Sudah sebulan terakhir ini si abang (8 tahun 8 bulan), sering batuk kecil. Kira-kira tiap tiga menit sekali dia batuk, meski sekedar “uhuk” atau “ehem”. Sayangnya, batuk ini dibarengi bersin-bersin. Bukan sekedar bersin dan haching haching biasa, tapi sampai HUACHIIINGGG kenceng yang dilanjut mbeler.
Sebagai orangtua, saya jelas langsung ambil tindakan. Standarnya sih dia saya kasih anget-anget dan minum banyak. Terus saya juga paksa dia gerak badan biar rada seger gitu. Cuma kok ya hal ini gak ngefek, batuk dan bersin tetap ada. Alhasil agenda pagi kami jadi terganggu.
Sebetulnya, sekitar tahun 2018 saya sempat membawa si abang periksa ke dokter spesialis anak subspesialis respirologi di RSCM. Waktu itu diagnosanya belum tegak, masih diperkirakan “ada asma”. Untuk memastikan, si abang harus tes pakai alat yang namanya spirometer. Sebuah alat yang kalau ditiup-tiup nanti bakal keluar grafiknya.
Salah seorang dokter membantu abang menggunakan alat tersebut. Begitu hasil keluar, dokternya baru yakin kalau si abang betul-betul asma. Saya lega sekaligus deg-degan karena bu dokter bilang level asmanya si abang ini sudah menengah. Saking seringnya serangan datang.
Selain asma, dia juga rentan sama yang namanya alergi. Pencetus utamanya sih so far udara kotor. Pernah dia liburan di Jogja selama dua minggu dan blas gak pernah ada cerita batuk atau serangan. Begitu balik ke Tangsel besoknya langsung bersin dan batuk. Kemudian beberapa hari setelah itu mesti berkunjung ke dokter anak lagi karena gak sembuh-sembuh. Huhuhu.
Semua informasi tersebut dicatat sama dr. Wahyuni. Beliau ini dokter respirologi senior di RSCM, orangnya cekatan. Selesai diperiksa beliau memberti tahu kalau si abang harus terapi untuk meringankan asma dan alerginya.
“Kalau kambuh terus kasihan anaknya, jadi gak bisa beraktifitas normal.” kata beliau.
Saya diresepkan aerius syrup (desloratadine) dan juga ceretide tabung. Si aerius diminum sehari sekali saat malam, dan ceretide dihirup sehari dua kali dengan interval 12 jam. Sempat dikasih paracetamol juga karena si abang demam. Oh iya, obat lain yang di approve beliau adalah lasal syrup untuk mengatasi batuk.
“Bulan depan kontrol lagi ya, kita lihat progressnya seperti apa. Kalau membaik, kita kurangi sedikit-sedikit konsumsi obatnya.” pesan beliau di akhir sesi kunjungan kami. Saya mengangguk-angguk.
Semenjak itu, saya dan si abang rutin datang ke RSCM. Jauhnya kayak apa tetap kami jabanin. Periksa dengan dokter senior di RSCM ini termasuk murah soalnya, gak nyampe 300ribu sekali datang. Padahal dokter anak di RS swasta bisa lebih mahal dari itu.
Kami berdua merasakan periksa tiap bulan di RSCM Kirana sampai akhirnya untuk VIP dipindah ke RSCM Kencana. Sejak si abang mesti hirup ceretide sehari dua kali, sehari sekali, lalu bener-bener gak usah konsumsi apa-apa lagi. Kami sempat off cukup lama karena tidak pernah kambuh. Namun akhirnya kembali karena serangan tiba-tiba muncul cukup sering.
Tapi waktu itu terapinya diganti. Bu dokter tidak lagi meresepkan ceretide hirup. Kami diberi singulair yang bentuknya tablet minum. Meski demikian baik singulair ataupun ceretide harganya beti saja sih, sama-sama mihil. Hahaha.
Asma Kambuh Saat Pandemi
Kami masih rajin berkunjung ke RSCM sampai sebulan sebelum pandemi. Tercatat bahwa terakhir kali kami beli Singulair adalah bulan Mei 2020. Kami tentu saja tidak berani ke RSCM karena RS tersebut menjadi RS rujukan covid. Apalagi setiap kesana kami pakai KRL, dan pandemi membuat kami takut pakai transportasi publik.
Tapi memang Allah Maha baik. Selama bulan-bulan awal itu saya betul-betul mengikat anak di rumah. Saya rajin meminta mereka untuk cuci tangan, ngelap dan beberes rumah serta makan hasil masakan sendiri. Alhamdulillah, pada periode tersebut anak-anak tidak pernah sakit sama sekali. Bahkan sekedar flu saja tidak. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) efeknya sungguh nyata. Drama yang saya hadapi justru ketika anak mesti sekolah dari rumah alias SFH. But that’s another story anyway.
Tahun kedua pandemi, kami mulai longgar. Memang selama dua kali lebaran, kami tidak pulang. Tapi kami sempat jalan-jalan ke Taman Pelangi Payang, anak-anak juga sudah mulai bermain di luar dengan syarat memakai masker. Memang mereka saya lihat lebih bahagia karena bisa lari-lari lagi diluar. Tapi ya itu, konsekuensinya asma si abang kambuh lagi.
