Emosi Negatif setiap lihat pasangan sendiri bikin kesel
– Madam A –
Beberapa waktu lalu, sembari menyetrika tumpukan baju yang menggunung saya mendengarkan kajian dari Ustadz Bendri Jaisyurahman. Topiknya sangat menarik, tentang apa yang harus dilakukan oleh istri yang memendam perasaan jelek terhadap suaminya sendiri.
Dalam tayangan tersebut, Ustadz Bendri membacakan sebuah curhatan yang masuk. Saya lupa persisnya seperti apa, tapi inti kasusnya adalah begini :
Ustadz, sesungguhnya saya adalah wanita yang manja. Tapi saya tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh suami saya. Semenjak menikah saya menjadi wanita yang mandiri namun keras. Penyebabnya karena suami lebih peduli terhadap saudara dibanding ke istri sendiri. Hal ini telah berlangsung bertahun-tahun. Kalau saya marah dia ikut marah, tapi kalau saya diemin aja dia enggak bakal paham. Saya harus gimana?
Well, doesn’t this sound way too familiar?
Saking familiarnya sampai Ustadz Bendri sendiri bilang bahwa hal-hal kayak gini tuh dialami oleh buanyaakk sekali populasi istri di dunia. Salah satunya adalah ibu yang curhat itu, saya, dan barangkali juga teman-teman pembaca.
Baca Juga : “Selingkuh” Dari Sudut Pandang Suami
Kasusnya tidak harus selalu lebih peduli ke orang lain sih. Berdasarkan fakta di lapangan, para suami ini cenderung perhatian banget ke hal-hal yang enggak perlu mikir,receh, ringan, dan enteng semacam hobi. Misalnya kayak ke burung, taneman, modif motor atau bahkan game. Emak-emak cuma bisa nahan jengkel kalau lihat suaminya kuat begadang sampai pagi buat main bola, tapi disuruh jagain anak lima menit aja udah molor.
Bukan berarti memiliki hobi itu salah. Saya sendiri punya hobi dan rasanya bisa edan kalau sampai enggak bisa menyalurkan hobi tersebut. Cuman kan harus tetep tahu waktu. Hobi bisa dilakukan ketika urusan wajib sudah selesai. Bukan malah mendahulukan hobi terus keluarga terbengkalai.
Nah, sebelum lanjut, gimana kalau kita semua berpelukan secara virtual dulu untuk saling menguatkan? Terus nih, jangan lupa untuk meyakinkan diri sendiri kalau… you’re beautiful, you’re wonderful, you’re strong and you’re not alone mom!
Pernikahan Tidak Melulu Berisi Bahagia
Ijinkan saya mengutip sebuah kalimat dari Rachel Venya, seorang selebgram yang belum lama ini telah mengajukan gugatan cerai. Padahal sebelumnya, Rachel dan Niko sang suami merupakan contoh couple goals yang menjadi rujukan banyak orang.
“Hubungan itu enggak selamanya rainbow, sun, butterfly kan?”
Iya banget dek Rachel, saya setuju. Sebuah hubungan apalagi hubungan pernikahan memang isinya tidak hanya yang manis-manis dan indah-indah doang. Sayang banyak orang terjebak dalam fantasi ini. Kehidupan nyata jelas beda dengan kisah para putri Disney yang selalu berakhir bahagia selamanya. Happily ever after is bullshit, wkwkwkwk.
Bahkan kalau mau jujur, pernikahan adalah awal munculnya ombak serta gelombang masalah baru. Kadang ada yang munculnya nanti, beberapa hari setelah bulan madu. Ada juga yang begitu selesai acara pernikahan besoknya malah ngambek-ngambekan.
Saya pribadi malah belum sampai seminggu menikah udah ngerasain yang namanya nangis bombay. Penyebabnya tentu saja karena kecewa. Ternyata perbedaan antara harapan dan kenyataan tentang kehidupan pasca menikah itu sangat besar.
Perasaan menyesal sebab menikah di usia muda pun pernah mampir walau hanya sesaat. Saya berulang-ulang tanya ke diri sendiri, sudah benar atau belum ya pilihan untuk menikah dibanding bekerja dan menikmati uang hasil jerih payah sendiri?
