Kaget dan shock sampai melotot, itulah yang aku rasakan saat membaca sebuah pesan WA dari seorang tetangga yang berbunyi, “Mbak, boleh coba tanyakan ke Aylan, bener enggak tadi dia merusak mainan punya xxx?”
Pesan tersebut disertai foto sebuah mainan suntik dokter-dokteran yang sudah dol pernya. Woh.
Rasanya pengen banget aku menghambur keluar dan interogasi anak-anak saat itu juga. Tapi tunggu dulu, sebelum berubah jadi naga yang nyemburin api, aku berusaha ambil jeda dulu. Duduk sambil atur nafas, exhale-inhale berkali-kali sampai yakin bahwa aku siap ngobrol sama mereka dan mendengar apapun jawabannya.
Setelah tenang, barulah aku berani buka pintu kamar. Luna sedang duduk di ruang tamu, sedangkan Aylan sepertinya masih di luar. Oke, aku coba tanya pelan-pelan ke dia.
“Teteh, tadi main ke rumahnya xxx?”
“Iya.” sahutnya sambil mengangguk.
“Tadi main dokter-dokteran bareng?”
“Iya, kok Mama tahu?” balasanya sambil balik bertanya.
“Apakah benar tadi Aylan merusak mainan suntikannya xxx?” tanyaku langsung ke pokok permasalahan.
“Iya Ma, bener kok. Tadi itu Aylan mainan suntikannya xxx, terus pas disimpen lagi udah rusak.” Luna menjawab dengan santai.
“Oh gitu, berarti yang dikasih tahu mamanya xxx betul. Makasih ya Teteh.” kataku menutup percakapan lalu memeluknya.

Aku memang belum sempat ketemu dan konfirmasi ke Aylan langsung, tapi berdasarkan penuturan Luna, aku tahu kalau aku harus secepatnya mengirim WA permintaan maaf dan tawaran untuk mengganti kerusakan.
Tetanggaku sungguh baik. Sepertinya dia lega karena aku sudah menjawab pertanyaannya dengan jujur, mengaku salah, serta minta maaf. Kemudian untuk masalah penggantian, dia sempat menolak dan bilang kalau mainan tersebut bisa diselotip.
Membaca tanggapan tetanggaku yang seperti itu, aku justru makin enggak enak. Aku cukup yakin kalau kami berdua sama-sama paham bisa saja Aylan tidak bermaksud merusak, cuma penasaran. Tapi qadarullah barangnya memang rusak, dan aku sebagai orangtua Aylan wajib tanggung jawab. Terutama saat tahu kalau mainan itu favoritnya xxx.
Jadi ya aku tetap mau mengganti. Apalagi menurut kaidah fiqh agama yang aku anut, perbuatan merusakkan barang orang lain hukumnya sama, apakah terjadi karena kesengajaan, ketidaktahuan, atau karena lupa. Sama-sama wajib mengganti.
Jika Anak Merusak Mainan Teman, Orang Tua Wajib Bertanggung Jawab
Anak-anak memang belum bisa dimintai tanggung jawab masalah mengganti mainan rusak. Tapi bukan berarti bisa lepas tanggung jawab atau dibiarkan gitu aja. Tanggung jawab ini berada di tangan orang tua.
So, akhirnya aku memesan mainan yang sama di marketplace hijau, meski mamanya xxx beli di marketplace oren. Selesai membayar, aku mengabari tetanggaku tersebut dan memintanya untuk menunggu. Dia sangat berterimakasih dan menghargai usahaku. Aku meminta maaf padanya sekali lagi dan dia menjawab kalau dia sudah ridlo.

Tak lama, anak-anak dia datang ke rumah dan mengajak anak-anakku bermain. Mereka kemudian bermain bersama sampai menjelang maghrib dengan riang gembira.
Hubunganku dengan tetangga juga baik-baik saja loh. Kami tetap say hi atau saling komentar di sosmed sampai sekarang. Nggak ada omongan-omongan jelek di belakang atau apapun. Clear sudah.
Aku suka sekali dengan tipe tetangga seperti ini, yang kalau ada masalah memilih untuk BILANG, bukan malah diampet diem-diem. Terbuka jauh lebih baik dibanding keep silent tapi malah nyebarin omongan gak enak kemana-mana. Punya masalah tapi penyelesaiannya gak to the point itu menyebalkan.
Tapi, bisa jadi tetanggaku itu berani ngomong ke aku juga karena tahu aku orang tua yang kayak apa sih. Bukan, bukan bermaksud memuji diri sendiri, coba dipikir secara logis deh, gak semua orang cukup berani untuk bicara terbuka kalau bukan karena yakin bakal diterima.
Baca Juga : Mengenal 12 Pola Asuh Tradisional Yang Keliru
Jauh sebelum kasus ini terjadi, suamiku pernah menulis di grup warga yang isinya kurang lebih, “Apabila ketiga anak saya membuat masalah hingga menimbulkan kerugian, silahkan menghubungi saya atau istri saya. Insya Allah kami akan bertanggung jawab.”
