Literasi yang baik di rumah adalah kunci pembentukan gaya bicara yang baik.
– Madam A –
Sabtu pagi beberapa minggu yang lalu, saya yang sedang asyik memasak dipanggil si Abang. Tentu saja saya langsung menghentikan aktivitas di dapur dan beranjak ke ruang tamu. Melihat mamanya datang, dia tiba-tiba mengacungkan jari tengahnya dan berkata,
“Mah, fuck mah, fuck!”
Saya melongo, tertegun melihat apa yang baru saja terjadi. Di lain pihak, si Abang justru tertawa-tawa melihat reaksi saya. I was like, seriously?
Wait, dulu saya memang pernah menulis tentang curhatan seorang ayah yang bingung harus menjawab apa ketika anak gadisnya yang berusia tujuh tahun berkata Fuck. Kalau enggak salah sih, ada di tulisan ini. (Please, baca dulu ya gengs, penting)
Saya tentu saja kaget walaupun enggak kaget-kaget amat. Alasan utamanya karena dalam tulisan saya, si anak yang bertanya usianya tujuh tahun. Sudah sekolah dasar walau masih tingkat rendah. Lah, ini si Abang baru juga 5 tahun 10 bulan dan masih TK kok udah ikut-ikutan melakukan hal yang sama? Ya Allah Gusti Nu Maha Agung, enggak salah kalau orang bilang sekarang bener-bener jaman edan!
Alhamdulillah, saya bersyukur sekali sudah memiliki pengetahuan bagaimana harus mengatasi hal ini. HAHAHAHA *ketawa jumawa*. Meski sebenarnya saya berharap tidak secepat ini ilmu tersebut harus dipraktekan, hiks. Pada saat kejadian, saya pun tidak shock ataupun marah-marah.
“Ya Allah, terkejut mamah tu abang bilang kayak gitu. Emang, abang tahu itu artinya apa?” Kata saya merespon tindakannya.
Dia menggelengkan kepala. Qadarullah, kok saat itu ada Yusuf juga di dekat kami. Jadilah saya dan dia merengkuh si Abang lalu mengajaknya ngobrol. Kami bergantian menjelaskan bahwa mengacungkan jari tengah sama saja dengan memperontonkan buah zakar alias tytyd-nya. Tak lupa kami selipkan pesan bahwa kami akan sangat marah bila dia ikut-ikutan melakukan hal tersebut.
“Maaf ya mah, Yuan enggak tahu kalau iu tuh artinya nunjukin penis.” Jawabnya polos.
Huwaa, lega rasanya ketika tahu kami bisa mengatasi hal seperti ini dengan baik. Ilmu-ilmu parenting yang diajarkan bu Fithrie betul-betul bermanfaat dan aplikatif sekali, beneran deh. Nah, setelah suasana cair saya kembali bercakap-cakap dengan si abang. Saya butuh tahu dari mana dia mendapatkan kata-kata tersebut. Usut punya usut ternyata dia meniru teman sekelasnya.
Saat dia menyebutkan sebuah nama yang kita sebut saja A, hati saya mencelus. Duh, gimana ya, saya tahu tentang A, kenal juga sama ibunya kendati memang tidak terlalu dekat. Piye yo, jadi kepikiran dan resah karena bukan kali ini saja anak tersebut membawa pengaruh kurang baik.
Pada waktu yang lain, jauh sebelum ini A pernah menjahili anak perempuan di kelasnya. A menarik jilbab dan membekapnya sampai si anak yang dijahilinya menangis dan trauma. Bahkan anak perempuan ini sempat tidak mau sekolah loh karena merasa tidak nyaman dengan keberadaan A.
