Bismillah, setelah sekian lama terpendam akhirnya jebol juga nih pertahan untuk nulis pengalaman tentang anakku yang ketahuan mencuri. Maju mundur banget mau nulis tentang ini karena aku malu. Selama ini kan aku nulis dan menerapkan beberapa tips parenting, qadarullah kejadian kayak gini juga.
Tapi to, meski sememalukan apapun, meski aku pengen menghilang sesaat dan nganggep kalau kejadian ini gak ada, aku tetep gak bisa menghilangkan fakta . Fakta bahwa anakku ketahuan mengambil barang tanpa ijin (dihalusin lah ya bahasanya) di sebuah minimarket dan membawanya ke rumah tanpa aku ketahui, dan tanpa dibayar.
Baca Juga : Pengalaman Belanja di Siklus Refill Ramai-Ramai
Enggak pernah terbayang di benakku kalau anak-anak bakal melakukan hal demikian. Udah gitu, barang yang diambil enggak cuma satu pula, tapi dua. Ya Allah…
Awal Mula Ketahuan
Awalnya seperti biasa aja sih, aku jemput dia ke sekolah terus mampir ke minimarket. Aku lupa waktu itu urusanku untuk beli apa. Anak-anak sempat bilang kalau mereka ingin ini dan ingin itu. Rasanya ini sesuatu yang normal terjadi lah ya. Namanya juga anak-anak, kalau masuk ke toko dan lihat sesuatu yang menarik pasti pengen.
Responku ketika mereka mengatakan ingin ini itu tentu saja aku tolak. Sejak awal aku juga sudah sounding ke mereka kalau mampir ke minimarket hanya untuk beli apa yang aku perlukan. Bukan jajan ataupun beli mainan. Sampai situ mereka paham dan selama ini sounding tersebut pun alhamdulillah berhasil.
Baca Juga : Sounding yang efektif? Ini tips-nya!
Kami pulang bersama-sama dari minimarket dengan riang. Selanjutnya kami melakukan kebiasaan kami. Mereka menyimpan tas dan ganti baju lalu bersantai sambil nonton tivi. Sedangkan aku masuk kamar dan duduk depan laptop karena harus menyelesaikan tugas.
Suasana saat itu aman dan damai sampai salah satu dari anakku tiba-tiba berteriak. Pintu kamar aku kunci sehingga aku enggak bisa mendengar percakapan mereka secara jelas. Hanya beberapa kata saja yang terang seperti,
“Aku laporin.”
“Jangan kasih tahu Mama.”
Nah, karena terdengar mencurigakan, aku pun buka pintu dan jeng jeng jeng! Dua anak tersebut lagi berada dalam posisi rebutan. Pas aku tanya ada apa, mereka justru diam saja, enggak mau jawab sama sekali.
Aku merasa hal ini aneh, tapi lagi-lagi karena kebetulan waktu itu kerjaanku emang rada rieweuh jadi aku abaikan perilaku mereka dan balik lagi ke depan laptop. Kunci kamar aku buka sehingga mereka bisa leluasa masuk. Sambil ngetik, gak lama kemudian salah satu dari mereka datengin aku dan ngasih ini :
Ada dua bungkus sampah makanan yang ENGGAK PERNAH AKU BELI! Sumpah, aku enggak merasa membeli permen warna-warni itu, dan aku tahu betul keduanya dijual di minimarket yang tadi kami datangi.
Aku auto nge-freeze.
Butuh waktu untuk mencerna baik-baik gimana ceritanya ada sampah makanan yang enggak aku beli. Pun aku juga yakin kalau enggak ada orang lain yang ngasih itu. Pilihannya cuma satu : anakku ngambil tanpa ijin, tanpa aku tahu, tanpa bayar.
DUAR!!
Meledaklah aku.
Dengan gemetaran, aku langsung minta anak-anak keluar kamar dan menguncinya. Sesegera mungkin!
Aku pengen teriak, pengen mukul, pengen nyubit, pengeeennn banget nyakitin mereka yang sudah berani mengambil barang tanpa ijin. Aku marah. Aku luar biasa marah. Emosiku saat itu betul-betul enggak keruan.
Jadi, supaya enggak terjadi sesuatu yang bakal aku sesali, aku menjauhkan mereka dari jangkauan sementara.
Di dalam kamar, aku menangis. Marah, kecewa, sedih, malu… Aku bahkan ngerasa gagal total jadi orang tua. Aku merasa buruk dan enggak layak mengasuh anak. Blangsak, bener-bener sampai gak ngerti lagi kata-kata apa yang pas untuk menggambarkan perasaan itu.
