Sibling rivalry adalah tantangan bagi orang tua yang memiliki anak lebih dari satu.
– Madam A –
Suatu hari, saya pernah mendapatkan sebuah DM di instagram yang berbunyi, “Ajeng, kamu pernah nulis pengalaman mengasuh tiga anak secara spesifik enggak?”
Saya auto mengernyit. Well, kalau kisah jatuh-bangun mengasuh tiga anak yang lahir berdekatan rasanya saya memang belum pernah menuliskannya secara khusus. Sejauh ini saya hanya menulis kasus per kasus yang dialami anak -anak saja. Seperti sharing tentang gimana caranya menghadapi ketakutan anak yang sedang dilatih untuk tidur di kamarnya sendiri, menjawab pertanyaan terkait sex education, tips dan trik mengajak anak berpuasa, atau sekedar cara menyapih dot anak perempuan umur dua tahun.
Enggak tahu kenapa, saya merasa lebih nyaman untuk menuliskan sebuah pengalaman pribadi. Lebih ngalir, lebih real gitu loh. Lebih mudah untuk menuangkannya ke dalam sebuah tulisan yang isinya sebelas duabelas sama curhat.
Memang, memiliki 3 orang anak membuat hidup saya terasa lebih cihuy. Benar-benar enggak terbayangkan saya bisa bilang gitu karena kalau mau jujur, pas hamil anak ketiga saya sempat merasa gentar juga. Stress banget malah.
Tantangan mengasuh tiga anak itu ada pada… gimana ya, tiga anak ini, meski berasal dari rahim yang sama, kelakuannya beda semua. Ada yang rame kayak saya, ada yang muka datar dan tenang seperti ayahnya. Yang pasti, saya meyakini kalau anak-anak bersikap baik itu datangnya dari saya, sedangkan ketika sikapnya minus berarti datang dari ayahnya, eh ups.
Tiga anak. Tiga kepala. Tiga pemikiran. Tiga kebutuhan. Tiga keinginan.
Terkadang saya pengen sekali memiliki ilmu membelah diri seperti Naruto supaya mampu mengakomodasi semua kebutuhan mereka yang, bisa-bisanya selalu datang bersamaan. Sayang ilmu itu hanya dikuasai oleh para hokage dan amoba saja. Emak-emak biasa kayak saya mah cuma bisa membelah diri di dalam mimpi.
Nah, karena kemampuan saya yang terbatas inilah anak-anak jadi berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian. Kadang mereka pakai cara yang baik, tak jarang juga pakai edisi sikut-sikutan. Maklum, namanya juga anak kecil.
Anyway, percaya enggak sih kalau sekarang ini justru si anak sulung-lah yang paling sering meminta perhatian? Padahal usianya sudah 8 tahun dan terbiasa mengerjakan segala macam kebutuhan pribadinya sendiri. Saya sempet ngobrolin hal ini sama suami dan berkesimpulan bahwa dia memang sedang ingin bermanja-manja. Efek sudah harus mandiri sejak si adik pertama lahir kayaknya.
Saya yakin lahirnya si teteh (anak kedua) dan si dedek (anak ketiga) bisa jadi merupakan mimpi buruk bagi dia. Apalagi saat itu saya dan suami belum mempunyai bekal ilmu parenting. Sehingga kami tidak memiliki panduan yang baik ketika memperlakukan si abang.
Maka dari itu, saya berharap mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi insight bagi orang tua yang sedang menantikan anak kedua, sudah punya anak lebih dari satu, ataupun sedang menimbang-nimbang untuk menambah momongan. Semoga ada pelajaran yang bisa diambil agar terhindar dari kesalahan yang pernah kami lakukan.
KESALAHAN-KESALAHAN YANG DILAKUKAN ORANG TUA DAN BERAKHIR MEMICU SIBLING RIVALRY
Sibling rivalry itu apa sih? Kalau menurut saya, secara harfiah sibling rivalry itu artinya persaingan antar saudara. Sebetulnya, bersaing itu sah-sah saja. Persaingan antar saudara pun adalah sesuatu yang normal. Cuman kita perlu ingat bahwa persaingan itu ada dua jenis, sehat dan tidak sehat.
Sayangnya, yang kebanyakan terjadi di dalam masyarakat kita adalah persaingan tidak sehat. Penyebabnya tentu saja : orang tua keliru memperlakukan anak-anaknya.
