Gaes, pernah enggak sih ngerasa sebel sama perilaku seorang anak? Pasti pernah lah ya, apalagi kalau anak itu berani nyenggol-nyenggol anak kita. Pertanda ngajak perang #halah.
Kayak ceritaku tentang si abang yang dulu pernah dirundung sama temennya. Mulai dari diludahin ban sepeda sampai ditinggal sendiri ketika jalan-jalan. Kisah serta langkah apa yang saat itu aku ambil sempat aku tulis di sini.
Serba salah sih kalau harus menghadapi anak orang. Kita marah entar si anak ngadu, enggak negur entar dia ganggu terus. Lapor ke orangtua si anak? Kalau si ortu mau berbesar hati nerima anaknya salah sih okelah, kebanyakan justru pada denial loh. Ntar endingnya justru anak kita yang disalah-salahin malah tambah bikin emosi. Perang beneran sama tetangga kan berabe.
Pada akhirnya, mau enggak mau kita cuma bisa menguatkan anak kita sendiri. Kita paham, gimanapun anak orang lain pasti punya pola asuh yang berbeda. #sigh
Nah, di tulisan kali ini aku pengen banget berbagi informasi tentang pola asuh. Khususnya pola asuh tradisional, pola asuh jadul yang membentuk kita jadi seperti sekarang ini.
Materinya aku dapat dari kelas parenting yang pernah aku ikutin. Mulai dari kelasnya Ibu Safithrie Sutrisno sampai Ibu Elly Risman. Iya, aku rajin banget ikut kelas parenting. Cuman sayang, aku masih gagal di praktek. Tapi jangan salah, aku berusaha loh! Meski ya teteup wae banyak bablasnya. Huhuhu.
Sebelumnya aku mau disclaimer dulu ya. Melalui tulisan ini, aku hanya mau menyampaikan hal yang aku rasa benar. Apabila teman-teman pembaca merasa bahwa apa yang aku tulis itu lebay, salah, dan hoax, ya monggo aja. Berarti visi dan misi parenting temen-temen mungkin enggak sejalan sama aku and it’s ok kok.
Daftar isi tulisan ini :
Apa itu Pola Asuh?
Pola asuh adalah pola interaksi antara anak bersama orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik seperti makan, minum, sekolah dan kebutuhan psikologis seperti rasa aman, kasih sayang , serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup dengan baik.
Prinsip dasar parenting sendiri sebetulnya ada di dalam Al-Quran loh! Aku pernah menulis tentang lima ayat dalam Al-Quran tentang pengasuhan yang perlu diketahui oleh orang tua. Dari semua ayat itu, yang perlu banget jadi pegangan mungkin surat At-Taghabun ayat 14 yang bunyinya :
“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memafkan serta tidak memarahi dan mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Belajar tentang pola asuh tak urung bikin aku menyadari bahwa yang paling berpeluang membentuk sikap dan perilaku anak adalah orangtuanya sendiri. Kalau dihitung-hitung, peran orangtua ada sekitar 80% sedangkan lingkungan cuma 20%.
Jadi, semisal orangtuanya berlepas tangan, maka yang 80% itu akan lepas. Sehingga lingkungan di luar rumah deh yang 100% membentuk perilaku anak. Cuman ini kan beresiko sekali ya, gak ada jaminan lingkungan di luar rumah itu betul-betul bagus loh. Meski di tempat semacam pesantren sekalipun, pengaruh buruk tetap ada.
12 Pola Asuh Tradisional yang Keliru
1. Memerintah
“Abang makan!”
“Dedek mandi sekarang!”
“Teteh beresin mainannya sekarang!”
Orangtua mana yang tidak mengenal kalimat perintah? Pasti semua tahulah, suka banget melakukannya malah. Kadang disertai pelototan mata dan nada suara delapan oktaf ngalahin Mariah Carey. Terus kalau perintah kita enggak diturutin, kita ngamuk-ngamuk. (Kita? Eh, itu mah aku ding maksudnya)
Mengapa memerintah menjadi pola asuh yang keliru? Iya sih maksudnya baik, ngasih arahan ke anak tentang apa yang harus dia lakukan supaya masalah cepat selesai. Tapi yang ditangkap oleh anak bisa jadi lain loh gaes.
