pasutri pakenya udah bahasa kalbu ye.
Anyway, saya sempat bicara dengan Papa tentang betapa rindunya anak-anak ketemu beliau. Tak lupa kami juga menyemangatinya, meyakinkan kalau insya Allah beliau akan sembuh dan bisa berkumpul kembali bersama kami.
Tak lama setelahnya hasil tes darah dan thorax keluar. Paru-paru Mama bersih, sedangkan Igg dan Igm Mama sudah non-reaktif. Nah, berdasarkan dua tes tersebut, Mama dinyatakan sembuh. Yeiii alhamdulillah!!! *jingkrak-jingkrak*
Selesai masalah tes, kami pulang dengan hati riang. Kebetulan sepulang dari RS kami sudah membuat janji dengan jasa desinkfektan rumah. Yap, selain memastikan kesehatan orang tua, tujuan saya pulang ke Jogja adalah bersih-bersih rumah. Saya berniat untuk pindah ke rumah minggiran bersama anak-anak kalau rumah sudah dipastikan bersih bebas virus.
Kondisi Papa Naik-Turun
Selesai desinkfektan rumah dan mobil, saya pun memutuskan untuk kembali ke dipan sekitar jam 12 siang. Rasanya bahagia karena beberapa tugas telah diselesaikan. Mama dinyatakan sehat dan bebas virus, rumah sudah didesinkfektan, dan Papa tampak baik. Tinggal membuat janji dengan jasa pembersih yang akan membantu cuci, pel, dan rapih-rapih.
Sampai di daerah Palagan, handphone bunyi berkali-kali namun saya abaikan. Masih takut eui kalau mesti nyetir sambil ngangkat telepon. Namun demikian. tak urung setir saya arahkan ke Indomaret yang memiliki ATM untuk mengambil uang dan membeli beberapa kebutuhan.
Saat itulah saya baru berani mengangkat telepon dari mbak Indah, yang mengabarkan kalau Papa…mengalami penurunan kondisi.
Selepas menutup telepon dan membaca WA saya gemetar hebat. Nafsu makan Papa ternyata menurun, sehingga kondisi tubuhnya tidak baik. Pneumonianya juga bertambah berat, tim dokter sepakat untuk mengganti obat-obatan Papa dengan yang lebih kuat lagi.
“Ajeng dan keluarga yang lain harus ngingetin Papa untuk makan dan semangat sembuh.” Terngiang pesan mbak Indah waktu itu.
Perlu waktu agak lama bagi saya mencerna informasi dari beliau. Sungguh, diri ini tak pernah siap mendengar kabar buruk. Saya pun memilih untuk menenangkan diri di pojokan Indomaret lebih dulu. Mengatur nafas, menelepon Yusuf, mengabari kabar yang barusan diterima.
Setelah tenang, baru saya berani untuk kembali memegang setir dan berkendara pulang. Sampai dipan, Yusuf sudah menyediakan alat mandi dan baju ganti di kamar mandi bawah. Baju kotor saya masukan ke dalam kantong dan semprot desinkfektan. Setelah saya bersih, baju-baju itu langsung saya cuci di mesin.
Selanjutnya saya berkabar ke yang lain tentang kondisi Papa serta tugas untuk menyemangatinya. Jujur, hati saya sudah mulai acak-acakan sejak itu. Terutama ketika pertanyaan tentang seberapa besar kesempatan Papa untuk sembuh dijawab unpredictable oleh Mbak Indah.
Iya sih, saya sering membaca utas-utas di twitter yang menceritakan pengalaman para pasien covid varian delta. Ada yang kritis dan harapan hidupnya tipis banget berakhir sembuh. Ada juga yang awalnya baik, stabil, tahu-tahu anjlok dan tidak mampu bertahan. Gambling, tak bisa ditebak.
“Pokoknya, yang paling penting kita mengusahakan yang terbaik dan mendoakan yang terbaik juga.” pungkas beliau.
8 Agustus 2021
Hari Minggu 8 Agustus 2021, saya terbangun dengan suasana hati yang amburadul. Alasannya tentu saja karena kabar tentang kondisi Papa. Saya bergegas sholat subuh dan membuka WA, mata saya melotot ketika melihat Papa posting sebuah pesan di grup WA keluarga.
Ya Allah *emot berkaca-kaca*, Papa yang dari sejak sakit enggak pernah posting apapun tiba-tiba hari ini posting. Sebuah pesan biasa sih, isinya salam dan doa-doa. Namun pesan sederhana itu sukses membuat kecemasan saya berkurang.
Pukul 07.43 pagi, Alvin kakak saya mengabari kalau Papa ingin dipesankan cokelat hangat dan roti tuna dari Starbucks. Ya Allah *berkaca-kaca lagi*, kalau keinginan untuk makan makanan tertentu muncul, artinya keinginan Papa buat sembuh sudah hadir lagi. Horaayyy!
“Mau kamu beliin atau pesen ojol?” tanya Alvin.
“Siap, entar aku beliin dan anterin langsung aja!” jawab saya dengan semangat pejuang kemerdekaan.
Tak lupa, saya mengabari Mama di rumah minggiran, barangkali mau nitip juga biar sekalian mampir. Akhirnya, jam 9 pagi saya meluncur mulus ke daerah Jakal untuk membeli pesanan Papa lalu lanjut ke rumah minggiran dan RS.
Oh iya, karena itu hari minggu, jalanan dan RS jadi kosong banget. Kemarenan suka susah nemu tempat parkir, tapi sekarang berasa pemilik lahan parkir #tsah.
Oh iya, saat mengirim makanan saya biasa menulis sebuah pesan untuk Papa. Supaya beliau tambah semangat, hihihi.
Anyway, siang hari saya dikirimin SS yang isinya tentang kondisi Jogja saat itu. Jogja menempati peringkat pertama provinsi dengan kasus aktif covid tertinggi. Sungguh sebuah prestasi yang membagongkan, dan mengenaskan. Jadi reminder banget buat saya untuk betul-betul taat prokes karena Jogja tidak sedang baik-baik saja.
9 Agustus 2021 : D-DIMER
Senin subuh saya ditelepon Mama.
“Papamu down, teman satu ruangannya ada yang meninggal lagi. Kali ini yang depannya persis.”
Saya yang belum betul-betul bangun langsung cenghar mendengarnya. Sungguh benar yang orang-orang bilang itu, covid tidak hanya menyerang kesehatan tubuh, mental juga kena banget. Selama dirawat, sudah 2 orang teman sekamar Papa wafat. Saya gak bisa membayangkan perasaan Papa sekarang. Lha wong saya sendiri aja langsung down kok.
Selesai sholat subuh saya mencoba menelepon Papa, tapi handphonenya tidak aktif. Kemungkinan besar Papa sedang menata hati, menenangkan diri sehingga tak mau diganggu. Saya paham akan hal itu.
