Kata ibu Safithrie Sutrisno, marah itu boleh, yang enggak boleh adalah marah-marah.
– Madam A –
Ada sebuah hadist dari Rasulullah saw. tentang marah yang selalu terngiang di kepala saya, bunyinya sebagai berikut :
Rasulullah saw. bersabda, “Bukanlah yang dikatakan orang kuat adalah orang yang kuat bergulat, tetapi sesungguhnya orang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan nafsunya di kala ia marah.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadist ini bisa begitu mudah saya terapkan bila yang saya hadapi adalah orang lain. Orang yang berada di luar lingkaran keluarga. Aneh tapi nyata tapi memang itulah yang kerap sekali terjadi. Sama bos, sama kenalan baru, sama orang lain bisaaaa banget sabar, senyum, bicara dengan kata-kata yang ramah.
Sebaliknya, kalau pada keluarga sendiri seperti suami dan anak. Emh… Pasti lebih sering tampil sebagai monster atau singa yang mengaum dibanding bidadari khayangan.
PERBEDAAN MARAH-MARAH DAN MARAH
Entah kenapa, menjadi ibu membuat saya menjadi dekat dengan kata sifat dan kata kerja yang saya sebut di atas. Saya merasa sulit menahan amarah. Apapun yang dilakukan anak-anak, kebanyakan terasa salah. Hal ini membuat saya seolah memiliki pembenaran untuk marah dan berlanjut marah-marah.
Dari buku Bunda Wening yang saya baca, dituliskan kalau marah adalah suatu perilaku normal dan sehat sebagai salah satu bentuk ekspresi emosi manusia. Marah adalah suatu bentuk yang menunjukan kekecewaan dan harapan-harapan seseorang. Rasa marah yang dipendam justru berbahaya, jadi bom waktu. Tapi marah dan marah-marah berbeda.
Marah-marah sifatnya konstruktif (disertai ancaman) dan destruktif (ditumpahkan dengan cara merusak). Ini lah marah yang salah. Sayang, banyak orang tua, termasuk saya, sering terjebak di posisi ini.
Sebetulnya kalau boleh jujur, marah-marah itu capek. Memelototkan mata (padahal melotot itu sulit kalau matanya sipit), teriak-teriak, mengepalkan tangan, tuh butuh tenaga. Energi habis seketika. Belum lagi kalau marah diserati ancaman atau kekerasan seperti mencubit, hanya bisa menyesal di akhir cerita.
Saya tahu kalau marah-marah itu salah. Saya juga sadar kalau marah-marah enggak ada gunanya, tapi entah kenapa saya kok enggak bisa berhenti melakukan hal tersebut. Malah jadi agak kecanduan. Bagai sayur tanpa garam, sehari tanpa marah-marah seperti ada yang kurang. Astaghfirullah.
Saya pernah mencoba mengikuti workshop innerchild healing sebagai bentuk ikhtiar supaya enggak mudah marah-marah. Beberapa orang mengatakan bisa jadi penyebab sulit menahan emosi adalah perilaku pengasuhan yang salah di masa lalu. Lalu, innerchild healing bisa membantu kita berdamai dengan perlakuan-perlakuan yang dulu kita dapatkan.
Saya ingin berubah, saya tidak mau anak-anak dan suami merasa tidak betah di rumah karena sang ibu marah-marah terus. Alhamdulillah, usaha ini lumayan membantu.
Pada beberapa kejadian, saya cukup berhasil mengendalikan marah. Namun tak dapat dipungkiri kalau masih banyak kejadian-kejadian lain di mana saya tetap kelepasan. Saya jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya terjadi pada saya? Kenapa sulit sekali menahan marah?
Padahal saya sendiri sudah mulai menerima dan memaafkan yang dulu-dulu.
Berangkat dari pertanyaan di atas, saya mulai mengidentifikasi diri sendiri. Saya mencoba untuk menelusuri bagaimana kondisi saya saat ada kejadian yang membuat marah. Niatnya, kalau sudah tahu, I wil try to deal with it.
Daann alhamdulillah saya menemukan beberapa, langsung aja saya jembrengin di bawah ya.
PENYEBAB MARAH
Pertama : Ada Ekspektasi
Saya pernah menanyakan hal ini pada Bu Fithrie (Safithrie Sutrisno, seorang konselor parenting dan pernikahan) kenapa sih saya mudah sekali marah?
“Memang Ajeng marahnya kenapa?”