Gara-gara suka main perintah dan enggak terima penolakan, anak jadi berpikir bahwa hidup tidak menciptakan pilihan. Anak terbiasa dituntun sehingga thinking skill-nya kurang. Efek lainnya adalah, tanpa perintah, anak enggak jalan, enggak ngerti harus ngapain. Nah kan Jeng *ngomong ke diri sendiri* Jangan sikit-sikit maen perintah!
2. Memberi cap/label
“Lama banget sih, kamu tuh lambat!“
“Pemalas banget sih, kamar sendiri gak diberesin.”
“Dasar pelit, berbagi sama adiknya aja enggak mau.”
Gaes, kalian dulu sering dilabelin apa sama orang tua kalian? Tukang ngibul, pembohong, pemalas? Aku bahkan pernah membaca ada seorang anak perempuan yang benci banget sama ibunya karena sejak kecil disebut lonthe.
Aku memahami perasaan si pencurhat sih. Pasti sakit banget hatinya dipanggil pelacur oleh ibu yang melahirkan. Bukan orang lain loh ya, ibu sendiri! Aku sampai bertanya-tanya, emang apa salahnya si anak sampai seorang ibu tega mengeluarkan sebutan sekasar itu.
Awalnya si anak ini denial, dia merasa dirinya bukan pelacur. Tapi saking seringnya label itu disematkan, maka secara tidak langsung alam bawah sadarnya menerima dan mengontrolnya. Lelah terus-terusan menunjukan bahwa dia tak seperti itu, akhirnya dia menyerah dan jadi lonthe beneran. Naudzubillah min dzaliq.
Jadi pelajaran banget nih supaya mulut gak sembarangan nyebut. Label yang kita sematkan ke anak berpotensi membangun self esteem anak loh. Makin sering ngasih julukan jelek-jelek ke anak, makin dia merasa bahwa julukan tersebut “gue banget gitu loh”.
3. Menyalahkan
“Gara-gara kamu sih kita jadi terlambat.”
“Coba kamu enggak rewel tadi, tukang donatnya pasti masih nungguin”
“Kamu makan melulu sih, jadinya baju ini enggak muat kan.”
Hehehe, nyalahin orang lain itu emang enak ya, hehehe. Enggak ada beban mental dan mudah banget dilakukan. Tapi sadar enggak sih, makin sering kita melemparkan kesalahan ke anak, makin kita menjatuhkan mental dia?
Yap, coba deh posisikan diri kita jadi anak yang disalah-salahin terus. Mau bantu masak, salah. Beresin kasur kurang rapi, salah. Ngerjain PR tapi nilainya gak sempurna, salah. Pokoknya salaaahhhhhh melulu.
Capek.
Selain capek, kita juga pasti jadi kesal karena usaha kita enggak pernah dihargai. Lama-lama males untuk melakukan kebaikan karena pasti UUS (Ujung-Ujungnya Salah). Kalau anak jadi enggak termotivasi blas saking seringnya disalahkan, terus gimana? Nah loh Jeng! *ngomong sama diri sendiri*
4. Mengancam
“Kalau enggak mau makan, panggil pak polisi nih!”
“Nggak mau nurut sama Mama? Mama tinggal sendirian di rumah ya.”
“Nanti digigit hantu loh kalau nggak mau tidur.”
Gaes, ancaman yang bikin kalian merasa paling traumatis itu apa? Coba share dong sinih. Kalau aku sih kayaknya lebih ke fisik, kayak dicubit gitu.
Emang sih, mengancam tuh jadi salah satu cara paling gampang bikin anak-anak nurut. Tapi kan ngeselin yak diancam-ancam. Kalaupun nurut, nurutnya karena terpaksa bukan karena cinta.
Udah gitu, efek lanjutan dari ancaman ini nyata loh. Anak yang awalnya biasa aja sama hantu, berakhir benar-benar takut. Sama polisi adem-ayem aja, jadi bener-bener takut bakal diapa-apain kalau ketemu. Duh.
5. Menginterogasi
“Kamu kerumah si A buat main game ya tadi pagi kok baru pulang jam segini?”