Pagi itu saya juga menunggu kabar dari RS karena sesuai aturan, Papa harus kembali menjalani tes darah dan tes thorax agar terpantau kondisinya. Alvin yang ada di Bandung mulai bertanya-tanya perlu pulang ke Jogja atau tidak. Tapi saya tahan dulu, ada kekhawatiran kondisi akan memburuk jika orang-orang yang terpapar semakin banyak. Terlebih istrinya sedang hamil.
Pukul 12 siang saya WA mbak Indah, bertanya tentang hasil tes-nya agar benar-benar tahu kondisi Papa saat ini. Jawaban mbak Indah tidak baik, kata dia nilai D-dimer dalam darah Papa naik.
Apa itu D-dimer? Penjelasan singkatnya kurang lebih seperti ini :
Saya tercekat.
What? Prediksi kematian?
Jadi maksudnya...
Membaca penjelasan tentang D-dimer membuat saya semakin yakin untuk tetap stay di Jogja. Kondisi makin genting, makin tidak bisa diprediksi. Saya kembali menenangkan diri, menelan semua rasa takut bulat-bulat dan mencari kesibukan lain agar tidak terus kepikiran.
Saya mencoba telepon Papa, diangkat! Pembicaraan kami kurang nyambung karena suara beliau tidak jelas. Mulut Papa masih tertutup masker dan deru nafasnya terdengar sangat ngos-ngosan. Khawatir Papa makin ambruk kelelahan, telepon segera saya sudahi. Mata kembali berkaca-kaca.
Hari itu, saya masih berusaha untuk tetap optimis. Meyakinkan diri bahwa Papa akan sembuh atas ijin Allah. Meski berat, saya yakin bahwa sakit yang diderita Papa saat ini justru akan menggugurkan dosa-dosanya.
10 Agustus 2021 : KRITIS
Rabu dini hari saya terbangun. Alvin menghubungi saya, cerita kalau dia semalam mimpi Papa. Kami ngobrol cuma sebentar karena saya harus bergegas pergi ke RS untuk mengantar camilan ke Papa sekaligus update kondisi secara langsung. Oh iya, saya juga berinisiatif memberi oleh-oleh khas Bandung yang dikirim Alvin kemarin untuk para dokter dan perawat yang sudah merawat Papa. Juga mengirim snack untuk Papa.
Sesampainya di rumah sakit, para perawat tampak senang dengan perhatian yang saya beri.
“Ya Allah, nggak usah repot-repot mbak.” kata mereka.
Saya menghalau pernyataan tersebut, “Aduh, saya enggak tahu harus gimana lagi menyampaikan terima kasih ke bapak dan ibu semua yang sudah merawat Papa di dalam sana.”
Sungguh, saya begitu berterima kasih kepada para nakes yang telah merawat Papa dengan dedikasi tinggi. Ruangan isolasi covid itu infeksius banget loh. Segitu mereka masih masuk, ngecek kondisi, menyuapi, ngajak ngobrol, dan menyemangati para pasien yang sakit.
“Oh iya mbak, Pak Bri dari kemarin makannya habis loh.” tiba-tiba saja salah satu perawat nyeletuk.
Saya langsung excited, “Wah, Ibu yang merawat Papa saya di dalamkah? Masya Allah terima kasih banyak Ibu, gimana kondisi Papa di sana?”
Ya Allah, bisa ngobrol langsung dengan perawat yang sehari-hari merawat Papa itu precious moment banget!
“Iya mbak, setelah beberapa waktu Bapak kayak nggak punya nafsu makan banget. Tadi sempet nanya ke saya sisa makanannya masih banyak atau enggak. Kemudian saya jawab kalau tinggal dikit. Setelah itu Bapak bilang kalau ingin menghabiskan saja. Beneran habis itu makanannya mbak.” tutur Ibu perawat panjang lebar.
Hati saya menghangat. Saya ingin menangis di sana, tapi malu. Hahaha. Malu takut dikira lebay karena mendengar kabar Papa gitu aja bahagianya ampun-ampunan. Bagi saya, setiap detail kabar dari Papa merupakan sesuatu yang berharga.
Di sana, saya mencoba telepon Alvin, mau kasih laporan kalau kue-kue kirimannya dari Bandung sudah disampaikan. Ndilalah, salah satu perawat justru menelepon ke ruang isolasi covid, disambungkan langsung ke Papa. Saya melihat Papa mengangkat telepon dari CCTV.
“Pak Bri, ini putrinya telepon. Tolong diangkat Pak.” kata si perawat.
Saya tertawa, sepertinya Pak Perawat salah sangka. Tapi nggak papa banget, saya pakai kesempatan itu untuk menelpon Papa yang terlihat lebih segar dari CCTV.
Saya menggunakan fasilitas VC, begitu tersambung, wajah Papa muncul di layar HP. Bapak-bapak kesayangan kami semua itu tampak bersemangat, segar, dan cerah. Saya langsung mengabari beliau kalau sedang berada di nurse station ruang Bougenville, cuma sekian jengkal dari tempatnya berada.
“Papaaa….!” panggil saya sambil melambai-lambai. Papa membalas lambaian saya. “Hei..” jawabnya. Masih terdengar jelas suara Papa saat itu di kepala saya hingga sekarang.
Saya langsung menyambungkan telepon itu ke Alvin dan ke Mama, kemudian ke saudara-saudara yang lain. Bisa menelpon beramai-ramai seperti ini ketika Papa sakit adalah momen langka. Waktu itu yang mengangkat cuma Alvin, sedangkan Anelies hanya stay sebentar karena sedang ikut webinar.
Saya terus menelpon sambil berjalan ke arah luar RS karena memang sebaiknya tidak lama-lama di sana, terutama di ruangan para perawat yang kerjaannya mondar-mandir ruang isolasi. Mengurangi kemungkinan terpapar.
Papa bicara dengan suara terengah-engah, tapi ekspresinya itu loh, semangat banget. Kami bertiga ketawa-ketawa bareng meski enggak paham juga apa yang diketawain. Pokoknya bahagiaaa aja. Saya tidak begitu mendengar apa yang Papa katakan karena berada di luar. Alvinlah yang mendengar jelas semua kata-kata Papa. Papa menyebut nama kami semua.
Mama I love you…
Iqbal I Love you…
Alvin I Love you…
Ajeng I love you…
Semua-semua disebut dan dibilang cinta sama Papa. Ya Allah, saya menangis setiap kali teringat momen itu. Saat terakhir ketika bisa berkomunikasi sama Papa secara langsung. Hingga saat ini saya cuma bisa menyesal kok ya enggak sempat merekam percakapan tersebut. Huhuhu.
Setelahnya, kami berpamitan. Saya menutup telepon dengan rasa membuncah dan harapan baru : yakin bahwa Papa pasti sembuh, saya akan menjemputnya pulang ketika itu, dan kami akan mengobrol panjang lebar bersama anak-anak.
Saya lanjut menyetir ke rumah minggiran, mau bantu-bantu Mama beberes bersama teman-teman dari layanan pembersih. Benar saja, rumah sudah tampak riuh dan ramai. Sebelumnya saya memang sudah request ruangan mana saja yang perlu dibersihkan. Nah, karena cukup banyak, jadilah mereka menugaskan 3 orang di rumah.
