Perundungan anak adalah suatu kejadian yang ingin sekali kita hindari. Namun, bila qadarullah terjadi pada anak kita, tetaplah tenang. Ada hal-hal yang bisa kita lakukan.
– Mada,m A –
Setiap kali mendengar kata perundungan atau bully, hati saya berdesir. Sebagai penyintas, saya tahu sekali kalau dirundung itu tidak enak. Menghancurkan mental, melibas rasa percaya diri, mengganggu aktivitas. Karena itu, saya selalu berdoa supaya anak-anak jangan sampai mengalaminya.
Salah satu ikhtiar yang coba saya lakukan adalah dengan menempatkan anak-anak di pemukiman ideal. Namun bahkan seideal-idealnya sebuah lingkungan, tetap saja ada kemungkinan buruk yang bisa terjadi. So, daripada worry dengan sesuatu yang tidak bisa dihindari, saya memilih untuk mengubah pola pikir.
Saya hapus tuh pemikiran untuk selalu memberi anak-anak dunia yang ideal. Well, tentu saja saya akan berjuang memberi mereka lingkungan terbaik untuk bertumbuh. Namun bila ndilalah lingkungan yang diusahakan kurang baik, maka saya sebagai orang tualah yang harus belajar membuat mereka beradaptasi.
Masih segar dalam ingatan, sebuah pesan yang disampaikan oleh seorang pakar parenting. Beliau bilang, 70% yang membentuk anak adalah pola asuh orang tua dalam keluarga. Sisanya yang 30% itu baru deh teman, tetangga, dan orang lain. Jadi, mau seburuk apapun kondisi di luar, apabila orangtuanya memiliki pola asuh yang baik, insya Allah anak bisa tetap tumbuh dengan baik.
Mengalami Perundungan Anak
Beberapa waktu yang lalu, si abang (8 tahun) pulang kerumah dengan tergesa-gesa. Sepeda dia jatuhkan begitu saja di luar, masuk rumah pun tanpa salam, malah berteriak memanggil “Mama! Mama! Mama!”
Saya yang sedang bekerja di kamar langsung keluar. Belum sempat bertanya ada apa, si abang langsung menubruk dan memeluk saya sambil terisak-isak.
“Eh, kenapa Abang?” pelan, saya elus punggungnya yang naik-turun karena menangis.
“Takut Maaa, aku takut. Aku tadi tersesat, ditinggal sama teman-teman. Aku kira aku gak bakal bisa pulang.” racaunya.
Saya berhenti bertanya. Si abang sedang histeris, dan dia butuh ditenangkan terlebih dahulu. Ketika tangisnya mereda, saya ambilkan dia minum lalu kami duduk bersama.
“Mama tahu kan aku tadi diajakin sama D untuk ke rumahnya P? Ternyata rumah P itu agak jauh, masuk-masuk ke dalam. Terus waktu tadi lagi istirahat sebentar, aku ditinggal. Aku takut banget Maaa, aku takut! Aku takut enggak bisa pulang lagi….”
Mendengar penuturan si abang, hati saya tentu saja panas. Duh, kenapa sih mereka itu masih anak-anak aja udah pada sejahat ini? Apa mereka enggak tahu kalau ninggalin temen tersesat sendirian itu berbahaya. Untung aja si abang masih bisa pulang karena nemu orang lain di jalan. Kalau dia sampai enggak balik piye? Huwaaaa.
Saya kembali mengelus punggung si abang yang masih belum merasa tenang sepenuhnya. Jujur, saya sendiri bahkan tidak tenang. Pengen keluar terus getok kepala anak-anak yang udah tega banget sama anak saya.
“Ya Allah, abang pasti takut banget ya? Mama bisa bayangin abang takutnya kayak apa. Alhamdulillah sekarang abang udah di rumah. Abang udah aman sama Mama.” Kemudian saya memeluknya erat, meyakinkan kalau dia sudah benar-benar aman.
“Abang sayang sama Mama.” ujarnya dalam pelukan, membuat saya nyesss.
