Berhutang dalam Islam pun hukumnya mubah alias boleh, tapi ya tetap ada tuntunannya gitu loh!
Madam A
Halo semuanya, selamat datang kembali di blog aku. Gimana kabar kalian saat ini, semoga baik-baik selalu yah!
Sebelumnya aku mau mengucapkan taqaballahu minna wa minkum, selamat hari raya Idul Fitri 1443 H! Btw, apa kabarnya lebaran tahun ini? Pastinya sih lebih bahagia dan menyenangkan karena pemerintah sudah membolehkan mudik dan membuka tempat wisata. Aku sendiri kemarin pulang ke Jogja kemarin. Meski cuma bentar tetap aja rasanya puaaasss banget.
Anyway, masih dalam suasana lebaran kok udah langsung nulis tentang berhutang sih Madam? Berasa njomplang banget, wkwkwk.
Hehehe, gak papa dong. Kebetulan topik ini sempet rame di twitter kemarin dan aku gatel aja pengen nulis. Secara jaman jigeum aktivitas berhutang tuh makin mudah. Padahal dulu buat apply kartu kredit aja syarat sangat bejibun, dipersulit. Pilihan pinjem duit yang minim ketentuan biasanya di bank plecit alias lintah darat tapi ya harus siap dengan resiko bunga sangat tinggi.
Seperti yang kita tahu, dua tahun terakhir ini dunia fintech marak dengan aplikasi pinjol (pinjaman online). Itu loh, aplikasi pinjem uang yang sebutannya keren-keren banget dan ‘ngaku’ terdaftar OJK. Cara daftarnya pun super duper simple. Tinggal download aplikasi, isi data, terus ijinkan mereka sedot data di ponsel kita dan walhaa uang pinjaman pun masuk ke dalam rekening.
Enggak berhenti sampai di sana, sekarang ada juga paylater-paylateran. Hampir semua marketplace menyediakan fasilitas ini. Belanja dulu, bayar kemudian. Syarat yang dibutuhkan untuk mengaktifkan opsi paylater juga sangat gampang. Tinggal pencet-pencet pakai jempol doang.
Baca Juga : Lima Marketplace Favorit Emak-Emak
Jujur nih ya, untuk orang yang hobinya masuk-masukin barang ke keranjang tapi gak di checkout, opsi tersebut agak menakutkan. Aku khawatir banget salah pencet atau anak-anak salah pencet pakai paylater pas main-mainin hapeku. Berabeee!
Adakah Orang Yang Gak Punya Hutang? Ada, Mertuaku
Keluarga suami adalah tipikal keluarga yang sederhana tapi anaknya qadarullah sukses-sukses. Mama mertua cerita salah satu resep berhasil membina keluarga adalah sebisa mungkin tidak pernah berhutang. Cara termudah untuk tidak berhutang adalah dengan hidup semampunya.
Selama ini setiap membeli barang, beliau selalu membayar tunai. Motor pertama yang beliau miliki adalah motor second, yaudah gak papa. Tempat tinggal mengontrak pun bukan masalah. Kebutuhan yang dirasa prioritas bagi mama mertua adalah sekolah dan pendidikan anak.
Ketika karier abah (bapak mertua) beranjak naik dan mampu menghasilkan lebih, mama mertua pun jadi lebih longgar. Beliau membeli tanah dan membangun rumah sedikit-sedikit. Sembari membeli perabot yang bagus dan nyaman, beliau menyisihkan sebagian uang untuk dibelikan emas dan juga tanah.
Punya uang lebih banyak tetap enggak mengubah gaya hidup beliau. Bapak mertua yang dulunya kerja di ibukota kalau mengunjungi aku selalu pakai KRL. Padahal beliau ini pejabat, tapi gak sungkan naik Tije, angkot, atau bajaj. Belanja baju pun di tanah abang, bukan H&M atau mall gede gitu. Beli mobil juga yang sesuai dengan kemampuan, enggak harus yang mahal atau premium banget karena mereka lebih suka naik motor supaya terhindar macet dan mudah mendapatkan parkir ketika ke pasar.