Sedang asyik-asyik beberes sambil ngobrol, saya ditelepon mbak Indah lagi sekitar jam 12.45 siang.
“Ajeng, Papa gak sadarkan diri. Saturasi drop sampai 55%. Kalau bisa kamu ke Rumah Sakit sekarang.”terdengar suara mbak Indah yang jauh lebih tegas daripada biasanya.
Saya terdiam selama satu detik. Mengulang kembali informasi yang disampaikan oleh mbak Indah kalau Papa tidak sadarkan diri. Tubuh saya bergerak lebih dulu, berlari ke arah Mama yang sedang berada di kamar mandi. Pikiran saya masih macet.
“Mah!” berkali-kali saya mengetok pintu kamar mandi, “Ma, aku ke RS. Papa gak sadarkan diri.” teriak saya kemudian langsung lari lagi tanpa menunggu jawaban Mama.
Saya berlari keluar, ke arah mobil berada, menyalakannya, dan menyetir sambil terus mengatur nafas. Saya mengabari Alvin kalau Papa kritis dan saat ini saya sedang di jalan menuju RS.
Saya enggak ngerti gimana ceritanya kemarin itu bisa sampai RS dengan selamat, secara pikiran saya penuh banget. Untuk kedua kalinya di hari yang sama dengan selang waktu sekitar 2 jam saja, saya kembali berlari di lorong RS.
Hawa di Nurse station terasa berat. Ada Mbak Indah di sana, memegang pulpen sambil terus mengamati CCTV dengan pandangan serius. Perawat-perawat lain juga melakukan hal yang sama, mereka tak banyak bicara seperti sebelumnya tadi. Ya Allah, padahal cuma selang waktu 2 jam!
Kali ini, layar terisi full dengan gambar Papa yang dikelilingi oleh 2 orang perawat ber-APD lengkap. Kepala Papa terkulai ke samping, matanya tertutup, dadanya naik-turun begitu cepat. Saya kembali tercekat, mengingat moment dua jam yang lalu kami masih teleponan bareng, senyumnya merekah.
Mbak Indah menggelar rapat dadakan bersama perawat, sedangkan saya hanya berdiri di ujung pintu. Menggigit jari sambil mengamati dengan perasaan resah.
Kemungkinan besar, telah terjadi emboli paru di dalam tubuh Papa. Hal itu menyebabkan pasokan oksigen ke seluruh tubuh terhambat, efeknya Papa tak sadarkan diri dan saturasi turun drastis. Apa yang kemarin saya baca di google betul-betul kejadian.
Saya semakin ketakutan. Ya Allah, selamatkan Papa…
“Baik, saya masuk. Ajeng, mbak akan masuk ke dalam ya. Ajeng tunggu di sini atau kursi di luar.” kata mbak Indah memberi perintah. Tak lama dia masuk ke sebuah ruangan khusus untuk mengganti baju APD. Mata saya terus menatap layar TV yang memperlihatkan Papa.
Beberapa saudara menelepon saya, menanyakan kondisi. Sepertinya kabar kalau Papa kritis sudah menyebar. Saya berinisiatif untuk melakukan VC bersama-sama, saya perlihatkan layar TV agar semua tahu kondisi Papa saat ini dan meminta doa dari mereka.
Sambil terus mengamati, tiba-tiba salah seorang perawat memanggil saya. “Mbak Ajeng, ini dokter Indah telepon, katanya disuruh menghubungi hape Papa, nanti dokter Indah yang angkat dari sana.” katanya sambil menutup telepon.
Saya mengangguk dan langsung keluar, mengambil posisi duduk yang nyaman lalu menghubungi nomer Papa. Telepon diangkat, tampak di layar ada mbak Indah yang mengenakan APD lengkap. Hape tersebut akan ditaruh di depan Papa, dan saya diminta untuk bicara apapun itu.
Kini saya bisa melihat Papa dengan jelas, dadanya yang melonjak-lonjak naik turun…matanya yang menutup. Darah serasa berhenti mengalir di tubuh saya, diganti dengan rasa dingin dari ujung kepala sampai kaki.
Apakah ini saatnya?
Saya menghirup nafas dalam-dalam dan memanggil Papa dengan keras. “PAPAAAAAA!!!! PAPA BANGUNNNN!!! INI AJENG PA! AJENG DI SINI! PAPA AYO BANGUNNNNNN!!!!”
Tangan saya gemetar ketika memencet tombol di hape, saya memanggil Mama, Anelis, Iqbal, Alvin, dan mbak Oca untuk bergabung. Layar terbelah tujuh, semua orang yang saya hubungi wajahnya tampak kuyu.
Sambil terus memegang hape di depan wajah, saya berteriak-teriak memanggil Papa. Tak peduli dengan butiran air yang meleleh dari mata dan terus berjatuhan. Saya ingin Papa kembali membuka matanya, bangun, dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.
Saya memanggil dan terus memanggil hingga serak. Suara saya bergaung di lorong tersebut namun para perawat yang sepertinya sudah maklum hanya mendiamkan dan terus bekerja.
“PAPA AYO BANGUNNN! BANGUN PAAA!!! AKU UDAH DI SINI PAA!! AKU DI SINI BUAT PAPAA!! PAPA HARUS BERJUANG! PAPA HARUS BANGUN!!”
Saya menelan ludah, merasa putus asa. Bagaimana caranya supaya suara kami semua dapat menembus alam bawah sadar Papa dan membuatnya bangun?
“Papa…” perhatian saya teralih ke arah adik saya, Anelies yang memanggil dengan lirih. Dia terus menyeka wajahnya yang juga penuh dengan air mata.
“Papa, ayo Pa aku tuntun…Asyhaduallaillahaillallah wa asyhaduanna muhammadarasulullah…” Anelies mengulang dua kalimat syahadat itu berkali-kali.
Mendengar Anelies menuntun Papa talqin, saya tersedu-sedu. Hati saya nyeri. Tak pernah terbayang kalau kami harus mentalqin Papa dalam kondisi seperti ini.
Saya menangis tergugu sendirian di depan nurse station. Kaki saya gemetar, tangan saya gemetar. Hanya sedikit akal sehat, selemah nyala lilin di tengah badai, yang membuat saya tetap duduk di sana alih-alih lari membabi buta ke arah ruangan isolasi covid, menerjang semua protokol kesehatan hanya untuk membangunkan Papa sendiri.
Saya sadar, apa yang diucapkan Anelies sangat betul. Seharusnya saya menuntun Papa untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, agar bila Allah memang berkehandak memanggilnya saat ini juga, Papa bisa khusnul khotimah.
Bisa mendapatkan akses untuk melihat langsung Papa yang sedang kritis di ruang isolasi covid 19, meski hanya melalui VC adalah sesuatu yang langka. Ini kesempatan luar biasa, dan kami semua harus memanfaatkannya dengan baik.
Tapi ya Tuhan, rasanya beraaaatttt!! Beraatt sekali!