Kenapa kok bisa tahu Madam? Pertama, arena ibunya anak perempuan ini cerita pada saya. Alasan kedua, ternyata si Abang pernah membantu menghentikan tingkah jahil A serta menolong si anak perempuan tersebut. Masya Allah…*nangisbombay*
BERTEMU USTADZ BENDRI JAISYURAHMAN
Allah Maha Baik, sungguh Allah Maha Baik dan Maha Tepat Waktu. Bayangkan, saya menemukan si Abang bermasalah di hari sabtu. Eh, hari seninnya saya dimudahkan untuk hadir ke Kajian Ustadz Bendri Jaisyurahman di Masjid As-Shaf Emerald Bintaro. Momen tersebut saya manfaatkan utuk bertanya mengenai kasus si Abang. Barangkali ada masukan lain yang bermanfaat, ye kan?
Saat itu, di depan para jamaah saya bercerita tentang kronologi kejadian di atas serta kegelisahan saya tentang A. Entah kenapa, sebagai seorang ibu saya tahu betul bahwa A sesungguhnya adalah anak yang baik dan pemalu. Soalnya dulu anak tersebut pernah sekelas di playgroup sama si Abang. Penasaran banget , kenapa ya A sekarang bisa seberbeda itu? Gimana ya caranya supaya A bisa kembali menjadi anak yang baik?
Di akhir kisah, saya bertanya kepada beliau tentang apa yang sebaiknya dilakukan agar abang menjadi anak yang punya prinsip dan tidak mudah mengikut arus.
Jawaban dari Ustadz Bendri sangat simpel : LITERASI.
Berikan anak Literasi terbaik di rumah, niscaya anak akan terjaga tutur katanya
– Ustadz Bendri Jaisyurahman –
Saya termangu sejenak. Sek, apa hubungannya antara kasus saya dengan literasi ?*garuk-garuk*
Sambil terus menyimak jawaban beliau saya mencari tahu apa yang dimaksud dengan literasi.Jadi, pengertian literasi secara umum adalah kemampuan individu untuk mengolah dan memahami informasi saat membaca atau menulis. Tapi yang saya tangkap , literasi yang dimaksud oleh pak ustadz justru lebih dari sekedar kemampuan untuk baca dan tulis. Ini tentang kemampuan berbahasa.
Iya, penting sekali bagi kita sebagai orang tua untuk berbahasa yang baik dan sopan kepada dan di hadapan anak-anak. Cara yang dianjurkan oleh beliau sangat banyak, diantaranya menghindari nonton sinetron, memperbanyak baca buku bersama, serta berdiskusi dan bicara dengan kata-kata yang tepat.
Yah, kita memang tidak bisa mengatur orang lain akan membesarkan anaknya seperti apa. Tapi kita bisa berjuang untuk membentuk karakter anak kita sesuai harapan/standar kita. Fakta membuktikan, sebagus apapun suatu sekolah kalau didikan di rumah berbeda ya tetap saja, ble’e.
Peluk, puji, hargai dan beri perhatian pada anak setiap mereka berhasil melakukan perbuatan yang baik. Ini perbuatan yang merangsang anak kita untuk senang bersikap baik. Ujung dari penghargaan yang kita tunjukan adalah munculnya habbit, mereka jadi akan terbiasa dengan hal tersebut.
Terkesan simpel memang, tapi sulit sekali dilakukan. Percayalah, sebagai orang dewasa kita justru tidak aware dan abai ketika anak-anak bersikap manis. Ya gimana, habisnya kita merasa bahwa apa yang dilakukan anak adalah wajar, sesuatu yang seharusnya. Padahal, bisa jadi anak-anak kita butuh effort untuk melakukannya kan?