“Saya kesal karena rumah berantakan, karena anak-anak tidak mau makan, karena mereka bertengkar atau rebutan mainan terus. Saya marah karena mereka kok rasanya tidak mau menurut.” tulis saya di aplikasi WA. Saat itu kami memang sedang chat berdua.
“Oke, mari kita buat batasan di sini. Dari sedikit yang Ajeng ceritakan, alasan paling memungkinkan kenapa Ajeng kesal adalah ekspektasi.” papar beliau.
Saya tertegun.
“Ada ekspektasi di sini. Ajeng berharap rumah rapi, anak-anak akur dan menurut. Lalu ketika mereka bersikap tidak sesuai dengan harapan Ajeng, maka Ajeng marah.”
Saya menarik nafas.
“Ajeng masih ingat kan, salah satu prinsip dasar untuk mengasuh anak dengan bahagia adalah, tidak boleh ada ekspektasi.”
Saya merenungi kembali apa yang disampaikan oleh Bu Fithrie. Ya, beliau benar.
Selama ini, saya memenuhi hidup saya dengan ekspektasi. Wait, sebelumnya saya ingin menegaskan bahwa tak ada yang salah dengan harapan. Tentu hidup harus diisi dengan keinginan-keinginan supaya kita tetap bersemangat bukan? Problem is, saya sering tidak mempersiapkan diri untuk menerima kalau ekspektasi tak terwujud. Astaghfirullah.
Kedua: Rasa Lelah
Jadi, sudah hampir 3 bulan ini saya hidup tanpa ART. Maklum, ART saya yang dulu menolak ikut pindah ke tempat baru. Dulu saya pikir ya sudahlah, toh nanti bisa cari yang baru di tempat baru. Ternyata memang, mencari ART yang cocok secara harga dan kinerja memang sulitnya bikin pengen elus-elus bulu dada Reza Rahardian *eh.
Saat masih ada ART saya beberes rumah sendiri hanya di sabtu sore dan minggu. Sekarang setiap hari saya harus berjibaku dengan seabrek pekerjaan rumah tangga sendirian. Ada sih ART yang bersedia bekerja, tapi paling saya pakai sesekali kalau betul-betul butuh saja. Mahal soale.
Teman-teman bisa membayangkan rumah yang diisi oleh 3 anak dengan rentang usia 7 tahun, 3 tahun, dan 2 tahun kira-kira penampakannya seperti apa? Marie Kondo saja mengakui kalau metode KonMari tidak bisa diterapkan pada rumah yang ada anak kecilnya. Lah ini anak kecilnya tiga.
Ambyar wis, ambyaarrr!
Memang sih kalau tanpa gangguan, urusan beberes rumah bisa dua jam selesai. Paling lama tiga jam deh, tapi tanpa setrika. Tapi apakah hal tersebut bisa terjadi kalau ada anak-anak yang begitu aktif bergerak kesana-kemari kayak ulet keket. Mereka mengelilingi rumah dan mengambil barang-barang lalu tidak menaruh di tempatnya kembali, kadang bahkan diawur-awur tanpa rasa bersalah.
Masalah menyapu dan mencuci piring sih piece of cake (sombong), mengepel lumayan nguras tenaga, tapi menyetrika adalah yang paling melelahkan. Gila pokoknya nyetrika tuh, pekerjaan rumah tangga yang semua ibu hindari. Apalagi kalau tumpukan setrikaannya berember-ember. Udah sepet duluan liatnya. Enggak heran laundry selalu penuh orderan.
Lelah menyelesaikan kerjaan rumah tangga yang kadang ditambah belum makan atau nyemil terkadang membuat rasa capek jadi berlipat-lipat. Dan kalau sudah capek, pasti mudah marah.
Iya kan?
Menurut ahli, rasa lelah memang membuat otak kehilangan keseimbangan dan kontrol. Pada dasarnya, otak yang sehat disebabkan oleh istirahat serta tidur yang cukup. Ada bagian otak yang berhubungan dengan perasaan emosional yang kinerjanya meningkat hingga 60% ketika lelah. Inilah yang membuat orang capek jadi mudah marah.
Selain itu, kelelahan juga membuat seseorang tidak lagi memiliki energi yang bisa menahan supaya emosi tidak diluapkan. Karena menahan emosi ternyata memerlukan banyak energi. Maka wajar kalau emak-emak minum boba di saat sedang stress *eh.
Hmm…jadi harus gimana kalau memang fisik sedang lelah? Nanti kita bahas di bagian akhir ya. Silahkan lanjut baca pelan-pelan sambil dihayati.