Saya mencoba mengendalikan emosi dan ketika pikiran waras mulai kembali, semua lelehan air mata saya hapus. “Pa, kita ucapkan bareng-bareng yuk Pa, Papa ayo ikutan kami…asyahadualla illa…” dengan suara bergetar, saya menirukan Anelies mengucapkan dua kalimat syahadat.
Kondisi Papa masih belum berubah, bunyi tiit….tiiittt…tiittt…masih terdengar jelas. Dada papa masih melonjak-lonjak naik-turun. Kami pun masih terus melantunkan kalimat syahadat serta kata-kata penyemangat ketika mbak Indah menggantikan kabar Papa.
“Obat sudah masuk, kita tinggal tunggu respon Papa kurang lebih satu jam.” kata beliau sambil mengangkat telunjuk. Setelahnya, sambungan video ke Papa dimatikan.
Saya menaruh punggung ke sandaran kursi, melemaskan diri setelah untuk waktu yang entah berapa lama membuat jantung saya hampir copot. Menyaksikan Papa bertahan di ambang batas kematian jelas tak akan pernah saya lupakan.
Alvin dan Anelies sepakat untuk pulang ke Jogja siang itu juga. Telepon pun kami sudahi. Saya tetap duduk di sana, menunggu. Menanti apakah Papa akan merespon obat atau tidak. Ketegangan sore itu belum selesai.
Tak berapa lama, mbak Indah keluar dari ruangan. APD level 4 yang tadi dikenakannya di dalam ruangan isolasi sudah ditanggalkan. Dia mengajak saya kembali ke nurse station untuk memantau Papa. Mbak Indah dan para perawat berbagi informasi mengenai kondisis serta tindakan yang tadi diambil dan tindakan apa yang nanti mesti diambil.
Sementara ini, Papa menggunakan oksigen bertekanan tinggi, monitor, dan beberapa benda listrik lain yang saya tidak tahu namanya. Kondisi Papa belum stabil, tidak transportable untuk dipindah ke ICU karena semua alat yang ada di tubuhnya membutuhkan listrik. Solusinya, semua alat-alat yang ada di ICU itulah yang dipindah ke ruang isolasi covid.
“Jadi, meski dirawat di ruang isolasi biasa, perawatan Papa sudah seperti perawatan pasien di ICU Jeng.” kata mbak Indah sambil menunjuk alat-alat tersebut di layar TV.
Oh iya, karena saya belum sempat sholat dzuhur, saya diarahkan mbak Indah untuk sholat dulu di mushola rumah sakit. Saya melangkahkan kaki dengan gontai di lorong-lorong RS yang kini tampak sepi karena poli-poli sudah ditutup.
Saya bergegas sholat, berdoa sampai menangis dan buru-buru kembali ke nurse station. Entah kenapa saat itu saya takut sekali akan tertinggal kabar atau gimana. Sesampainya di sana, kondisi Papa belum ada perubahan. Ada tiga orang perawat di dalam yang terus mondar-mandiri memantau kondisi vital Papa.
Pukul 03.12 sore, Allah menunjukkan kebesaranNya. Melalui tangkapan layar, saya melihat kepala Papa bergerak lemah. Papa terbangun! Perawat yang melihat hal tersebut langsung mendekat dan menepuk-nepuk bahu Papa, entah bicara apa. Tapi saya melihat kalau si perawat manggut-manggut.
Saya yang tadinya duduk langsung berdiri, takjub. Jantung kembali berderap kencang, pikiran yang tadinya kosong makin lama terisi dengan harapan.
Saya kembali memperhatikan, kini tangan Papa juga bergerak. Papa mengangkat tangan, gerakannya seperti memanggil. Perawat kembali mendekat, tak lama perawat datang lagi membawa minum, dan menyuapinya ke Papa.
Saya meloncat-loncat sambil teriak. “Mbak Indah, Papa bangun! Papa bangun dan minta minum Mbak!” Saya histeris menunjuk-nunjuk layar, histeris bahagia.
Mbak Indah pun tampak terperangah menyaksikan layar. Kami semua di nurse station tercengang.
“Alhamdulillah, berarti obatnya direspon bagus sama Papa.” gumam Mbak Indah. “Ini juga sampai langsung minta minum bahkan.”
Saya langsung mengabarkan saudara-saudara yang lain perihal ini. Melihat Papa yang masih mampu merespon obat dengan baik, harapan kami terbit kembali.
“Saturasi naik ke angka 82%” salah satu perawat mengabari.
Saya menoleh ke mbak Indah. Tanda-tanda vital Papa menunjukkan perbaikan. Papa sudah sadar, minta minum, saturasi membaik, tensi juga mulai naik.
Setelah semua dipastikan membaik, saya diperbolehkan pulang. Inilah salah satu gemesnya covid, keluarga gak bisa nemenin lama-lama kecuali di saat darurat karena ada kekhawatiran terpapar.
Saya nurut, bagaimanapun misi utama datang ke Jogja adalah untuk merawat kedua orang tua, bukan misi bunuh diri yang beresiko. Ada anak-anak yang menunggu. Saya juga perlu menjaga kesehatan agar tetap fit. Kali ini lorong-lorong RS benar-benar sudah sepi.Oh ya, saya juga sempat meminta Yusuf untuk datang ke RS karena tidak yakin saya mampu nyetir. Anak-anak dititipkan di rumah mertua.
Yusuf sudah menunggu di pintu keluar. Dia membantu menyemprot dan mengambil alih mobil. Saya duduk di kursi penumpang dengan lelah. Hati saya habis, perut saya lapar, dan badan terasa kotor. Saya ingin segera pulang.
Namun sebelum itu, saya menjemput Mama. Saya mengajak Mama untuk tinggal bersama saya di dipan. Saya tidak mau meninggalkannya sendirian dalam kondisi Papa yang belum stabil. Kami belum bisa tinggal di rumah karena beberes masih belum selesai.
Kami pulang ke dipan dengan pikiran berkecamuk. Sulit sekali bagi saya untuk tidur malam itu, mengingat bagaimana sore yang kami semua jalani. Menjelang tengah malam, Alvin dan Anelies mengabari kalau mereka sudah sampai di Jogja dan sedang beristirahat.
Malam itu, semua anak Papa sudah di Jogja, di kota yang sama, dan dekat dengannya.
11 Agustus 2021 : Pergi…
Semalaman tidak ada kabar dari mbak Indah. Ini hal baik, kalau tidak ada kabar, artinya kondisi Papa stabil. Tapi saya salah, sekitar jam 6 pagi sholat subuh telepon masuk dari mbak Indah kalau kondisi Papa kembali mengalami penurunan. Secepatnya kami mesti ke RS lagi.
Jam setengah tujuh saya sudah meluncur bersama Mama. Kami menjemput mbak Indah dan menurunkan Mama di hotel tempat Alvin menginap. Mama nanti akan ke rumah karena ada janji dengan tukang cuci kasur serta beberes lagi.
