Gara-gara berbeda pandangan ketika menghadapi sesuatu, aku dan Cucup malah jadi ngobrol-ngobrol tentang masa kecil. Kami sebetulnya sudah sering membahas tentang ini meski cuma sekilas-sekilas. Tapi baru kemarin itu akhirnya kami benar-benar berbincang rada serius. Inilah yang kemudian membuatku merasa bersyukur meski masa kecilku sulit.
Baca Juga : Selingkuh Dari Sudut Pandang Suami
Aku rasa cukup banyak anak kelahiran tahun 90 yang nasibnya mirip-mirip. Enggak tahu kenapa, saat itu aku sendiri merasa bahwa orang kaya tuh enggak banyak. Atau mungkin karena memang circle aku yang itu-itu aja sehingga enggak ngerti kalau sebenernya orang berada di Indonesia itu bejibun? Hahaha.
Kontraktor Sejati
Sebelum menetap di Jogja, aku tinggal berpindah-pindah antara Semarang dan Majalengka (kota kelahiranku). Aku inget banget saat awal-awal pindah ke Jogja keluarga kami menyewa sebuah kamar kos-kosan keluarga. Tempatnya kecil gitu, cuma satu kamar kalau enggak salah padahal anaknya papa mamaku ada 3.
Baca Juga: Melawan Perubahan Iklim Dari Rumah
Habis itu kami pindah ke rumah mewah alias mepet sawah. Beneran, begitu keluar rumah yang pertama kelihatan adalah hamparan sawah. Rumahnya lumayan gede dengan kamar mandi di belakang dan sumur terbuka yang ditutup sama mamaku pakai papan.
Pernah kami kejatuhan kulit ular karena di atas kamar mandi itu ada pohon bambu yang tumbuh cukup lebat. Di sana aku sempat tidak punya teman karena rambutku penuh kutu, entah kenapa. Aku dibelikan sisir serit dan juga obat pembasmi kutu sampai akhirnya bersih. Tapi memori yang paling aku ingat tentang rumah itu adalah saat aku kecemplung di sawah, pas sawahnya lagi berlumpur banget pula. Pulang-pulang, Mama langsung menyiram aku pakai air yang ditimba langsung dari sumur.
Tempat tinggal ketiga di Jogja adalah sebuah rumah pinggir jalan. Di rumah ini akhirnya aku bisa punya kamar sendiri meski kecil. Kemudian di rumah ini pula papaku memulai usaha Taman Bacaan yang menyewakan berbagai komik, novel, serta majalah.
Tempat tinggal keempat adalah rumah yang dibangun sendiri, hasil pemberian kakek dari pihak Mama. Sepertinya beliau kasihan sama keluarga kami yang pindah-pindah dan akhirnya membelikan tanah serta membangunkan kami rumah.
Mengenai rumah terakhir, Mama sering bilang kalau rumah itu adalah milik kakakku yang nomer satu. Kakek sayang banget sama si kakak sebagai cucu pertama. Dulu aku enggak paham dengan maksud beliau. Baru deh setelah dewasa aku merasa bahwa aku itu cuma beruntung karena bisa tinggal di sana saking seringnya Mama nyebut-nyebut rumah itu milik siapa, wkwkwk.
Bukan karena aku bagian dari keluarga dan berhak tinggal di sana. Tapi karena kebaikan kakek dan kakakku saja. Ehehehe.
Uang Jajan Adalah Hal yang Mewah
Pada hari raya Idul Adha, masjid di dekat rumahku biasa mengadakan penyembelihan hewan qurban. Aku dan anak-anak kecil lainnya biasa berkerumun di sana dari sejak mulai sampai selesai untuk menyaksikan. Saat itu, ada banyak sekali penjual makanan dan minuman dadakan.
Sayang, aku cuma bisa menelan ludah melihat anak-anak lain membeli jajanan atau minuman yang terlihat segar. Soalnya, aku enggak punya uang. Jadi kalau haus, aku pulang.
Baca Juga : Empat Tips Mengajarkan Puasa Pada Anak
Pernah juga temen-temenku sepermainan urunan beli es cincau. Aku enggak dibagi karena ya aku enggak punya uang buat ikutan bayar es tersebut. Endingnya aku cuma bisa nguat-ngiatin diri sendiri ngelihat mereka nyeruput es cincau dengan bahagia.
Pulang sekolah jalan kaki juga bukan hal yang luar biasa karena uang jajanku ngepas dan udah habis plus orang tua enggak datang menjemput. Jarak antara rumah dan sekolah adalah sekitar 3-4km, lumayan bagi aku yang dulu langkahnya mungil-mungil.
Belajar Bekerja Supaya Punya Tambahan Uang Jajan
Waktu aku SD (lupa kelas berapa) papa membuat usaha Taman Bacaan, suatu usaha menyewakan buku komik, majalah, novel, dan lain-lain. Alhamdulillah usaha tersebut berjalan cukup lancar, membernya bahkan hingga ribuan. Mungkin karena lokasinya strategis, dekat dengan pondok pesantren, dan sekolah-sekolah.
Nah, ketika aku udah bisa menulis dengan lancar dan cukup berani bersepeda kemana-mana, aku membantu menjaga taman bacaan tersebut di waktu luang. Seringkali aku juga menjadi pihak yang pergi menagih buku ke para penyewa yang terlambat.
Setiap keterlambatan pengembalian akan didenda. Jadi kalau menagih, aku akan dapat bukunya kembali plus uang denda juga yang nominalnya tidak tentu. Selesai melakukan tugas-tugas tersebut, aku dikasih uang jajan lebih.
