
Dunia pendidikan kembali diselimuti kabar duka. Tragedi kali ini tentang seorang santri di Pesantren Modern Darussalam Gontor, Jawa Timur yang meninggal karena menjadi korban kekerasan senior. Lebih mirisnya lagi, pihak ponpes tidak jujur mengakui hal tersebut. Bahkan sempat menutup-nutupi penyebab kematian anaknya dengan alasan ‘kelelahan’.
Fakta-Fakta Kematian Santri di Gontor
Jujur, aku nulis sambil ngelus dada. Ada api kecewa dan juga kemarahan yang membara di dada ketika menelusuri kejadian ini. Ibu mana yang tidak hancur saat memiliki niat tulus menyekolahkan anaknya agar kelak menjadi seseorang yang berguna. Ndilalah justru mendapat kabar kalau dia yang dicinta tak lagi bernyawa.
Sebelumnya, aku akan coba jembrengin beberapa fakta mengenai kejadian ini :
- Berdasarkan Surat Keterangan Kematian, korban AM yang usianya masih 15 tahun (Ya Allah) meninggal pukul 06.45. Tapi tahukah teman, ibunda korban baru dikabari pukul 10.20 WIB oleh pihak ponpes. Emosi enggak? Pastinya. Curiga enggak? Jelas. Punten, ada jeda waktu lebih dari 3 jam loh itu, ngapain aja pihak Ponpes coba? Main tebak-tebakan? Ini bukan masalah anak melakukan kesalahan dan dapet hukuman. Ini nyawa seorang anak hilang dan orang tua enggak dikabarin sesegera mungkin? Well, I smell something fishy here.
- Perwakilan ponpes bilang kalau santri meninggal ketika jatuh akibat kelelahan. Sebelumnya AM ini memang sedang mengikuti kegiatan perkemahan.
- Jenazah AM dibawa melalui jalur darat ke Palembang. Terus bapak perwakilan ini menyampaikan ke pihak keluarga dan juga para pelayat yang hadir jika AM kelelahan akibat mengikuti acara perkemahan. Tapiiii, ketika kain kafan dibuka jenazah anaknya tidak layak dan berdarah. Bahkan sudah diganti 2x kain kafannya tapi darah tetap tidak berhenti. Duh, bentar ya gaes. Hatiku enggak kuat baca dan nulis ini. Aku jadi auto membayangkan kalau ini kejadian sama anakku, bakal mati rasa kayaknya.
- Keluarga marah besar (ya pastinyaaa) karena apa yang disampaikan perwakilan ponpes dan kondisi jenazah tidak sesuai. Akhirnya keluarga menghubungi tim forensik dan bersiap melakukan autopsi.
- Setelah didesak keluarga, akhirnya perwakilan ponpes mengakui kalau AM meninggal karena kekerasan. Mengetahui hal ini, ibunda mengurungkan niat untuk autopsi. Alasannya supaya jenazah segera dikubur dan tidak dibrak-abrik akibat autopsi. Beliau juga tidak melanjutkan ke ranah hukum karena ada banyak pertimbangan.
- Ibunda mengadu ke pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea. Kasus ini kemudian viral karena Hotman mengunggah kasus tersebut di instagramnya.
Update terakhir, kasus ini lagi bergulir. Kalau aku baca-baca pihak ponpes Gontor telah mengeluarkan santri yang terlibat dan bersedia mengikuti proses hukum yang berlaku.
Cuma memang, dari pantauanku di sosial media, salah satu alasan kenapa pihak ponpes tidak langsung mengabari orang tua AM karena ada perjanjian yang sudah ditandatangani oleh orang tua murid ketika anaknya didaftarkan di sana. Bunyi poin perjanjian yang dimaksud kurang lebih begini :
“Bersedia tidak melibatkan pihak luar pondok (aparat kepolisian, dll) dalam menyelesaikan urusan dengan pondok.”

Gila enggak sih? Sekelas Gontor yang merupakan pondok pesantren nomer satu di Indonesia loh ini. Tempat yang dijunjung untuk belajar agama. Terus jelas banget kalau di agama Islam berbohong itu dosa.
Kasus ini justru ironis karena kebohongan dilakukan besar-besaran oleh pihak pondok. Kita bisa lihat kalau semua pihak mulai dari ustadz sampai ke pimpinan ikut berbohong semua. Demi menjaga nama baik ponpes, berbohong pun dibenarkan. Mengerikan sekali.