Sesampainya di nurse station, para perawat langsung memberikan kabar terbaru tentang Papa. Tensi Papa anjlok ke angka 54/34, saturasi di 82% dan Papa kembali tidak sadarkan diri.
“Padahal semalam sudah mulai stabil Dok, Pak Bri bisa bangun meski masih lemas.” lapor salah satu perawat.
“Mulai drop sekitar jam setengah 6 pagi.” lapor perawat satunya lagi.
Mbak Indah menerima semua laporan tersebut sambil membaca beberapa catatan. Selanjutnya beliau duduk dan mulai memberikan arahan untuk memasukan beberapa obat ke Papah. Seperti kemarin, saya hanya berdiri di pojokan sambil memperhatikan semua. Kali ini, saya lebih tenang.
“Itu perawat yang di dalam dari sejak dini hari sampai sekarang belum keluar, mendampingi dan memantau Pak Bri terus.” celetuk perawat lainnya.
Ya Allah, saya terharu dan salut betul sama para perawat di ruang Bugenville RS Jogja Wirosaban ini. Dedikasi mereka dalam merawat pasien sangat tinggi. Mereka ramah terhadap pasien dan welcome terhadap keluarga. Saya bersyukur Papa dirawat oleh mereka.
Obat mulai dimasukan, dan kami semua menunggu respon Papa. Alhamdulillah, tak beberapa lama kemudian perawat yang di dalam mengabari kalau tensi naik menjadi 70 namun Papa belum sadar.
Karena kondisi sudah mulai stabil dan tampak terkendali, saya kembali diizinkan pulang. Kebetulan mbak Indah di hari itu tidak ada jadwal poli sehingga setelah mengecek Papa, kami pulang bareng. Di tengah jalan saya sampaikan ke mbak Indah kalau Papa ingin mengganti kloset kamar mandi dari yang jongkok menjadi duduk. Mumpung di rumah sedang ada tukang, saya ingin sekalian menggantinya. Jadilah kami belok ke Qhomemart.
Waktu itu saya positif thinking, yakin Papa akan sanggup memenangkan pertempuran ini dan kembali ke rumah. Pikiran saya, Papa juga akan senang bila pulang-pulang, rumah sudah seperti yang beliau inginkan selama ini.
Saat sedang melakukan pembayaran, mbak Indah kembali mendapat panggilan. Semua langsung saya tinggal, kami berlari ke mobil dan kembali meluncur ke RS. Berpikir kalau sekarang di Jogja sudah ada saudara-saudara yang lain, saya meminta Alvin untuk datang ke RS duluan. Alvin mengiyakan.
Dalam setengah perjalanan menuju RS, Alvin menelepon. Saya meminta mbak Indah untuk mengangkatnya. Mbak Indah mengangguk-angguk, kemudian berpaling ke arah saya sambil berkata, “Alvin udah nunggu di RS.”
Saya tersenyum, hati terasa lebih tenang karena kali ini akan ada yang menemani saya menunggu Papa di RS. Saya juga yakin kalau nanti Papa sadar, beliau akan makin semangat sembuh begitu tahu semua anaknya di sini.
Saat memarkir mobil, saya melihat mobil Alvin. Berdua dengan mbak Indah kami berjalan santai menuju ruang Bugenville. Alvin sudah menunggu di salah satu pintu lorong. Dia tersenyum.
Saya balas tersenyum dan menyapanya, “Loh kok di sini aja, kamu udah ke ruang Bugenville belum? Itu tinggal lurus saja.” kata saya sambil menunjukkan jalan.
Tiba-tiba, Alvin memeluk saya, eraaattt sekali. Saya auto kebingungan dengan sikap Alvin yang seperti ini, belum sempat saya bertanya, Alvin berkata dengan tersendat-sendat.
“Papa sudah gak hembus Jeng…Papa udah enggak ada.”
Saya terdiam, menoleh ke arah Alvin lalu melepaskan pelukannya. Dia bilang apa tadi?
“Ha? Kamu bicara apa? Tadi Papa masih nafas loh Vin, dadanya masih naik turun, cuma gak sadar aja. Ayo kita lihat bareng-bareng.” kata saya sambil menyeret dia ke arah nurse station.
Di dalam nurse station, semua perawat menunduk saat melihat saya datang. Jauh di dalam hati, saya tahu kalau Papa sudah pergi. Saya tahu betul, saya hanya menolak menerima kenyataan itu sampai bisa melihat sendiri.
Layar TV menampilkan gambar Papa…yang sudah ditutup oleh selimut hingga kepala. Tidak ada bunyi tiitt…tiitt..tiitt…seperti kemarin atau tadi pagi. Tidak ada dada yang naik turun tanda Papa masih bernafas. Hanya sebuah bed dengan sebuah tubuh tertutup selimut dan perawat ber-APD mondar-mandir di sekitarnya.
Saya merasakan darah menyusut begitu cepat hingga tak mampu lagi berdiri. Saya limbung, jatuh terduduk.
“PAPA TADI MASIH ADA VIINN!!! PAPA TADI MASIH HEMBUS! PAPA MASIH NAFAS!!!PAPA TADI MASIH ADAAAA!!” saya menjerit-jerit histeris, Alvin memeluk saya.
Saya menangis, kehilangan kemampuan untuk berpikir ataupun bergerak. Apa yang saya lihat seolah tidak nyata karena kurang dari satu jam yang lalu, Papa dalam kondisi stabil. Lalu kini…Papa sudah pergi begitu saja?
Alvin juga tergugu, kami shock dan menangis bersama. Hanya mbak Indah yang saat itu masih mampu berpikir. Sungguh, saya gak tahu harus gimana saat itu kalau bukan karena Allah mengizinkan ada mbak Indah di samping kami. Dengan sigap, mbak Indah bertanya apa saja yang kini harus kami lakukan. Masalah pemulasaran jenazah serta pemakaman.
Mbak Indah menyejajarkan tubuhnya dengan saya yang sedang duduk dan bicara serius, “Ajeng, Papa udah gak merasakan sakit lagi. Ayo kuat dulu, Papa sudah meninggal dan tugas kita sekarang adalah memberikan pemakaman yang layak ke Papa. Kita harus ke ruang jenazah sekarang juga!”
Tanpa menunggu lama, dia menarik tubuh saya yang masih lunglai, memaksa untuk berdiri. Kami pergi ke arah ruang jenazah, di sana kami bertemu dengan Pak Ijan dan kembali bertanya tentang proses pemulasaran jenazah khusus covid nantinya akan bagaimana.
Pak Ijan pun menjelaskan kalau kami akan mendapatkan surat keterangan kematian Papa. Surat ini wajib dijaga dengan baik karena akan dipakai untuk mengurus dokumen-dokumen nantinya. Kemudian, Pak Ijan akan menjemput jenazah Papa serta memandikannya. Tugas kami adalah menelepon BNPB kota Jogja untuk pengangkutan jenazahnya.
“Jenazah pasien covid tidak boleh diangkut sendiri, ada protokol khususnya. Pihak BNPB yang nanti akan menjemput dan mengantarkan jenazah ke makam. Makamnya juga tolong disiapkan. Sudah dikabari belum pihak makam?” tanya Pak Ijan.
