Tulisan ini murni curhat tentang saya yang dulu dipaksa menjadi IRT
– Madam A –
Pagi tadi saya menulis sebuah status di Facebook. Iseng aja sebenernya, kepo sama pandangan orang-orang tentang istilah ‘me time’ alias waktu untuk diri sendiri. Terutama bagi seorang IRT (Ibu Rumah Tangga).
Topik tentang wanita emang selalu menarik. Maklum, banyak ibu-ibu yang merasa relate. Benar saja, tanpa perlu menunggu lama, kolom komentar pun menjadi ramai. Tanggapannya kece-kece pula. Hasyik.
Nah dari sekian banyak yang urun pendapat, ada satu komentar yang menarik perhatian saya banget. Komentar itu ditulis oleh mbak Adinda Bintari. Begini bunyinya :
“Tegantung individunya. Ada yang passionnya jadi IRT. Bagi dia, liburannya itu ya klutekan di rumah sama perabotan dan anak-anak. Ada yang passionnya bukan IRT, pasti bisa jenuh dan butuh waktu me time keluar rumah sewaktu-waktu. Begitupun dengan ibu kantoran. Ada yang pekerjaannya adalah liburannya karena memang dia menemukan pekerjaan yang sesuai passionnya. Ada yang pekerjaannya adalah sebuah keterpaksaan demi kebutuhan. Jadi mau Ibu Rumah Tangga atau Ibu Uler Tangga, me time itu butuh enggak butuh. Kondisional saja.”
Tulisan beliau membuat ingatan saya terlempar ke masa lalu. Masa di mana saya enggak pernah bercita-cita jadi IRT. Apalagi saat itu, mama saya yang notabene seorang IRT pun kerap bilang supaya saya jangan jadi IRT. Pesan Mama, perempuan tuh harus bekerja dan pegang uang sendiri, gitu.
Sekitar delapan tahun yang lalu saya membayangkan kalau setelah lulus kuliah maka saya akan mendaftar ke perusahaan yang bonafide, mendapatkan gaji tinggi, traveling ke luar negeri, naik pesawat kelas bisnis, ngajak umroh mama, beli mobil, beli rumah, baru menikah. Ho’oh, kalian enggak salah baca, menikah adalah impian terakhir, bukan pertama.
Sejujurnya, saya justru horor banget tiap denger kata ‘menikah’. Suka heran juga sama temen-temen yang menikah di usia muda. Apa enggak mending seneng-seneng dulu sepuasnya sebelum ‘terjebak’ dalam kewajiban ngurus suami dan anak. Secara, kalau punya suami pasti enggak akan sebebas ketika masih singlelilah.
Tapi yaitulah, takdir itu lucu. Terutama karena Allah justru mengatur saya untuk menikah di usia muda. Saya menerima lamaran di usia 21 tahun, saat masih menjalani KKN, masih semester 6, masih piyik. Jaman di mana meski pake rok tapi jalan kayak laki, enggak ada manis-manisnya. Masih childish banget pemikirannya. Jaman hobi nyari quote-quote bagus di tumblr atau twitter terus di posting karena enggak bisa bikin quote sendiri.
Percaya enggak percaya, problem terberat saat itu adalah ketinggalan novel hisrom atau komik W Juliet nomer terbaru di taman bacaan langganan. Intinya, saya jauh dari kata siap untuk menikah, tapi bum! Tiba-tiba di lamar. Pusing enggak sih? Hahaha.
Tapi sepusing-pusingnya, ternyata saya tetap mengiyakan ajakan nikah orang yang saat ini menjadi teman bobo saya di kasur. Habis gimana lagi, orang itu melamar sambil ngasih ancaman je. Kata dia, kalau saya menolak atau menunda, dia mending ngelamar orang lain yang lebih siap.
Saya sebenernya enggak begitu takut sama ancaman dia. Saya sempat berpikir, yaudah sik kayak enggak ada orang lain aja. Laki di dunia kan enggak cuman dia, masih banyak yang lebih ganteng, lebih pinter, lebih solih, lebih segalanya. Iya kan?
Namun sayang sekali, saat itu otak dan hati kayak enggak sinkron. Otak berpikir rasional, tapi hati meronta-ronta menolak pemikiran tersebut. Hati saya berkata kalau saya tidak akan bisa menemukan orang seperti dia, dimanapun. Orang lain bisa jadi lebih ganteng, lebih pinter, lebih kaya, lebih sholih, tapi orang lain itu tidak akan mampu membuat saya merasakan seperti apa yang saya rasakan pada dia.