Hingga saat ini, saya tidak pernah berhenti menyesal dan merasa bersalah dengan sikap saya dulu terhadap si abang. Ketika adiknya lahir, saya sering sekali memintanya untuk mengerti kalau saya sibuk mengurus adik bayi. Saya marah ketika dia ribut. Saya kesal ketika dia mendekat minta ditemani bermain karena saya merasa capek. Saya memaksanya untuk harus makan sendiri dan habis. Saya pun sering menggunakan ancaman agar dia mau nurut.
Saya tak mendengarkan ketika dia pulang sekolah dan ingin bercerita tentang kegiatannya hari itu. Saya mengabaikan keinginannya ditemani mandi di kamar mandi, padahal dia sedang ketakutan habis diberi cerita seram oleh tetangga. Saya tak lagi sempat membuatkan camilan kesukaannya. Saya bahkan jarang tersenyum dan memandangnya penuh cinta.
Saya berubah.
Perubahan perilaku saya membuat si abang menjadi rewel, sensitif, mudah marah, dan gampang menangis. Udah gitu, saya sebagai orang tua malah ikut-ikutan tantrum alih-alih menenangkan dia.
Baru sekarang saya menyadari kalau saat itu si abang pasti sedih minta ampun. Dia merasa diabaikan, tidak berharga, marah sebab dikoreksi terus menerus, dan juga kecewa karena kehilangan perhatian. Saya yakin hari-hari yang berlalu setelah adiknya hadir adalah hari yang menyebalkan hingga ada titik di mana dia mengeluarkan kata-kata seperti :
“Mama enggak sayang sama aku lagi, Mama cuma sayang sama adek.”
“Aku mau pergi aja, di rumah dimarahin terus sama Mama.”
“Aku benci sama adek. Gara-gara adek Mama jadi enggak mau main sama Abang!”
Pada awalnya, saya denial dengan semua protesnya si abang. Saya berpikir bahwa itu semua adalah hal normal yang pasti dialami oleh semua keluarga ketika muncul member baru (((MEMBER BARU))).
Tapi, lama kelamaan kata-kata tersebut tak urung membuat saya merasa kacau. Saya takut kata-kata yang diucapkan si abang kalau dia membenci adiknya akan diaminin sama malaikat. Tapi saya juga enggak sanggup berbuat lebih ketika rewelnya si abang keluar.
Saya hilang arah. Saya merasa tak berdaya. Saya jadi semakin sering marah dan si abang pun mulai membenci saya juga, ibunya. Saya betul-betul tidak tahu harus bagaimana hingga akhirnya menghadiri sebuah kelas parenting yang diinisiasi oleh teman-teman.
Pada sesi istirahat kelas parenting tersebut, saya menyempatkan diri untuk curhat kepada ibu pembicara. Beliau adalah seorang konselor parenting dan pernikahan, namanya Ibu Safihtrie Soetrisno. Beliau sangat ramah dan perhatian.
Saya suka sekali cara beliau menanggapi curhatan saya yang ngalor-ngidul. Beliau akan menepuk-nepuk punggung saya untuk menguatkan dan berkata bahwa beliau memahami apa yang saya rasakan. Meski begitu, Bu Fithrie tidak selalu membenarkan perilaku saya terhadap si abang.
Selesai mengeluarkan isi hati, Bu Fithrie mengajak saya untuk kembali melihat situasi yang saya alami. Kali ini dengan kacamata yang berbeda. Beliau memberi beberapa pertanyaan seperti :
“Coba Ajeng posisikan diri sebagai si abang, misalnya Ajeng sedang ketakutan terus ingin ditemani tapi permintaan itu ditolak, kira-kira gimana perasaan Ajeng?” tanyanya lembut.
“Sekarang gini, kalau dulu sebelum adik bayi lahir Ajeng terus menerus dapat perhatian, tapi ketika adik bayi lahir, Ajeng tidak dapat perhatian sama sekali. Apa yang akan Ajeng lakukan untuk menarik perhatian orang tua kembali?” tambah beliau.
Ya Allah, baru saat itu saya sadar kalau saya sudah salah. Saya salah. Saya salah. Saya salaaaaahhhhhhh banget!!!!!
Saya tertampar sekali. Meski pahit saya harus mengakui, perilaku-perilaku si abang yang keliru itu justru berasal dari sikap saya dan suami.