Iya, saya pernah sampai segoyah itu saking gedeknya sama masalah yang ada.
Tapi mungkin temen-temen lain ada yang ceritanya lebih ngenes. Bermasalah sama pasangan saja sudah bikin pusing. Apa kabar kalau ada campur tangan pihak ketiga seperti mertua, ipar, dan saudara lainnya? Dijamin langsung memutih dan keriting dah itu rambut saking lieurnya.
Terus ketambahan masalah finansial? Hmmm…nyam nyam. Puk puk, peluk dari jauh untuk teman-teman yang sedang dalam kondisi ini.
Fiuuhhh, intinya adalah, menikah itu berat. Berat. Berat. Berat. Tripel berat. Sangat menguji kesehatan mental. That’s why dalam Islam menikah disebut menyempurnakan separuh ibadah. Tantangannya enggak main-main.
Itu juga sebabnya saya suka sinis kalau ada yang kampanye tentang nikah muda. Terlebih kalau narasi yang diangkat terus-menerus adalah menikah demi menghindari zina. Oh please.
Bahwa salah satu tujuan menikah bisa menghindari zina itu betul. Sangat betul. Saya menerima lamaran suami ketika masih kuliah pun salah satu alasannya adalah itu. Tapi hey, Yusuf suami saya, berani menggantikan tanggung jawab Papa tentu saja karena paham betul bahwa tujuan menikah adalah untuk meraih ridlo Allah serta membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rohmah hingga ke jannah-Nya. #tsaaah
Punya pondasi yang kuat kayak gini aja ketika masalah datang, kami (eh, saya ding) masih sering amburadul. Kebayang enggak sih kalau alasan menikahnya cuma menghindari zina doang? Entar setelah tahu rasanya enak-enak terus bosen, terus bermasalah, bisa gampang minta pisah dong? Lha wong yang jadi pegangan awal nikah kan biar bisa enak-enak tok. Hiii, naudzubillahmindzzaliq
So please atuhlah akun-akun yang sangat pro menikah muda itu, tolong paparkan tujuan menikah secara komprehensif, menyeluruh. Kayak yang disampaikan Rachel Venya , realita menikah enggak melulu rainbow, sun butterfly. There might be storm or strong wind and anything else.
Sini deh tak kasih tahu, meski saya sendiri menikah muda dan alhamdulillah mampu bertahan hingga saat ini (insya Allah sampai maut memisahkan), saya justru supaya berharap dedek-dedek gemesh berpikir masak-masak jika ingin menikah. Jangan buru-buru, kecuali memang sudah sangat siap secara lahir dan batin. Jangan cuma batin atau lahir tok.
Belajar dari pengalaman, rasanya akan lebih baik jika kita menyelesaikan permasalahan dengan diri sendiri dulu sebelum menikah. Coba deh temukan apa kelebihan serta kekurangan diri kita. Setelahnya, usahakan untuk belajar mencintai diri sendiri. Lakukan itu dulu, semaksimal mungkin.
Setidaknya, kalau kita sudah selesai dengan diri sendiri, ketika nanti masa-masa sulit dalam pernikahan tiba, kita akan lebih siap. Kita tahu harus bagaimana, mengambil langkah apa. Meski tentu, semuanya harus dilakukan dengan meminta petunjuk dari Allah SWT.
Too Much Expectation Will Kill You
Pada awal-awal pernikahan, ekspektasi para istri biasanya gede banget. Eh itu mah saya ding. Lol.
Saya punya ekspektasi kalau setelah menikah Yusuf yang tadinya pendiam bisa jadi lebih banyak bicara, menyingkirkan game, meluangkan waktu untuk menemani, dan lebih banyak tersenyum.
Maka ketika di kehidupan nyata dia tetap main game hingga jam 3 pagi atau menunda pulang kantor untuk nongkrong dulu sama teman-temannya, dan tetap minim kata-kata saat mengobrol dengan istrinya sendiri, hati saya patah.
*samar-samar terdengar suara terpoteque*
Saya merasa begitu merana, seolah menjadi orang paling menderita di dunia. Saya merasa diabaikan, tidak dihargai, dan tidak memiliki nilai sama sekali di mata dia. Yang lebih menyebalkan, dia waktu itu enggak sadar kalau sudah bikin saya sakit hati.