Saya menyerah pada kehendak hati saya dan memilih untuk berkata ‘ya’ pada lamarannya.
Sebelum menikah, saya dan dia sempat berdiskusi banyak hal. Maaf- maaf nih, mau sebucin apapun logika tetap harus berdiri. Menikah kan untuk seumur hidup ya, maka saya perlu tahu visi dan misinya dia, sejalan sepemikiran atau enggak, nyambung atau enggak, klik atau justru klok, gitu. Semuanya sempet saya tulis di lima pertanyaan yang perlu diajukan sebelum menikah. Dedek-dedek emesh yang mau nyontek pertanyaannya, dipersilahkan loh.
Nah, sejak sebelum menikah saya tahu kalau pekerjaan dia tuh sering pindah-pindah kota. Pindahnya dalam waktu dan ke tempat-tempat yang, hanya Allah SWT dan bagian mutasi pula yang tahu. Dia tidak ingin hidup terpisah, maunya dibarengin terus. Makannya dia sejak awal meminta agar saya tidak bekerja yang sifatnya ikatan dinas. Pupus sudah harapan saya untuk mendaftar pns ataupun perusahaan-perusahaan bonafide.
“Aku tuh enggak mau kita tinggal terpisah.” katanya, manis di bibir memutar kata.
Yasud, saya ho’oh-ho’oh aja karena waktu itu udah keriting ngurus printilan pernikahan. Sampai akhirnya jebreeetttt saya nikah dan terdampar di rumah kontrakan di Kabupaten Tulungagung, tanpa keluarga, teman, kenalan, dan enggak tahu jalannya blas.
Sehari dua hari saya masih biasa saja karena kesibukan bongkar-bongkar kardus menata rumah. Namun setelah seminggu, setelah rumah beres dan kerjaaan saya cuma nyiapin sarapan dan nunggu suami pulang, saya mulai merasa bosan.
Tambahan lagi, ternyata dia sebagai suami masih tidak mau meninggalkan hobi lamanya: main game. Bahkan setelah menikah pun dia masih menyempatkan diri untuk main game sampai jam 3 pagi dan tidur di pagi harinya. Jadilah kami gelut hampir setiap hari di rumah.
Saya sangat kesal dan marah dengan apa yang dilakukan suami saat itu. Sebagai pelampiasan, pernah saya mencoba mendaftar untuk bekerja, tapi rata-rata lowongan pekerjaan memberi syarat ‘wanita belum menikah’. Titel menikah ini menutup pintu saya untuk bekerja di tempat-tempat yang saya harapkan.
Ketika kami masih dalam suasana adaptasi (baca: bertengkar terus menerus) saya menyadari kalau saya terlambat haid. Nyobain testpack dan bener, garis dua. Campur aduk sekali rasanya, senang, bahagia tapi juga terselip sedih dan takut. Saya khawatir kehamilan ini menjadi alasan bagi dia untuk menahan saya di rumah. Benar saja, dia memutuskan agar saya di rumah karena kondisi yang rentan.
In the end, mau tidak mau saya pun berakhir menjadi Ibu Rumah Tangga.
Saya yakin, banyak teman-teman yang deja vu kalau membaca tulisan ini. Terutama teman-teman yang dulunya memang tidak pernah terpikir untuk ‘hanya’ menjadi IRT saja. Padahal kita tahu bahwa kita memiliki kemampuan untuk berbuat dan menghasilkan lebih.
Somehow, menjadi IRT rasanya begitu menyesakkan. Saya enggak suka dengan kerjaan domestik seperti beberes rumah, nyetrika, menjemur, masak dan seabrek lainnya. Apalagi pandangan merendahkan orang-orang terhadap profesi ini nyata adanya.
Udahlah enggak suka, dipandang rendah, enggak menghasilkan, ditambah sering tidak diapresiasi juga sama yang meminta, semua hal tersebut membuat saya makin tersiksa. Mana waktu itu sedang hamil dan sering muntah-muntah, fisik dan mental kayak dihajar habis-habisan. Tiap hari kalau enggak nangis ya marah-marah.
Begidik lah kalau inget masa-masa suram itu.
BERDAMAI DENGAN PAKSAAN
Nah, bulan maret nanti saya dan dia genap delapan tahun berumah tangga. Alhamdulillah, jumlah anak kami berubah dari satu jadi tiga. Dulunya kemana-mana berdua, terus bertiga, sekarang berlima kayak rombongan sirkus. Mau traveling pun sering mikir karena semuanya udah kena harga tiket dewasa.
