Film Nussa ? Dahlah, gak ada lawan
– Madam A –
Pertama kali menonton web series Nussa dan Rara di youtube, aku terpesona. Apalagi waktu tahu kalau serial animasi anak tersebut asli buatan anak bangsa. Wuihh, serasa enggak percaya. Animasinya mulus, ekspresinya hidup, suara dan gerak bibirnya pun sinkron. Sangat berbeda dengan animasi lain.
Standar animasi anak yang aku pakai selama ini paling tinggi tentu saja Disney atau Pixar, baru kemudian Monsta. Tahu kan? Itu loh, yang membuat Boboi Boy dan kawan-kawannya. Makannya kaget juga ada animasi sebagus ini buatan anak bangsa.
Aku dan anak-anak akhirnya berkenalan sama para tokoh selain Nussa dab Rara. Ada Umma, Syifa, Abdul, Antta, dan juga Dompu. Bapaknya Nussa kemana? Untuk di web series sih gak kelihatan.
Serial animasi ini durasinya pendek-pendek, tapi ngena. Mungkin karena kisah yang diangkat adalah kisah sehari-hari di rumah, banyak orang merasa relate. Aku yang awalnya cuma nonton satu episode, gak bisa menahan diri untuk melihat episode lanjutannya lagi, lagi, dan lagi. Hingga akhirnya serial tersebut menjadi salah satu serial animasi favorit di rumah.
Anyway, tanggal 14 Oktober kemarin Nussa merilis film layar lebar pertamanya. Aku tahu karena ngikutin twitter sutradaranya, mas Angga Dwi Sasongko. Sumpah, ini adalah film pertama yang bikin aku pengen segera balik ke bioskop selama periode pandemi. Sayang, waktu itu anak-anak justru belum diperbolehkan masuk.
Untunglah Pak Luhut kesayangan kita semua mengeluarkan kebijakan ampuh : anak-anak boleh masuk bioskop di wilayah yang PPKM-nya telah turun ke level 2. Uwooo, kayaknya ini kebijakan pertama dari beliau yang disambut gembira warga negara Indonesia deh. Alhamdulillah, Masya Allah Tabarakallah…
Maju Mundur Nonton Ke Bioskop
Begitu dapat kabar bahwa bioskop dibuka untuk anak-anak, aku langsung berunding sama Cucup. Maklum, harga tiket bioskop saat weekend dan weekdays itu bedanya hampir 15 ribu. Untuk aku yang anggota keluarganya banyak, nominal 15ribu dikali 5 itu cukup banyak. Dibeliin momogi dapet berapa box coba?
Cucup dengan tegas bilang kalau meskipun WFH, dia enggak mau pergi keluar sebelum jam kerja selesai. Padahal jam tayang di XXI Aeon dan The Breeze itu gak cocok semua. Mepet banget sama waktu sholat dan waktu selesai kerja.
Selain itu, Cucup juga masih ragu kalau bioskop di wilayah Tangerang Kabupaten sudah bisa dimasukin anak-anak. Jadilah aku mengontak pengelola The Breeze melalui instagram mereka untuk memastikan. Ternyata bener, di The Breeze BSD anak-anak belum boleh masuk bioskop. Kalau Mall-nya sih sudah boleh asal didampingi orang tua.
Duh, langsung lemes aku baca balasan admin The Breeze BSD. Pupus sudah harapan untuk ngajak anak-anak nonton Nussa di sana. Rencana tersebut mau enggak mau akhirnya tertunda.
Tapi tunggu dulu.
Sebuah harapan muncul saat tetangga ngajakin untuk nonton bareng. Kali ini bioskop yang dituju adalah CGV Teras Kota, Mall ini masuknya emang Tangsel sih. Aku terpaksa nolak karena weekend kemarin sudah ke Gramedia dan beli buku untuk para bocils. Tapi enggak papa, setidaknya aku jadi tahu kalau CGV Teras Kota bisa dijadikan pilihan.