Kami berdua jadi enggak klik. Apa ya, saya berusaha untuk bersikap biasa saja tapi ya enggak bisa. Karena memang menyimpan emosi negatif, setiap lihat wajah dia tuh bawaannya emosi langsung meningkat. Pernah mencoba mengungkapkan tapi sayang saat itu saya enggak ngerti cara berkomunikasi yang baik.
Jatuhnya saya marah dan menyalahkan dia, lalu dia balik marah dan akhirnya mendiamkan saya. Terus kalau didiamkan, gantian saya yang enggak nyaman. Saya protes dan berakhir ribut lagi.
Huffthh, sampai seblangsak itulah hubungan suami-istri yang saya rasakan di awal-awal pernikahan. Padahal saya hanya ingin menyampaikan pesan seperti :
‘Hei, aku sakit hati loh dengan sikapmu yang mengabaikanku.’
atau
‘Hei, aku kecewa banget loh saat kamu lebih memilih main game dibanding ngobrol sama aku, padahal aku udah nungguin kamu pulang sejak pagi.”
Tapi entah kenapa, setiap bertatap muka kata-kata itu sudah hilang entah kemana. Sebagai gantinya, saya justru mengeluarkan kalimat-kalimat yang bisa menyakiti hatinya sebagai balasan atas sikap dia yang telah menyakiti hati saya.
Pokoknya waktu itu kami saling tusuk-tusukan pedang lah. Jangan mikir jorok dulu, tusuk-tusukannya di atas ranjang mah enak. Maksud dari tusuk-tusukan pedang tuh saling balas menyakiti gitu loh, wkwkwk.
Bertahun-tahun kemudian, setelah berjuang melakukan healing dan konsultasi ke psikolog, akhirnya saya menyadari sesuatu : Jangan pernah menaruh ekspektasi pada orang-orang yang kamu cintai. Jangan.
Kenapa? Karena mereka inilah yang memiliki potensi paling besar untuk membuat hati kita kecewa.
Well, iya saya tahu rasanya aneh sekali kalau sama suami sendiri kita tidak boleh berekspektasi. Kan sama suami sendiri gitu loh, bukan suami orang. Tapi daripada kecewa terus-menerus lalu memendam emosi negatif ke suami dan akhirnya malah jadi benci? Capek dan merugikan diri kita sendiri enggak sih?
Yah, saya sendiri sesekali masih berkekspektasi ke suami kok. Tapi makin lama saya belajar untuk menyeimbangkan antara ekspektasi dan realita. Saya adalah orang yang paham suami itu kayak apa, jadi ketika berekspektasi, saya enggak pakai standar tinggi-tinggi. Suami saya dan Justin Trudeau kan jelas berbeda.
Misalnya nih, saya capek banget dan pengen suami bantu kerjaan rumah dan ngurus anak. Menurut saya, itu enggak mungkin. Pilihannya antara dia bantu beberes atau ngurus anak, salah satu saja. Terus nih, gaya beberes dia juga beda sama saya. Dia mah kalau nyapu asal saja, sedangkan saya kan sampe ke sudut-sudut banget. Daripada jadi masalah, saya mending minta dia untuk ngurus anak tanpa berekspektasi dia akan bantu beberes rumah. Pokoknya yang penting anak-anak bersih dan kenyang. Gitu.
Memasang ekspektasi serendah mungkin efektif mengurangi potensi konflik. Saya tidak kecewa pun tidak memendam emosi negatif. Alhasil hubungan pun jadi relatif lebih ayem.
KOMUNIKASI ADALAH KUNCI
Ketika menanggapi pertanyaan seseistri tersebut, Ustadz Bendri memberikan beberapa masukan yang menurut saya cukup baik. Baik di sini maksudnya bisa diimplementasikan di dunia nyata. Masukan tersebut antara lain :
Katakan Pada Pasangan Maunya Kita Apa
Suami bukan cenayang dan tidak pernah dibekali pelatihan khusus untuk menerka keinginan istri. So, jangan diem dan cuman kasih kode. Suami bukan telegraf yang bisa nerima dan nerjemahin kode. Cara terbaik dan simpel adalah SAM.PAI.KAN.