Rasa benci terhadap adik yang muncul pada diri si abang berawal dari kealpaan saya untuk hadir membersamai dia. Rasa benci itu terbit sebagai bentuk protes karena saya telah lalai memberikan hak-hak dia. Padahal, meski sudah menjadi kakak, usia si abang waktu itu masih 3,5 tahun.
Wow, mengapa saya bisa lupa dengan fakta sepenting itu? Anak usia 3,5 tahun itu bisa apa? Memenangkan Olimpiade Matematika?Menyelamatkan dunia? Ommoo, dia jelas masih sangat kecil. Dia jelas masih membutuhkan perhatian serta kasih sayang yang besar dari kedua orang tuanya. Ya Allah…
Mengingat hal ini membuat saya menangis sesenggukan. Disela-sela isakan saya bertanya dalam hati, kenapa Allah menitipkan tiga amanah ini pada saya? Kenapa tidak kepada ibu lain yang mungkin lebih sabar dan siap?
Fiuh…bener-bener deh, punya anak lebih dari satu memang butuh persiapan ilmu yang banyak. Jangan cuma asal bikin tanpa tahu ilmu merawatnya.
Long short story berdasarkan pengalaman saya serta masukan dari Ibu Safithrie, saya mencatat setidaknya ada empat hal yang menjadi penyebab munculnya sibling rivalry. Silakan teman-teman perhatikan, agar tidak melakukan kesalahan yang serupa.
1. Kakak Tidak Dipersiapkan Dengan Kehadiran Adik.
Ketika hamil anak kedua, kita hanya mempersiapkan hal-hal yang bersifat kebendaan bukan? (Eh kok kita, itu saya ding). Jujur, pada kehamilan kedua saya cuma cerita pada si abang kalau di dalam perut ini ada adiknya. Saya tak pernah mengajaknya diskusi tentang perubahan-perubahan yang akan terjadi nanti setelah adiknya lahir.
2. Hak Kakak Berkurang Setelah Kehadiran Adek Bayi
Iya atau iya? Jawabannya pasti iya. Merawat bayi baru lahir memang menyita waktu dan tenaga. Sehingga tanpa sadar, kita khilaf memberikan hak-hak anak yang lebih tua.
3. Kakak Tiba-tiba Memiliki Tanggung Jawab yang Seharusnya Bukan Tanggung Jawab Dia
Saya ingat kalau dulu, bahkan sebelum adik bayi lahir, saya sudah membebani si abang dengan begitu banyak hal. Saya meminta dia untuk menyayangi adiknya, saya memaksa dia untuk tidak berisik ketika si adik tidur. Bahkan, saya juga berkata bahwa dia memiliki tugas untuk membuat adiknya senang.
Ya ampun, kalau diinget-inget sekarang saya jadi malu sendiri. Bisa-bisanya saya meminta hal seperti itu pada anak kecil. Padahal, semua itu jelas bukan tugasnya si abang, itu semua merupakan tugas saya dan suami sebagai orang tua.
4. Orang Tua Enggak Bisa Bersikap Adil, Kakak Cenderung Sering Disalahkan
Sebetulnya perilaku ini terjadi karena memang begitulah para orang tua kita sebelumnya bersikap terhadap anak yang lebih tua. Misal nih, kita lagi main sama adik terus tiba-tiba dia nangis, tanpa kita apa-apain. Siapa yang kira-kira bakal disalahin sama papa atau mama kita dulu?
Pasti si kakak. Hambok yakin, 97% pembaca pasti jawabnya si kakak.
Akhirnya, secara enggak sadar kita mengikuti pola yang salah itu. Iya kan?
LALU, BAGAIMANA CARA MENCEGAH SIBLING RIVALRY?
Yap, setelah mengidentifikasi berbagai penyebab terjadinya sibling rivalry, tugas kita sekarang adalah mencari cara untuk mencegahnya.
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan baik itu sebelum adik bayi lahir ataupun setelahnya.
1. Sebelum Adik Bayi Lahir
Ceritakan Tentang Adik Bayi
Tips ini saya dapatkan dari Ibu Safithrie. Jadi, kita bisa tuh bercerita kepada si kakak kalau adik bayi itu seperti apa. Contoh kalimatnya nih :
“Kakak tahu, adik bayi itu keciiilll sekali. Adik bayi itu lemah dan butuh tidur sangat banyak, seperti kakak waktu kecil dulu. Adik bayi pinternya juga masih sedikit, makannya dia cuma bisa nangis sama ketawa, kan belum bisa ngomong seperti kakak.”
