KOMUNIKASI YANG BAIK ADALAH KOENTJI
– Emak –
Terima kasih untuk teman-teman pembaca semua yang merupakan parents jaman now sudah setia menanti tulisan receh saya . Kali ini, sesuai janji saya akan membagi resume dari acara seminar tanggal 14 April 2018 yang diadakan oleh TK Islam Elfash dengan tema ” Disiplin Dengan Kasih Sayang”.
Kebetulan, saat itu saya didapuk oleh ibu kepala sekolah tercinta untuk menjadi moderator bagi pembicara super , yaitu Ibu Safithrie Sutrisno. Mohon dipahami karena pembahasan mengenai materi ini cukup panjang (bahkan rekamannya lebih dari tiga jam!) saya agak kebingungan bagaimana harus menuliskannya. Karena itulah, tulisan akan saya bagi dalam beberapa bagian agar lebih nyaman dibaca. Nah, untuk yang pertama saya akan fokus membahas tentang komunikasi positif dengan anak.
Baik, sebelum kita melaju ke inti pembahasan, saya pengen teman-teman kenalan dulu sama emak Fithrie. Siapakah beliau itu sebenarnya? Emak Fithrie adalah ibu dari tiga anak perempuan yang merupakan pembicara nasional serta konselor untuk masalah parenting maupun suami-istri. Sejak pertama kali bertemu, saya jatuh cinta banget dengan cara beliau menyampaikan materi. Sangat anti-mainstream, solusi yang diberikan pun mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, saya punya alasan pribadi kenapa kok cocok banget sama beliau. Emak Fithrie telah membantu saya melepaskan diri dari suatu masalah yang bernama luka masa lalu. Teman-teman bisa baca cerita lengkapnya di sini When Love Heart Your Heart
Oke, I think that’s enough for introduction.
Membangun Komunikasi yang Salah
Tema untuk seminar parenting kemarin adalah membangun disiplin pada anak. Somehow, bagi saya pembicaraan tentang disiplin itu berat, lebih berat daripada berat badan saya. Sebelum kita benar-benar membahas tentang masalah disiplin, kita wajib banget untuk paham tentang komunikasi, terutama komunikasi positif. Kenapa? Karena selama ini kita terbiasa untuk menanamkan kebiasaan baik pada anak dengan cara yang salah.
Orang tua, utamanya para ibu harus mengakui kalau kita punya satu kebiasaan yang entah bagaimana ingin kita hindari tapi malah selalu dilakukan : ngomel. Jika anak melakukan kesalahan, katakanlah mungkin menumpahkan air minum, yang pertama keluar dari mulut adalah omelan. Sebaliknya, ketika anak berbuat baik kita aware aja enggak, apalagi kasih reward. Ini adalah salah satu bukti kalau cara berkomunikasi kita selama ini belum benar. Tidak usah malu untuk mengakui, lha saya juga termasuk kok.
“Siapa di sini yang pagi tadi enggak marah-marah ke anaknya? Siapa yang saat anaknya bangun pagi, langsung cium, peluk dan bilang kangen?”
Hayo loh hayo loh ! Dahsyat banget kan kalimat pembuka seminar dari si emak? Belum-belum udah bikin kita pengen self gaplok aja coba. Ah emak, lebay ah pertanyaan dikau! Masa hanya karena semalam enggak ketemu aja kangen, toh tidurnya udah sebelahan . Belum lagi tiap hari ketemu . Tiap jam juga tatap muka wong rumahnya juga enggak gede-gede amat.
Tapi eh, ternyata enggak loh. Ada penelitian mengatakan bahwa otak kita akan aktif ketika melihat orang yang yang kita cintai. Bagian otak yang aktif adalah yang berhubungan dengan attachment dan liking. Inilah penyebab utama kalau kita melihat foto orang yang kita cintai atau mendengar suaranya maka perasaan bahagia akan muncul. Sebaliknya, jika tidak bertemu ya merasa rindu. Coba diinget lagi, siapa yang jaman pacaran habis pulang ngedate langsung kirim sms I miss you already ? Eaaa eaaa.
Lalu bagaimana dengan anak-anak?