3. Media Sosial
Percaya enggak percaya, medsos itu lumayan sering bikin orang marah-marah.
Berawal dari melihat dan membaca postingan orang-orang lain yang indah nan bahagia. Si A kok kayaknya enak banget ya bisa setiap hari jalan-jalan, Si B asyik ih suaminya bantuin kerjaan rumah sedangkan suamiku boro-boro. Si C pinter banget masak, anak-anaknya makan lahap, sedangkan aku? Si D cantik dan mulus banget badannya, kalau aku kerja aku juga pasti begitu, tapi karena ada anak-anak untuk mandi aja enggak sempat.
Saya menyadari, kalau dalam kondisi lelah, membuka media sosial membuat batin saya ikutan lelah. Dua lelah ini kemudian menggerogoti rasa syukur, rasa bahagia, dan juga kewarasan yang tersisa. Habis sudah. Jadilah saya mudah marah.
Seperti pada kasus boomingnya layangan putus kemarin, banyak banget ibu-ibu merasa insecure dengan pernikahan mereka. Bahkan saya pernah membaca postingan seorang suami yang tanya tentang layangan, lalu istrinya langsung ngambek dan mereka bertengkar. Gara-gara dunia maya, kehidupan dunia nyata terganggu. Nudzubillah.
Ah udahlah, saya tidak mau menjelaskan panjang lebar membahas mengenai hal ini. Sungguh, saya mengalami sendiri soalnya. Makannya bersyukur sekali ketika finnally saya memiliki keberanian untuk meng-uninstall dua media sosial selama beberapa waktu. Dan betul, ternyata melakukan hal ini cukup membahagiakan, keinginan untuk marah jadi jauuuuhh berkurang.
TIPS DAN TRIK NGILANGIN MARAH-MARAH ALA SAYA
Setelah memahami tiga hal yang membuat saya mudah marah kepada anak-anak, langkah selanjutnya adalah mencari problem solving-nya.
Seperti biasa, solusi dari masalah ini saya dapatkan langsung dari Bu Fithrie. Saya selalu cinta sama masukan-masukan dari beliau yang bisa langsung diterapkan, bukan teori doang.
Pertama : Mengasuh Tanpa Ekspetasi
Seperti yang sudah ditulis sebelumnya, saya memiliki banyak ekspektasi saat mengurus anak dan rumah. Saya bahkan sering memakai standar saya sebagai orang dewasa kepada anak-anak, dan ini tentu saja tidak adil.
Itulah kenapa Bu Fithrie selalu mengingatkan bahwa, tak boleh ada ekspektasi terhadap anak.
Berharap sama manusia itu berpotensi kecewa, apalagi sama manusia mungil yang tidak tahu apa-apa. Mengganti harapan dengan rasa syukur tentu jauh lebih baik. Seperti saat makan, daripada mengeluh kok adek makannya sedikit, saya mengubah mindset untuk berkata, “Alhamdulillah adek masih mau makan.”
Selain itu, Bu Fithrie juga menyarankan agar saya sering memberi sounding terhadap diri sendiri. Jadi, sebelum sounding ke anak, baiknya sounding ke diri sendiri dulu.
“Apakah Ajeng pernah sounding ke diri sendiri?” tanya beliau saat saya curhat.
Saya mengernyit bingung, “Eh, sounding untuk apa buk?”
“Sounding bahwa ‘Saya akan siap menghadapi anak-anak apapun kondisinya‘, pernah?”
Dengan malu-malu saya pun mengaku pada beliau saya jarang sekali melakukan hal tersebut. Akhirnya, Bu Fithrie berbaik hati memberikan contoh-contoh sounding positif kepada saya supaya tidak lagi mudah merasa marah.
- “Rumahku berantakan, tapi aku tak mengapa.”
- “Anak-anakku memang akan berebut mainan, dan aku akan tersenyum saat melerai mereka.”
- “Anak-anakku tidak menurut perkataanku, dan aku tetap akan bersikap baik terhadap mereka.”
- “Aylan menumpahkan air, dan aku akan membersihkannya lalu mengecup kepala Aylan sambil berkata bahwa itu tak mengapa.”
“Alangkah baiknya jika Ajeng melakukan sounding seperti di atas terhadap diri sendiri.” lanjut beliau yang kemudian ditutup dengan emoticon senyum.
Sudah dua minggu saya mengaplikasikan dua hal ini : merendahkan ekspektasi dan sounding, alhamdulillah ternyata beneran efektif. Saya bahkan sempat menuliskannya di Instagram.