Saya, mbak Indah, dan Alvin berpandangan. Kami betul-betul nol pengalaman masalah ginian. Saya pun menelepon Yusuf, meminta dia untuk membantu mengurus kebutuhan pemakaman, salah satunya tentang penggalian makam.
Selanjutnya saya menelepon pihak BNPB, menanyakan kesiapan mereka untuk mengangkut jenazah Papa. Pihak BNPB sendiri cukup gercep masalah ini, mereka siap asalkan saya dan keluarga memastikan makam sudah siap.
Sambil menunggu Pak Ijan yang bersiap-siap mengambil jenazah Papa, mbak Indah menyeret saya ke arah Alfamidi. Dia tahu saya belum makan sejak pagi. Akhirnya, saya membeli susu karena betul-betul tidak sanggup untuk makan.
Begitu selesai minum dan membeli setiap kaleng semprotan desinkfektan yang ada di Alfamidi, kami kembali ke ruang jenazah. Saya tepat waktu karena tak lama kemudian mobil jenazah yang berisi jenazah Papa sampai.
Pak Ijan dan salah satu petugas lain mengeluarkan jenazah Papa. Saya kembali menangis histeris. Sebelum masuk, saya sempat meminta Pak Ijan untuk membuka penutup jenazah. Pak Ijan mengangguk dan perlahan-lahan membuka kain yang menutupi tubuh Papa.
Lalu kami melihatnya, rambut yang memutih, kumis serta janggut panjang yang belum sempat dirapikan, hidungnya, tubuh bagian atasnya yang tampak familiar. Itu Papa. Tubuh yang kini tak lagi menghembuskan nafas dan terbujur kaku di atas bed sorong itu adalah Papa.
“Papaaaa…..!!!!” Panggil saya sambil terisak-isak. Ya Allah, betapa saya ingin menghambur ke arahnya. Betapa saya ingin memeluknya dengan erat, menciumnya untuk terakhir kali. Tapi tak bisa. Kami hanya boleh melihat dari jauh, itupun sambil disemprot desinkfektan terus.
Mbak Indah menahan saya ketika Pak Ijan kembali menutup kepala Papa. Saya hanya bisa memandang dari jauh waktu Papa kembali dibawa untuk dimandikan.
Sejujurnya, saya cukup kaget saat tahu RS memperbolehkan jenazah Papa dimandikan. Selama ini sepertinya kebanyakan jenazah covid langsung dibungkus plastik tanpa dimandikan. Alhamdulillah, saya bersyukur sekali Papa masih bisa mendapatkan salah satu haknya sebagai mayit.
Ruang jenazah RS Jogja Wirosaban menyediakan ruang tunggu khusus keluarga yang ingin melihat jenazah dimandikan melalui CCTV. Alhamdulillah, kami melihat bagaimana Papa dibersihkan dengan baik oleh Pak Ijan.
Sembari menunggu, kami akhirnya berbagi tugas. Saya dan mbak Indah akan pulang ke rumah minggiran untuk memastikan kesiapan makam. Alvin stay di RS sampai jenazah Papa siap.
Saya kembali bersyukur tadi dipaksa minum susu oleh mbak Indah sehingga bisa fokus untuk menyetir pulang. Sebelum rumah, kami mampir ke makam Ngrawu yang ada di dekat rumah, masih satu RT dengan lokasi rumah kami berada. Di sana tampak beberapa orang penggali kubur sedang bekerja.
Ketika saya tanya, mereka bilang makam baru bisa siap jam 5 sore. Saya shock setengah mati. Oh no! Tak boleh selama itu! Saya gak mau menunggu selama itu untuk memakamkan Papa!
“Pak, saya bersedia bayar berapapun, tolong penggali kuburnya ditambah supaya jam 1 Papa saya siap dimakamkan!” pinta saya tegas.
Selesai dengan masalah kesiapan makam, saya pulang ke rumah. Di sana sudah ada Mama, Anelies beserta suaminya, Shela istri Alvin, beserta Iqbal. Beberapa warga juga lalu lalang mendampingi kami di dekat rumah, menyampaikan duka cita.
Saya tak mampu bicara, hanya bergegas pergi mandi serta ganti baju. Begitu sudah bersih, baru saya bergabung bersama mereka dan bercerita. Saya kembali menangis, begitu juga saudara-saudara saya yang lain. Sebaliknya, Mama justru luar biasa tegar.
“Sudah, kalian harus ikhlas supaya Papa tidak berat.” begitu kata Mama saat saya selesai bercerita. Ya Allah Mama, bagaimana mungkin Mama justru bisa sekuat itu?
Hape saya terus bergetar, ucapan duka cita datang bertubi-tubi. Pak RT datang menyampaikan belasungkawa serta membantu mengurus pemakaman. Beberapa petugas yang membawa karangan bunga berdatangan. Kami sebagai keluarga paham betul bahwa dengan kondisi wabah seperti ini, pemakaman akan dilaksanakan secara sederhana saja.
Sekitar jam 1 siang, saya menelepon pihak BNPB kembali dan ternyata mereka baru bersiap-siap. Sekitar pukul 2 siang, saya dikabari kalau jenazah Papa sudah meluncur ke arah makam Ngrawu. Saat itu, Yusuf dan yang lain sudah disana. Saya, Mama, Mama mertua, dan saudara yang lain menyusul kemudian.
Di depan makam, bebarapa warga sudah cukup ramai berkumpul. Tidak ada tenda atau kursi-kursi khusus seperti layaknya pemakaman biasa. Saya ke ujung jalan, menyambut konvoi BNPB dan mobil jenazah yang telah tiba.
Begitu sampai, kami mengatur diri sedemikian rupa untuk memulai prosesi sholat jenazah.
Selesai sholat, para petugas ber-APD langsung mengeluarkan jenazah Papa dan mengangkatnya hingga menuju kubur yang telah disiapkan. Saya dan keluarga yang lain mengikuti dari belakang.
Prosesi pemakaman berlangsung cukup cepat. Ada ustadz yang sengaja datang untuk memimpin doa, lalu peti pun dimasukkan. Saya memperhatikan dengan sungguh-sungguh momen peti tersebut diturunkan perlahan-lahan.
Pikiran saya berkecamuk. Saya masih denial.
Benarkah yang di dalam peti itu Papa?
Pihak RS gak akan salah kan?
Air mata meluncur turun ketika peti sudah di dalam, dan orang-orang mulai menguruk dengan tanah. Hari itu Rabu, 11 Agustus, seminggu sebelum Papa ulang tahun ke 63 tahun. Puluhan tahun hidup, pada akhirnya Papa akan kembali ke tanah. Berdiam di sebuah lubang berukuran 2×1 meter. Selama ini Papa sudah pernah ke Amerika, Eropa, dan Asia, namun tetap saja di tanah ini jenazah Papa disemayamkan.