“Mama juga sayang sama abang. Sekarang kita bikin roti bakar yuk, abang pasti laper karena tadi sepedaan dan nangis.” Mendengar kata roti bakar dia bergegas menghapus air matanya. Kami pun beranjak dan pergi ke dapur.
***
Semenjak kami sekeluarga pindah hampir dua tahun yang lalu, si abang bisa dibilang paling sulit mendapat teman seumuran. Cluster tempat saya tinggal sekarang kebanyakan penghuninya pasangan muda. Ada yang baru setahun dua tahun menikah sudah beli rumah di sini, sehingga anak mereka masih kecil-kecil.
Saya yang punya tiga anak berusia 8, 5, dan 3 tahun bahkan bisa dianggap senior. Padahal saya dan tetangga umurnya enggak beda jauh. Aslinya yang lebih tua dari saya pun ada. Cuman karena saya menikah muda, jadilah lebih dulu punya anak yang sudah besar.
Anak kedua dan ketiga lebih beruntung karena masih punya teman sepantaran. Awalnya saya pikir meskipun si abang tidak punya teman yang usianya setara ya tidak apa-apa. Toh dia masih bisa bermain di sekolah. Cuman ternyata belum setahun sekolah pandemi datang. Jadilah sekolah di rumah.
Sebagai akibat, kebutuhannya untuk bermain tidak terpenuhi. Yaaa walaupun dia bisa main sama adek-adeknya sih, tapi kan tetep aja feel-nya beda.
Itulah kenapa ketika akhirnya dia menemukan anak-anak lain yang seumuran dan bisa bermain, dia sangat senang. Anak-anak tersebut tinggal di luar cluster, dan saya tidak masalah dengan itu. Saya juga gembira sekali saat tahu si abang punya teman.
Saya mengundang mereka untuk main di rumah, menyajikan camilan, juga mengajak ngobrol . Saya tahu nama anak-anak itu, tinggal dimana, sekolah dimana. Saya selalu percaya, jika ingin orang lain berbuat baik kepada kita, maka kita dululah yang wajib bersikap baik. Prinsip ini saya pegang teguh.
Saya pikir semua berjalan baik-baik saja. Si abang mulai menikmati hari-harinya di rumah dengan lebih bersemangat. Enggak ada pundung, bibir manyun atau males-malesan.
Nah, masalah dimulai waktu si abang cerita tentang apa yang dia alami saat bermain. Awalnya keluhan dia saya anggap hal biasa dalam pertemanan. Tapiiii, lama kelamaan kok jadi makin sering? Alarm tanda bahaya pun menyala.
Berikut beberapa contoh perilaku perundungan yang dialami si abang :
- Tidak diajak bermain. Si abang datang ke rumah A untuk bermain. Begitu tiba, anak-anak yang sedang berkumpul di sana langsung kabur menjauh. Si bahkan berkata, “Dadah Yuan, kita enggak doyan lagi main sama kamu.”
- Ejekan menggunakan kata-kata seperti, penakut, manja, dll.
- Pelecehan. Celana si abang diploroti di depan yang lain.
- Diludahi. Sepeda si abang diludahi.
Sikap Saya Menghadapi Perundungan yang dialami Si Abang
Refleks saya setiap mendengar anak dibully adalah marah, sedih, dan takut.
Helooww, ibu mana yang enggak marah saat tahu buah hati yang dikandung sembilan bulan dan dirawat dengan sepenuh hati malah dinakalin anak lain? Cuma galon aqua yang bisa tenang-tenang aja menghadapi itu semua. Saya bahkan sering membayangkan untuk lapor ke polisi bila hal buruk benar-benar terjadi ke si abang. Saking gemesnya.
Tapi saya juga takut, kalau saya salah mengambil tindakan terkait pembully-an ini, entar dia enggak punya teman. Khawatir juga dia dikenal sebagai tukang ngadu atau anak mama. Terus kalau sedikit-sedikit dia mengadu saat dinakalin, saya pasti capek nanggepinnya.
Alhamdulillah, untung saya sempat membaca sebuah artikel yang membahas tentang Peran Orang Tua agar anak tidak dibully atau membully di ibupedia.com, situs parenting terbaik yang isinya sangat relevan dengan kebutuhan keluarga.