Ya sudah, daripada konsumsi obat macem-macem, saya diskusi sama suami. Mau ke RSCM gak mungkin, ke RS swasta terdekat juga takut. Pilihannya adalah konsul dokter secara online.
Suami punya aplikasi halodoc, sedangkan saya pakai Alodokter. Well, kalau diingat-ingat saya pernah konsul ke dokter spesialis kulit via Alodokter dan merasa cukup puas. Jadilah saya memutuskan untuk pakai aplikasi Alodokter lagi untuk nanyain masalah si abang.
Pengalaman Pakai Aplikasi Alodokter
Setelah saya cek lagi, ternyata saya juga pernah konsul ke dokter umum dan juga spesialis orthopedi. Ehehehe, ehehehe.
Oh iya, khusus untuk kasus si abang, saya gak milih-milih dokter. Saya cuma mencari dokter spesialis paru yang sedang aktif saat itu juga. Kebetulan ada satu yang sedang online, yaitu dokter Nurfanida. Saya baca sebentar review dan pengalamannya. Merasa cocok, langsung deh cus pesan.
Biaya Konsul Dokter Spesialis di Alodokter
Biaya yang dibutuhkan untuk konsul online dengan dokter spesialis terjangkau banget. Cuma Rp 45.000,00 alias empat puluh lima ribu rupiah doang. Pas banget di kantong.
Pembayarannya pun mudah, bisa lewat m-banking atau gopay. Saya pilih m-banking BCA karena saldo gopay sedang kosong. Beres bayar, langsung diarahkan ke kolom chat oleh aplikasi. Saya bisa langsung menulis keluhan serta pertanyaan ke dokter.
Oh iya, ketika konsul dengan dokter spesialis kulit dan orthopedi, saya dapat diskon. Biaya konsul online cuma Rp 25.000,00 saja. Murce!
Bagaimana Dokter di Aplikasi Alodokter Menanggapi Pasien?
Awalnya saya sempat khawatir, kalau chat lewat aplikasi ginian bakal ditanggapi sama mesin atau beneran manusia? Alhamdulillah kekhawatiran saya tidak terbukti, cara dokter membalas chat natural kok, meski memang enggak yang loooss dooll kayak ke temen sendiri. Hahaha.
Pertanyaan-pertanyaan saya juga dijawab dengan penjelasan yang terang. Cuman ya itu, terkadang jawabnya agak lama, bisa sekitar lima sampai sepuluh menit setelah kita bertanya baru jawab. Tapi meski begitu, tetap dijawab. Enggak kayak kamu yang diabaikan sama diaa #tsaahhh.
Meresepkan Obat
Layaknya periksa ke dokter tatap muka, selesai konsultasi dokter meresepkan obat untuk anak saya. Kebetulan resepnya sama dengan yang dulu diberikan oleh dokter respirologi di RSCM. Bedanya, aerius yang ini berbentuk tablet, bukan syrup.
Jujur, saya lebih suka yang bentuk tablet gini. Penyimpanannya lebih mudah. Kalau syrup, sekali buka rasanya tuh pengen cepat habis. Sedangkan tablet bukanya kan satu per satu dan masih dibungkus ya, jadi lebih aman.
Oh iya, obat pengontrol asma ini diresepkan sebagai terapi selama satu bulan penuh. Insya Allah bulan depan saya akan konsul lagi sama beliau di Alodokter untuk follow up kemajuannya.
Menebus Obat langsung di Aloshop
Sekian lama tidak pakai aplikasi Alodokter, saya menemukan hal baru. Kalau dulu untuk pembelian obat saya harus cari sendiri, sekarang sudah terkoneksi langsung di Aloshop!
Wuaa! Seneng banget saya karena aerius termasuk obat yang sulit dicari. Hanya apotik-apotik besar yang punya. Senasib sama singulair juga sih, udah mihil, susye pula nemunya, hehehe.
Seperti biasa, bayarnya juga mudah. Bisa pakai m-banking atau gopay, bebas. Untuk pengiriman kurir yang dipakai anteraja. Sebetulnya ada dua pilihan, gratis dan berbayar. Tapi waktu lihat kalau biaya antar cuma 104 rupiah, saya tentu saja langsung pilih yang berbayar.
Astaga, pengantaran cuma cepek doang kurang murce apa cobaa. Beli permen segitu aja gak dapet loh. Mana pengantarannya sehari doang sampai. Buat saya yang memang enggak buru-buru make obatnya, ini asyik banget sih. Cuma kalau memang butuh banget saya akan beli di luar.
Review Jujur Aplikasi Alodokter
Puas sih ya, sangat memudahkan. Konsultasi bisa sambil tiduran. Pesen obat juga tinggal nutul-nutul eh dateng, dijamin asli pula.
Insya Allah akan pakai aplikasi ini lagi untuk sakit yang tidak perlu tindakan darurat. Alhamdulillah, bersyukur saat pandemi udah ada aplikasi-aplikasi digital yang menghubungkan penyedia serta kebutuhan.
Tapi tetep sih, saya berharap, berdoa, berusaha supaya gak perlu konsultasi ke dokter baik online maupun offline. So, semoga kita sehat selalu yaa!