Tetanggaku ngerti kalau dia cerita tentang perilaku Aylan yang keliru, aku enggak akan denial dan balik nyalahin dia. Banyak kasus-kasus kayak gini soalnya. Udahlah anaknya suka bikin masalah, saat dilaporin ke orangtua, mereka justru nyalah-nyalahin pihak korban.
Aku enggak mau jadi orang tua yang kayak gitu. Memang, rasanya malu dan enggak kuku saat tahu anak kita merusak mainan orang lain. Anak yang selama ini kita jaga, kita ajari adab, kita bangga-banggakan kok kelakuannya diluar malah gitu. Duuhhh, mau ditaruh di mana muka kita?
Tapi bukan itu poinnya. Orang tua harusnya mampu menerima kalau anak telah berbuat salah dan merugikan orang lain. Terima aja semua perasaan kaget, malu, dan kecewa itu. Berdamai dengan cepat, agar bisa segera move on dan mencari solusi terbaik seperti meminta maaf kepada pihak yang dirugikan. Itu, fokuslah dulu kepada korban.
Wajar kalau anak berbuat kesalahan. Bukankah dari kesalahan kita justru bisa belajar? Semakin kita denial, merasa bahwa anak kita enggak akan salah, ya semakin anak kita abai untuk belajar. Hati-hati aja sih, sekali dua kali mungkin enggak papa. Tapi kalau orang tua mikir gini terus, lama-lama orangtua lain akan meminta anak mereka untuk jaga jarak dengan anak kayak gini.
Nah, mau enggak dijauhin? Enggak enak banget loh!
Mengakui kesalahan anak, meminta maaf, dan bertanggung jawab, menghindarkan kita dari perbuatan dzolim. Selain itu, tetangga juga akan merasa aman saat anak-anak mereka main dengan anak-anak kita. Lingkungan bermain jadi terasa lebih nyaman.
Kesimpulannya Adalah…
Aku rasa, semua orang tua akan melewati fase ini. Terutama ketika anak-anak kita sudah bisa bermain dengan orang lain di luar rumah. Ini sesuatu yang bisa kita hindari kalau mau, salah satunya dengan sounding. Aku mengaku kalau aku salah karena membiarkan anak-anak bermain tanpa sounding ke mereka terlebih dahulu. Kumenyesaaalll, huhuhu.
Apabila sudah terlanjur terjadi kerusakan, ya sudah, kita bisa memperbaikinya kok. Tips dari aku untuk orang tua yang berada di posisi ini adalah :
- Tenang, jangan asal nyembur dulu. Orang lain cerita perilaku keliru anak kita bukan untuk bikin dia dimarahin habis-habisan. Bukan.
- Fokus pada perassan korban. Sampaikan permintaan maaf dan tawarkan hal-hal yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki kerusakan.
- Katakan bahwa kita berjanji mengingatkan anak agar behave jika bermain bersama lagi.
Nah, lega banget rasanya bisa nulis di sini. Anyway, aku enggak ngerasa paling betul, barangkali teman-teman pembaca mengalami cerita yang sama dan punya tips lain, yuk sharing di kolom komentar yah!
3 Komentar. Leave new
[…] Baca Juga : Ketika Aylan Merusak Mainan Temannya […]
Kadang-kadang, ada juga orang tua yang masa bodoh anaknya sudah merusakkan mainan temennya. Bertingkah seolah nggak ada apa-apa. Meski tahu bahwa anaknya sudah merusakkan. Kadang malah nyebelin.
Ini bisa jadi pembelajaranku banget nih. Seenggaknya kita menjadi paham bahwa merusakkan barang orang lain mau konteknya nggak sengaja juga kudu mengganti.
Galau banget pagi nanti di panggil kesekolah gara gara aku watshap orangtua pelaku pengrusakan barang anakku ,si anak kalau marah suka berekspresi merusak barang temanya,dari tempat pensil,botol air ,sepele tapi itu barang kesayangan anakku ,dan cuma berani ke anakku meskipun yg bikin dia marah anak lain ,si ibu anak ini bukan fokus mengerti perasaan korban dan minta maaf tapi sibuk mengorek alasan kenapa anaknya berbuat begitu ,padahal fokus saya cuma satu nasehati,mengerti ,dan maaf ,malah kayak orang bertengkar di wa. Akhirnya besok pagi mau di pertemukan saya dan orang tua si anak ini.
iya juga teh, di tempat saya ada anak tetangga yang suka bikin rusuh di rumah saya, nakalin anak2 saya juga sampe anak2 kapok ke masjid.
Setiap saya laporin ke ortu si anak, ortunya malah marahin anaknya habis2an sampe urat lehernya bertonjolan, kan sayanya jadi gak enak, padahal saya berkali2 dirugikan