Hari Jumat 22 Oktober yang lalu, demi membaca review-review Film Nussa yang diRT oleh Mas Angga di twitter, akupun gak kuat lagi menahan rasa ingin nonton. Hahaha apeu coba. Tapi beneran bok, akhirnya aku nekat pesen tiket untuk berlima di jam 19.10.
Cucup yang saat itu lagi ngantor alhamdulillah seneng-seneng aja. Qadarullah dia berangkat pagi banget sehingga bisa pulang tepat waktu. Anak-anak yang dadakan aku kabarin pun excited banget. Mereka auto nurut waktu aku suruh untuk mandi dan makan. Tanpa drama sama sekali. Coba tiap hari bisa kayak gini, hih!
Review Jujur Film Nussa
To be honest, rasanya kayak mimpi ketika akhirnya aku dan anak-anak bisa duduk dengan tenang di kursi bioskop. Akhirnya, tiba juga momen dimana kami bisa ramai-ramai nonton sekeluarga. Hiks hiks hiks, ku terhuraaa.
Untungnya anak-anak udah aku sounding terlebih dahulu sehingga mereka enggak kaget dengan suasana di Bioskop. Kebetulan malam itu penontonnya juga masih enggak begitu banyak. Separuh kuranglah kursi yang terisi.
Film dibuka dengan adegan Nussa yang sedang bermain dengan teman-temannya, Abdul dan Syifa. Saat itu Nussa sedang melakukan uji coba pada roket yang yang dia buat dari barang-barang bekas. Memang, tak lama lagi akan ada lomba science dan Nussa merupakan juara langganan dalam kompetisi tersebut.
Suatu hari, mereka bertiga melihat ada roket canggih yang terbang di sekitar. Saat dikejar, roket itu berhenti di sebuah rumah besar yang sepertinya baru saja dihuni. Keesokan harinya, ada seorang anak pindahan bernama Jonni di kelas Nussa. Bisa ditebak, Jonni adalah si pemilik dan perakit roket canggih.
“Bisa jadi saingan kamu nih.” kata Syifa ke Nussa saat Bu Guru memberi tahu bahwa Jonni juga sangat berminat pada sains.
Tak pelak, Jonni si anak baru menjadi sosok yang memicu rasa penasaran teman-teman Nussa. Penampilannya yang sangat necis, jambulnya yang tertata rapi, serta koper yang bisa jalan sendiri membuat mereka terpukau. Bahkan Babe Jaelani si penjaga sekolah pun terkagum-kagum pada sosok Jonni.
Di sini aku ngerasa sosok Nussa jadi lebih down to earth. Dia bukan Nussa yang sempurna seperti saat di web series. Nussa akhirnya mulai merasakan semua perasaan-perasaan yang wajar dirasakan anak-anak seusianya.
Melihat Jonni dipuji dan dielu-elukan, perasaan tersisih mulai terbit di hati Nussa. Situasi makin pelik ketika Abba (panggilan untuk ayah Nussa) yang diharapkan untuk pulang supaya bisa hadir di acara science fair ternyata tetap tidak bisa pulang karena tuntutan pekerjaan.
Coba deh berkaca ke diri sendiri, bila kita dulu selalu dapat panggung dan tiba-tiba panggung itu hilang, apa yang dirasa? Bila kita rindu setengah mati dengan kehadiran fisik seorang ayah, dijanjikan akan segera bertemu lalu janji tersebut batal, apa yang dirasa?
Kecewa?
Patah hati?
Marah?
Yaps, aku dan puluhan penonton lain diajak bertualang menyelami perasaan Nussa. Bagaimana dia harus struggling dengan rasa kecewa, marah, iri hati juga putus asa ketika roket buatannya tak bisa bekerja dengan baik.
Tidak hanya Nussa, tokoh-tokoh sentral lain pun digambarkan tidak sempurna. Ada Abba, yang awalnya aku pikir sangat keren karena mampu hadir secara utuh meski jarak membentang. Abba digambarkan betul-betul mengenal Nussa luar dalam, hapal kebiasaan dan tahu bagaimana cara menyemangati sang anak meski tidak berada di dekatnya secara langsung.