Dan tenang, status saya masih tetap menjadi Ibu Rumah Tangga.
Enggak bosan? Bosan sih sebenarnya, hahaha. Tapi kali ini berbeda kok. Kali ini saya memilih jadi IRT karena memang ingin melakukannya. Saya mengambil keputusan ini dengan penuh kesadaran.
Dalam perjalanan melewati tahun demi tahun pernikahan, saya dan dia mengalami banyak hal. Kami bertengkar, berdiskusi, berbaikan, bertengkar lagi, ribut lagi, remuk lagi, bahkan sampai harus menemui psikolog karena saya merasa sudah tidak sanggup harus hidup bersama dia. Wkwkwkwk, lebay ya, tapi memang bener itu yang terjadi.
Allah memang maha baik. Saya bersyukur sekali karena sejauh ini, separah apapun masalah yang ada diantara kami, kami masih bisa menyelesaikannya. Entah itu diselesaikan berdua ataupun dengan bantuan pihak ketiga. Tapi memang, saya merasa ketika bertemu psikolog inilah saya menemui titik terang dan belajar berdamai dengan keadaan. Saya sempat menuliskannya di when love hurt your heart.
Butuh waktu yang tidak sebentar, perenungan panjang, dan perdebatan yang tanpa henti, hingga akhirnya saya merasa lelah dan menerima kondisi saat ini. Enggak mudah ya untuk bisa cuek mendengar omongan orang-orang tentang gelar sarjana yang tidak terpakai, atau betapa rapuhnya menjadi perempuan tanpa kemandirian finansial.
Pun sangat sulit untuk struggling dengan beratnya tanggung jawab mengasuh anak yang lebih dari satu, jaraknya deketan pula. Ada tiga kepala, tiga kepribadian, tiga keinginan, tiga kebutuhan, dan tiga-tiganya ini sama-sama minta perhatian.
Sungguh, menjadi IRT sangat rentan dengan stress karena memang tugasnya banyak sekali. Bahkan bisa dibilang enggak ada selesainya. Udah gitu, kebanyakan hanya berkutat di seputaran rumah. Buat saya yang memang sejak awal enggak punya passion menjadi IRT, jenuhnya luar biasa.
Sering saya pengen banget kabur dari rumah kalau sudah dengar anak bertengkar dan salah satu ada yang menangis. Sering juga kehilangan semangat saat ngelihat betapa berantakannya ruang tamu yang berserakan mainan, kotornya dapur, ataupun setrikaan yang menggunung. Andaikan bisa, pengen banget punya kemampuan kayak ibu peri, sekali kedip beres semua.
BERDAMAI
Seperti kata mbak Adinda, kalau memang passion menjadi IRT mau kerjaannya seberat apapun, pasti lebih santai dan tangguh untuk menghadapinya. Sedangkan bagi saya yang sejak awal ogah jadi IRT, bisa melakukannya dengan ikhlas jebul butuh hitungan tahun.
Saya dan suami banyak sekali belajar dan mengambil hikmah dalam proses pembelajaran menjadi IRT ini. Iya, enggak cuma saya, suami pun turut belajar menjadi pasangan dari seorang Ibu Rumah Tangga. Faktanya, untuk menjadi IRT yang bahagia, dibutuhkan dukungan dari suami tercinta.
Oke, mari kembali ke masalah cara berdamai menjadi IRT (ataupun kondisi lainnya). Apa yang saya kerjakan sebetulnya hanya dua hal saja kok. Pertama menghapus ekspektasi, kedua bersyukur.
Satu. Hapus Ekspektasi
Apa sih yang sebenernya membuat kita kecewa? Jawabannya adalah Ekspektasi alias keinginan yang tidak tercapai. Benar? Saya beri contoh kasus saya sendiri ya.
Saya berharap bisa bekerja di perusahaan A dan dapat gaji gede. Ternyata saya tidak bisa bekerja di perusahaan A dan malah jadi IRT. Saya kecewa, marah, benci, dan kesal pada takdir yang Allah tetapkan.
Lalu itu menjadi pembenaran bagi saya untuk merasa bahwa hidup saya tidak bahagia, tidak utuh, menderita.