Sik, tak baleni meneh (tak ulangin lagi). SAM.PAI.KAN.
Selalu sampaikan apa yang kita mau kepada suami. Maunya dimanjain ya bilang mau dimanjain. Saya loh ketika pengen dipijetin atau dielusin punggungnya aja mesti ngomong berkali-kali. Lha gimana, kadang sekali ngomong aja doski masih enggak sadar, heu.
Mau martabak bilang mau martabak. Mau dipesenin Go Food ya bilang mau dipesenin Go Food. Pengen diangkatin galon ya bilang pengen diangkatin galon. Pengen ditemenin nonton, pengen dirayu, pengen diapa-apain ya ngomong yang jelas. Kode-kodean is a big no.
Sampaikan Emosi Negatif Yang Selama Ini Terpendam Setelah Anu-Anu
Ini Ustadz Bendri loh yang bilang, bukan saya. *pasang disclaimer dulu* Wakakakakakak.
Yaps, kadang kita para perempuan ini suka bingung, kapan ya saat paling tepat untuk menyampaikan keluh kesah? Soalnya kok kayak selalu enggak pas aja timingnya buat ngomong.
Nah itu, udah dijawab sama Pak Ustadz.
Sesungguhnya saya pernah denger tentang hal ini dari ustdaz yang lain. Konon katanya golongan kaum Adam tuh emang lebih rileks dan jadi bisa diajak ngobrol ketika syahwatnya telah tersalurkan. Jangan tanya pada rumput yang bergoyang kok bisa begitu. Kali-kali memang fitrahnya demikian.
Gunakan I-Message
Bukan I-phone ya, I-message. Maksudnya adalah, ketika bicara fokus kepada “aku”.
Apa yang “aku rasakan, apa yang aku mau.”
Contohnya, “Aku marah. Aku sedih. Aku kecewa. Aku sedih. Ake merasa diabaikan. Aku merasa tak berharga. Aku merasa kalah. Aku merasa berjuang sendirian, dsb dsb.”
Pola penyampaian kata-kata kayak gini memegang peranan penting dalam menyampaikan pesan loh. Soalnya ketika kita bilang bahwa kita sedih, suami jadi tahu kalau kita itu sedih.
Seringkali yang menjadi permasalahan justru karena kita menggunakan You-Message. Kayak apa You-Message itu? Itu tuh, yang isinya menyalahkan dan maramara enggak jelas.
Contoh kalimatnya gini, “Kamu tuh lebih perhatian sama saudaramu. Kamu tuh enggak peduli sama aku. Kamu itu enggak tahu kalau aku di sini berjuang sendirian. Dan semacam-semacam itulah.”
Nah gimana, kelihatan kan bedanya I-message sama You-Message?
Menurut teman-teman nih, pesan yang mudah diterima oleh pasangan kira-kira bila disampaikan metode I-message atau You-Message?
Banyakin Ngobrol Hal Yang Enggak Penting
Ini salah satu pesan Ustadz Bendri yang betul-betul terekam dalam ingatan saya. Ngobrol sama pasangan tuh asyiknya emang kalau enggak serius-serius amat. Hahah.
Saya merasakan sendiri. Ngobrolin hal receh semacam kentut siapa yang paling bau terus diakhiri ketawa bareng bisa membuat dada saya membuncah bahagia. Apalagi kalau sudah berbagi tawa begini, biasanya suami jadi lebih mudah didekati.
Nah, ide obrolan dari Ustadz Bendri justru lebih gila lagi. Kata beliau, kalau perlu suami-istri itu ngobrolin yang jorok-jorok dan porno-porno. Waaa iihhh ya ampun Ustadz, kok tahu kalau saya seneng nih sama yang beginian. Muahahaha.
Sungguh Ustadz Bendri adalah satu diantara sekian ustadz yang progresif dan paham realita kehidupan. Enggak kaku. Beliau secara terang-terangan bilang bahwa obrolan yang enggak penting gini, sesungguhnya sangat penting untuk kebutuhan jiwa.
Dan saya setuju.
Btw, saya sempet ngobrolin hal ini sama Yusuf. Ketika itu malam hari. Kebetulan anak-anak sudah tidur di kamar mereka masing-masing sehingga kami cuma berduaan.