Dari artikel tersebut, saya tahu saya harus sangat berhati-hati menangani masalah ini. Saya kutip sebuah paragraf yang wajib dipahami oleh orang tua sebelum mengambil tindakan apapun :
Kadang anak merasa ini adalah salah mereka sendiri, kadang mereka takut kalau bullying akan lebih parah bila mereka bercerita ke orang lain. Anak juga cemas kalau orang tua tidak percaya atau tidak mau berbuat apa-apa. Bahkan anak takut orang tua akan memaksa mereka untuk melawan padahal mereka tidak berani melakukannya.
– Ibupedia.com-
So, setelah membaca situasi dan mengumpulkan informasi, ini dia hal-hal yang saya lakukan untuk membantu si abang menghadapi perundungan:
1. Hanya curhat!
Saya memahami bahwa alasan si abang cerita adalah untuk curhat. Mencari kenyamanan. Menemukan orang buat cerita. Dia mengadu bukan untuk membuat saya memarahi teman-temannya.
Karena itu, setiap kali dia cerita, saya perlu menarik perasaannya agar dia bisa release alias merasa lega. Gimana caranya? Mudah kok, cukup bertanya dengan kata-kata seperti di bawah ini :
- Abang sedih ya?
- Abang takut ditinggal sama si D tadi?
- Abang pasti kesal diperlakukan seperti itu?
Yap, menanyakan perasaan atas kejadian yang dialami akan membuatnya berpikir “Oh, Mama memahamiku. Mama tahu kalau aku takut ditinggal sama D. Mama ngerti kalau aku kesel diperlakukan kayak gitu.”
Selain merasa dipahami, merespon seperti di atas juga membuat si abang mengerti macam-macam perasaan. Dari peristiwa ini saja, dia jadi mengenal rasa takut, kecewa, dan kesal.
2. Biarkan Dia Ambil Keputusan Sendiri!
Berkali-kali saya mengingatkan diri sendiri sebuah hal penting : INI ADALAH MASALAH SI ABANG!
Ho’oh, perundungan kemarin adalah masalah dia, bukan saya. Ini medan perang yang mesti dia hadapi. Konsekuensinya, si abang jugalah yang mesti mengambil keputusan. Entah mau melawan atau mengabaikan.
Perundungan bisa terjadi di mana saja, kapan saja. Mungkin di sekolah dia bisa menemukan teman yang baik. Tapi di rumah? Tempat TPA? Tempat kerjanya nanti? Atau lingkungan lainnya? Belum tentu. He must learn how to feel, how to think, and how to do.
Sejujurnya saya ingin membiarkan dia berpikir mencari problem solvingnya sendiri. Tapi dalam kondisi tertekan dan sedih, dia pasti kebingungan harus melakukan apa. Jadilah saya tetap membantu memberi pengarahan ke dia.
Misalnya nih, ketika dia dibilang penakut sama temennya. Saya bertanya, “Emang abang takut? Kalau abang enggak takut, bilang ke teman-teman abang bahwa mereka salah.”
“Udah Ma. Aku udah pernah bilang ke mereka kalau aku bukan penakut. Tapi waktu abang balas, mereka justru makin jadi.” keluhnya.
Saya menghela nafas. Emang anak-anak kecil jaman sekarang pada nyebelin atau gimana sih? Seneng banget bikin enggak nyaman orang lain.
“Kalau misal mereka enggak mau berhenti ngejekin abang, atau perilaku jelek lainnya, abang boleh loh pulang.” kata saya, sembari memberi penekanan pada kata ‘boleh’.
Melalui dialog yang demikian, saya memberi petunjuk bahwa dia punya dua pilihan. Mau pilih yang mana aja terserah karena tidak ada pilihan yang salah. Akan menjadi salah kalau dia diam saja atau tidak cerita ke saya, huhuhu. Jangan sampai ini terjadi pokoknya.
Oh iya, selain belajar cara merespon bully, saya juga berusaha untuk tidak mengatur pertemanan si abang. .Meski gak bohong, saya ingin melarang dia bermain dengan si D atau si P yang akhlaknya enggak banget itu.