Bercerita seperti ini akan membuat anak kita membayangkan seperti apa sih adik bayinya nanti. Selain itu, kata-kata di atas juga dapat memicu tumbuhnya rasa empati si kakak terhadap adiknya.
Btw, Bu Fithrie mengingatkan agar kita menghindari memberi nasehat. Pokoknya ketika bercerita tentang adik bayi, tidak boleh ada nasehat bahwa kakak harus begini atau begitu. Saya mengerti, anak-anak kalau dinasehati justru cenderung melakukan hal sebaliknya sih.
Sebaliknya, beliau membolehkan bila kita ingin menambahkan kalimat seperti, “Mama yakin, adik bayi pasti akan sayang sekali sama kakak.”
Ceritakan Perubahan Yang Terjadi Bila Adik Bayi Lahir
Saya pernah menulis tentang betapa luar biasanya efek sebuah sounding. Sounding membuat anak-anak memahami sebuah konsep. Jangan khawatir, meski masih sangat kecil, anak-anak kita tuh paham loh dengan apa yang kita katakan.
Anak-anak yang sudah diajak diskusi tentang perubahan-perubahan suatu kondisi, pasti akan lebih tenang pada saat mengalami perubahan tersebut. Ibaratnya, anak-anak sudah mempersiapkan diri dan mempersiapkan hati. Jadinya enggak begitu kaget.
Sounding bisa dilakukan sambil kita cerita tentang adik bayi. Misalnya tadi kan kita sudah menyebut bahwa adik bayi itu kerjaannya tidur. Nah, kita bisa nih sambil memasukkan pesan seperti ini :
“Iya kak, adik bayi itu butuh tidur yang nyenyak supaya sehat. Nanti, kalau adik bayi sudah lahir dan kakak pengen bermain sama Mama, kita mainnya di luar ya, agak jauh dari adik bayi. Kalau di luar kakak jadi bisa pakai suara keras, kan enggak kedengeran. Jadinya adik bisa tidur, kakak bisa main.”
Coba deh perhatikan kalimat di atas baik-baik, kira-kira ada nasehat enggak di sana? Enggak ada kan. Dengan penuturan seperti itu, menurut teman-teman, si kakak bakalan menerima dengan baik atau enggak nih? Hehehe.
2. Setelah Adek Bayi Lahir
Sertakan Kakak Dalam Keseharian Merawat Bayi
Saya paham sekali kalau kita memiliki kekhawatiran jika mengikutsertakan kakak merawat adek bayi. Dulu pun saya begitu, alih-alih mengajak si abang untuk turut serta, saya justru meminta dia menyingkir.
Padahal, di luar negeri saja banyak orang tua yang justru sudah mengijinkan si kakak untuk menggendong adiknya yang masih bayi banget itu. Video kayak gitu ada banyak di youtube, sliweran. Menginspirasi, beda banget sama kebiasaan kita.
Saya menyadari,jika kita tidak mengikutsertakan kakak, lalu bagaimana kakak dapat memiliki bonding dengan adiknya? Waktu kecil disuruh jangan dekat-dekat, pas gede kita minta kakak untuk sayang sama adiknya. Ya bisa sih, tapi pastinya sulit kan? Wong enggak pernah merasa ada koneksi apapun.
Oleh karena itu, solusi terbaik adalah dengan cara memberi kakak kesempatan untuk melihat, menyentuh, ataupun mencium adiknya. Caranya mudah kok, coba tawarkan ke si kakak, “Kakak mau cium adik? Sini Mama ajarin caranya.”
Saya yakin si kakak pasti mau. Kita tidak perlu terlalu parno, cukup ajari si kakak bagaimana caranya mencium atau menggendong adik bayi. Secara naluri, dia akan sangat berhati-hati menyentuh dan memperlakukan adiknya.
Saya sendiri setelah melahirkan anak yang ketiga mulai belajar mengubah pola asuh. Si abang dan si teteh saya ijinkan melihat dari dekat. Mereka pun saya perbolehkan untuk menyentuh kaki atau tangan adek bayi yang masih merah itu. Paling saya hanya minta mereka untuk cuci tangan, serta menyentuh dengan lembut.