“Eh eh, tahu enggak, katanya Ustadz Bendri, pasangan suami istri tuh perlu becanda yang topiknya jorok-jorok atau porno-porno loohhh.” kata saya memulai pembicaraan dengan antusias.
“Heee? Emang obrolan jorok-jorok dan porno-porno itu kayak gimana?” balasnya sambil mengerutkan dahi.
“Kayak gimana ya?” saya terduduk untuk berpikir sebentar. “Aku enggak tahu. Kamu tahu enggak?”
“Enggak tahu juga.” sahutnya.
Saya mendelik dan menyampaikan protes, masak iya sih dia enggak tahu. Bukannya kalau bapak-bapak sering berbagi jokes gituan ya?
“Aku bener-bener enggak tahu.” katanya keukeuh.
Kami berdua berpandangan cukup lama, masing-masing mikir. Ommo, sebetulnya pembicaraan porno itu kayak gimana sih bambang? Terangkanlah oiiii terangkanlah.
Semenit dua menit pun berlalu dan kami masih belum menemukan obrolan terkait hal-hal porno yang sepertinya asyik dibahas. Jebul, mikir ginian ki sulit.
“Halah, daripada ngobrolin yang porno-porno, gimana kalau praktek sekalian aja?” celetuk dia tiba-tiba. Saya langsung ngakak.
MEMENDAM PERASAAN BISA JADI BOM WAKTU
Emosi negatif yang tersimpan dan tidak tersalurkan bisa jadi hal yang berbahaya. Apalagi bila ternyata muncul emosi negatif-emosi negatif lainnya sehingga menumpuk. Ibarat kata seperti membuang sekam ke dalam drum tertutup. Mula-mula sedikit tapi karena enggak pernah dibuang akhirnya menumpuk sehingga begitu dikasih pematik, bisa meledak.
Dan efek ledakan tersebut bisa merusak segala sesuatu yang ada di dekatnya.
Barangkali ini sebabnya di grup-grup curhat psikologi, banyak istri yang mengatakan kalau dirinya depresi. Mungkin saking seringnya memendam emosi negatif ke suami dan enggak pernah dipahami sama yang bersangkutan.
Tapi saya pun tidak bisa menyalahkan karena tidak semua suami mau membuka pintu komunikasi sama istri mereka. Sedih baca curhatan para istri yang bilang kalau suami mereka selalu denial. Sekedar kasih makan dan uang lalu merasa cukup.
***
Terus maksudmu nulis panjang kali lebar kayak gini tuh apa to Madam A?
Well, maksud saya menulis adalah I’ve been there gaes. Saya pernah merasa stress dan hampir depresi saking banyaknya emosi negatif yang terpendam di dalam dada. Bahkan sampai sekarang pun saya kadang masih memendam.
Tapi memang, setelah bertemu psikolog dan tahu apa yang harus dilakukan, saya enggak begitu tersesat. Saya belajar untuk mengontrol ekspektasi dan juga menyampaikan pesan.
Berhasil? Tidak selalu.
Terkadang saya masih memakai You-Message ketika marah. Pun saya masih memiliki beberapa ekspektasi kepada suami. Meski ya untuk hal tersebut saya pasang standar yang enggak tinggi-tinggi banget. Biar pas ekspektasinya enggak kesampaian, saya bisa menata rasa kecewa lebih mudah.
Ya gitulah, namanya juga marrriage life. Sebahagia-bahagianya pernikahan tetep enggak bakal selalu semulus jalan tol. Pasti ada aja ujiannya to?
***
Gaes, udah 2300an kata ternyata gaes. Panjang juga ya? Hahaha. Enggak bosen kan kalian? Wkwkwkwk.
Yowislah, anak-anak mulai ribut nih. Saya akhiri dulu tulisan ini. Teriring doa untuk sesama istri yang saat ini sedang berjuang untuk tetap waras di tengah pandemi. Semoga pernikahan saya dan teman-teman semua langgeng, berada di jalan yang diberkahi Allah, dan kekal hingga ke Jannah-Nya. Aamiin ya robbal aalamiin.
11 Komentar. Leave new
Auto sesenggukan.. Hihihi.. Nice article embaaak…
Ahahaha,baca tulisan kamu membuatku melayang beberapa waktu ke belakang, been there, feel that ❤️ nikah bukan hanya enak enak gaes,tapi ibadah kepada Allah.