Saya memiliki kecurigaan, jangan-jangan A melakukan keusilan ini dan itu hanya untuk menarik perhatian orang dewasa di sekitarnya? Boleh jadi selama ini dia tidak mendapat atensi atau kasih sayang yang diharapkan kalau jadi anak yang baik dan anteng-anteng saja. Sehingga, menjadi anak yang iseng adalah pilihan terbaik agar orang-orang itu peduli? Ah, kok saya malah jadi melow …
Jadi bertanya-tanya, saya sendiri sudah memberikan kasih sayang dan perhatian terbaik ke anak-anak belum ya? Sudah membiasakan literasi terbaik belum yak? *gaplok diri sendiri*
KASUS LUNA
Nah, selain dengan si abang saya juga mulai menemukan beberapa masalah pada Luna. Anak gadis semata wayang tercinta dan terunyu-unyu saya ini usianya baru 2 tahun 5 bulan. Masih kecil lah ya, kalau berdasarkan ilmu montessori baru mengalami yang namanya ledakan bahasa. Tapi jangan salah, di umur segitu dia sudah mampu berkomunikasi dengan teman-teman yang lebih besar, bahkan bermain bersama.
Beberapa kali saya melihat Luna seperti sedang terlibat diskusi yang asyik sekali. Entah mereka lagi ngomongin apa. Kan enggak mungkin ya kalau mereka bahas harga telur saat ini atau seberapa tipis tempe yang ada di tukang sayur? Duileeee, hihihi. Eh, ternyata mereka sedang ngobrol tentang boneka siapa yang lebih bagus, uwaaaaw nak gadis nak gadis. *geleng-geleng kepala*
Luna juga sudah bisa diajak bermain peran. Ketika main dokter-dokteran misalnya, dia didapuk menjadi pasien. Saya takjub karena melihat aktingnya sangat hebat. Bisa gitu ya anak umur segitu mata dan ekspresinya dilemes-lemesin biar bener-bener kelihatan kayak orang sakit? Bahkan suara dan gaya ngomongnya pun pake batuk-batuk . Ya Allah, ngerti darimana sih kamu nak?
Sejak melahirkan anak kedua saya memang menyewa seorang ART yang membantu saya menjaga Luna. Dia itu cerdas sekali, kalau lihat ada temannya di luar, enggak tahan untuk langsung buka pintu dan ikutan main. Nah, si mbak inilah yang bantu saya ngawasin kalau saya sedang nyusuin Aylan.
Aslinya, saya senang karena Luna anak yang mudah untuk bersosialisasi. Saya membiarkan saja kalau dia sedang seru-seruan bareng teman-temannya. Berlari sampai keringetan, bereksplorasi atau berteriak karena sedang bermain sehat untuknya. Pokoknya selama tidak aneh-aneh ya saya biarkan saja.
Tapi…
Ternyata tetap saja. Saya menemukan beberapa keanehan pada Luna. ia tiba-tiba bisa dan suka meludah. Lebih tepatnya sih meludahi orang yang mengajaknya bicara. Alamakjaaangg, terkejoet akutu jadinya.
Hal yang lain lagi adalah bahwa gaya bicaranya berubah. Sebelum ini, Luna sudah mampu mengungkapkan perasaanya dengan kata-kata. Tapi sekarang dia sering berteriak atau bicara dengan kata-kata tidak jelas. Belum lagi tiba-tiba menangis dan bertingkah seenaknya.
Ya Allah, ada apa lagi ini?
BICARA YANG TEPAT
Saya kembali mengingat pesan yang disampaikan oleh Ustadz Bendri, tentang literasi, tentang kemampuan bicara yang pas. Saya juga mencoba untuk koreksi diri, jangan-jangan Luna bersikap kayak gini karena dia kurang perhatian?
Oh nooooooo, tydaaaaaaaa!!!!!
Akhirnya, saya switch beberapa tugas sama mbak ART. Saya mencoba untuk meluangkan lebih banyak waktu dengannya. Saya bermain, membaca buku, mendengarkan curahan hatinya dan bicara. Saya menemaninya bermain, mencari tahu dari mana dia mendapatkan hal-hal tersebut.
Qadarullah ketemu, alhamdulillah. Lagi-lagi masalah “arus”.