Pada akhirnya saya jadi sadar kalau yang dibutuhkan anak-anak adalah bimbingan, bukan larangan.
Apresiasi Sikap Baik Kakak
Siapa sih yang tidak suka usahanya diapresiasi? Apalagi anak-anak kita, mereka pasti sangat bahagia kalau dipuji soleh ayah atau ibunya. So, sering-sering kasih apresiasi ke anak-anak yang lebih tua. Tunjukkan bahwa mereka tetap anak pertama kebanggaan papa dan mama.
Kalau saya sekarang apresiasinya nggak terlalu wah, simpel aja seperti :”Terima kasih ya abang sudah cium adek dengan lemah lembut. Abang hebat sekali, adek pasti jadi sayang banget sama abang.”
Kemudian biasanya habis dipuji gini dia jadi malu-malu. Sikap dia ke adik-adiknya juga jadi manis banget. Unyu!
Harus Ada Waktu Khusus Bersama Kakak
Saya mulai belajar parenting ketika anak kedua berumur empat bulan. Dari sana saya tahu bahwa saya dan suami harus tetap memiliki waktu khusus bersama si abang. Untuk hal ini, kami memang harus kerja sama sih, soalnya saat itu kami memutuskan untuk tidak punya pengasuh bantu.
Biasanya kami janjian bahwa di hari sabtu pagi, si abang akan keluar belanja sama saya, sedangkan si teteh bersama ayahnya menanti di rumah. Begitu juga di hari lain, si abang keluar berduaan dengan ayahnya, sedangkan saya dengan si teteh.
Cara ini cukup efektif untuk menebus waktu-waktu yang sempat hilang. Enggak perlu melakukan hal yang wah-wah, naik motor berdua sambil cerita juga udah bisa bikin hati si abang bahagia. Biasanya, sehabis belanja saya mengajak abang untuk sekedar beli es krim atau jajan bakso. Ketika itu saya mengurangi banget pegang hape. Berusaha fokus ke si abang.
Gara-gara rutin memiliki quality time berdua, si abang jadi sering bilang, “Adik-adik boleh gantian sama Mama deh, soalnya abang dari tadi pagi udah sama Mama jalan-jalan berdua aja.” Uuuuu, sweet!
Perlakukan Anak Sesuai Usianya
Kalau dulu saya marah-marah ketika si abang rewel. Sekarang tidak lagi. Saya menyesal sekali pernah mengeluarkan kata-kata, “Udah jadi kakak kok malah rewel gini sih.”
Padahal, bukan dia juga yang minta punya adek. Padahal, anak umur 3,5 tahun tuh berhak banget untuk merasa rewel. Saya belajar untuk menerima bahwa si abang dan si teteh boleh banget untuk :
- tetap manja
- tetap dekat-dekat sama saya atau ayahnya
- tetap memiliki perasaan ingin takut kehilangan—-
meskipun sudah memiliki adik. Pokoknya dia berhak banget melakukan apapun yang sesuai dengan usianya.
Bersikap Adil
Masih terkenang sebuah memori tentang betapa kesalnya diri ini ketika saat kecil dulu Mama melarang saya untuk berisik karena adek sedang tidur. Namun, giliran saya yang tidur, adik boleh berisik. Uuuhhhh, rasanya sungguh tidak adil.
Masa’ hanya karena dia lebih kecil maka semua-semua dibolehin sedangkan karena saya lebih tua saya yang harus terus mengalah? Tentu saja saya menolak. That’s why I’m trying to change this mindset.
Seorang kakak tidak harus mengalah. Seorang kakak berhak menolak keinginan adiknya. Seorang adik wajib ijin jika ingin meminjam barang kakaknya, dan begitu pula sebaliknya. Saya sebagai orang tua, tidak boleh menuntut adik/kakak untuk meminjamkan mainan mereka bila mereka memang tidak ingin.
Masalah belajar adil ini ternyata sangat penting loh, beneran. Dari kejadian-kejadian sesepele meminjam mainan harus ijin, anak akan belajar menghargai hak orang lain serta tidak memaksakan kehendak. Anak belajar bahwa tidak semua keinginannya harus dipenuhi.
Meski yah pada prakteknya butuh kesabaran yang luar biasa. Namun saya sangat bersyukur, anak-anak mulai tahu kalau saya bilang tidak, ya sudah tidak. Justru ketika nurut gini, kadang sayanya yang enggak tega dan akhirnya memberi kelonggaran pada mereka, hahaha.