Setelah tangis mereda, aku memotret sampah-sampah itu dan mengirimkannya ke Cucup. Sambil sesenggukan, aku juga mengirim chat, cerita tentang tragedi yang baruu banget terjadi.
Anak-anak diluar gedor-gedor pintu sambil manggil ‘Mama, Mama’. Mereka kayaknya panik dan juga bingung mendengar mamanya nangis di dalam kamar. Tapi aku enggak peduli. Gedoran mereka tetap aku abaikan. Aku belum siap menghadapi mereka.
Mencari Solusi
Sambil menunggu tanggapan suami, aku juga mencoba untuk WA Ibu Safithrie Sutrisno. Beliau adalah konselor keluarga yang sering menjadi tempat kami berkonsultasi dan bertanya tentang masalah anak-anak.
Aku betul-betul enggak ngerti harus ngapain karena perasaaanku saat itu sedang dipenuhi emosi. Aku enggak bisa berpikir jernih. Dan sepertinya pilihanku tepat. Tak lama setelah aku chat, beliau membalas, memintaku untuk tenang dan merilis perasaan terlebih dahulu. Berikut aku coba tulis ulang percakapan kami berdua. Latar belakang hijau untuk chat Bu Fithrie, warna biru untuk latar belakang chat aku.
“Ajeng, inhale-exhale, alirkan perasaan Ajeng terlebih dulu sampai benar-benar tenang ya.”
“Anaknya enggak merasa bersalah buk. Malah kembali main-main seperti biasa.”
“Ajeng, nak, tolong buang dulu bikiran-pikiran buruk yang bikin kita jadi berprasangka buruk ke anak kita ya *emot peluk* “
“Fokus dulu dan tenangkan diri, Luna anak baik.”
“Apa yang Ajeng tuliskan tadi (tentang anaknya tidak merasa bersalah) hanya prasangka kita, dan kita berekspektasi dia bersikap seperti orang dewasa yang bersalah.”
Nah Ajeng, ini hal yang bisa kita lakukan terhadap Luna :
Perlihatkan yg diambilnya, (jangan bilang kalo Mama tau dari Aylan)
“Mama menemukan ini, dan Mama tahu ini di ambil dari Indomaret, mama kaget sekali, sedih dan kecewa karena Luna ambil ini.”
(Diam sejenak)
“Luna tahu kan ini harus dibayar…?”
“Mama ingin tahu, kenapa Luna ambil ini dan tidak bilang kepada Mama…?’
(Dengar jawaban Luna, pahami terima. Jika Luna ada menyampaikan bahwa dia ingin barang itu, maka mama validasi keinginan ini dengan merefleksikan)
‘Ooh Luna ingin mainan itu…?’
‘Iya mama’
‘Kalo Luna ingin mainan itu, Luna harus bilang dulu kepada Mama…’
Setelah nya peluk Luna..
Lalu ini bagian yang paling penting, ingat untuk sampaikan,
“Karena ini tidak kita bayar, maka kita harus kembalikan ke minimarket tadi dan Luna minta maaf kepada kakak penjaganya.”
Kalo Luna bilang takut, kita pahami ini ya.
“Iya, Mama tahu Luna takut, mama akan temanin Luna kembalikan dan minta maaf .’
“Gimana kalo Mama sendiri yg kembalikan…”
“Luna mau Mama sendiri yg kembalikan…?”
“Iyaa..”
“Karena ini Luna yg ambil, maka harus Luna sendiri yg kembalikan dan minta maaf, Mama akan temanin Luna, pegang tangan Luna…’ (Disini anak belajar bertanggung jawab atas sikapnya, dan anak juga merasa tenang dan aman karena mama tetap support, sikap kita ini juga akan bikin anak utk tidak ragu mengakui jika mereka melakukan kekeliruan)
Ibu Safithrie Sutrisno
Mengulangi/merefleksikan perkataan anak, membuat anak tahu bahwa mama mendengar mereka, anak juga belajar mendengar dengan cara ini. Pada akhirnya, anak merasa yakin dan tenang jika mereka tau mereka didengar dan dipahami.
“Ajeng, Dorong Luna untuk melakukan hal di atas ya. Ingat untuk melakukan nya dengan tenang. Setelah selesai, ajak pulang. Sampai dirumah peluk Luna, apresiasi, sampaikan bahwa mama bangga karena Luna berani minta maaf, Luna berani menghadapi kekeliruannya.”
“Kalau misalnya Luna menyalahkan saya, dia terpaksa mencuri karena saya menolak keinginannya gimana ibuk?”