Abba pun melakukan kesalahan, membuat janji yang akhirnya tak bisa ditepati. Namun dengan sangat jantan, Abba meminta maaf, mengakui bahwa tindakannya salah. Adegan ini cukup menyentak penonton karena di dunia nyata, tidak banyak orang tua merasa cukup berani untuk minta maaf. Meski kalau ngeles dan bikin speech pembelaan diri udah pasti juara.
Sosok Jonni pun ditampilkan dengan berimbang. Sebaliknya, aku pikir justru lewat Jonni orang tua jadi paham kenapa seorang anak bisa terlihat sangat cuek, acuh tak acuh serta terkesan menyebalkan. Toh fitrahnya anak-anak itu baik, pola asuh-lah yang membentuknya menjadi A atau B.
Masalah-masalah yang muncul di film ini kemudian sedikit demi sedikit menemukan solusi yang diracik sedemikian rupa. Tidak hanya Nussa, ratusan ribu penonton film ini pun menyaksikan bagaimana konflik adalah sebuah pembelajaran hidup yang mendewasakan bila diselesaikan dengan tepat.
Aku yakin, cukup banyak orang tua yang matanya diisi genangan air ketika konflik mulai muncul. Hingga akhirnya adegan klimaks yang luar biasa muncul, air mataku udah menetes-netes sampai bikin pipi dan masker basah.
Aku juga gemes banget karena hingga mendekati ending, film ini begitu konsisten membuat orang tua yang menonton sesenggukan.
Eh tapi jangan salah, Film Nussa tidak hanya membuat kita nangis. Film ini begitu lengkap karena aku dan seisi bioskop diajak tertawa bersama melihat tingkah Babe Jaelani, Antta, dan juga Rara yang gemoy. Komentar-komentar kocak dari para tokoh betul-betul terasa pas.
Selain itu, aku juga belajar bahwa rivalitas bukanlah sesuatu yang buruk. Rival adalah teman, bukan musuh. Sesuai banget dengan pepatah lama yang berbunyi,
‘Seribu teman kurang, satu musuh berlebihan.’
Film ini sangat bagus hingga ketika selesai, aku ngerasa ‘kayaknya kurang panjang deh.’ Padahal durasinya udah 110 menit, hahaha.
Begitu film selesai, dan kami beranjak keluar dari teater, si abang dan si teteh kompak banget bilang,
“Mama, filmnya bagus! Aku tadi sampai keluar air mata.”
Si abang bahkan spontan banget meluk aku dan berterima kasih, “Makasih ya Ma udah ngajakin kita semua untuk nonton film ini.” Duh ya ampun, anak itu bener-bener tahu cara bikin mamanya terharu.
Yuk, Ajak Anak-anak Tonton Film Nussa
Anyway, si dedek yang usianya 4 tahun kemarin ini udah kena tiket. Jadi aku kemarin belinya 5 tiket. Harga tiket kalau weekdays 35 ribu, cuman enggak tahu kok malam sabtu harganya berubah jadi 40 ribu, huhu.
But it’s oke, aku merasa puas udah spend lebih dari 200 ribu untuk sesuatu yang benar-benar bagus. Buat aku, Film Nussa memiliki kualitas luar biasa dari segi gambar, pengisi suara, bahkan musiknya. Jalan cerita film ini boleh jadi sederhana dan mudah ditebak, tapi tetap memiliki pesan moral yang tinggi.
Aku enggak menemukan dialog-dialog yang terkesan menggurui. Adegan berjalan natural dan alami. Bahkan meski Nussa Rara ini jelas-jelas menggambarkan keluarga muslim, nilai dari film ini justru universal dan bisa ditonton oleh teman-teman lintas agama.
Akhir kata, terima kasih banyak untuk semua yang sudah bekerja keras menjadikan Film Nussa hadir di Indonesia. Terima kasih telah membuat aku merasa optimis bahwa film animasi anak Indonesia memiliki harapan untuk semaju Disney/Pixar.
Gila, bangga banget pokoknya karena tahu film ini 100% karya anak bangsa. Semoga nanti akan ada film animasi untuk anak lainnya yang bisa sebagus Film Nussa. Semangat!