Pagi tadi saya terhenyak, di sebuah WAG tersiar kabar bahwa ust. Harry Santosa meninggal dunia karena covid. Belum hilang rasa sedih dan shock akibat berita tersebut, di grup WAG lainnya muncul kabar kematian lain lagi.
Salah satu temen blogger yakni mbak Novitalevi, menghembuskan nafas terakhirnya jam 2 pagi tadi. Innalillahi wa innalillahi roji’un…
Allah, gelombang kedua pandemi covid-19 ini sungguh luar biasa mengerikan. Setiap hari, catat ini, setiap hari ketika saya membuka medsos, selalu ada berita duka dari teman-teman. Entah itu karena mereka dinyatakan positif covid atau karena meninggalnya kerabat terdekat mereka.
Saya paham sekali apa yang mereka rasakan. Seminggu yang lalu, kakak saya Alvin mengabari kalau mereka habis melakukan tes PCR. Tersebab bapak mertua yang tinggal bersamanya demam. Saya deg-degan sekali, terlebih istri yang belum lama ini dinikahinya tengah mengandung. Saya takut, saya tidak mau ada sesuatu terjadi pada mereka semua. Saya mau mereka sehat.
Kemudian sepupu dekat saya yang tinggal di depok juga update status kalau dirinya habis melakukan PCR. Setelah sebelumnya harus isoman selama lima hari gara-gara melakukan kontak erat dengan yang positif.
Namun alhamdulillah, hasil PCR keduanya negatif semua. Saya yang hanya dikabari saja merasa tersiksa saat menunggu hasil tes mereka. Apalagi yang merasakan langsung, enggak kebayang stressnya kayak apa.
Anxiety meningkat gegara Covid-19
Sesungguhnya, saya ingin sekali lepas sementara dari medsos. Berita-berita yang sliweran di sana, baik itu yang memaparkan fakta atau debat kusir konspirasi semata betul-betul membuat perut saya mulas.
Jujur, saya ingin marah. Saya merasa sangat kesal dengan pemerintah terutama presiden, yang sesungguhnya memiliki power untuk mengendalikan wabah ini. Kebijakan yang keluar selalu setengah-setengah, membingungkan, dan tidak konsisten.
Apalagi banyak pejabat yang juga memberikan contoh buruk selama pandemi. Mulai dari mengeluarkan statement tanpa empati, tidak mau mengakui kesalahan, korupsi, dan lain-lain yang pasti teman-teman pembaca juga rasakan.
Kenapa sih mereka ini selalu ribut dengan hal-hal yang tidak krusial? Ngasih bantuan tunai aja harus lewat kartu prakerja, padahal di negara lain ngasih bantuan tunai ya uang tunai. Tapi kalau saya nulis kayak gini, saya pasti bakal disemprot balik, lha wong rakyatnya aja ngeyel, suka bohong, dikasih bantuan buat beli makanan malah beli baju. Pret!
Ya gini deh negara wakanda tuh, alih-alih memberi solusi yang ada malah saling lempar kesalahan. Pemimpin kasih contoh kayak gini terus ngarep rakyatnya nurut, manut, dan baik budi? Wkwkwkwkwk.
So yeah, sebagai penderita gerd yang juga punya anxiety, gelombang kedua covid betul-betul sebuah mimpi buruk. Kinerja pemerintah stuck, rumah sakit penus, nakes kewalahan, orang-orang yang tertatih-tatih memperbaiki kondisi finansialnya kini ambruk lagi menghadapi kenyataan, belum lagi fakta tingginya angka kematian akibat si coro.
Ya Allah, saya pengen abai. Pengen tutup mata, tutup telinga, menganggap bahwa saat ini semua baik-baik saja. Keluarga semua sehat, dan kami akan berkumpul tiga bulan lagi. Tapi enggak bisa. Faktanya saya harus dirumah saja untuk menghindari penularan virus. Faktanya anak-anak akan belajar dari rumah supaya mereka tetap sehat. Faktanya, untuk keluar kami harus memakai masker, dan sebaiknya dobel, agar tidak tertular.
Ketidakmampuan saya untuk denial membuat saya jadi kebanyakan mikir dan akhirnya ketakutan sendiri. Tiap buka medsos berasa takut. Takut sedih, kesel, atau khawatir yang berujung jadi emosi tak terkontrol. Saya jadi sulit tidur, sering melamun, nangis, atau marah sendiri. Ujung-ujungnya suami dan anak-anaklah yang kena efek dari anxiety ini. Padahal mereka enggak salah.