Hal ini, keinginan yang tidak tercapai ini tumbuh menjadi duri dalam daging dalam hubungan saya dan suami. Setiap ada masalah muncul, pasti masalah tentang keinginan yang tidak tercapai tersebut ikut-ikutan muncul.
Saya bahkan pernah bilang ke suami, “Gara-gara kamu enggak ngebolehin aku kerja dan malah maksa aku jadi IRT, jadinya kayak gini kan. Coba kalau kamu biarkan aku kerja, pasti hidup kita lebih baik.”
Astaghfirullah, malu rasanya pernah mengeluarkan kalimat takabur seperti itu ke suami. Saya merasa berdosa karena telah meniadakan Allah di sini. Padahal, misal saya bekerja kantoran belum tentu hidup saya akan bahagia. Toh, hanya Allah yang tahu apa yang paling baik bagi hamba-hambaNya.
Tidak hanya itu, saya pun pernah menyalahkan keberadaan anak-anak. Saya sempat merasa andai mereka tidak ada, saya pasti memiliki kebebasan untuk bekerja menjadi ini atau menjadi itu. Astaghfirullah astaghfirullah astaghfirullah…
Sungguh saya menangis kalau ingat yang dulu-dulu. Betapa rasa kecewa gara-gara ekspektasi ini membuat saya buta pada hal-hal yang ada di depan mata, yang harusnya saya syukuri.
Bayangkan, saya punya suami yang begitu baik dan pengertian, anak-anak yang sehat, mertua yang luar biasa, serta cukup secara finansial. Tapi gara-gara satu keinginan yang tidak tercapai, semua hal yang saya miliki seolah tidak berarti.
Bener-bener deh, rasa kecewa yang tidak bisa dikelola dengan baik bisa membuat kita terjebak dalam lubang ketidakbahagiaan yang kita ciptakan sendiri.
Lalu bagaimana caranya supaya rasa kecewa ini tidak terus membuntuti saya? Mudah, saya menghilangkan penyebab kecewanya. Titik.
Saya mencoba untuk menerima bahwa memang bukan takdir saya untuk bekerja dan mendapatkan gaji besar dari perusahaan A.
Takdir saya adalah menikah dengan lelaki yang baik dan ganteng juga setia, lalu punya tiga anak yang lucu, membersamai mereka, dan bahagia sampai tua.
Saya terus menerus menyuarakan hal tersebut ke lubuk hati saya yang paling dalam. Saya bahkan bersujud, meminta kepada Allah agar dimudahkan dalam melepaskan impian yang dulu pernah ada.
Berat? Tidak, yang terjadi malah sebaliknya. Setelah melepaskan ekspektasi/keinginan ini, hidup saya justru jadi lebih ringan. Semua pekerjaan rumah tangga entah kenapa bisa dihadapi dengan santai, dan saya jadi mampu melihat bahwa anak-anak bukanlah beban.
Saya terkejut sekali, karena kenyataannya saya malah menemukan kebahagiaan setelah ikhlas melepaskan.
Dua. Beryukur.
Bersyukur ini susah-susah gampang, apalagi di jaman medsos. Serius.
Saya sendiri ngerasain kok, gara-gara lihat postingan temen yang sedang makan diluar, masakan yang saya masak sendiri kerasa hambar. Bukan salah masakannya, tapi karena muncul perasaan iri di hati. Asli, iri tuh sanggup membakar habis semua yang harusnya kita syukuri.
So, teman-teman bisa loh unfollow-unfollow akun artis atau siapapun yang berpotensi membuat hidup kita kebanting enggak berharga. Dengan menjaga list pertemanan, bersyukur menjadi lebih mudah.
Pun, kalau misalnya kita tidak suka sama postingan seseorang tapi kita tidak bisa menghilangkannya, cukup sembunyikan, lewati, abaikan. Jangan malah diamati teruuuus. Ingat, kita nggak bisa mengatur orang mau posting apa, tapi kita bisa mengatur diri kita mau lihat postingan siapa.
Tips bersyukur yang lain adalah lepaskan hape dari tangan kalian. Lepas terus rebahan sebentar di kasur. Coba lihat sekeliling, apa saja yang sudah kalian miliki sejauh ini.
Saya sendiri ketika rebahan terus diserbu sama anak-anak kok jadi mikir kalau Allah tuh sayang banget sama saya. Saya punya rumah untuk berteduh, punya dapur untuk memasak, punya anak-anak yang suka makan masakan mamanya, punya baju untuk dipakai, sesekali punya rejeki lebih untuk sedekah. Gitu aja udah merasa kaya.