Tapi jangan salah, meski enggak bisa melarang saya masih bisa kasih dia masukan. Pastinya bukan dengan cara menjelek-jelekkan anak lain. Saya pribadi lebih suka menyampaikan rasa khawatir saya sebagai ibu. Jadi ketika dia mau bermain lagi sama si D, saya cuma bilang gini :
“Mama khawatir kalau kamu main sama D, kamu akan ditinggal lagi.”
Dengan menyampaikan kekhawatiran, anak akan merasa bahwa dia dicintai. Si abang jadi tahu, kalau keberadaan dirinya sangat penting bagi saya. Dari situ dia bisa bertimbang-timbang apakah akan lanjut berteman dan bermain sama si D atau tidak.
3. Memberi penguatan!
As I said earlier, anak yang dibully cenderung rendah diri. Merasa dirinya buruk dan pantas untuk dibully. So, marilah teman-temanku yang anaknya sedang mengalami perundungan, mari kita berpelukan virtual dulu.
*peluukkk*
Anak butuh diberi penguatan agar self esteem-nya tetap ada. Seperti saat si abang diejek penakut, saya bilang ke dia kalau dia itu pemberani.
“Mama yakin abang itu anak baik yang pemberani.”
4. Cari Akar Masalah!
Nah, ini nih bagian yang paling sulit untuk dilakukan. Sedikit tips, saat hendak melakukan pencarian akar masalah, pastikan diri kita dan si anak dalam kondisi tenang.
Apa aja sih yang diobrolin?
Saya fokus eksplorasi tentang hal-hal apa saja yang mungkin bikin temen si abang terganggu dan merundungnya. Habisnya gak mungkin juga kan anak saya diganggu tanpa alasan? Kalau sampai iya berarti levelnya udah kelewatan itu mah.
Ngajak diskusinya tentu saja dengan santai dan kasual. Sambil tiduran dan elus-elus punggungnya di kasur saya bertanya gini :
“Eh Bang, menurut Abang nih, kira-kira sikap yang seperti apa ya, yang bikin temen-temen jadi gak suka sama Abang?”
Dan beneran dong, pertanyaan itu bikin dia mikir.
“Emang kenapa Mah?” tanya dia ketika enggak bisa jawab pertanyaan saya.
“Nggak papa sih, Mama cuma penasaran aja kenapa temen-temen abang nih suka banget usil ke abang. Barangkali kalau kita tahu masalahnya kenapa, temen-temen bakal berhenti jahatin abang.” jawab saya hati-hati. Duh beneran deh, saya takut dia jadi salah paham.
Kemudian dia mikir lagi dan akhirnya merasa ruwet sendiri. Kelihatan dari raut wajahnya yang mulai berubah.
“Aku tuh kalau sama temen-temen baik loh Mah. Aku juga enggak ngerti kok mereka bisa gitu ke aku.” keluhnya terdengar frustasi.
Saya auto ngangguk-ngangguk dan meluk. Cukup, si abang ternyata belum siap untuk membicarakan hal ini. Jadi lebih baik saya menutup pembicaraan dulu.
Sebagai ibu, saya khatam banget dengan kelakuan dia luar-dalam. Saya tentu saja percaya bahwa dia anak hebat, anak baik. Tapi saya pun mengakui jika dia punya kekurangan.
Saya tahu kalau si abang itu suka banget ngomong dan memonopoli pembicaraan. Sekali nyerocos, susah sekali untuk menyela. Udah gitu, dia sering nyeletuk hal-hal yang saya rasa cukup sensitif. Seperti mengomentari rambut yang keriting atau hal-hal lain. Bahaya kan ya, kayak motor yang enggak ada remnya.
Saya menduga, sikap si abang yang ini yang membuat teman-temannya gak nyaman. Teman-temannya ini mungkin, mungkin loh ya, enggak tahu cara ngasih tahu si abang kalau mereka enggak suka sama perilakunya. Karena itulah mereka memilih menghindar dan malah merundungnya.