Terus, masih inget enggak kalau dulu ada drama Putri Huang Zhu, itu loh putri dari Cina yang di kepalanya pakai topi-topi lucu khas istana. Nah, aku berkreasi bikin topi tersebut dan buka PO ahahaha. Waktu itu ada lumayan banyak yang berminat beli dan pesan. Dari sana, aku kembali dapat tambahan uang jajan.
Saat beranjak SMA, ekonomi keluarga mulai membaik. Papa bahkan bisa membeli mobil yang memudahkan kami untuk bepergian bersama-sama satu keluarga. Tapi meski demikian, aku tetap saja selalu kepikiran untuk cari uang sendiri, bukan sekedar meminta.
Saat kuliah misalnya, aku pernah jadi waitress di warung ramen. Aku kerja selama beberapa jam dan mendapatkan gaji bulanan dari sana. Aku juga pernah menjadi enumerator Bank Indonesia, waktu itu ditawarin sama temenku yang merupakan anak ekonomi.
Enumerator itu tugasnya semacam bagi-bagiin survey ke pengusaha yang sudah ditentukan. Aku harus mewawancara mereka dan juga minta tanda tangan. Gampang-gampang susah sih ngerjainnya. Gampang karena bisa dilakukan disela-sela waktu kuliah. Susah jika tidak semua pengusahanya ada di tempat.
Pernah jadi penerjemah, pernah bantuin jaga ujian, pokoknya kerjaan apapun yang menghasilkan uang aku coba. Sebetulnya waktu SMA aku sempat ikut seleksi penyiar radio geronimo, tapi enggak lolos. Pas kuliah sempet ikut seleksi pegawai dagadu, enggak lolos juga, wkwkwkwk.
Waktu kuliah aku juga dapat beasiswa prestasi, aku lupa namanya apa tapi tiap beberapa bulan jadi dapat tambahan nominal yang lumayan. Tenang, pastinya sih bukan bidikmisi atau beasiswa lain yang ditujukan untuk orang tidak mampu ya. Waktu itu aku udah punya pikiran untuk enggak mau ngaku-ngaku miskin atau tidak mampu cuma supaya dapat beasiswa. Amit-amit kalau sama Allah dibikin miskin beneran kan? Huhuhu.
Ternyata, Kesulitan-Kesulitan Itu Bikin Aku Punya Mental Kuat
Sering merasa iri karena tidak bisa jajan, harus berani sepedaan atau jalan kaki jauh sendirian, hanya bisa punya boneka barbie yang rambutnya botak karena eman-eman beli barbie asli, dan pengalaman lainnya ternyata bukan sesuatu yang buruk.
Saat ini, aku bahkan merasa sangat bersyukur karena punya kenangan pernah melewati hal-hal tersebut. Tapi bukan berarti aku berkenan mau melaluinya lagi loh, hihihi.
Soalnya, pengalaman syulit-syulit itulah yang menempaku jadi sosok tangguh seperti sekarang. Aku sendiri masih inget bagaimana Mama memanggilku si Elang, seekor burung yang begitu kuat dalam menghadapi halangan dan rintangan untuk mendapatkan tujuannya. Terharu eui, ternyata di mata mamah aku tuh segitunya.
Aku jadi enggak manja. Aku jadi tahu kalau ingin sesuatu, aku harus melakukan sesuatu, bukan sekedar minta. Aku juga jadi sosok yang lebih nrimo, iya sih sedih dan kecewa enggak bisa mendapat apa yang diharapkan, tapi bukan berarti aku menyerah.
Terbukti, setelah menikah dan menjadi istri serta ibu, alhamdulillah aku bisa melalui berbagai tantangan yang datang. Lebih humble, lebih bakoh, lebih punya inisiatif untuk melakukan ini dan itu.
Inilah yang kemudian bikin aku khawatir. Ekonomi keluarga kecilku bisa dibilang cukup stabil, Cucup punya pekerjaan jelas, kami bisa mengatur keuangan lebih longgar, dan aku bisa memberikan anak-anak apa yang dulunya tidak bisa aku dapatkan. Ketakutanku satu, apakah berbagai kemudahan hidup ini akan membuat mental anakku menjadi lebih lemah?
Apakah ketika nanti masalah menghadang, mereka akan menyerah?
Apakah nanti ketika mereka merasa tidak mampu, mereka akan meminta bantuan kami alih-alih mencoba sendiri dulu hingga titik terakhir?
Prinsipku : Yang Penting Hidup Semampunya
Setelah kupikir-pikir cukup lama, enggak ada salahnya juga sih memberikan apa yang anak inginkan, asal sesuai kemampuan kita sebagai orangtua. Menjadi masalah ketika untuk menurutinya, kita mesti memaksakan diri sampai ngutang misalnya.
Ada banyak kan contoh anak-anak jaman sekarang yang enggak mau sekolah kalau enggak pakai motor tertentu. Enggak mau belajar kalau enggak dibeliin ponsel. Apaan coba, minta diplites banget.
Ketika kita hidup semampunya, mampunya makan nasi pakai telor, mampunya pakai sepatu merk A, mampunya jalan-jalan cuma ke tukang mie ayam, aku rasa ini juga udah oke kok. Anak pasti akan mengerti dan menerima, asal enggak bohong aja, wkwkwk.
Yah, tantangan mengasuh anak jaman now memang membiarkan mereka merasa kecewa ketika mengetahui bahwa tidak semua keinginannya bisa dipenuhi. Rasa kecewa ini memang harus banget mereka rasakan sepenuh hati. Bila dikelola dengan baik, insya Allah malah bisa menjadi pendorong supaya anak termotivasi.
Akhir kata, semoga kita selalu bisa menjadi sosok terbaik untuk anak-anak yang bisa membuat masa kecil mereka bahagia dan tercukupkan kasih sayangnya.