MENGHADAPI PERTENGKARAN ANTAR SAUDARA
Ketiga anak saya saat ini sudah semakin besar. Si abang 8 tahun, si teteh 4 tahun, dan si dedek 3 tahun. Saya tidak lagi struggling dengan kebutuhan untuk menyusui atau bermain karena mereka bertiga justru sudah main sendiri.
Tiga krucil kesayangan saya itu memiliki dunia mereka sendiri. Kadang mereka bertiga masuk ke dalam salah satu kamar terus main bareng. Kalau sudah begitu, pintu ditutup dan saya dilarang masuk. Saya cuma bisa mendengar suara ketawa-ketiwi mereka yang kayaknya seru banget.
Tapiiiii…nyatanya meski sering bermain bersama, mereka juga sering sekali bertengkar. Ributnya tuh likes every five minutes gitu loh, ahaha.
Mana penyebab pertengkarannya kadang absurd banget. Pernah si teteh kesel hanya karena si dedek menyentuh kakinya. Terus habis itu mereka gontok-gontokan. Baru berhenti ketika saya sudah mulai melotot.
Anyway, pertengkaran biasanya berkaitan erat dengan pengaduan. Pasti temen-temen yang anaknya lebih dari satu juga mengalami saat dimana salah satu anak mengadu karena sudah dinakali atau dijailin. Yok lah kita tos dulu, wkwkwk.
Well, pada dasarnya anak-anak memang suka mengadu kok, normal aja. Bagi mereka, kita ini adalah pihak yang dianggap mampu menerima dan melakukan sesuatu atas aduan mereka.
Cuman ya itu, harus hati-hati banget menghadapi aduan anak karena kalau kita keliru menyikapi aduan anak, efeknya berbahaya. Lalu bagaimana cara menghadapi aduan yang tepat? Jangan khawatir, saya coba menuliskannya di bawah.
Cara Menghadapi Aduan Yang Tepat
- Dengarkan dulu, jangan langsung respon. Saya betul-betul sedang belajar keras melakukan hal ini setelah Bu Fithrie memberi tahu efek negatif langsung merespon aduan anak. Beliau mengatakan, salah satu efeknya, anak akan jadi adiksi melihat orang lain dimarahi. Ini nih yang jadi penyebab kenapa kalau ada orang kelahi di tempat umum, orang lain justru melihatnya sebagai tontonan. Padahal kalau di luar negeri, melihat dan mendengar orang lain ngomong kotor di jalanan seorang ibu justru menutupi kuping anaknya agar tidak mendengar.
- Fokus kepada anaknya atau pengaduannya, bukan pelakunya. Jadi ketika si teteh mengadu dipukul oleh abangnya, respon saya cuma “Oalah teteh dipukul? Bagian mana yang dipukul? Sakit ya nak? Sini mama elus-elus biar rasa sakitnya hilang.”. Saya betul-betul tidak menyebut nama si abang karena saya khawatir, bagaimanapun saya tidak melihat langsung kejadian. Saya tidak mengetahui kebenarannya. Bisa jadi yang memulai duluan si teteh, daripada saya salah memutuskan mending fokus pada ceritanya.
Ketika mempelajari Komunikasi Pengasuhan Anak (KPA), saya jadi ngerti bahwa anak yang mengadu sebetulnya tidak selalu ingin membuat pelakunya menderita. Dia hanya ingin didengarkan dan dipahami kalau dirinya sakit atau kesal.
Contoh kasus lain nih, si teteh kesal karena jajanan miliknya dihabiskan si abang, tanpa ijinnya. Dia menangis meraung-raung saking marahnya. Lalu dia mengadu pada saya. Ya sudah, saya fokus pada ceritanya dan apa yang sedang dia rasakan.
“Teteh mesti kesel banget ya karena makanannya diabisin. Padahal udah sengaja Teteh simpen. Teteh mau makanannya lagi?” (Kalimat yang saya keluarkan untuk menenangkan si teteh).
Sekali lagi, saya tidak menyebut nama abangnya sama sekali. Saya betul-betul fokus pada perasaan dia karena dia pasti sedang emosi.