YUK, MENJADI IRT YANG BAHAGIA
Pada tahun 2015 saya pernah menghadiri sebuah acara yang pengisinya adalah Teh Kiki Barkiah. Teh Kiki ini jadi semacam kiblat para ibu-ibu karena beliau punya anak banyak, tinggal dii luar negeri, enggak punya pembantu, tapi masih sempat berkarya.
Dalam forum tersebut, ada seseibu bertanya. Jadi, ibu ini dulunya aktivis di kampus, mahasiswi berprestasi dengan segudang kesibukan dan prestasi. Dia lalu memutuskan untuk menikah muda dan walhaa, berakhir menjadi IRT dengan satu anak yang masih balita.
Inti pertanyaannya sama dengan yang saya tulis di sini. Bagaimana caranya bisa bahagia dengan amanah yang digenggamnya saat ini?
Saya lihat Teh Kiki menghela nafas. “Kalau kita terus-terusan terpaku pada masa lalu, kita enggak pernah maju.” jawab beliau.
Saya setuju. Saya toh juga begitu, dulu. Selama kita masih membawa-bawa masa lalu, kita tidak akan pernah tahu caranya melangkah ke depan. Ya gimana, yang dipikirin yang udah lewat melulu kan? Energinya habis hanya untuk mengingat dan membayangkan yang dulu-dulu.
Padahal kita hidup di masa sekarang. Beban banget masa lalu itu. Jadi ya sudah, lepaskan. Ya kita memang pernah menjadi mahasiswi bertalenta dengan prestasi tanpa batas. Tapi saat ini, kita sudah memilih untuk memasuki masa yang lain, menjadi istri dan juga ibu, bukan lagi mahasiswi.
Timeline kita saat ini berbeda. Ijinkan diri kita untuk turun panggung sebentar. Mari simpan kenangan masa lalu yang begitu indah dan membanggakan itu. Mari nikmati saat-saat membersamai anak-anak kita yang begitu heboh dan luar biasa.
Saya sendiri yakin, akan ada masanya di mana mimpi-mimpi yang dulu tertunda, bisa dibuka lagi.
Terus, kalau mimpi yang dulu ternyata tetap tak bisa terwujud, gimana? Enggak gimana-gimana, kita tentu masih bisa menciptakan mimpi yang baru.
Sudah-sudah, saya kok jadi kebablasan ngomongin masa depan. Yang pasti, yuk kita mulai menjadi IRT yang bahagia, entah itu passion atau bukan, kita tetap bisa mengusahakan yang terbaik.
Sekian cerita dari saya, Ibu Rumah Tangga dengan tiga anak.
10 Komentar. Leave new
Mba Ajeng, aku suka sekali setiap baca tulisanmu. Terima kasih udah sharing pengalaman berharga ini.
Semoga kapan-kapan kita bisa ketemuan dan ngobrol yaa. Sehat-sehat Mba Ajeng & keluarga!
Ijin Share ya mbak Ajeng.. cerita nya lebih kurang sama dengan kehidupan saya..yang terpaksa nyemplung jadi irt.. Alhamdulillah suami punya usaha sendiri, lama kelamaan saya turut dilibatkan, jadi seperti bisa menyalurkan kembali hasrat ingin bekerja sekaligus tetap menjadi ibu dan istri yng baik untuk keluarga
Tulisan yang panjang, tapi saya suka bacanya dari awal sampai akhir, malah rasanya kurang, hahaha. Saya jadi penasaran dengan si bu satu balita itu, hahaha. Kepo amat ya. Terima kasih sudah menuliskan ini, mengingatkan saya untuk menulis lagi seperti ini,
Love banget, sungguh aku sangat terpukau pada tulisanmu, mba. Seolah mewakili perasaanku yang diam-diam terkubur selama ini, uhuuy. Ada sebuah part tentang rejeki di tulisan Mba Ajeng, yg kurleb kok kondisinya sama kayak gue. Awal-awal menikah, aku memutuskan resign dan jadi IRT (belum punya anak), dan begitu deh karena masih ada perasaan belum ikhlas pasti ada deh tiap ribut bawaannya nyalahin suami terus. Selalu bilang, coba kalau aku kerja pasti kita bisa ini-itu. Dan, pas baca ini langsung istighfar sebanyak-banyaknya, karena aku pernah ada di masa itu, huhu. Bikin mewek maksimal baca ini.