Kekerasan Bisa Terjadi Di Mana Saja

Kegundahan dan kemarahan ini aku obrolin berdua sama suami. Yah, walaupun kami memang tidak ada rencana untuk mengirim anak ke pesantren.
“Kekerasan, bullying, yang kayak gitu sebetulnya bisa terjadi di mana saja mah. Enggak cuma di pesantren. Di tempat kerja, di lingkungan rumah, sama anak-anak tetangga pun bisa.” kata Cucup ketika aku cerita sampai berapi-api.
Well, Iya sih. Bener apa yang dia omongin.
Aku masih inget kasus pembullyan yang terjadi di kantor pemerintah yang bertugas sensor-sensor itu. Pelakunya orang dewasa semua. Orang-orang yang seharusnya sudah bisa membedakan baik dan buruk. Kacau.
Terus si abang juga sempat di-bully sama anak-anak seumuran dia di dekat lingkungan rumah kami. Aku sempet menulis kasus si abang di sini.
“Tapi Ay, yang jadi concern aku enggak cuma bully-nya yang parah banget sampai menyebabkan kematian. Ini pihak ponpesnya sampai bohong.”
“Kalau masalah itu jelas salah. Emang enggak bisa dibenarkan.”
Jujur ya gaes, aku enggak paham sama orang-orang yang memilih untuk menutupi kasus. Itu mereka dulunya kebiasaan kalau ada masalah tuh kabur dan ditinggal gitu aja kali ya? Takut banget buat ngadepin langsung.
Faktanya, kekerasan itu ada. Pelakunya ada. Korbannya ada. Bahkan korban sampai merenggang nyawa di tempat. Enggak habis pikir karena yang para pengurus ponpes itu khawatirkan justru ‘masalah menjaga nama baik’.
Jujur aku mual banget. Gimana ceritanya orang-orang kayak gini diberi kepercayaan untuk dititipi anak?
Sekolah Besar Bukan Jaminan Aman
Melalui tulisan ini, aku ingin mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya untuk Ibu Soimah, ibunda AM yang meninggal di Ponpes Gontor akibat kekerasan. Semoga wafatnya AM menjadi tabungan syurga untuk kedua orang tua. Semoga proses hukum berjalan lancar dan orang-orang yang menjadi pelakukekerasan serta kebohongan dihukum seadil-adilnya.
Hikmah lain yang bisa aku ambil adalah untuk beneran hati-hati memilih sekolah anak, terutama jika memang berniat memondokaan. Perhatikan betul bagaimana ustadz-ustadz di sana, suasananya, jumlah muridnya. Aku pikir bisa sampai terjadi kekerasan sefatal itu karena santri di Gontor sangat banyak sehingga enggak terlihat.
Baca Juga : Galau Memilih Pondok Pesantren Atau Sekolah Umum? Baca Ini Dulu Ya
Boleh banget loh orang tua bertanya tentang bagaimana cara sekolah mengatasi kasus kekerasan yang dilakukan anak didiknya. Buatku, pertanyaan ini malah jadi pertanyaan wajib ketika memilih sekolah.
Aku pribadi menyekolahkan si abang ke sekolah yang jumlah muridnya gak terlalu banyak. Satu kelas hanya 16 orang saja. Para guru jadi mengenal betul murid-murid yang ada di situ. Anak-anak juga gak bisa sembarangan jahatin temen-temennya karena pasti kelihatan.
Jangan lupa ceki-ceki aturan di sekolah ya. Kalau sampai disodorin surat pernyataan kesanggupan untuk tidak membawa ke ranah hukum jika terjadi kasus, baiknya tinggalkan aja. Serius ini. Nyawa anak kita jauuhh lebih berharga. Lagian sekolah besar belum jaminan bagus juga kok. Masih ada sekolah lain yang bagus tapi enggak kelihatan aja.
Supaya bisa dapat sekolah yang sesuai dengan kebutuhan anak kita, nomer satu yang perlu dilakukan adalah berdoa. Minta sama Allah. Kita enggak pernah tahu tentang masa depan. Tapi Allah tahu. Maka mintalah yang terbaik hanya kepada Dia.