Kenapa sih enggak boleh nyebut nama pelaku? Karena nanti kalau saya menyebut nama pelaku, yang ada si teteh fokusnya ke situ, yang ada dia tambah kesal dan malah berakhir jadi benci ke abangnya. Dan ini keliru.
Kalau anak mengadu, maka dengarkan aduannya, terima perasaan kesalnyanya, dan ajak dia untuk belajar mengelola emosi negatif tersebut.
Penjelasan simpelnya sih gitu.
Sejauh Mana Orang Tua Boleh Intervensi Pertengkaran Anak?
Saya sering banget merasa tidak sabar kalau melihat anak-anak bertengkar. Biasanya sih yang satu nangis, yang satu kesel, yang satu ngeliatin. Pernah juga sih pas mereka bertengkar, semuanya pada nangis. Tiga-tiganya menyerbu saya.
Sebetulnya, tidak semua masalah harus diselesaikan oleh orang tua. Anak-anak bertengkar itu hal yang wajar, apalagi kalau mereka bersaudara. Katanya sih, justru karena mereka tahu kalau mereka bersaudara itulah jadinya mereka merasa aman untuk bertengkar, hihihi.
Sekarang, sejauh mana saya sebagai orang tua perlu mengintervensi pertengkaran anak? Bu Fithrie memberikan jawabannya. Setidaknya, ada 3 hal yang perlu diperhatikan jika orang tua ingin ikut campur.
- Ayah dan Ibu perlu turun tangan jika pertengkaran sudah membahayakan salah satu pihak.
- Apabila terjadi pemukulan, yang diselamatkan pertama adalah korban tanpa menyalahkan pelaku di saat yang sama. Ingat, pokoknya fokus menyelamatkan korban terlebih dahulu. Bukan malah marah-marah sama pelaku dan korban diabaikan.
- Bersikap adil, yang salah tetap salah, tidak peduli siapa yang lebih tua atau muda.
Barangkali ada teman-teman yang bingung dengan poin 2, kalau kita fokus ke korban, terus bagaimana dengan pelaku? Didiemin aja gitu? Padahal kan dia yang salah?
Gimana ya, saya melihat bahwa tidak mungkin kita memperbaiki perilaku anak yang salah, dengan cara yang salah. Memukul si abang untuk menunjukkan bahwa dipukul itu sakit, saya sendiri tidak yakin cara ini benar. Bagaimana kalau setelah kita pukul, ternyata si abang menjawab : “Dipukul enggak sakit kok, adek aja yang cengeng.”
Nah loh.
Bahaya kan?
Terus gimana? Ya itu, diajak ngobrol. Tapi ngobrolnya nanti, ketika si abang maupun saya dalam kondisi tenang. Kalau pas lagi marah harus berhadap-hadapan, pasti enggak bisa nahan. Bakal nyembur semua itu ledakan emosinya. Bisa nyesel setengah mati saya, huhuhu.
SEMANGAT!
Sebagai anak ketiga dari empat bersaudara saya mengakui bahwa memiliki saudara itu menyenangkan. Kakak laki-laki serta adik perempuan yang dulu merupakan lawan berantem sekarang jadi teman diskusi segala macem.
Saya lega karena kami cukup kompak dalam memback-up orang tua di masa pandemi seperti ini. Kami betul-betul bahu-membahu untuk memastikan papa dan mama tetap sehat lahir batin meski tempat tinggal kami semua berjauhan.
Makannya, saya mengharapkan hal yang sama bisa dialami oleh anak-anak. Saya ingin sekali ketika besar nanti mereka kompak. Tidak peduli siapa yang lebih tua, pokoknya kalau ada masalah semua saling bantu. Saya ingin mereka akur, saling menghormati, saling menghargai. Bagaimanapun, mereka adalah keluarga. Ada darah yang sama yang mengalir di dalam nadi mereka.
Sekarang saya mengerti, mungkin inilah alasannya kenapa Allah mengamanahi tiga orang anak yang luar biasa kepada saya dan suami. Anak-anak membuat kami belajar dan terus belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik bagi mereka.
1 Komentar. Leave new
Ada positif SIBLING RIVALRY akan membuat sang anak belajar untuk menerima kehadiran orang lain dan kelak ia juga harus bersaing kemampuan dengan temannya.
Sejak kecil peran orangtua sangat penting agar mengatasi persaingan dia dan saudaranya.
[…] Baca Juga : Cara Mencegah Sibling Rivalry Yang Ampuh […]