Kita cinta kan sama mereka? Kalau cinta pasti rindu dengan kehadiran dan keberadaan mereka. Hanya memang kebanyakan dari kita justru tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan kerinduan itu, malah tidak jarang ada orang tua yang gengsi untuk mengungkapkan kasih sayang ataupun rindu. Duh, sedihnya ~
“Ibu yang sebelah situ,” kata emak menunjuk seorang ibu berhijab biru navy. “Coba ibu deskripsikan seperti apa anak ibu”
Saya melihat ibu yang awalnya sedang tersenyum itu menjadi kaget karena tiba-tiba ditunjuk. Dia lalu terdiam mendengar pertanyaan emak. Raut wajahnya mengatakan kalau si ibu sedang berpikir. Dalam renungannya, saya perhatikan tiba-tiba saja matanya menjadi basah, bibirnya terbuka-tertutup, seperti orang yang mau ngomong tapi enggak ngerti harus ngomong apa.
Lalu saya mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan emak di dalam benak saya.
Saya mengingat si abang yang kini sudah berusia lima tahun lebih. Masa-masa kehamilan dan perjuangan untuk melahirkannya ke dunia yang tidak mudah. Saya ingat tentang tangan mungilnya, senyumnya, tawanya dan tangisnya. Saya ingat momen bagaimana dia bisa tengkurap, duduk dan berjalan. Saya ingat kata pertama yang bisa dia ucapkan dengan lancar. Mendadak, hanya butuh waktu sedetik bagi saya untuk ingat segalanya! Bagai film yang diputar di tengah bioskop saya menonton bagaimana bayi mungil tanpa dosa itu belajar menjadi manusia yang utuh, dengan saya sebagai orang tuanya. Perasaan malu dan sesal menyergap ketika ingat bagaimana abang yang rasa ingin tahunya begitu tinggi , bertanya ini dan itu malah selalu saya abaikan. Ada momen di mana dia bermaksud untuk membantu namun justru saya marahi. Terlambat. Saya selalu terlambat memahami semua perbuatan si abang yang ditujukan untuk menyenangkan orang tuanya. Saya tidak paham cara memuji juga tidak paham cara menasehati sehingga seiring waktu si Abang tumbuh menjadi anak yang bingung harus bagaimana menghadapi orang tuanya. Parahnya, saya tidak tanggap dengan kebingungan itu, yang ada saya selalu merasa perbuatan dia itu salah.
Lalu sesak itu menyeruak, menciptakan panas dan genangan di kedua bola mata.
Sungguh, saya tidak sanggup mendeskripsikan sosok anak saya sendiri.
Tidak ada kata yang pantas, tidak ada kata yang cukup.
Ini tadi baru membayangkan si abang, belum si gadis dan si bungsu. Kini saya memahami perasaan si ibu berhijab biru navy yang tidak sanggup menjawab pertanyaan emak.
Bagaimana cara kita berkomunikasi dengan anak, itulah yang akan menjadi dasar apakah disiplin bisa diterapkan atau tidak. Saya butuh sekali mengingatkan teman-teman semua untuk meninggalkan tiga belas gaya komunikasi jaman old. Itu loh, gaya mendidik dengan membohongi, intimidasi, ancaman, bentakan, pukulan, kebencian, menyalahkan orang lain dan lain sebagainya. Jujur, sulit sekali lepas dari gaya pengasuhan macam ini karena kita sudah sangat terbiasa mendapatkannya saat kecil dulu. Butuh komitmen kuat serta kerja keras untuk memutus pola asuh lama dan menggantinya dengan yang baru.
Komunikasi Positif = Komunikasi Yang Menyenangkan
Lalu, gaya komunikasi yang baru itu kayak apa Ajeng? Aduh, kalau dijelasin kayaknya bakal panjang banget karena saya aja baru paham setelah mengikuti empat sesi materi komunikasi dari pagi sampai sore. Tapi biar aku coba paparkan sedikit tentang komunikasi positif ya.