Langkah selanjutnya yang saya ambil adalah mengatakan bahwa saya tidak suka setiap kali Luna meludahi wajah saya. Sebenarnya semburan dia enggak yang sampai meluber-luber gitu sih, tapi tetep aja kesel kan? Di sini saya bersikap tegas. Saat bicara ekspresi saya enggak ada ketawa-ketawanya blas. Pokoknya dia harus tahu bahwa perbuatan itu betul-betul tidak baik. Enggak ada toleransi.
“Oh, mama enggak suka ya?” Tanya dia kemudian, melihat air muka mamanya yang dingin.
“Iya, mama enggak suka. Itu jorok.” Jawab saya. Sedikit tips, jangan lupa bahwa anak seumuran Luna hanya bisa menangkap 7 kata, jadi utamakan KISS (Keep Information Short and Simple) ya.
Saya teruusssss melakukan hal ini sampai akhirnya dia paham dan berhenti sendiri. Yah, belum berhenti total sih, sesekali masih tapi sudah jarang.
Saya masih berjuang untuk membuat Luna kembali bicara alih-alih teriak tanpa kata yang jelas. Hal ini butuh usaha lebih yang cukup lama karena sampai sekarang masih belum bisa kembali seperti semula. Yang pasti, saya enggak berhenti mengingatkan dia untuk bicara yang benar sih.
Pokoknya, tiap kali dia teriak saya coba untuk memahami apa yang dia rasakan. Lalu menanggapinya dengan kalimat seperti contoh di bawah;
“Luna kalau sakit, bilang sakit aja ya.” (Waktu itu dia teriak-teriak sambil pegang kakinya)
atau
“Kenapa, Luna kesel tadi enggak diajak main sama temannya?” (Waktu dia ngoceh-ngoceh enggak jelas pulang bermain)
atau
“Luna mau ikutan beli tahu bulat, kayak abang?” (Saat dia ngerengek dan gangguin abangnya)
KITA TAK BISA MELINDUNGI SELAMANYA, HANYA MENYIAPKAN
Menghadapi perilaku anak-anak yang seperti ini membuat saya jadi banyak berpikir. Semestinya saya bersyukur karena diberi kesempatan untuk menghadapi masalah seperti ini sekarang.
Apa yang dialami Yuan dan Luna membuka mata saya bahwa yah, itulah potret kehidupan kita saat ini. Mau tak mau, suka tak suka ada hutan belantara di luar pintu rumah kita. Saya menyadari betul bahwa akan ada saat-saat di mana tidak bisa lagi membersamainya menghadapi berbagai rintangan.
Lalu apa yang bisa kita lakukan agar mereka bisa survive? Agar mereka memiliki prinsip dan berani melawan arus?
Yang utama sih jelas : pendidikan di rumah.
Mengajarkan literasi yang baik adalah salah satu caranya. Saya tidak bisa mengunci mereka di dalam rumah, mencegah tidak bertemu siapapun. Tidak bisa. Mohon maaf kalau teman-teman menemukan ada orang lain yang melakukan cara ini. Mengisolasi anak-anak bukan cara saya.
Saya sendiri berusaha sekali untuk mencari lingkungan yang kondusif setiap memilih tempat tinggal. Sebagai anak-anak dengan karakter sanguins mereka jelas bosan bila dipaksa tinggal di dalam rumah saja. Saya memang berusaha untuk mengadakan kegiatan untuk mereka, tapi tetap, mereka butuh bermain di luar.
I know, I know ada konseskuensi di balik pilihan tersebut. Contoh nyatanya sudah terjadi pada Yuan dan Luna. Hal ini kemudian membuat saya harus bekerja lebih keras menanamkan pemikiran yang baik pada anak-anak. Saya juga mesti notice dengan setiap perubahan perilaku anak, meluruskan jika ada yang menyimpang.