Bener bgt itu yg aq rasakan.. aq tau betul km sperti apa dikampus.. dan tb2 km dtg di acara wisuda dgn si ganteng yunan ya namanya? Aq lupa..
Saat itu jg aq berpikir hal yg sama sperti yg km tulis dsini.. ngga pernah terbayang jd irt yg terbatas dirumah dgn kerjaan domestik dan kebebasan yg terpenggal karna punya anak😅
Menikah adl cita2 trakhir sama persis sperti yg km tis dsini, mulai dari ekspektasi dan ambisius thdp hal yg kita bayangkan dan idam2kan.. ky de javu yaa baca tulisanmu ini
Km bner2 kuat yaa jeng.. huhuw
Dan klo aq liat tulisanmu aq jg sllu inget sodaramu mbk vistia itu yg kebetulan jg tmn aq🙂 kisah hidupnya jg luar biasa
Perbedaannya jelas aq masih bljr mengelola emosi smpe skrg, kdg masih srg kasar sama ank hiks apalagi ke kk yg lg punya adek.. adaptasi bgt ini
Kdg emosi bgt si kk ngga mau tau gt, sdgkan di sisi lain kdg aq merasa bersalah karna sadar kk itu jg masih kcil bahkan dia blm bsa mengerti apa itu resiko😂
Bener2 kudu belajar berdamai dgn keadaan.. dlu awal2 punya ank jg aq ky org yg stgh sadar stgg ngga.. karna stiap aq ngelakuin hal buruk aq tau akibatnya tp aq lakukan jg.. dan pd akhirnya aq berusaha berdamai dgn itu smua.. ngga pernah lg menentukan target.. mungkin mmg masih kebawa jaman single dan ambisius bgt dpt kerja..
Yaa aq bljr jg dri tulisan2 mu yg berdasarkan pengalamanmu..
Swmoga bsa lbh sabar ke anak2ku.. huhuw melow deh jadinya
Kdg merasa bersalah bgt itu klo si kk udah tdr.. berkali2 minta maaf dan inget perbuatan burukku ke dia, ntah itu teriak, marah2 atau bahkan nyubit dia..
Ya alloh.. aq kdg takut itu smua ninggal memory buruk ke dia.. kk khususnya, aq sllu berdoa di stiap solatku semoga kami bsa mendidik dan membesarkan ank2 ini dgn baik.. wlopun realita yg terjadi kdg bertentangan, pernah jg aq konsul.ke psikolog karna ngerasa “rada gila” 🙂
Semoga bsa lbh sabar..
Semoga aq bsa mengontrol emosi n amarahku
Makasih yaa ajeng 🧡💗😘
Sebuah tulisan yang sangat menginspirasi, semangat Mba untuk menjalankan perannya!
Love it. Aku selalu suka tulisanmu kalau sudah berkaitan dengan hal hal begini Mba, ada perasaan yang lega, meski belum seluruhnya. Setidaknya, bisa “sadar” lagi. Haha, makasi Mba Ajeng 🙂
semua pilihan dan kita hras bertanggung jawab dan intinya ya ikhlas ya
Haduh, Mbak, related banget sama kehidupanku. Aku pun dulu dilamar pas usia 21 tahun, tapi nikahnya tunggu aku lulus kuliah dulu. Setelah lulus kuliah aku sempat kerja baru deh nikah. Ternyata setelah nikah, aku harus ngalah alias jadi IRT karena kerja suami juga pindah-pindah. Sama-sama hanya Allah dan bagian mutasi karyawan yang tahu suamiku bakal dipindah lagi kemana. Hehehe.
Aku sekarang cukup menikmati peranku sebagai IRT. Tapi kadang kalau lihat perempuan pake baju rapi buat ke kantor, jadi muncul lagi irinya😂
Toss. Aku pun nggak punya passion jd IRT, jd suka judeg sendiri rumah berantakan, masak kok sering gak sempet. Tp skg berdamai ajalah dari ekspektasi2 itu, gak bisa kecapai, ya udahlah..
[…] saat hendak pindah ke Tangerang Selatan tahun 2014 dulu, ibu-ibu di Tulungagung memberi kenang-kenangan berupa mukena dengan motif batik bali. Masih ada sampai sekarang. Awet, […]
[…] Baca Juga : Tips Bahagia Jadi IRT Meski Awalnya Dipaksa […]
[…] saya ibu rumah tangga yang jarang banget dandan dan lebih sering pake bergo di rumah, kalau mau jalan keluar saya suka […]