Sekarang bapak mertua sudah pensiun, lifestyle sederhana yang dari dulu melakoni sangat menyelamatkan mental bapak maupun mama mertua. Mereka enggak merasa stress karena harus mengubah gaya hidup, atau bingung ketika penghasilan tak lagi sama. Terlebih, mereka tak punya hutang sama sekali. Jadilah di masa-masa ini keduanya betul-betul menikmati hidup, bangun tidur nyaman, mau tidur tenang.
Prinsip ini dibawa juga sama suamiku. Untuk tidak bermudah-mudah dalam berhutang. Suami selalu bilang kalau penghasilan dia cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sedikit keinginan seperti beli baju baru atau jajan di luar. Baginya, sangat penting untuk mensyukuri apa yang dimiliki, bukan meratapi apa yang tidak dimiliki.
Pengalaman Buruk Karena Hutang
Salah satu alasan kenapa aku berusaha sekeras mungkin supaya enggak mudah berhutang tentu saja karena punya pengalaman enggak enak. Jadi gini kasusnya, orang lain berhutang, gagal bayar, habis itu mereka lari ke aku. Iya, mereka mau minjem uang ke aku untuk bayarin hutang mereka. Kebayang kan, bukan aku yang ngutang, bukan aku yang menikmati uang hasil hutang, tapi ujug-ujug aku ditarik untuk ikut pusing bayar dan mikirin hutang mereka. HAHAHA!
Menangisssss!!
Jadi makin nangis karena yang minta adalah kerabat sendiri. Kepengen bodo amat kok kasihan. Tapi kalau harus ikut bantuin bayar hutang dia pakai uang yang aku kumpulin penuh perjuangan rasanya gak rela. Sebagai solusi, kemarin aku tetap bantu tapi dengan nominal seikhlas aku. Lebih dari itu, aku enggak bisa. Well, enggak ikhlas lebih tepatnya.
Masalah ketiban utang orang lain padahal bukan aku yang ngutang ini udah terjadi berkali-kali. Ada yang berasal dari orang yang sama, ada dari orang yang beda. Makannya, bener kok kata orang-orang yang bilang kalau hutang tuh kayak candu. Gak bakal kapok meski udah berkali-kali terperosok. Apalagi kalau saat pengalaman pertama berhutang bisa ngelunasin, wuih makin yakin dan merasa aman untuk berhutang.
Padahal seperti yang kita tahu, masa depan itu enggak pasti. Hanya ada dua hal yang pasti yakni kematian dan cicilan. Pandemi Covid-19 ini deh contoh riilnya. Gara-gara pandemi puluhan ribu orang kehilangan pekerjaan, gak punya penghasilan. Ada loh kapten pesawat dan pramugari yang dulunya hidup turah-turah banget tiba-tiba aja dirumahkan tanpa gaji atau pesangon sama sekali.
Golongan mereka ini yang sebetulnya paling enggak kelihatan pas pandemi kemarin. Kenapa? karena selama ini dipandang mampu, lifestyle-nya mewah. Mereka punya rumah dan punya kendaraan, makannya gak bisa dapat bantuan. Padahal bisa jadi cicilan yang mereka miliki jauh lebih besar dibanding aset yang ada. Mau enggak mau satu persatu aset akhirnya harus dijual untuk melunasi cicilan.
See? percaya deh kalau pada akhirnya berhutang enggak akan bikin kita kaya.
Aku Juga Pernah Berhutang
Madam sih enak, enggak punya hutang karena hidupnya enggak pernah kepepet. Enggak pernah ngerasain situasi sulit dan sempit.
Ehm.
Enggak gitu juga bestie. Aku pernah loh berhutang baik itu konsumtif atau tidak. Dulu aku sempat mencicil panci stainless steel dari merek terkenal yang harganya sundul langit itu. Pernah juga ikut arisan buku anak. Cuma sebelum tempo cicilan selesai, aku memilih untuk lunasi semuanya aja karena bikin tidurku jadi nggak nyenyak. Aku kapok dan enggak mau mencoba beli beginian pakai cara cicilan lagi.