Capek? lha yo cetho! Apalagi untuk kasus Luna. Da atuh kumaha, mau ngeluh juga percuma. Saya jadi lebih sering ngikutin dia kemana-mana. Menajamkan telinga dan penglihatan, memperhatikan pola interaksi dia dengan temannya. Tapi enggak apa-apa, saya malah jadi bisa ngobrol dan ikutan dekat dengan teman-temannya. Dari sana, saya merasa lebih enak untuk menyelipkan nasehat-nasehat berfaedah.
Maka benarlah pepatah yang mengatakan “it takes a village to raise a child“. Tidak hanya orang tua, tetangga dan lingkungan pun turut serta dalam pembentukan karakter anak. Maka, jangan pernah ragu melakukan hal positif untuk masyarakat sekitar. Jangan merasa sungkan untuk mengingatkan anak tetangga agar bersikap yang baik. Tentunya dengan cara yang baik sih, bukan menggurui.
Saya melakukan hal yang sama pada tetangga. Sembari ngobrol saya meminta mereka untuk menegur atau memberi tahu langsung ke saya bila anak-anak berbuat salah. Habisnya, saya kan enggak bisa terus menerus ngintilin mereka. Apalagi anaknya tiga dan tiga-tiganya punya keinginan berbeda. Si abang main ke depan, si teteh main ke belakang, terus yang bungsu maunya di depan rumah, harus ngikut yang mana hayo? Huhu.
Maklum, ilmu ajining diri dan kanuragan saya masih remah-remah ~
Nah, sementara itu saja dulu yang bisa saya sharing dari tulisan kali ini. Doakan ya semoga saya bisa membimbing Luna ke jalan yang benar lagi, hehe. Oh iya bila teman-teman punya tips dan trik lain, boleh banget loh masukannya. Semoga curhatan geje ini bisa dibuang jeleknya dan diambil baiknya. Cheers!
19 Komentar. Leave new
Mbaa dirimu di Tangsel yaa… wah adik aku pernah ke kajian di Emerald. Sayang jauh dari akuuu.
Noted mba. Aku jadi ngingat pernah juga Kaina berkata nggak enak.. katanya mami nggak berguna..
Moga anak2 kita dilindungi ya mba oleh Allah SWT
Menghindari nonton sinetron dan memperbanyak baca buku bersama ini saya masih jarang banget liat orangtua yang begini di sekitar rumah mbak.
Semoga semakin banyak orangtua yang lebih peka bukan malah sibuk dengan gadget dan sinetron saja.
Salut mbak bisa sabar banget gitu.
Setuju mbak kita memang nggak bisa melindungi anak dari pengaruh buruk dari luar, hanya bisa menyiapkannya.
Ini pernah kejadian mba, lagi nonton tv tiba-tiba bilang ***ng, saya kaget dirumah gak ada yang seperti itu, tontonan dia juga gak ada seperti itu. Ditanya ternyata ikutin temennya. Tapi Alhamdulillah sekarang sudah tidak lagi mengucapkannya
Masanya anak-anak masanya mengikuti dan mencontoh. Di rumah kita baik-baikin, eh di luar sedenger-dengernya. Itu salah satu kenapa kita harus memilih lingkungan baik dan terbaik. Tapi jangan khawatir, semua itu memang proses. Kembali ke pondasi keluarga. Insyaallah semua akan kembali sesuai lingkungan awalnya.
Diusia anak aku sekarang ini juga lagi suka sukanya ikutin omongan orang, niruin gerakan tv, sekalipun kartun tapi aku suka protect juga mba karena kadang ada kartun yang nunjukin berantem..
mba, makasih banget sharingnya ya, aku jadi banyak belajar ini,
mumpung anak q masih 2 tahun masih belajar ngomong. memang seharusnya aku tambahi porsi literasi terbaik sejak diri supaya nanti tidak ikut arus.
sebagai orang tua harus berusaha terbaik untuk anaknya,
Apalagi anak-anak SD, aduuuh geregetan tiap si kakak pulang ada aja bahasa ajaib yg dia bawa ke rumah. Yang terakhir dia suka sebut2 burung papi. Antara pingin ngakak sama kesel juga jadinya :)))
Kita gak bisa kekepin anak mulu, hanya bisa menyiapkan hehehe..