Meski sudah punya dugaan, saya tetap menyimpan pemikiran itu untuk diri sendiri dulu. Misal saya lontarkan langsung masalah ini ke si abang, saya takut dia down dan denial. Entar dia mengira saya menyalahkan dia gimana? Berabe, bisa-bisa dia enggak mau cerita lagi ke saya. Huhuhu.
Niat diskusi mencari akar permasalahan ini sangat mulia sebenarnya. Jika memang dia dibully karena terlalu banyak bicara, berarti dia mesti belajar untuk menahan diri saat ngobrol sama teman-teman.
Poin memunculkan kesadaran untuk intropeksi diri sendiri ini memang sulit. Enggak bisa serta merta sekali jadi. Harus pelan-pelan supaya dia paham. Fiuuhh.
Selamat Berjuang Nak…
Setelah melakukan berbagai macam sesi pembicaraan dan penguatan yang bikin deg-degan ini, apakah perundungan terhadap si abang selesai? Hohoho, tentu saja tidak Jose Fernando.
Saya tidak bisa mengatur perilaku orang lain, saya hanya bisa mengatur respon saya sendiri. Teman-teman si abang (Ya Allah, semoga mereka beneran bisa jadi teman) sikapnya memang macam-macam. Enggak selalu jelek juga kok, kadang mereka normal dan baik sehingga pulang bermain si abang terlihat gembira.
Perbedaannya adalah, si abang jadi tahu cara merespon perilaku keliru teman-temannya. Kadang dia mengabaikan, kadang dilawan, kadang dia memutuskan untuk pulang ketika benar-benar tidak nyaman.
Pernah dia pulang sebelum dzuhur, lapor kalau temen-temennya mengejek terus. Dia enggak ngeluh, dia cuma bilang “Aku kesel mah, boleh peluk?” gitu. And of course saya memberi dia pelukan yang dibutuhkan.
Lalu, pada sore hari teman-temannya ini datang ke rumah ngajak bermain lagi. Saat itu si abang keluar untuk bilang, “Aku enggak mau main dulu ah, nanti kalian ejek terus.” Kemudian dia masuk lagi ke dalam rumah.
Saya yang lihatin dari dalam jendela cuma bisa melongo. Kayak enggak percaya gitu loh si abang bisa bilang gitu, hahaha. Seneng deh tahu si abang memutuskan mengambil sikap. Dia memilih untuk gak main daripada main sama temen-temen yang menghinanya. Good Job!
So, PR saya saat ini tinggal memberi contoh adab berbicara yang baik dan benar. Masalah yang, kalau dirunut awalnya muncul dari saya . Soalnya cara bicara saya juga kayak gitu kalau di rumah. Ayahnya para bocah irit banget kalau ngomong, jadilah saya yang sering menguasai pembicaraan. Beneran kok children see, children do tuh…
Huhuhuhu, maluuuu. *Tutup muka*
Nggak papa, alhamdulillah masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri. Sejatinya parenting adalah proses belajar bagi orang tua kok, bukan cuma anak #tsaahh
Untung saja di masa sekarang tempat belajar parenting tuh ada dimana-mana. Salah satunya adalah ibupedia.com, website yang khusus membahas dunia orang tua-anak dari A-Z. Iya, saya sebut terus karena memang website ini artikelnya super duper lengkap. Menambah wawasan untuk parents yang masih suka bingung.
Daann, enggak cuma bahas anak loh. Masalah pernikahan dan hubungan suami istri pun termasuk. Bahasan itu-itu aja ada. Huahaha. Teman-teman pembaca pasti paham lah yang saya kasih garis miring itu maksudnya apa, wkwkwkwk.
Hihihi, lega rasanya udah menulis ini. Kayak plong gitu. Saya berharap sekali dengan melakukan treatment yang benar, si abang bisa keluar dari masalah bully-bully ini. Pastinya saya juga berdoa semoga ketika dia besar, dia bisa tumbuh menjadi anak yang punya empati.
Aamin.
Terakhir, adakah teman-teman yang punya pengalaman dibully dan berhasil mengatasinya? Atau mungkin punya anak yang sedang dibully dan butuh penguatan juga? Share cerita kalian di kolom komen yuk. Terima kasih banyak!