Asli, kalau orangtua udah mulai tanya-tanya detail itu nyeremin banget. Berasa jadi kayak kriminal yang diinterogasi sama polisi, wkwkwk.
Iya paham, aku tahu orangtua pasti khawatir dan selalu ingin tahu kemana anaknya pergi, apa yang dikerjakan olehnya. Tapi kebiasaan menginterogasi ini bikin anak merasa dicurigai, merasa kalau orangtua tidak percaya sama anaknya. Terutama kalau orangtua udah punya kesimpulan halu sendiri.
Kekhawatiran paling besar, menginterogasi bisa mendorong anak untuk berbohong.
6. Meremehkan
“Halah, dapet nilai segitu aja udah seneng.”
“Baru bisa cuci piring sendiri aja bangga.”
Orangtua di negara Wakanda emang rada-rada aneh sih, suka sulit banget mengapresiasi hal-hal kecil yang mampu dicapai anaknya. Kayak punya standar ketinggian gitu loh.
Pernah baca dimana ya aku lupa, katanya orangtua jangan memuji anak karena bisa bikin mereka sombong. Wow, entar dulu Ferguso! Memuji memang ada tata cara khususnya, tapi bukan berarti kita mesti meremehkan, merendahkan, dan menganggap perilaku baik anak.
Anak tetap butuh divalidasi, diakui kemampuannya. Apalagi kalau anak kita punya inisiatif sendiri, gak perlu disuruh-suruh. Meremehkan bisa membuat perasaan anak jadi ciut, insecure, merasa tidak mampu dan tidak dihargai.
7. Mendiagnosa
“Mama aku sakit perut.”
“Hah, ini pasti gara-gara kamu beli permen di warung depan itu kan? Iya kan?”
Aku masih inget banget waktu Bu Fithrie bilang kalau ayah-bunda papa-mama ayah-ibu yang bukan profesi sebagai dokter untuk diam sejenak kalau dengar anak mengeluh sakit.
“Hanya dokter yang boleh melakukan diagnosa.” tegasnya.
Hehehe, iya sih. Kebiasaan untuk mencari penyebab sakit tiba-tiba anak kita tuh kayak udah mendarah daging banget. Memang, kalau di film-film luar saya juga mengamati, ketika anak sakit orangtua langsung membantu meredakan sakit anaknya dulu. Entah dengan cara dipeluk, dielus, ditanyakan bagian mana yang paling enggak nyaman.
Di sini sakit sedikit bisa dituduh macem-macem. Anak jadi males ngeluh ke orangtua karena bicara terbuka enggak bikin sembuh malah nambahin beban mental.
8. Membandingkan
“Lihat tuh si A, nilainya 100 padahal enggak belajar.”
Keki enggak sih kalau diri ini dibandingin terus sama orang lain yang, makanannya beda, fasilitas hidupnya beda, lingkungannya beda, fisiknya dari ujung rambut sampai ujung kaki beda? Gondok bangetlaaahhh!!
Tujuan mamak-mamak dan bapak-bapak membandingkan anaknya dengan anak orang lain itu mungkin sekedar untuk memberi contoh. Biar anaknya termotivasi untuk lebih baik.
Faktanya, anak-anak tuh sebel banget dijadikan objek perbandingan. Alih-alih termotivasi, dia akan merasa tidak dicintai, tidak diterima, tidak dilihat.
Coba gantian, semisal anak membalas dengan kalimat “Coba deh lihat Mama si A, gak pernah marah-marah padahal A suka bikin masalah.” Apa ya nggak langsung kicep?
9. Mengalihkan/menyuap
“Tolong anak saya diterima ya, pokoknya saya siap dengan segala biayanya.” ucap seorang ayah ke seorang perwakilan sekolah, yang menolak untuk menerima anaknya, karena si anak enggak lulus tes.
Kejadian kayak gini pasti sering kita lihat dimana-mana, iya kan? Orangtua ikut campur urusan anak supaya lebih gampang dan cepat selesai.
Apa yang ditangkap seorang anak dari pola asuh yang seperti ini?