- Pahami emosi apa yang sedang dirasakan anak kita. Anak bukan robot, mereka punya perasaan entah itu senang, sedih, marah, kecewa, cemburu, bete dan lain sebagainya. Hanya, selayaknya anak yang masih baru belajar terutama yang belum bisa bicara, mereka tidak menyampaikan apa yang mereka rasa dengan kata-kata tapi dengan perbuatan. Tak jarang kita melihat mereka melakukan hal-hal seperti membanting barang, memukul, berguling-guling ataupun berteriak-teriak. Sebagai orang tua kita harus jeli menelaah apa sih yang sebenernya lagi dirasain mereka? Teman-teman bisa belajar memahami emosi anak dengan memperhatikan situasi. Misalnya saat anak menghentak-hentakan kaki, mungkin dia sedang kesal. Bila anak sengaja membanting barang, mungkin dia mencari perhatian kita. Bila anak muter-muter atau bertingkah tidak jelas, mungkin dia bosan. Pernah Yuan yang sedang asyik bermain tiba-tiba membanting mainannya, saat itu saya hampiri dia dan bertanya “Abang kesel ya mainannya enggak bisa digerakin?” alih-alih melontarkan kalimat “Kok mainan dilempar-lempar sih? Nggak akan dibeliin mainan lagi kamu!”. Nah, pokoknya pahami situasi lalu tarik dulu emosinya. Biasanya nih, jika pertanyaan yang saya ajukan tepat maka emosi yang dirasakan si abang akan mereda dengan sendirinya. Kata-kata positif untuk menarik emosi yang biasanya saya ucapkan sih kira-kira ini ; “Abang marah mainannya direbut adek? Adek kecewa ya nggak dibolehin pinjem mainan sama abang? Adek sedih ya enggak bisa ikut main sama abang?”.
- KISS (Keep Information Short and Simple). Anak-anak hanya bisa menerima maksimal tujuh kata saja, maka dari itu usahkan untuk sampaikan informasi sependek dan semudah mungkin. Btw, kalian harus tahu kalau informasi bisa diterima dengan baik oleh anak-anak ketika mereka dalam kondisi rileks ya. Kalau kata emak sih saat itu otaknya sedang membuka. Jika kita memasukan informasi ketika perasaanya sedang negatif (marah, kecewa, bete) maka pesannya pasti tertolak karena otaknya sedang menutup. Jadi dalam kasus si abang yang membanting mainan, setelah emosinya saya tarik saya akan memeluknya dan menawarinya air minum atau bantuan untuk menyusun mainan. Biarkan dulu, sabar ya sampai suasana normal kembali. Bila dirasa anak sudah asyik kembali, baru deh saya bilang apa yang saya rasakan ketika melihatnya misbehave : “Mama sedih tadi abang banting mainannya,” ucap sambil senyum dan elus rambutnya. Selanjutnya baru deh bilang apa yang saya inginkan dari dia “Besok kalau kesulitan, bilang mama aja ya”. Jangan lupa untuk peluk dan ucapkan bahwa kita menyayanginya. Dari situ anak akan belajar mengenali dan memahami berbagai emosi. Hal yang lebih penting lagi : pesan saya untuk tidak banting-banting mainan akan diterima oleh dia. Sekali lagi, melakukan hal ini amat sangat sulit karena membutuhkan kesabaran tingkat tinggi, tak jarang situasi dan kondisinya membuat kita sebagai orang tua udah ngomel-ngomel duluan. Sekali lagi, inget rumus :pahami situasi, tarik emosinya, tunggu reda, sampaikan apa yang kita rasakan, dan sampaikan apa yang kita inginkan.
- PAHAM SERIBU KALI. Oh ya, jangan harap ketika kita ngelakuin ini saat pertama kali atau keseratus kali pasti akan langsung berhasil ya, JANGAN HARAP!! Kita harus berkali-kali banget melakukan hal ini sampai mereka paham dan terbiasa. Saraf otak anak itu tipis (saraf otak untuk anak di bawah lima tahun baru belajar nyambung), sehingga perlu seribu kali percobaan untuk membuat saraf otak itu menebal. Pertanyaannya, mau menebalkan saraf otak anak dengan hal yang positif atau negatif? Ini tergantung banget sama orang tuanya. Hati-hati, kalau kita biasa mendisiplinkan anak dengan bentakan dan ancaman, maka itulah yang akan tertanam seumur hidup di kepala anak. Dan akan sulit sekali untuk merubahnya, sulit sekali. Alhamdulillah, saya bahagia sekali ketika qadarullah si abang sudah mulai bisa mengungkapkan perasaannya. Dia sering kok bilang “Luna, Yuan enggak nyaman kalo kamu gangguin gitu” atau “Mama, Yuan malu tadi bertengkar sama Daffa di tempat futsal”
- STAY POSITIVE. Ada empat hal positif yang perlu kita tunjukan ketika hendak menyampaikan pesan ke anak. Keempatnya adalah ; Suara yang positif, sikap yang positif, kata-kata yang positif dan perasaan yang positif. Satu hal saja negatif, maka otak anak akan menutup dan pesan akan tertolak. Misal nih, kita bilang “Mama itu ngelarang kamu main karena mama sayang!” (Kalimat sudah positif tapi pakai membentak dan nunjuk-nunjuk anak). Kalau kayak gitu kira-kira anak-anak bakal mau ndengerin enggak? Jawab sendiri ya.