4 Komentar. Leave new
So much touching, suka banget dengan manajemen konflik yang Mbak pake. Langkah dan pendekatan yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah si Abang juga kurasa cukup bijak dan udah mempertimbangkan banyak hal. Ujungnya pun, Kita gak bisa juga maksain kehendak Kita, biarkan si Abang menentukan sikap yang akan Dia ambil sembari tetap Kita arahkan serta bimbing secara perlahan
Renyah. Ringan. Jleb juga pas emak sepertiku baca sampai akhir. Apalagi si Babang yang baru 6 tahun juga dapat bully dari bocah yang bahkan usianya lebih muda setahun. Tapi lingkungan udah paham banget sama karakter itu bocah dan orangtuanya. Dengan baca ini, aku juga ikut berkaca diri. Apa nih yang harus aku benahin dari cara diri sendiri merespons kelakuan itu bocah 😅 Karena kadang, pengen ikut ngejitak dan misuh-misuh. Nggak terima anak sendiri didzolimi. Kadang juga, ngasih tahu ke Babang kalau masih mau main sama dia, ya konsekuensinya harus siap kalau dipukulin atau dikatain macam-macam. Aku nggak berani gitu ke anak orang, anakku ngomong kasar siap2 mulut tak tabok 😅 Pokoknya gitu. Memang parenting itu pembelajaran sepanjang masa, baik untuk anak maupun ortunya. Butuh bijaksana banget, butuh aware dan mau membuka diri menerima masukan. Dan hal-hal terkait bullying memang menguras energi ya, Mbak. Mungkin karena aku sendiri pernah mengalami itu. Tiap kali anakku dibully, dan dia pulang sambil nangis.. nggak tahu kenapa badanku ikut lemes + gemetar gitu. Kalau orang Jawa bilang sih, dredeg. Panasssss nih 😂😂 Btw, thanks for sharing 🤗🤗 Bermanfaat sekaliii ❤️
memang harus bisa komunikasi yang baik dengan anak agar bisa terselesaikan ya
Pendekatan kakak ke si abang oke banget. Soalnya, agak susah mendekatkan diri ke anak apalagi pas dia lagi ada masalah kayak gini. Aku aja dulu tau anakku pernah dibully justru dari temennya. Temennya yang ngadu ke aku. Sampai pernah nangis karena aku merasa gagal banget. Akhirnya aku mengadakan sesi khusus bercerita. Aku mulai dari diriku sendiri yang cerita ini dan itu semasa sekolah. Barulah dia mulai terbuka.
Setelah aku dengar, ternyata anakku menolak cerita karena dia bisa mengatasinya sendiri. Yang bikin sedih justru ketika anakku dicorat coret bukunya. Kemudian dia balas dengan mencorat coret milik si pembully. Anak ini mengadu yang enggak-enggak ke ibunya. Akhirnya aku langsung menjelaskan si ibu yang nyatanya enggak percaya kalau anaknya ini membully anakku.
Jalan keluarnya, aku minta anakku untuk enggak terlalu dekat dengan si pembully dan meminta wali kelas untuk memisahkan tempat duduk mereka. Hingga akhirnya si ibu pembully sempat didatangi rombongan ibu2 yang juga mengeluhkan sikap anaknya.
Dari sini aku mulai sering bercerita ke anakku biar dia mau sering cerita juga ke aku. Terima kasih ya mak, sharingnya jadi pengingat biar aku semangat untuk selalu jadi pendengar buat anakku dan semangat buat mendidik dia biar bangga jadi diri sendiri juga.
[…] Kayak ceritaku tentang si abang yang dulu pernah dirundung sama temennya. Mulai dari diludahin ban sepeda sampai ditinggal sendiri ketika jalan-jalan. Kisah serta langkah apa yang saat itu aku ambil sempat aku tulis di sini. […]
[…] Terus si abang juga sempat di-bully sama anak-anak seumuran dia di dekat lingkungan rumah kami. Aku sempet menulis kasus si abang di sini. […]