Saya menangis, teringat bagaimana selama ini belum sanggup berbakti maksimal kepada beliau. Saya menangis, teringat janji akan pulang ke Jogja di bulan oktober nanti, jika kasus covid turun dan situasi mulai aman.
Saya menangis, karena tiba-tiba merasa sangat rindu. Baru beberapa jam Papa dinyatakan meninggal dan saya sudah merindukannya setengah mati…
Papa…aku pengen bertemu…
Setelah Papa Pergi Karena Covid…
Selesai pemakaman, Mama menolak untuk tinggal di rumah. Beliau tidak sanggup untuk tinggal di rumah yang setiap sudutnya berisi kenangan Papa. Saya tahu persis perasaan Mama dan mengajaknya untuk tinggal kembali bersama saya di dipan, sedangkan rumah ditinggalkan kosong sementara.
Tidak ada acara tahlil atau apapun yang menimbulkan kerumunan karena kami masih sangat berduka, dan mama baru recovery dari Covid. Alhamdulillah, bapak mertua Anelies menawarkan kedua homestay-nya untuk dipakai selama kami membutuhkannya secara cuma-cuma. Jadilah Alvin dan istrinya, serta Iqbal dan keluarganya pun pindah ke dipan sementara karena kami mesti membahas begitu banyak hal pasca kepergian Papa.
Yuan, yang selama ini sangat dekat dengan Papa ikut shock saat tahu Aki kesayangannya meninggal. Ketika menjemputnya pulang, saya memberikan jaket yang selama ini disimpan oleh Aki sebagai kado ulang tahun Yuan. Dia menangis tersedu-sedu.
Hari itu menjadi akhir dari perjalanan Papa bertarung melawan Covid. Kini saya tak perlu lagi jantungan menanti kabar dari RS, juga tak perlu mengantar snack atau makanan ke sana dan melihat sosok Papa melalui CCTV. Tapi ya Tuhan, saya ingin mengulangi momen itu sekali lagi. Mengucapkan selamat tinggal yang proper ke Papa, tapi gak mungkin.
Papa, dia telah pergi…Allah telah memanggilnya kembali…
Papa, sosok yang jauh dari sempurna. Saya pernah bertengkar dan merasa kesal karena tidak diperlakukan adil. Pernah merasa membencinya, karena melakukan kesalahan besar. Juga pernah mengancamnya dengan ancaman tidak mau dinikahkan olehnya.
Tapi Papa tetap orang tua saya. Darahnya…mengalir di nadi ini. Papa adalah orang yang percaya bahwa meski saya perempuan, saya memiliki hak untuk mendapatkan edukasi tinggi seperti yang lainnya.
Papa adalah orang pertama yang membuat saya jatuh cinta dengan buku. Papa juga orang pertama yang mengajak saya ke Oemah Coklat Jogja, berdua. Papa orang yang tak pernah menolak permintaan saya, terutama bila terkait dengan pendidikan. Papa adalah orang yang memberi saya kepercayaan…
Papa, orang yang langsung mengiyakan ketika Yusuf datang ke rumah untuk melamar. Papa, orang yang butuh dua kali mengucapkan ijab karena sempat menangis terbata-bata. Papa, orang yang memakai jas terbaiknya ketika datang ke wisuda saya saking bangganya…
Papa, orang yang telah berhasil membesarkan keempat anaknya dan mengantarkan kami semua ke gerbang pernikahan dan membentuk keluarga sendiri. ‘
Pa, terima kasih banyak… Tugas Papa sudah selesai… Selamat jalan cinta pertamaku. Insya Allah Ajeng akan selalu mendoakan Papa. I’ll remember you, always and forever…
Innalillahi wa innaillahi rojiun… Allahhummaghfir lahuu warhamhu wa’aafihi wa’fu anhu.
Catatan :
Alhamdulillah, setelah sekian lama, tulisan tentang Papa ini selesai juga. Hampir putus asa karena tiap nulis, kangen, nangis. Hahaha.
Terima kasih banyak untuk semua teman-teman yang telah membantu ketika saya sedang merawat orang tua yang sakit, khususnya Papa. Mbak Mutia Wardani yang meminjamkan tabung, Pak Ponco atas kesediannya meminjamkan dipan untuk kami tinggali, mbak Indah Paranita yang mendampingi saya dan keluarga dari sejak awal mama papa sakit, kedua mertua, keluarga, serta tim dokter dan perawat RS Jogja Wirosaban yang telah memberikan perawatan terbaiknya untuk Papa dan lain sebagainya yang nggak bisa saya sebutkan satu persatu.
Tulisan ini merupakan pengingat saat covid-19 datang ke circle kami dan merenggut Papa, meski tentu saja ini sudah ketentuan Allah SWT. Untuk teman-teman yang juga kehilangan, mari saling menguatkan!
Sekian dari saya dan terima kasih banyak telah membaca sampai selesai. Semoga ada ibroh yang bisa diambil. Barakallahu fiikum…
27 Komentar. Leave new
Alfatikhah untuk Papa. Peluk mbak Ajeng. Sehat-sehat sekeluarga.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu
Sebagai anak yg juga jauh dari orangtua, rasanya nyess banget baca cerita mbak ajeng. Semoga ayahnya husnul khotimah dan keluarga diberikan kesehatan dan kesabaran mbak ♥️
Berurai air mataku mbak, baca tulisanmu. Tak terbayangkan pedihnya kehilangan orang tercinta 🥲 semoga tetap kuat dan ikhlas akan ketetapan Allah ya mbak. Peluk jauh dari bandung.
Nano-nano bacanya. Ikut merasakan apa yang mbak Ajeng rasakan, juga, di sisi lain terasa banget kecintaan keluarga besar mbak Ajeng terhadap almarhum papa.
Semoga Bapak Briyanto husnul khotimah. Amin.
Aku bacaaa sampai habis, walau panjang. Aku ikut nangis di bagian momen kehilangan kak Ajeng… Semoga almarhum diampuni segala dosanya dan diberikan tempat terbaik di sisi Allah..
Makasih banyak ya Visya, udah mampir dan berkenan baca. Semoga Visya sehat selalu
Ga bisa nulis madamsay, cuman mau peluk aja, sambil nangis bareng 😭
turut berduka ya mbak, kehilangan orang yang kita cintai memang sangat berat
Innalilahi… semoga bisa menjadi pembelajaran buat kita semua.
Alfatihah utk papanya mbak
Emang deg2an saat jauh dr ortu ya, kami juga udah hampir 2 tahun gk ketemu, gk pulang 🙁
Juli lalu jg kakak sepupuku yg kusayangi jd korban 🙁
Semoga Allah segera megangkat penyakit ini aamiin
Turut berduka cita ya mba Ajeng 🙁
Inna lillahi wa inna lillahi roji’un.
Semoga Allah angkat segala kesakitan beliau ya, kak.. Dan meninggal dengan syahid, in syaa Allah.
Inna lillahi wa inna lillahi roji’un.