Kemudian saat melahirkan anak kedua dulu. Proses melahirkannya agak berat karena qadarullah aku kena Demam Berdarah saat itu. Rencana awal melahirkan di bidan dekat rumah, tapi ibu bidan tidak berani karena aku mengalami demam tinggi. Aku dirujuk ke Rumah Sakit yang memiliki dokter dan fasilitas lebih lengkap.
Baca Juga : Pengalaman Melahirkan Tanpa Jahitan
Nah, proses pemindahan ini lumayan pricey karena aku pakai ambulance. Terus ketika akhirnya anak keduaku berhasil lahir dengan selamat melalui proses pervaginam, aku pingsan dan langsung masuk ICU selama dua malam. Anak aku juga sempat keracunan ketuban hingga harus dirawat di perina selama delapan hari. Ketika kondisi membaik, aku juga dipindah ke kamar VIP, tidak boleh gabung dengan pasien sakit lain karena khawatir tertular.
Total biaya yang ditagihkan atas semua fasilitas dan perawatan di atas sangat besar. Bisalah kalau dipakai untuk uang muka beli rumah. Waktu itu aku punya simpanan emas dan bisa bayar 3/4-nya, sedangkan sisanya aku dipinjemin mama mertua. Aku terpaksa meminjam supaya bisa melunasi biaya rumah sakit dan bawa pulang anakku.
Suami secara jelas menyatakan bahwa uang yang kami gunakan adalah hutang. Alhamdulillah, setelah setahun kami berhasil melunasinya.
Hutang besar terakhir yang pernah kami ambil adalah saat membeli rumah. Sebelumnya, kami sudah berpikir untuk mengontrak saja karena prinsip enggak mau berurusan sama lembaga keuangan. Qadarullah ada temen yang ngasih tahu info tentang perumahan syariah.
Langsung deh aku coba-coba tengok. Aku pikir kalau sekedar mencoba, gak ada ruginya juga. Ndilalah, aku kok suka sama lokasinya. Coba ngecek si pengembang, eh punya track record baik baik. Akhirnya, karena melihat skema pembiayaannya syariah, tanpa denda, tanpa bunga, juga karena ketika sholat istikharah minta keridhoan Allah kok rasanya semua proses dimudahkan, jadilah kami membeli rumah.
Awalnya, kami berniat membuat skema cicilan menjadi lima tahun karena enggak mau berhutang lama-lama. Tapi hal ajaib pun terjadi, pada detik sebelum kami sepakat dengan developer, suami mendapat kenaikan jabatan! Kami pun mencoba berhitung lagi dan sepakat : cicilan hanya dua tahun.
Ketika menyampaikan hal tersebut ke developer, ternyata harga rumah jadi lebih murah malah. Ada selisih sekitar sepuluh jutaan jika kami mengambil cicilan dalam waktu segitu. Wuaa, lumayan banget kan? Aku loh enggak nyangka ternyata harganya bisa turun. Long short story, proses akad jual beli pun dilaksanakan.
Setelah enam bulan mencicil, pandemi datang makbedunduk. Jujur aku sangat ketakutan. Takut kalau sampai terjadi apa-apa ke suami dalam kondisi kami masih punya hutang. Tidak hanya takut nanti gak bisa bayar, tapi takuutt sekali kalau ketika nyawa dicabut dan berhutang. Masuk dikubur dalam tanah dan dibangunkan di alam barzah dengan catatan ada hutang yang belum selesai.
Tapi alhamdulillah, Allah maha kaya. Meski terseok-seok dan beraaattt banget, hutang kami selesai! Bulan Oktober 2021 yang lalu, hutang rumah kami dinyatakan lunas. Merinding dan terharu ketika surat pelunasannya diantarkan ke rumah oleh pihak developer.
