Hai teman-teman pembaca semua, gimana kabarnya? Semoga di tengah-tengah suasana covid-19 yang kembali meninggi, kalian tetap sehat ya. Kali ini aku mau berbagi cerita tentang pengalaman si abang yang mengalami persistensi gigi susu. Wadidaw, apa lagi tuh?
Emang masalah gigi anak itu macem-macem banget. Di blog ini aku sempat menulis tentang perjalanan si teteh yang giginya harus PSA (Perawatan Saluran Akar). Waktu itu yang ngerjain dokter spesialis gigi anak, dan total gigi yang dikerjakan adalah lima gigi.
Nah, karena anak aku tiga orang, ketiganya ini punya masalah beda-beda. Tapi tenang, meski berbeda puyeng yang aku rasakan tetap sama. Cuman memang karena usia si abang yang lebih besar, kalau ada masalah bisa langsung cabut.
Persistensi Gigi Susu Adalah
Kondisi di mana gigi susu masih berada di mulut dan belum tanggal, tetapi gigi tetap yang akan menggantikannya sudah tumbuh. Pada keadaan persistensi, terkadang gigi susu juga tidak goyang, dan bisa ditemukan pada gigi mana saja.
Awalnya aku gak pernah menyangka bakal ketemu kasus kayak gini. Lha wong tujuan datang ke dokter gigi saat itu adalah untuk scaling. Gigi si abang ini entah kenapa cepat sekali muncul bercak kecoklatan. Aku yang lihat berasa gak nyaman, padahal dia termasuk anak yang lumayan rajin sikat gigi. Bukan tipe jorok gitu loh.
Kebetulan aku habis pindah faskes 1. Aku mengalihkan faskesku karena di tempat sebelumnya (enggak usah sebut nama ya), dokter gigi gak mau memberi pelayanan pada pasien BPJS.
Nah, di faskes yang baru dokternya bersedia melayani tapi jumlah pasien dibatasi. Dalam sehari hanya beberapa pasien BPJS saja yang mendapat kuota. Menurutku opsi seperti ini lebih fair sih.
Long short story, kami sudah duduk manis di ruang periksa. Setelah menyampaikan masalah, si abang diminta dokternya untuk tiduran. Kemudian sedetik setelah buka mulut, dokternya bilang :
“Walah-walah Bang, gigi kamu bermasalah gini kok enggak kasih tahu Mama hayo?”
Bu Dokter memanggil untuk mendekat dan aku melihatnya. Pada gusi bawah si abang, terdapat dua gigi yang menumpuk.
“Itu namanya persistensi gigi susu Bu.” terang bu dokter.
Aku melongo, takjub. Ya ampun, selama ini aku gak pernah ngecekin gigi anak sulungku itu. Ternyata sekarang giginya kayak gini. Haduuu.
“Waduh, kalau begini solusinya seperti apa Dok?” tanya saya.
“Gigi susunya harus dicabut. Tapi enggak papa insya Allah masih aman kok. Banyak anak-anak yang mengalami ini.” celetuk dokternya lagi, menenangkan.
Alhamdulillah. Aku merasa lega dengan penjelasan singkat bu dokter. Awalnya aku udah overthinking aja, khawatir harus operasi atau gimana. Ternyata tinggal cabut si gigi susu.
Proses Pencabutan Gigi
Nah, proses ini jadi tantangan karena…giginya si abang masih kokoh. Terus karena sama sekali belum goyang, sebelum dicabut harus bius dulu. Dan kita semua tahu, cara biusnya itu disuntik.
Si abang, begitu tahu kalau harus disuntik bius, mukanya langsung pucet. Ya Allah, kasian bener dah. Niat awal mau scalling tahu-tahu malah dienjus.
Aku senang, karena bu dokter di faskes yang ini pandai komunikasi ke anak. Jadi, beliau ini ngajak ngobrol si abang dengan gaya super santai, kayak teman.
“Bang, gigi kamu numpuk tuh, harus dicabut. Tapi sebelum cabut suntik dulu ya, supaya enggak sakit.” kata bu dokter dengan suara riang.
Si abang yang tadinya menutup mulut, perlahan-lahan membuka tangannya dan pasrah. Mungkin karena tawaranku untuk menambah waktu screentime dan beli es krim sepulang dari klinik, dia jadi luluh. Hihihi.
Alhamdulillah, setelah proses tarik-ulur yang cukup panjang, si abang berhasil disuntik. Aku lupa ada berapa titik yang perlu dibius sementara, lima atau enam gitu. Banyak banget emang, aku aja sampai begidik. Kuat banget anakku, huhuhu.
Terus begitu selesai suntik, gigi langsung dicabut dengan alat khusus. Prosesnya cepat sekali, tahu-tahu itu gigi udah copot begitu saja. Yeeii.
Saat gigi yang lepas ditunjukkan ke si abang, dia merasa heran karena gak sempat merasakan apapun. Aku senyum-senyum lihat dia yang dipuji-puji sama dokternya karena berani untuk melewati semua proses tadi.
Setelahnya, dokter menginformasikan kalau masalah gigi ini selesai. Supaya gigi tidak berantakan, gigi sulung yang tumbuh bisa sering-sering didorong pakai lidah untuk maju ke depan dan mengisi ruang yang sudah kosong.
After The Dental Treatment
Sepulang dari klinik aku memenuhi janjiku untuk beli es krim. Begitu sampai rumah, kami ganti baju dan cuci tangan. Ini adalah protokol standar yang kami terapkan di rumah.
Saat makan es krim, si abang mengeluh kalau giginya mulai terasa nyeri. Aku pikir efek biusnya memang sudah mulai hilang. Untung saja aku masih punya ibuprofen untuk mengatasi sakit pasca cabut gigi. Habis minum dia langsung tidur.
Keesokan harinya, si abang sudah bisa beraktivitas seperti biasa lagi. Hanya saja dia agak enggak pede karena giginya terlihat ompong. Hahaha ya ampun, mau ompong kayak gimana, kamu loh tetep paling ganteng di mata Mama.