“Ah… aku enggak perlu susah-susah deh, entar Papa pasti bisa nyelesein masalah ini.”
“Asyik, aku main aja deh, toh ntar Mama yang akan maju untuk memperbaiki nilaiku.”
10. Membohongi
“Ayo makannya dihabisin, nanti Mama belikan mainan.” Lalu ketika makannya habis, Mama pura-pura lupa dengan janjinya.
“Jangan kesana, entar digigit ular.” Padahal di sana enggak ada ular sama sekali, Ayah cuma males aja jalan nemenin anaknya.
“Mama pergi sebentar ya nak, cuma ke warung.” Kata seorang ibu yang ternyata pergi untuk kerja, malam hari baru pulang.
Mau tahu darimana kebiasaan berbohong dan nge-prank itu muncul? Y dari kebiasaan-kebiasaan kayak gini.
Harus diakui, berbohong jadi salah satu cara cepat anak berhenti mengganggu. Tapi efek jangka panjangnya itu loh, selain bikin anak jadi ikut belajar bohong, anak juga jadi enggak percaya sama orang tua.
11. Menjamin
“Udah, PR-nya Mama aja yang ngerjain supaya kamu enggak telat.”
Aku sempat baca ada beberapa ibu yang rela mengerjakan tugas-tugas anaknya selama sekolah daring, karena anaknya gak mau ngerjain, dan waktu untuk mengumpulkan tugas udah mepeeettttt banget. Ditambah ibu-ibu lainnya juga udah pada selesai ngumpulin lagi. Waaa, makin-makin dehhh!
“Ya gimana Madam, kalau sampai anakku jadi satu-satunya yang terlambat atau enggak ngerjain tugas kan malu.”
Nah ini nih problemnya, membujuk anak yang lagi bosen dan bete banget sekolah dari rumah itu susah. Percayalah, akupun mengalami dramanya, lebih ngenes dibanding drama korea.
Pilihan untuk menjamin tanggung jawab anak membuat urusan cepat selesai, anak tidak susah. Tapi akibatnya, anak akan tumbuh tanpa rasa tanggung jawab. Toh semua masalah dia sudah dihandle sama orangtua.
Kalau kebiasaan ini terus berlanjut, kira-kira saat besar nanti apakah dia akan mampu menjadi manusia dewasa yang siap dengan tugas-tugasnya?
12. Menceramahi
“Abang, kamu itu blablabla. Harusnya kamu itu blebleblebleble.”
Haduuu, aku harus jujur kalau aku tuh sering banget kasih ceramah ke si abang sampai dia bosen. Pokoknya kalau aku udah mulai bicara, wajahnya langsung ditekuk. Habis itu dia milih melipir pergi, males dicerewetin sama Mama ceunah. Wkwkwkwk.
Padahal niat aku kasih ceramah dan nasihat itu lurus loh, biar dia memperbaiki perilakunya. Tapi makin aku banyak nyeramahin, makin dia memilih untuk menjauh. Sedih enggak sih?
Yuk Berhenti Pelan-Pelan
Madam, apakah dirimu sudah beneran berhenti melakukan pola asuh tradisional di atas?
Jawabannya : Belum.
Of course belum dong sayang, tapi aku berjuang untuk menghilangkan pola yang seperti itu sedikit-sedikit. Lebih banyak sounding dibanding perintah, sehingga aku tinggal mengingatkan. Lebih banyak ngobrol dibanding ceramah, sehingga aku bisa menyelipkan sedikit nasihat tanpa harus menasihati di sana.
Aku sendiri punya innerchild yang membuatku secara tidak sadar melakukan hal-hal di atas dalam banyak kejadian tak terduga. Kayak reflek aja gitu.
Temen-temen yang ngerasa tertampar, sini pelukan virtual. Percayalah, aku juga melakukan 12 pola asuh itu karena betul-betul enggak tahu gimana cara berkomunikasi yang benar ke anak.
Nah, masalah ini sudah aku jembrengin ya. Mudah-mudahan nanti aku juga bisa menulis pelan-pelan tentang cara bicara yang benar ke anak. Tanpa pake perintah, ancaman, kebohongan, paksaan, atau pelabelan.
Ayo semangat belajar!