Ajeng bisa menjawabnya seperti ini :
“Iya nak, memang apapun yg Luna inginkan, Luna harus bicara kepada Mama dan memang tidak semua bisa mama penuhi..’
Diam sejenak…
“Mama kecewa sekali karena Luna mengambil sesuatu tidak bilang kepada mama dan kita tidak membayarnya, ini disebut ‘mencuri’ dan ini buruk sekali.”
“Ingat ya Ajeng, semua yg di atas itu dilakukan dengan serius, tenang dan tetap harus ada kasih sayang di dalam percakapan tersebut…”
“Ya ampun ibuukk, terima kasih banyak atas masukannya. Insya Allah akan langsung saya coba terapkan.”
Menyelesaikan Masalah
Alhamdulillah, aku enggak jadi tersesat. Setelah berkali-kali membaca masukan dari Bu Fithrie, aku mengambil kesimpulan bahwa langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
- Menenangkan diri terlebih dahulu
- Menghapus prasangka apapun terhadap anak. Enggak boleh berekspektasi apapun ke dia. Ingat, masih anak-anak!
- Bertanya ke Luna dan ngobrol sama dia dengan penuh kasih sayang.
- Kembali ke Minimarket dan mendampingi Luna untuk meminta maaf serta membayar barang yang tadi sudah diambil.
- Sekali lagi, aku hanya menemani sedangkan yang bertindak adalah Luna.
- Apresiasi keberanian Luna sambil mengingatkan bahwa mengambil barang tanpa ijin adalah sesuatu yang buruk dan tidak boleh diulangi lagi.
Sekarang pertanyaannya, mudah enggak melakukan ini? Enggak mudah gaes, hehehe. Luna lebih banyak diam ketika aku ajak ngobrol. Kelihatan banget dia enggak nyaman, mungkin merasa seperti dihakimi dan takut bakal aku marahin. Tapi aku mencoba meyakinkan dia kalau aku sudah enggak marah, aku hanya ingin dia bertanggung jawab.
Terus, apakah percakapan antara aku dan Luna bisa seperti yang dituliskan sama Bu Fithrie? Ajaibnya, 80% nyaris sama loh gaes. Luna beneran takut dan malu sehingga menolak untuk kembali ke minimarket tempat dia mengambil barang tanpa ijin.
Baru deh setelah aku bilang kalau aku akan menemani, meyakinkan kalau dia enggak sendirian menghadapi ini, akhirnya dia mau. Kami berdua naik motor dan di dalam perjalanan kami lebih banyak diam.
Saat berhenti di depan minimarket yang dimaksud, Luna sempat enggak mau turun. Dia malu, dia takut akan dimarahin sama mbak-nya. Aku sama dia harus tarik-tarikan dulu karena dia setengah mati menolak.
“Insya Allah enggak akan dimarahin Teteh, kakaknya baik kok.” kataku terus-terusan.
Btw, aku lupa berapa lama kami berdebat di depan sampai akhirnya berani masuk pun, Luna justru sembunyi di belakang kakiku. Untung saja suasana di sana waktu itu sepi, enggak banyak orang. Mbak yang aku panggil juga ramah, langsung mendatangi kami.
Aku membujuk Luna untuk maju ke depan dan meminta maaf, tapi dia enggak mau. Dia justru makin menenggalamkan wajahnya ke badanku, ya ampun. Hahaha. Akhirnya, aku tarik dia dan aku minta dia untuk bicara langsung. Sukses? Enggak. Luna enggak mau, dia sepertinya terlalu malu untuk bicara, mengakui kesalahannya.
Berhubung kami lama sekali mengambil waktu si mbak kasir yang super sabar, akhirnya aku jadi pihak yang bilang duluan. Aku cerita kalau Luna mengambil barang di toko itu sembunyi-sembunyi, enggak bilang, enggak dibayar. Aku juga bilang kalau aku baru mengetahui fakta tersebut ketika di rumah dan tujuan kami berdua datang kesini untuk meminta maaf serta membayar barang yang diambil tadi.
Alhamdulillah, respon si mbak bikin aku lega. Dia seneng banget aku datang dan mengakui. Setelah menunjukkan sampah sisa barang yang diambil Luna, dia pergi ke mesin kasir dan aku membayar di sana. Luna juga alhamdulillah udah enggak yang terlalu nemplok banget, meski ketika aku dorong untuk bicara dia masih malu-malu.
Urusan di minimarket akhirnya selesai. Aku dan Luna pulang, kali ini aku sambil tanya-tanya ke dia.
“Kenapa tadi enggak mau bicara? Malah sembunyi di balik Mama.” tanyaku yang dijawab dengan diam sama dia.