Dududu…baru membahas masalah komunikasi aja udah panjang banget yak. Parenting itu memang sesuatu yang akan dipelajari selama kita masuk ke liang lahat kok. Seandainya kita sadar, makin lama tugas parenting ini makin berat karena kebanyakan dari kita sudah terjebak dengan pola asuh masa lalu.
Ini saya contohkan beberapa kalimat yang sering dilontarkan oleh orang tua dalam usaha untuk mendisiplinkan anak. Saya tahu karena ada beberapa yang pernah saya lakukan pada yuan *sigh.
“Anak kalau enggak dibentak tuh enggak bakalan denger”
“Ini anak kalau enggak dipukul mesti enggak bakal ngelakuin”
“Kamu tuh ya bandel banget! kamu tuli? Enggak punyi kuping? Goblok kamu!”
“Ayo makan, kalau enggak mau makan mama panggilin pak polisi biar kamu masuk penjara!”
“Pak Satpam ini loh, ada anak yang enggak mau tidur siang!”
Ya Allah…
Padahal anak kita adalah manusia normal dalam ukuran kecil yang punya telinga dan pasti bisa mendengar. Padahal anak kita tentu akan merasakan sakit baik fisik dan hatinya jika dipukul. Padahal tidak ada hubungan sama sekali antara mau makan dan pak polisi ataupun tidur siang dan pak satpam.
Iya kan?
Lalu bagaimana cara menyampaikan kata-kata yang tepat agar pesannya tersampaikan? Gunakan konsekuensi alami! Saya beri beberapa contoh :
- “Makan yuk bang” Bila anak mau makan berarti good, kalau sebaliknya maka ungkapkan perasaan kita “Mama khawatir (khawatir adalah ungkapan perasaan) abang kelaparan kalau enggak makan.” Lapar adalah konsekuensi alami bila tidak makan.
- “Bang, ayo mandi” Bila anak mau mandi berarti aman, kalau sebaliknya ungkapkan perasaan kita “Mama takut atau mama enggak mau nanti abang bau dan gatal-gatal.” Bau dan gatal adalah konsekuensi alami bila kita tidak mandi.
- “Abang, saatnya bobok siang” Bila anak mau bobok berarti asyik, karena kita
bisa ikutan tidureh beres-beres maksudnya. Kalau tidak mau berarti kalimat yang kita sampaikan gimana? “Mama khawatir nanti abang kelelahan.” Terlalu lelah adalah konsekuensi alami dari tidak tidur siang.
Gimana teman-teman? Ternyata gampang-gampang susah ya membiasakan diri berkomunikasi secara positif dengan anak.
Saya masih ingat betul kali pertama mengikuti kelas emak untuk materi komunikasi. Air mata saya berderai-derai, begitu banyak dosa yang saya lakukan pada Abang. Betapa salah cara saya membangun komunikasi dengan Abang. Betapa saya sudah begitu menghancurkan masa-masa golden age-nya dia dengan kata-kata dan perbuatan yang bisa membunuh karakter aslinya.
Makannya, bersyukur banget-banget-banget saya bisa bertemu dengan sesama orang tua yang care dan butuh dan mau untuk belajar tentang parenting sehingga dibentuklah kelas ini. Merasa sangat terlambat sih, tapi paling enggak ini masih lebih baik daripada enggak sama sekali. Ingat sekali waktu emak bilang “Saat terbaik belajar menjadi suami/istri adalah sebelum menikah, saat terbaik belajar menjadi orang tua adalah sebelum mempunyai anak”
Komunikasi positif, pintu masuk membangun disiplin
Oke, back to topic! Kebiasaan nih malah ngelantur kemana-mana, wkwkwkwk.
Udah ketemu tadi ya rumus komunikasi yang tepat itu seperti apa. Rumusnya tadi;
Pahami perasaa anak ⇒ Tarik emosi anak dengan kata2/pelukan, biarkan reda ⇒ diamkan, tunggu sampai kondisi mulai normal ⇒ ungkapkan perasaan kita ⇒ masukkan pesan
Bila komunikasi antara orang tua dan anak tersampaikan dengan baik bisa dipastikan hubungan yang tercipta antara orang tua dan anak pun pasti OK punya. Emak mengatakan kalau ada orang tua bilang anaknya itu suka ngeyel, suka membantah, dan enggak mau menurut bisa dipastikan itu karena hubungan mereka dengan anak jelek. Saya sendiri ngerasain kok, semakin saya mengintimadasi abang semakin dia melawan, kalaupun menurut itu dia lakukan karena terpaksa bukan suka. Kalau sudah begini, gimana kita mau mendisiplinkan anak? Lha wong anak kita itu anak-anak, bukan orang dewasa apalagi tentara. Jadi, perbaiki dulu komunikasinya ya teman-teman, karena komunikasi yang baik adalah pintu masuk bagi kita untuk membangun disiplin pada anak.