Semoga almarhum papa husnul khotimah
hebatnya blogger bisa menulis rinci, tulisan yang bermanfaat
Mba Ajeng, salam kenal ya. Kok jadi nyesek dan ikut sedih ketika baca tulisan mba. Turut berduka ataz kepergian ayahanda ya mba. Insha allah husnul khatimah.
Cerita lengkap, pengalaman dan penanganan keluarga dalam masa pandemi covid 19
Peluk dari jauh Mbak Ajeng…
Memang gak gampang menuliskan tentang seseorang yang kita sayangi.. butuh waktu..
Hal itu yang daku rasakan ketika kepergian Mama. Hanya saat itu daku menulisnya bukan di blog, tapi jadi antologi
Semangat… tetap iringi dengan doa.
Innalillaahi wainnailaihirajiun. Saya malah kebalikannya mba. Justru yang taat prokes itu papa saya, tapi kok malah papa yang kena Covid Agustus lalu. Namun, qadarullah Allah masih memberi kesempatan untuk orang tua saya sembuh mba.
Apapaun itu, urusan umur manusia semua rahasia Allah ya Mba Ajeng. Kita hanya bisa qada qadarnya. Doa tulus kami untuk almarhum bapak.
Nangis bacanya
Tau banget rasanya kehilangan sosok cinta pertama. Februari 2020 aku merasakan yang sama. Dan sampai sekarang masih belum sanggup menulis tentang itu. Nangis terus bawaannya
Turut berduka mbak Ajeng
Doa terbaik untuk Papanya
Mba…. :'(
Al Fatihah untuk Papa tercintanya ya mba.. Aku turut berduka cita ya.. Baca cerita ini bikin aku berkaca-kaca dan jadi ingat juga dengan almarhum bapak :’)
Masya Allah mbak, merinding bacanya 🙁 Al Fatihah untuk papa nya ya mbak..
rasanya pandemi ini memang ujian luar biasa yaa, dalam segala hal. Fisik mental harus kuat sekuat-kuatnya nih 🙂 semoga cepat berlalu, dan kita bisa lewati ini semua, naik kelas 🙂
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, turut berduka cita ya Jeng. Semoga Papa diberikan tempat terbaik di sisi-Nya dan diampuni dosa-dosanya. Aku merinding jika mengingat kembali lonjakan gelombang COVID pada Juli lalu. Berita duka di mana-mana. Tapi kok ya masih banyak juga yang nggak taat prokes dan nggak punya hati (atau otak) dengan menyepelekan hal tersebut. Padahal nyawa bukan sekadar angka..
Ya Allah mba, aku ikutan nyesek dan sedih baca artikelmu mba, Al-Fatihah untuk bapaknya ya mba, semoga almarhum sudah tenang di sisiNya yaa mba, peluk virtual untuk mba sekeluarga yaa
Berkaca-kaca aku bacanya mbak. Beberapa temenku pun banyak sekali yang kehilangan anggota keluarganya. Sedih banget rasanya. Al Fatihah buat papanya, semoga diberikan tempat yang paling baik di sisi Allah SWT.
Alfatihah untuk mendiang ayahanda Mbak Ajeng. Insya Allah Husnul khatimah. Lanjutkan perjuangan, dan semoga keluarga Mbak Ajeng diberikan kesabaran dan kesehatan selalu, aamiin
Membaca dari awal-awal, di tengah-tengah….saya meyakini Papa Mbak Ajeng akan menjadi salah survivor covid gelombang kedua.
Suasana di Yogya Bulan Juli- Agustus bisa dibilang mencekam akibat lonjakan pasien covid, kebetulan salah satu sahabat suami (papa mertuanya) juga terpapar covid dan suami ikut membantu mencarikan oksigen sampai ke Solo. Karena semua RS penuh, setelah konsultasi dengan semua keluarga dan monitoring dari keponakan beliau yang jadi dokter, akhirnya dimantapkan untuk homecare, beberapa hari sempat membaik, tapi selang sehari kemudian beliau juga meninggal, Innalillhai wa innaialihi rajiuun.
Turut mendoakan semoga almarhum papa Mbak Ajeng husnul khatimah husnul Khatimah
Al Fatihah buat alm papanya ya mbak. Sungguh perjuangan beliau dan mbak sekeluarga itu luar biasa.
Aku jadi terharu, jadi teringat kejadian 17 tahun silam saat bpk ku berpulang.
Ya Allah, aku mrebes mili baca tulisan ini mbak. Aku kangen ayahku juga yg udh tiada. Baca tulisan ini serasa aku yg mengalami sendiri. Masya Allah mba Ajeng kuat sekali. Semoga papanya khusnul khotimah, dpt tempat terbaik di alam sana aamiin
[…] aturan hanya diberikan kepada peserta yang sakit, mengalami kemalangan, atau kedukaan (ex: ada keluarga wafat). Bagi teman-teman yang tidak memiliki uzur seperti yang aku sebutkan tadi, tanggapan Mas Pewe cuma […]
[…] ikut Batch 6 yang diadakan sekitar sekitar Bulan Juli. Tapi di pertengahan papaku wafat karena covid dan sempat berhenti belajar. Oleh Mbak Nani, akhirnya aku ikut mengejar ketertinggalan di Batch […]
[…] wisata penuh, ayahnya bocah-bocah gak diperbolehkan untuk cuti, plus dikabarkan transmisi lokal covid-19 varian omnicron telah […]
[…] karena sibuk sama kakaknya, adek-adeknya jadi keteteran deh. Apalagi sejak Papa meninggal karena covid, saya sempet down dan jadi kurang in touch sama kegiatan mereka. Saat mau mulai nyusun jadwal lagi, […]
[…] menunda niat baik tersebut. Takut bok! Mana dulu itu kasus sempat naik jadi tinggi banget. Papaku aja wafat karena covid, mana berani aku […]
[…] penting untuk dipertimbangkan. Informasi detailnya bisa cek di website DJKN. Jadi inget kata-kata Papa aku dulu. Menurut beliau, membeli rumah itu sepaket dengan […]
[…] cukup yakin kalau aku tidak sendirian menjadi orang yang kehilangan anggota keluarga gara-gara pandemi. Bahkan saat gelombang kedua, ada hari dimana angka kematian mencapai ribuan. WAG ramai dengan […]
[…] kenapa kebutuhanku meningkat banget karena si Teteh (anak tengah) mulai sekolah juga. Terus sejak papa wafat karena covid, aku patungan membiayai hidup Mama bareng kakak. Jadi, manggil guru ke rumah bukan […]
[…] Baca Juga : Papa, Korban Keganasan Covid-19 Gelombang Kedua […]
[…] aku jelas meleleh dong. Selama ini kalau pergi jauh biasanya kami memang sama-sama, seperti ketika Papaku wafat gegara Covid-19 di tahun 2020 lalu. Aku berniat berangkat sendiri ke Jogja untuk ngurusin orang tua, tapi Cucup […]
[…] aku langsung teringat pada sosok salah satu orang tua yang sudah pergi meninggalkanku yaitu Papa. Beliau wafat pada tahun 2021 karena Covid […]