Kedua : Istirahat!
Seorang ibu berhak untuk memiliki istirahat yang cukup. Seorang ibu berhak untuk makan dengan kenyang dan tenang.
Saya sering merasa bahwa memang beginilah jadi ibu, kurang tidur,pola makan amburadul, bahkan mau ke kamar mandi saja tidak bisa tenang. Saya pernah disindir oleh seorang embah karena ikut tidur saat menyusui Aylan dan meninggalkan Luna bermain sendirian, padahal rumah dalam kondisi aman dan terkunci.
“Enak men uripmu, nek aku boro-boro turu, gawean ora entek-entek.” (Enak sekali hidup kamu, kalau aku boro-boro tidur, kerjaan enggak selesai-selesai)
Saya sebenernya kesel dikomentarin kayak gini. I mean, ini hidup saya gitu loh dan cara saya mengaturnya berbeda. Tapi ternyata, kata-kata itu tetap merasuk ke dalam hati dan membuat saya jadi merasa khawatir, jangan-jangan kalau saya ikut tidur saya egois?
Nah!
Alhamdulillah, lagi-lagi ibuk mematahkan pemikiran tersebut. Kata beliau saya bahkan berhak mendapatkan tidur siang 1 jam. Lebih baik saya mundur dan meletakkan beban pekerjaan rumah sejenak daripada marah-marah enggak jelas karena lelah.
Bahkan ada kok istilahnya power nap, tidur-tidur ayam yang cuma sepuluh atau tiga puluh menit itu. Saya sering mengalami ini, pernah pas nemenin bermain semacam ketiduran gitu. Tidak perlu lama, yang penting kita memenuhi hak tubuh untuk istirahat dulu.
Untuk mengurangi kekhawatiran pada anak, maka tidurlah saat anak tidur. Atau bisa juga minta kepada anak untuk main yang baik, kunci pintu rumah, singkirkan benda berbahaya, lalu masuk kamar dan menutup mata sepuluh menit.
Saya juga sudah mempraktekkan hal ini, terutama saat rumah dalam kondisi hancur lebur tak berbentuk. Ada rasa yang berbeda ketika beberes dalam kondisi badan yang lebih segar. Minim stress dan minim ngomel!
Ketiga : Puasa Medsos!
Blogger tanpa media sosial? Are you serious?
Yap, saya serius. Saya melakukan hal ini secara sadar. Saya meng uninstall FB dan Instagram selama satu minggu penuh. Hanya WA yang tetap saya miliki sebagai sarana komunikasi.
Alhamdulillah, ternyata tanpa medsos hidup saya tetap baik-baik saja. Lebih baik sih malah. Lha gimana, saya enggak perlu sedikit-sedikit pegang hape, jadi bisa mengerjakan pekerjaan rumah dan mengasuh anak lebih fokus.
Saya jadi kudet, dalam artian positif. Bomat sama yang terjadi di luaran sana. Hari-hari diisi kegiatan produktif. Perasaan-perasaan negatif yang dulu saya rasakan seperti kurang bersyukur, merasa iri, dll dll alhamdulillah bisa disingkirkan.
Saya bisa membaca buku lebih banyak, dan tetap menulis dengan bahagia. Pokoknya puasa medsos tuh nyenengin banget.
Sekarang install Instagram lagi karena ada beberapa tawaran pekerjaan masuk. Terus ngeliatin medsos juga jadi lebih bijaksana sih, enggak sekacau dulu. Saat ini saya semacam lebih siap untuk menghdapi dunia medsos.
SAYA BISA MENGENDALIKAN MARAH, KALIAN JUGA PASTI BISA
Yap!
Umur saya saat menulis ini adalah 29 tahun, dan sudah 7 tahun menjadi ibu. Saya ingin membuat pengakuan bahwa saya menyesal karena telah membangun 7 tahun pengasuhan yang leih dari 50% diisi oleh marah dan marah-marah.
Anak saya sering saya marahi, dan kini ketika besar dia tumbuh menjadi pribadi yang keras. Cara dia menyampaikan rasa marahnya persis seperi saya ketika saya marah-marah dulu. Inilah alasannya kenapa saya keukeuh belajar parenting. Saya ingin memperbaiki diri saya sendiri serta anak-anak saya.