Untuk menutup resume part satu ini, saya coba mengutip syair milik Dorothy Law Nolte:
Jika anak dibesarkan dengan Celaan, maka ia belajar Memaki.
Jika anak dibesarkan dengan Permusuhan, maka ia belajar Berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan Ketakutan, maka ia belajar Gelisah.
Jika anak dibesarkan dengan Rasa Iba, maka ia belajar Menyesali Diri.
Jika anak dibesarkan dengan Olok-Olok, maka ia belajar Rendah Diri.
Jika anak dibesarkan dengan Iri Hati, maka ia belajar Kedengkian.
Jika anak dibesarkan dengan Dorongan, maka ia belajar Percaya Diri.
Jika anak dibesarkan dengan Toleransi, maka ia belajar Menahan Diri.
Jika anak dibesarkan dengan Pujian, maka ia belajar Menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan Penerimaan, maka ia belajar Mencintai.
Jika anak dibesarkan dengan Dukungan, maka ia belajar Menyenangi Diri.
Jika anak dibesarkan dengan Pengakuan, maka ia belajar Mengenali Tujuan.
Jika anak dibesarkan dengan Berbagi, maka ia belajar Kedermawanan.
Jika anak dibesarkan dengan Rasa Kejujuran dan Keterbukaan, maka ia belajar Kebenaran dan Keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan Rasa Aman, maka ia belajar Menaruh Kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan Persahabatan, maka ia belajar Menemukan Cinta dalam Hidup.
Jika anak dibesarkan dengan Ketentraman, maka ia belajar Berdamai dengan Pikiran.
Nah, jadi tahu kan alasan kenapa sangat penting memperbaiki dan memahami cara berkomunikasi yang baik dengan anak. Karena cara kita bicara dan bersikap itu yang akan diduplikasi oleh anak kita.
Anyway, mungkin segini dulu yang bisa saya share untuk part pertama. Insya Allah part 2 akan menyusul. Mohon teman-teman jangan salah paham, ketika menuliskan hal ini bukan berarti saya sudah menjadi seorang ahli parenting, bukaann! Saya sama aja dengan teman-teman, masih dalam tahap belajar, memperbaiki diri. Jutru dengan menulis ini saya jadi tidak lupa dengan ilmunya, bisa berbagi dan mengingatkan diri sendiri.
Semoga bermanfaat,
Pondok Aren, 25 April 2018
4 Komentar. Leave new
Fiuhhhh… *sigh..
Tulisannya bagus banget mba.
Saya rasa hal yang paling menantang adalah komunikasi dengan anak, khususnya anak usia 6 tahun ke atas
Anak saya sekarang 7 tahun, masha Allaaaahhh, benar-benar bikin saya harus istigfar tiap saat.
Bukannya dia nakal sih, sayanya yang kurang sabar hiks.
Terlebih sejak masuk sekolah, rasanya emaknya pengen makan sebakul *eh.
Kalau minta dia bergerak cepat agar gak telat melakukan banyak aktivitasnya 😂
kyaa makasih mbak rey. Bener, emang komunikasi itu hal pertama dan paling utama mbak, buktinya sampe 4 modul sendiri buat khatamin materi ini. Dan mungkin, karena memang pengaruh didikan masa lalu, komunikasi yang kita lakukan jadi banyak salahnya, huhu. Aku pun banyak belajar lagi
sukaaaaaaaaa sama tulisannya, bagus banget ini mbak!
ini PR banget buat ketiga balita saya..
kudu banyak-banyak istigfar setiap saat kalau lagi ngomong sama mereka hihihi
Aaahh terima kasih mbak. Masya allah, senang sekali kalau tulisan ini bermanfaat. Bener, pokoknya kalau memang kita tidak bisa nahan emosi, mending kita tinggalin dulu anak kita untutk sesaat. takutnya kita malah jadi menyesal. sEMANGAT MAMA, anak saya juga tida soalnya, hahaha