Hidup Lebih Tenang Tanpa Hutang
Dua tahun punya hutang besar membuat aku belajar satu hal penting: hidup yang bebas, merdeka, aman, nyaman itu datang ketika kita tidak punya hutang sama sekali. Tidur nyenyak, bangun semangat, makan enak, mau glundang-glundung pun nggak masalah.
Sekarang, aku merasa cukup dan gak mau lagi mengulangi hal yang sama. Udah, mau hidup apa adanya aja. Kalaupun memang butuh atau kepengen sesuatu, minta langsung sama Allah. Ini beneran loh, sejak denger kajian Ustadz Hanan Attaki, aku menerapkan cara ini. Nyata terjadi, apa-apa yang aku butuhin datang lewat jalan yang enggak pernah disangka.
Jadi, kesimpulan apa yang bisa diambil?
Berhutanglah jika kita memang dalam kondisi yang benar-benar kepepet saja. Terus kalau memang sudah terpaksa berhutang, wajib bayar. Jangan sampai merepotkan orang yang sudah berkenan menghutangi atau malah menyeret orang lain yang enggak ada hubungan apa-apa sama hutang kalian.
Berhutanglah untuk hal-hal yang memang prioritas. Sesuatu seperti rumah atau musibah (sakit, tiba-tiba PHK, dll) aku rasa menjadi kondisi yang dimaklumi jika berhutang. Tapi saranku, usahakan pakai lembaga keuangan yang menerapkan syariat Islam juga.
Aku rasa, berhutang itu tergantung habbit dan mindset. Orang yang sulit dan berat banget untuk berhutang, biasanya ketika kepepet dan mesti punya hutang, bayarnya pasti lancar. Kebalikannya, orang yang gampang banget minta hutangan ke orang lain, bayarnya mesti sulit. Sahih gak tuh? Sahih dong, hahaha.
Terus Gimana Kalau Tiba-Tiba Ada Yang Berhutang Ke Kita?
Sejujurnya, aku bukanlah tipe yang suka ngutangin. Kalau suami orangnya gak tegaan sehingga iya-iya aja dimintain hutang, aku justru sebaliknya. Aku cukup berani untuk menolak dan bilang enggak. Terutama sama orang-orang yang enggak deket dan ujug-ujug DM atau chat buat pinjem uang.
Hal ini enggak berlaku untuk saudara, hehe. Meski semenyebalkan apapun, kalau saudara yang minta tolong, aku jarang nolak. Tapiiiiiii, tapi nominalnya aku yang tentukan. Tidak sebesar apa yang mereka minta, tapi sebesar keihklasanku.
Punten, cari duit itu penuh perjuangan bok. Kadang direwangi bangun subuh-subuh buat nulis atau ngejar deadline. Mana freelancer kan seringnya gak dibayar saat itu juga, kadang seminggu atau bahkan dua bulan setelah tugas selesai baru cair. Masak ya uang yang ditunggu-tunggu melayang gitu aja. Pasti ada ketidakrelaan lah. Manusiawi kan?
Buatku, memberi seikhlasnya bikin aku enggak kepikiran. Cara ini cukup efektif mencegah adanya pemutusan tali silaturahmi juga. Jangan sampai deh gara-gara uang hubungan sama saudara jadi enggak enak. Kecuali saudaranya betul-betul ngawur dan enggak tahu terima kasih tapi yaa, hehe.
Intinya, aku berusaha banget untuk seimbang. Di satu sisi enggak pelit, tapi di sisi lain juga gak digampangin. Gimanapun, bisa jadi suatu saat nanti aku berada dalam posisi yang butuh bantuan kan? Kalau ditolak pasti enggak enak banget.
Yaudah, gitu dulu deh ceritaku tentang hutang kali ini. Doaku, semoga kita, keluarga kita, anak cucu kita, dijauhkan dari masalah perhutangan ini ya gaes. Untuk teman-teman yang punya hutang, semoga bisa segera melunasi. Kemudian untuk teman-teman yang beruntung karena tidak punya hutang, semoga selalu dimudahkan rejekinya sehingga bisa istiqomah untuk hidup tanpa hutang.