Banyak sekali luka pengasuhan yang dialami si sulung. Banyak. Saya takut, amat takut kalau ketika remaja dan dewasa dia menjadi lelaki pemarah yang agresif. Saya khawatir yang dia ingat di alam bawah sadarnya adalah saat-saat saya bersikap kasar padanya. Saya tidak mau.
Bu Fithrie sempat bilang, waktu yang diperlukan untuk membenahi perilaku anak adalah dua kali lipat dibanding saat pembentukannya Maka, saya membutuhkan waktu 14 tahun untuk mengubah perilaku dan pola pikir si abang karena usianya kini 7 tahun.
Lama? Memang. Terlambat? Iya, saya terlambat. Tapi masih lebih aik untuk terlambat dibanding tidak melakukannya sama sekali bukan?
Terima kasih banyak untuk Ibu Safithrie Sutrisno yang tak pernah lelah mendampingi dan membenahi perlikau-perilaku saya yang salah selama menjadi ibu.
…menjadi sebuah pilihan adalah mau selalu memperbaiki diri dan memerikan yang terbaik sebelum semuanya tak mungkin lagi…
Bunda Wening dari buku “Marah Yang Bijak”
Mohon doanya dari teman-teman pembaca semua, semoga Allah memberikan ke-istiqomahan kepada saya untuk selalu belajar membaguskan akhlak dan perilaku kepada anak pada khususnya. Aaamin ya rabbal alamiin.
9 Komentar. Leave new
Kita makin mirip Mbak=(. Anak pertamaku mau 8 tahun dan memang terlihat dampak dari salah pengasuhan ku dulu. Sampai2 ia mendapat rekomendasi dari psikolog sekolahnya untuk ikut play terapi. Hiks. Doakan aku juga ya
Ahahaha aku kadang kalau lagi capek banget, rumah berantakan, dan anak rewel langsung ke-triggered. Cuma aku menyadari kalau itu nggak akan membawa dampak positif apapun. Berasa banget ada art/ helper atau enggak. Kalau ada helper, aku bisa lebih ‘waras’ ke anak dan suami. Kalo gak ada.. hiks :’)
Puasa media sosial mungkin akan berat untuk pertama melakukannya. Tapi setelah terbiasa, disertai dengan niat yakin bisa kok.
Saya sudah tiga bulan lebih tidak melototi FB, gegara merasa percuma karena blog saya dianggap spam oleh FB. Gitu juga dengan instagram. Akhirnya kebiasaan. Kini buka medsos kalau ada email saja atau info di wa.
Semoga jadi kebaikan buat semua para ibu ya
Naluri makhluk hidup untuk marah dan ingin melampiaskan kemarahan itu. Karena harapannya dengan mengeluarkan emosi kemarahan bisa lebih plong. Cuma ya jangan terlalu berlebihan aja ya.
duh kayak ditampar2 baca ini.. entah kodratnya wanita yg suka marah2 atau emang ada wanita termasuk aku yang tipenya pemarah,.. huft kudu bebenah dari sekarang sebelum terlambat.. mumpung belum ada anak jadi aku harus perbaiki mental dulu supaya jadi bunda yang penyabar dan penuh kasih sayang.. thanks for sharing teh..
Ini bagus banget artikelnyaaaa, relate banget ma aku jga yang kyknya hobi marah2 huhuhu hahaha 😛
Iya soal ekspetasi lalu juga melihat kebahagiaan org kok kyknya hidupnya enak bener di medsos suka memicu gtu2 ya hahah. Makasih sharingnya mbak 😀
Btw aku dah hampir gak pernah ngurusin setrikaan lagi wkwkwkw
Meskipun namanya agak mirip, tapi ternyata beda banget ya mbak. Ngena banget sih artikelnya. Thank you for sharing mbak.
Artikel ini ngena banget di aku. Apalagi poin penyebab marah nomor 2. Haha. Makasih buat tips nya kak.
Betul bgt, kalau sama orang lain, justru lebih mudah mengendalikan emosi ya. Aku juga gitu. Harus banyak belajar lagi nih.
[…] Sedikit cerita, perasaan marah itu wajar untuk dirasakan ya temen-temen. Enggak boleh kita abaikan begitu saja. Kalau cuman didiemin dan ditumpuk begitu saja rasa marahnya, yang ada malah bahaya. Bisa meledak sewaktu-waktu dengan efek merusak yang lebih dahsyat. Jadi, marah itu boleh, yang enggak boleh adalah marah-marah. Saya sempat menulis tentang hal tersebut, di sini. […]
[…] Baca Juga : Memahami Bedanya Marah dan Marah-Marah […]