Mbaaak ini kok dalem banget yaaa? Tapi karena ada kocaknya aku gak peduli lah mau 2300 kata pun aku baca sampai titik terakhir.
Butuh bertahun-tahun dulu buatku untuk bisa bilang “Aku sedih lho kalau kamu gitu. Aku kecewa nih sama sikap kamu yang seperti ini. Dll.” Memang pernikahan ini sungguh penuh liku-liku, yaaa.
Secara gak sadar aq pun selalu mengeluh dengan you message. Harus belajar menggunakan i message ya
Aku juga gitu Mbk, awalnya suka nangis gt, ngerasa nyesal, kok malah resign kerja trs jd IRT gt pas awal nikah. Malah aku ga ad tmn krn baru pindah ke Jakbar.. tp lama2 aku sadar, kalo ga selamanya gni, pasti lama2 akan ad tmn, trs bisa kerja lg kalo sdh waktunya. Jd skrg udah berkurang frekuensi nangis bombaynya… Emg sih Mbk, aku suka sampein kalo aku marah, ga setuju, dll. Karena kdg smkin kita diemin, malah suami makin diem, bukan malah bujukin.. ☺☺😅😅
Wkkka aku ngakak yg bagian sama2 mikir ttg yg jorok2 itu. Ya ampun kalian kocak. Sama aku jg ngalamin. Apalagi habis nikah langsung ikut suami, merantau, jauh dari keluarga dll. Otomatis semua berubah. Hrs adaptasi. Yg tadinya berharap adaptasi nya didampingi ternyata malah ga sesuai realitas. Jadinya nangislah
Ini kalo yang baca para istri – sebagian besar pasti bilang “GUE BANGET”
sering sering nulis kek gini yaaaa Ajeng, aku suka bacanya
Artikel ini sangat ciamik, so relate. Menurutku Insting lelaki tidak setajam perempuan, gakan paham perasaan kecuali diungkapkan. Dan iya lelaki lebih solutip kalo kita udah bilang maunya gimana. Cumaaa seiring waktu udah bablas lg, memang perlu diingetin berulang2, ingatannya jangka pendek huft. Ini iya atau iya banget, mbak? Hihi
Trus i mesaage itu, aku mau dimanjain aja itu masih ambigu buat lelaki. Aku mau dipijit, mau dibeliin itu, dan mau lainnya yg benar² jelas, ya nggak sih mbak?
Mungkin ini yang dinamakan Cinderella Syndrom ya, Mbak. Ekspektasi vs reality berbeda dan ditambah dengan komunikasi yang kurang lancar. Timbulkan salah paham.
Beberapa waktu lalu pas banget lihat video Mbak Dewi Sandra. Tentang fokus pada kewajiban. Apapun peran kita, fokus saja pada kewajiban yang memang harus kita lakukan. Soal hak, minta ke Allah SWT bukan ke manusia agar tidak kecewa. Saat Allah ridho dengan apa yang kita lakukan, maka hak-hak itu akan terpenuhi. Saat semua pasangan memiliki mindset ini, Insya Allah keluarga lebih harmoni. Aamiin.
#NTMS
Terima kasih banyak sharingnya Mbak.
Mba, tulisannya bikin saya kenyang tanpa harus sarapanan, wkwkwk. Saya sama suami sama-sama bucin cuma bedanya suami saya gengsi dan egonya tinggi banget. Jadi selama ini saya yang suka mengalah, dia sih beberapa kali aja. Alhamdulillah, meskipun penuh dengan drama karena aku pernah merasa kok kayak dicuekin banget sih. Akhirnya aku mulai ngomong meskipun awalnya lewat chat WhatsApp. Dan cara itu bikin kita baikan lagi tanpa waktu lama. Aku sampaikan semua uneg-uneg dan pemilihan kata saat menyampaikan isi hati kita itu berpengaruh banget ya. Terus soal bercanda yang jorok-jorok aku juga setuju mba. Kami hampir setiap hari becanda seperti itu, wkwkwk. Terima kasih untuk tulisan yang bermanfaat ini, Mba.
Mba, ada rekomendasi psikolog pasutri gak y?