Saya beruntung karena suami paham dengan kondisi saya. Dia menerima rasa takut dan khawatir saya yang over ini. Cuman kok ya kadang saya ngerasa kesel juga dengan responnya. Saya berharap dia merasakan kekhawatiran yang sama, tapi dia justru lebih nyantai. Santaiiii banget kayak enggak takut sama apapun. Bener-bener njomplang.
Oh maii, saya iri. Andai saya punya separuh kemampuan dia to take everything easier, hidup saya pasti berasa lebih indah.
Berita Kematian & Mindfulness
Air mata saya tumpah karena kehilangan sosok seorang guru kehidupan dan teman seprofesi. Ust. Harry Santosa adalah orang yang saya harap berumur panjang karena tak pernah lelah memberi wejangan-wejangan mengenai Fitrah Based on Education bagi para orangtua milenial seperti saya. Tapi Allah mentakdirkan lain.
Begitu juga dengan sosok mbak Novitalevi. Saya tidak banyak berinteraksi dengan beliau, tapi kami sempat tergabung dalam beberapa project yang sama.
Banyak hal yang saya pikirkan terkait dengan perginya kedua orang itu dari dunia sementara ini. Pertama, bahwa kematian adalah hal yang pasti. Usia mereka terbilang masih muda, sedang berada dalam karir yang bagus-bagusnya. Namun bila umur telah usai, maka semua selesai.
Kedua, rekam jejak. Ust. Harry, kepergiannya meninggalkan rasa kehilangan bagi banyak sekali orang, bahkan untuk orang-orang yang tidak pernah ditemuinya. Lewat tulisan di berbagai platform serta buku-buku yang ditulis, ust. Harry telah membagikan ilmu-ilmu yang berharga. Beliau kini tiada, tapi tulisan-tulisannya abadi di hati para muridnya.
Ketiga, kesempatan. Ust. Harry kini tak lagi memiliki kesempatan untuk bertemu dengan istri ataupun anak-anaknya. Tak akan lagi ada canda tawa, atau nasihat-nasihat. Dan ini mengingatkan saya yang masih hidup, untuk memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya.
Mumpung masih hidup, sehat pula, maka saya harus banyak-banyak hadir di rumah secara utuh buat anak-anak maupun suami. Mumpung masih bisa beraktivitas, maka sebaiknya saya menulis dan melakukan hal-hal bermanfaat lainnya. Mumpung masih bisa berkomunikasi sama orang lain, maka saya harus memanfaatkan momen ini untuk banyak-banyak meminta maaf kepada orang lain yang pernah saya sakiti. Baik itu sengaja ataupun tidak sengaja. Dari hati yang paling dalam, saya memohon maaf secara tulus kepada teman-teman.
Mohon dimaafkan ya teman-teman, karena di situasi yang serba tidak pasti ini, saya punya kekhawatiran. Saya takut Allah akan memanggil, dan diingat sebagai orang yang pernah menyakiti orang lain. Saya tidak mau hal itu terjadi. Mohon maafkan saya teman-teman.
Masih ada satu yang bikin kepikiran, yaitu hutang. Saya masih punya hutang pelunasan rumah yang saat ini saya tinggali. Insya Allah september nanti lunas, tapi tetap saja kepikiran banget. Semoga Allah memberi suami dan saya umur untuk melunasi hutang ini dulu. Hutang pekerjaan yang saya janjikan kayaknya masih banyak juga. Mudah-mudahan saya bisa menyelesaikan satu persatu. Supaya betul-betul enggak ada tanggungan lagi. Berat rasanya kondisi kayak gini punya hutang tuh, huhuhu. Jangan sampai pelunasan hutangnya nanti di akhirat pakai pahalaku yang entah seberapa berat timbangannya.
Fiuhh, memang ya kalau orang yang biasa nulis tuh, baru lega kalau apa yang ada di dalam kepala udah keluar lewat tulisan. Meski tulisannya sungguh geje kayak gini.
YOLO (You Only Live Once), so please, lakukan secara mindfulness ya Jeng (nasihatin diri sendiri).
2 Komentar. Leave new
Q langsung down saat beliau mniggal
betul ya, berita meninggal banyak orang membuat rasa kawatir. Apalagi orang yang begitu baik