Ada dua alasan utama kenapa orang tidak bisa tidur. Pertama, karena dia sedang bahagia. Kedua, karena takut menghadapi pagi.
Saya pernah mengalami yang kedua.
Sebagai istri dari abdi negara yang penempatannya berubah-ubah, sejak awal saya sudah memahami bahwa kami akan sering pindah. Nah, ada perbadaan mendasar antara hanya memahami dan menjalani langsung. Yang satu sekedar bayangan di kepala, satunya kenyataan.
Setelah menutup buku episode pertama kehidupan saya di yogyakarta, saya mulai menuliskan cerita baru di sebuah kota kecil yang menyenangkan bernama Tulungagung. Sebelum menikah, suami memang sudah mencari rumah kontrakan untuk ditempati segera setelah kami resmi menjadi pasangan halal. Dan begitulah..saat usia pernikahan baru tiga hari saya dibawa pergi oleh suami ke kota tempatnya bekerja.
Rasanya aneh sekali ketika saya harus meninggalkan semua hal seperti keluarga, sahabat, kampus, jalanan serta tempat-tempat yang sudah saya kenal betul. Tak pernah terbersit sekalipun di pikiran bahwa saya akan pergi meninggalkan kota tempat saya bertumbuh ini, tidak pernah.
“Mbah, mbok ojo lungo mbah. Ojo ninggalke aku dhewekan nang kene”
Metri, salah satu sahabat dekat saya mengatakan hal tersebut ketika saya hendak berangkat menuju Tulungagung. Wajah metri tampak agak pucat dan ada sedikit genangan air di matanya. Tiga tahun lebih kami berteman dekat. Semua hal hampir kami alami, mulai dari saling iri, saling benci dan saling mengingatkan. Banyaknya lika-liku yang kami alami membuat metri sudah seperti saudara bagi saya. Permintaan metri membuat saya menatapnya trenyuh, tentu saja kami sama-sama tahu kalau permintaannya tidak mungkin saya kabulkan.
“Kamu, kamu baik-baik ya mbah. Pokoknya kamu harus seneng. Kalau misalnya ucup macem-macem sama kamu, kamu lapor sama aku” lanjut metri, ketegasan begitu terlihat di raut wajah maupun suaranya.
Saya menanggapinya dengan tawa serak yang tertahan. Antara mau nangis dan tertawa. Saat itu saya tidak ragu kalau metri siap untuk menggepuk yusuf kalau dia berani menyakiti hati saya.
metri (paling kanan) saat momen pernikahan saya
Dan begitulah, pegangan tangan kami terlepas ketika saya harus masuk ke dalam mobil. Saya menurunkan kaca jendela, memandang wajah mama, papa, anelis dan juga metri. Wajah-wajah yang mewarnai buku kehidupan saya selama ini. Tak ada kata yang pas untuk menggambarkan apa yang saya rasakan saat itu. Campuran antara sedih, terharu, ragu-ragu juga takut. Pada akhirnya, yang bisa saya lakukan adalah menengok ke belakang untuk menatap lambaian tangan mereka yang menghilang ketika mobil berbelok. Saya mendesah, menatap yusuf yang fokus menyetir. Yusuf, seseorang yang mulai detik ini akan menulis lembaran baru kehidupan bersama saya.
Lambat laun saya semakin memahami makna dari doa “selamat menempuh hidup baru” yang tertulis di setiap surat dari kado-kado pernikahan. Hubungan pernikahan mengubah posisi saya dari seorang anak gadis dengan tanggung jawab ringan menjadi seorang istri. Sebutan istri ini memunculkan dimensi yang baru dalam hubungan saya dengan lingkungan sekitar serta tanggung jawab yang luar biasa besar.
Kalau dulu dengan metri saya bisa mengobrol hampir segala hal, maka setelah predikat istri itu melekat saya kini memiliki batasan. Akan tetapi, batasan itu hilang jika kita berhadapan dengan suami. Kini, segala keluh kesah memiliki tempat pembuangan yang baru : suami. Kini, segala tanggung jawab dunia dan akhirat dibebankan pada seseorang yang baru : suami. Kini, tugas berbagi kebodohan itu akan dilaksanakan bersama seseorang yang baru : suami.
Menulis lembaran baru, bersama dengan orang baru bukan perkara mudah. Tak jarang saya menengok lembaran-lembaran kehidupan lama. Ketika saya masih seorang gadis, ketika tertawa bersama teman-teman adalah hal yang mudah untuk dilakukan. Pun tak jarang, ketidakdewasaan membuat saya enggan mengisi lembaran kehidupan yang ada. Menikah betul-betul membuat saya terlempar jauh dari yang namanya zona nyaman.
Tapi bukankah itu yang namanya kehidupan?
Momen perpisahan memaksa saya belajar menjadi sosok yang kuat. Ketika yogya menghilang dan saya harus mengucapkan “halo” pada kota tulungagung yang tak saya kenal sama sekali. Tapi Allah maha baik, Allah maha sempurna dengan segala rencana-Nya.
Saya tak tahu ada berapa lembar kehidupan yang tersisa bagi saya untuk mengisinya. Yang pasti, salah satu resolusi di tahun 2018 ini juga menyangkut kata “pindah” dan “halo” pada tempat tinggal yang baru. Harapan saya, di tahun ini kami bisa menapaki tempat baru, menjelajahi bumi ciptaan Allah.
Tentu saja sebuah harapan tanpa usaha adalah sia-sia belaka. Insya Allah, agenda dan visi misi di tahun 2018 ini bersama suami sudah kami susun, Semoga kami bisa melukiskan hal baru, karena saya ingin menjadi seseorang yang saya tulis di paragraf pertama 🙂
Pondok aren,
Januari 2017
6 Komentar. Leave new
Semangat menjelejahi bumi ciptaan Allah yg indah & menemukan berbagai pengalaman seru, mba ?
Selamat menempuh hidup baru, mba ?
Mba ajeng..Semangat membuka lembaran bahagianya yaa..
Sukaa banget tulisannya ?
Insya allah semangat mbak yunda. Itu kisah tahun 2012 lalu, wkwkwkwk
Wah mba Ajenggggg tulisannya bagus. Isi hati aku bangettttt. Apalagi tangerang adalah kota pertama diriku terlempar ke sini. Tapi, sungguh Allah Maha Baik, Ia memberikanku orang-orang baru dan lingkungan yang baik. Salah satunya mengenal mba Ajeng. Makasih ya ?
Aahh mbak yeni, makasih sudah menyempatkan untuk membaca. Aku juga seneng punya tetangga kauak dirimuu