Saat orang-orang di sosial media ramai membahas kapan pemerintah mengeluarkan fatwa tentang penentuan puasa pertama, aku justru sedang menata hati yang campur aduk. Tahun ini, tahun 2022 Masehi alias 1443 Hijriah adalah bulan ramadhan yang akan aku lalui tanpa keberadaan Papa rahimahullah.
Seperti yang pernah aku tulis di blog ini sebelumnya, Papa wafat karena covid-19 varian delta di bulan Agustus lalu. Meninggalkan Mama, aku, dua orang anak laki-laki (kakak)dan seorang anak perempuan satu lagi (adik).
Aku dan saudara-saudaraku sudah menikah semua saat beliau menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit. Jadi, aku rasa Papa memang pergi di waktu yang tepat, karena tanggung jawabnya terhadap kami sudah selesai. Tapi jangan salah, meski sudah bersuami, hatiku tetap patah.
Papa, Kakek Kesayangan Anak-Anak
Papaku tidak sempurna, tentu saja. Ada masa aku merasa sangat benci dan muak padanya. Bahkan aku juga pernah mengalami trust issue kepada manusia berjenis kelamin pria gara-gara beliau. Aku sempat juga merasa insecure dan innerchild cukup parah akibat kata-kata yang ia lontarkan.
Namun, setelah menikah dan tinggal berjauhan karena suami ingin aku selalu ikut kemana-mana, rasa-rasanya aku jadi lebih memahami Papa. Menjadi kepala keluarga dengan empat orang anak, tidak mudah. Seburuk apapun beliau di masa lalu, nyatanya Papa selalu kembali kepada kami.
Papa berhasil menyekolahkan aku dan semua saudaraku sampai meraih gelar sarjana. Hingga ada seorang laki-laki yang datang melamar dengan serius, Papa langsung mengiyakan karena beliau yakin, insya Allah lelaki yang kelak jadi suamiku itu lelaki yang baik.
Papa juga mengajari aku jadi mandiri. Beliau percaya kalau aku mampu menjaga diri, makannya aku ijin untuk kuliah dan belajar kelompok sampai malam, ia tak pernah mempermasalahkan. Sejak kecil, aku diajari naik sepeda, kemudian motor, dan akhirnya les mengendarai mobil ketika SMA.
“Kamu harus bisa nyetir, supaya kalau nanti menikah terus suami kamu bermasalah, kamu bisa kabur pulang ke Papa meski sendiri.” Begitu katanya, ketika aku bertanya kok baru SMA sudah diajari menyetir mobil.
Ketika menikah dan akhirnya punya anak, Papa sangat sayang pada anak sulungku itu, si Abang. Saking sayangnya, beliau selalu menjemput si Abang ketika musim liburan tiba, untuk dibawa ke Jogja. Di sana si Abang dirawat oleh Papa dan Mama bergantian dengan Mama Mertua dan Abah Mertua yang juga tinggal satu kota.
Aku tahu Papa sayang sama aku, tapi semenjak si Abang lahir, aku rasa cintanya ke si Abang jauh lebih besar daripada ke aku, hahaha. Bukan berarti aku cemburu, aku senang-senang saja anakku mendapat cinta dari kakek-neneknya. Tapi ya ampun, papaku sangat memanjakan si Abang sampai dia tidak pernah merasa rindu pada mamanya ketika sedang berlibur di Jogja.
Tidak berhenti pada si Abang, papa juga menyayangi anak-anakku yang lain. Sejak pandemi, hampir setiap hari beliau melakukan Video Call dengan kami, sekedar menanyakan sudah makan atau belum. Begitu juga ketika Ramadhan, beliau akan melakukan sesi telepon singkat berdua saja dengan si Abang. Membicarakan entah apa.
Terakhir kali kami merayakan lebaran bersama adalah tahun 2019. Setahun setelahnya, aku tidak pulang ke Jogja karena larangan mudik dari pemerintah terkait pandemi. Kemudian di tahun 2021, Papa memilih untuk lebaran di Bandung bersama kakak lelakiku. Aku menangis saat lebaran kemarin itu, sedih karena belum bisa bertemu dengan orang tua maupun mertua.
Untungnya beberapa bulan sebelum wafat, Papa sempat datang ke Jakarta karena ada urusan. Aku dan si Abang berkesampatan menemuinya di hotel. Si Abang sangat excited, selama perjalanan dia sungguh tak sabar untuk menemui kakeknya setelah sekian lama tak bertemu.
Aku lega sekali ketika akhirnya kami bertemu. Waktu itu, aku cuma berpikir bahwa aku harus menemui beliau, no matter what. Dan benar saja, pertemuan tersebut memang jadi momen terakhir aku bisa melihat Papa secara langsung.
Puasa Pertama and I Miss You Pa
Hari ini, Ramadhan hari pertama loh Pa (versi pemerintah, versi Muhammdiyah sudah kemarin). Sudah delapan bulan sejak Papa enggak ada. Aku senang Allah masih kasih kesempatan aku merasakan Bulan Suci. Tapi aku tetap rindu…
Sekarang, hanya Mama yang bisa aku bagi cerita tentang persiapan puasa anak-anak. Dan aku bersyukur untuk itu. Setidaknya, tahun ini masih ada Mama. Aku dan saudara yang lain, masih bisa membahagiakan Mama, orang tua yang tersisa.
Aku tahu, Papa di sana juga sedang menikmati istirahat panjang yang menyenangkan, karena aku, anak-anak dan yang lainnya tak pernah lupa mengirim doa dan Al-Fatihah untuk Papa..
Dear Papa, I Miss You…I really do..