“Mama tahu kamu tadi takut dan malu yaaa.” kataku lagi, kali ini dengan nada menggoda.
“Iya, aku takut kakaknya akan marah.” akhirnya dia menjawab.
“Jangan diulangi lagi ya. Berikutnya kalau mau sesuatu, Teteh harus bilang dan ijin dulu sama Mamah, oke?”
“Iya Mah, aku juga enggak mau begitu lagi.” katanya sambil mengangguk.
Sore itu, kami berdua pulang dengan perasaan lega di benak masing-masing.
Pelajaran Untuk Orang Tua Setelah Anakku Ketahuan Mencuri
Ternyata memang ya, menjadi orang tua tuh tanggung jawabnya beraaatt banget. Enggak cuma sekedar memastikan anak-anak bersih dan kenyang, kita juga harus tahu gimana caranya menghadapi kejadian-kejadian tak terduga kayak gini.
Aku membayangkan, jika tindakan yang aku ambil salah, keadaan justru bakal semakin runyam. Dari kejadian kemarin, aku merasa masukan Bu Fithrie sangat tepat. Aku bisa membuat Luna menyadari kesalahan tanpa harus merasa buruk. Aku enggak marah sama Luna, aku marah sama perilakunya. Ini dua hal yang berbeda.
Selain itu, Luna juga jadi belajar tanggung jawab, belajar konsekuensi. Nyatanya, dia enggak sanggup menghadapi konsekuensi dari perilakunya mengambil barang tanpa ijin. Lewat penyelesaian kemarin, Luna sadar untuk tidak mengulanginya lagi. Cukup sekali saja.
Takjub juga aku, kejadian ini bisa selesai tanpa aku perlu marah-marah, teriak, menghina, ataupun merendahkan anak. Barangnya terbayar, anak belajar. Bener-bener paket lengkap problem solvingnya.
Makannya, aku makasih banget sama Bu Fithrie, masukan dari beliau bukan teori, tapi sesuatu yang bisa diaplikasikan di dunia nyata, real serta mendetail. Gimana cara ngomongnya, tindakan apa saja yang diperlukan. Step by step-nya, kece bangetlah.
Baca Juga : Pengalaman Pergi Keluar Kota & Meninggalkan 3 Anak Pada Ayahnya
Kalau temen-temen punya masalah terkait anak-anak ataupun pasangan, silahkan konsultasi ke beliau. Aku sangat merekomendasikan. Beliau sendiri bisa dikontak melalui IG @roemahemak.idn DM saja dan pasti dibalas kok.
Nah, sampai di sini dulu ceritaku. Aku janji, di tahun 2023 bakal kembali menulis lebih banyak cerita tentang anak-anak dan Cucup. Juga cerita-cerita seperti ini. Tetap jadi pembaca setiaku ya!
2 Komentar. Leave new
wah nggak kebayang deh kalau ini kejadian di aku. bisa jadi aku bakal ngamuk dan marahin anak-anak. memang sih penting banget punya mentor yang bisa dimintai saran saat kita harus menghadapi kejadian tak terduga kayak kini ya
[…] aku mau membuka tas-nya di sekolah. Karena aku sempat mengalami hal ini (pernah aku tulis di saat anakku ketahuan mencuri), aku udah bisa […]
Kakakku ibu pekerja. Dan dia pernah bikin kesalahan dengan membiarkan anaknya (keponakanku) boleh ambil barang apapun di warung dengan cuma bilang ke penjaga warung.
“Kalau Rais ambil jajanan, dikasih aja ya, dan dicatat nanti saya yang bayar,” gitu instruksi kakak ke penjaga warung.
Eh ternyata kelakuan ini merembet. Kalau lagi main ke rumah kami, duit ibuku suka hilang. Dan setelah digeledah ketahuan disimpen di tasnya. Trus barang-barang temennya di sekolah juga suka hilang dan dia yang ambil. Wah parah saat itu. Sampe dibawa ke psikolog anak, dan psikolognya bilang (di ruang terpisah) kalau si Rais ini nggak merasa salah ketika mengambil barang milik orang lain.
Setelahnya semua berubah, orang tuanya lebih banyak ngobrol dan sounding soal ngambil barang itu = mencuri. Prosesnya jelas gak sebentar, butuh berbulan-bulan. Tapi alhamdulillah berhasil, dan sekarang udah gak pernah kejadian lagi. Anaknya juga udah mau kuliah sekarang hehe, dan kejadiannya dulu pas masih duduk di kelas 1 atau 2 SD gitu.