Bener banget madam.
Kalimat2 itu bakalan bertambah saat dia masuk SD, anak saya kayak gitu.
Makanya saya ikhtiar masukin di sekolah Islam, bergabung dengan anak2 yang lebih banyak mendapatkan pendidikan secara agama.
Jadi, minimal ada yang bantuin mengingatkan ucapan2 anak saat di sekolah 🙂
Aku pun juga begitu, Madam. Keponakanku suka banget niru gaya bahasa temennya katanya biar keren. Aku sebel banget sumpah. Di rumah aku didik untuk nggak ngomong sembarangan eh pas keluar rumah ada temennya bicara apa langsung ditiruin. Di situ kadang aku merasa sedih, Madam.
Aku pun juga begitu, Madam. Keponakanku suka banget niru gaya bahasa temennya katanya biar keren. Aku sebel banget sumpah. Di rumah aku didik untuk nggak ngomong sembarangan eh pas keluar rumah ada temennya bicara apa langsung ditiruin. Di situ kadang aku merasa sedih, Mbak Madam.
Ketika perhatian orang dewasa kepada anak-anak kurang, disitulah mereka mencarinya. Nah berarti akar masalah memang balik lagi kepada orang dewasa itu lagi agar lebih aware, agar lingkungan untuk anak-anak lebih bijaksana
Ya Allah mba Ajeng, moment2 kayak gini pernah kualami waktu “bermasalah” dulu, semacam pelampiasan yg salah, untunglah alhamdulillah kusadarnya lebih awal jangan sampe anak jadi korban, huhu. Btw makasi sharingnya mba
aku juga sangat kaget saat anakku ngomog itu, mom 🙁
memang pertemanan atau tontonan itu sangat cepat mempengaruhi 🙁
Jadi kita yang harus memperbaiki dan menjelaskan setiap hal yang mereka serap dari luar.
sampai suatu saat saya mendengar sendiri teman sekolah ngomong itu juga, dan saya langsung tegur dan bilang langsung sama orang tuanya. Untungnya orang tuanya cukup kenal dekat, jadi lebih enak untuk diberitahu dan diingatkan.
Jadi deg-degan baca cerita awal, anak sekecil itu sudah terkontaminasi dengan kata fu*k. Walaupun dia gak ngerti artinya, tetep ngeri sih. 🙁
Jadi pelajaran juga buat aku kalo nanti jadi orang tua. Thanks for sharing ya, Mbak.
Perkataan anak cuma ikut ikutan teman , kalau kita kasih pengertian tidak akan terulang lagi
Panjaaannn but nice sharing mbak. Iya ya, yg penring dr rmh kita ajarkan kata apa yg bagus dan yg gk pantas diucapkan.
Memang kdng teman dll mempengaruhi. Tapi kita mungkin bisa yakinkan anak2 spy anak kitalah yg jd panutan or contoh gak malah jd follower tfs
Saya bersyukur kalau begitu, mbak. Sejak kecil sudah diajarin banyak baca. Alhamdulillah masih terjaga dari bicara kotor…
Memang kadang di rumah sudah bagus..dari lingkungan dapat pengaruh. Tapi sudah bagus cara penyelesaiannya Madam….Insya Allah kalau diberi pemahaman anak-anak akan mengerti dan tidak mengulang lagi. Kalau nanti mengulang lagi ya dijelaskan lagi (bisa dengan kalimat/cara yang berbeda)
Anak itu bagaikan sponge, dengan cepat menyerap apapun di sekitarnya. Sayapun masih terus mengontrol perkataan dan perbuatan. Anak saya pernah bilang kata fuck juga, ternyata dia mencontoh dari kakak sepupunya yang sudah SD.