Tiga belas tahun yang lalu
Pagi itu Davina duduk sendirian di meja makan. Sepiring nasi goreng yang tersaji hanya ditatapnya kosong. Pikirannya tidak fokus karena terdengar suara ribut di atas. Papa dan mamanya bertengkar, lagi. Semalam ayahnya tidak pulang. Davina tahu karena tak lama setelah jam berdentang dua belas kali, mama pindah ke kamarnya. Davina merasakan kasurnya melekuk menahan tambahan bobot seseorang. Mama tidur di samping sambil mengelus dan memeluk Davina. Mama tidak pernah cerita tapi Davina tahu bahwa mama sedang sedih, kesedihan dalam diam yang juga turut menghancurkan hatinya yang masih kecil.
Papa berubah. Davina lupa sejak kapan tapi papa yang dulu sangat ia banggakan kini seperti orang yang berbeda. Davina tidak lagi menemukan tatapan hangat, panggilan sayang ataupun pelukan menenangkan. Papa tiba-tiba sering bersenandung sendiri,berdandan rapi serta memakai parfum berlebihan yang membuatnya bersin-bersin lalu melenggang pergi begitu saja. Dulu papa seperti itu, terlihat tampan dan sering menggoda untuk mama. Tak jarang Davina merasa jengah melihat bagaimana mama cekikikan ketika digoda oleh papa. Tapi tidak, sekarag tak ada lagi tawa mama dan godaan manja papa. Rumah ini sekarang terasa begitu muram, sepi dan kosong.
Davina pernah melihat bagaimana papa membanting tubuh mama ke lantai. Davina menjerit dan spontan berlari untuk memukuli papanya. Davina menangis ketika tangan kecilnya ditahan oleh papa. Papa hanya bilang kalau mama keterlaluan karena membanting ponsel papa sampai rusak. Setelah kejadian itu papa pergi tanpa pamit. Mama hanya bisa menarik davina ke dalam pelukan, mereka menangis berdua. Davina takut pada papanya yang sekarang seperti orang lain. Dia merasa lega karena malam itu papanya tidak pulang.
Davina selalu berdoa, meminta Allah agar segera menolongnya, mengembalikan keluarganya menjadi normal seperti sedia kala. Davina tidak tahan melihat mama terus tertindas, pertama oleh papanya, kedua oleh keluarga papanya. Oma bersikap sangat jahat pada mama. Seminggu yang lalu Oma datang dan bertengkar dengan mama. Davina mendengarnya namun hanya bisa bersembunyi meringkuk di ujung kasur di dalam kamar sambil berharap oma segera pergi. Ya Allah, kapan semua ini akan berlalu? Tanya Davina dalam hati.
Hari demi hari telah berlalu, akan tetapi kehidupan keluarga Davina masih tetap sama, bahkan lebih buruk. Setelah pertengkaran di pagi hari itu, papa pergi dan tidak pernah pulang. Davina malu karena merasa lega, keberadaan papanya di rumah bukanlah sesuatu yang diharapkan lagi olehnya. Hidupnya, walau sepi tapi terasa lebih damai. Mamanya juga demikian, Davina tahu kalau mama sering berdoa sampai menangis terisak-isak tanpa suara. Tapi mama tidak pernah memperlihatkannya pada Davina.
Tak lama setelah kepergian papa, mama mulai berusaha membuat roti yang kemudian dijual di tetangga atau dititip di sekolah-sekolah terdekat. Mama sempat meminta maaf pada Davina karena harus menjual televisi sebagai modalnya. Davina merasa sangat sedih tapi menyadari kalau hidupnya kini tak sama. Mama mengatur hidup mereka dengan sangat hemat, tak ada lagi jajan diluar, tak ada lagi berbelanja hal-hal yang tidak penting. Lagi-lagi entah bagaimana Davina bisa tahu kalau papa tidak lagi memberikan uang untuk mama sejak pergi dari rumah. Taka pa, Davina sangat menikmati saat-saat membantu mama membuat roti serta menjualnya.
Suatu siang saat Davina pulang sekolah, rumahnya kedatangan tamu seorang bapak. Wajah bapak itu terlihat tegas, dari tutur kata dan cara bergeraknya Davina menilai bahwa si bapak sangat sopan. Bapak itu mengobrol serius dengan mama. Davina melihat kalau mamanya tampak tegang dan pucat. Sepulangnya si bapak mama hampir terjatuh ketika mencoba berdiri, shock sepertinya. Davina jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa sesungguhnya bapak tadi?
Bola takdir kini berpihak pada Davina dan mamanya. Bapak itu bernama Pak Santoso dan beliau adalah seorang kepala RT di kampung Welas, Bandung. Beberapa hari yang lalu, Pak Santoso mendatangi rumah seorang warga bernama Arnita. Pak Santoso dan beberapa warga lain merasa ada keanehan di rumah tersebut. Arnita, walaupun agak tertutup, diketahui adalah seorang lajang. Namun beberapa waktu terakhir ini ada lelaki yang tinggal bersama di rumahnya. Untuk menjaga suasana kampung tetap kondusif, Pak Santoso akhirnya menanyai Arnita dan lelaki yang bernama Andrean. Mereka berdua mengaku saudara kandung tapi beda Ibu. Pak Santoso yang tidak langsung percaya begitu saja dengan pengakuan tersebut meminta KTP keduanya. Pak Santoso mencatat identitas mereka. Gelagat aneh dari Arnita maupun Andrean membuat Pak Santoso tidak bisa melepas kecurigaannya.
Bagi Pak Santoso, tidak mungkin kakak dan adik berlaku seintim itu. Dengan berpegangan pada instingnya yang telah bertahun-tahun teruji sebagai penjaga keamanan di Kampung Welas, Pak Santoso berinisiatif untuk pergi ke alamat yang tertera di KTP Andrean. Bagaimanapun di KTP tersebut Andrean berstatus sudah menikah, walaupun lelaki itu berkata bahwa istrinya bekerja di luar pulau. Ternyata insting Pak Santoso tidak salah, beliau menemukan Mama dan mengetahui kalau Andrean tidak pernah mempunyai saudari lain Ibu bernama Arnita. Kebenaran makin lama makin terkuak!
Mama, walaupun tampak sangat terguncang tapi berusaha tenang saat menjawab semua pertanyaan tentang dirinya dan Andrean. Mama mengatakan bahwa dirinya sampai detik ini adalah istri sah dari Andrean dan bahwa lelaki itu sudah berbulan-bulan pergi meninggalkan keluarganya tanpa nafkah sepeserpun. Mama juga mengatakan bahwa suaminya selama ini dicari-cari atasannya karena melarikan mobil dan sejumlah uang dari brangkas kantor.
Rencana jebakan untuk membongkar kebohongan Andrean dan Arnita akhirnya disusun. Dua hari setelah kedatangan Pak Santoso, Davina dan Mama pergi ke kampung Welas. Supaya tidak menimbulkan kecurigaan, ibu dan anak itu tinggal sementara di rumah keluarga Pak Santoso. Tengah malam saat Davina sudah tertidur akhirnya rencana dijalankan. Pak Santoso, mama, beberapa warga kampung, atasan Andrean serta dua orang polisi bergerak untuk menggebrek rumah Arnita.
Penggrebekan berlangsung cukup seru. Pada awalnya Pak Santoso-lah yang pertama mengetuk pintu sedangkan Mama bersembunyi di balik pagar. Ketika pintu akhirnya dibuka dan sosok Andrean muncul dari baliknya, Mama tidak bisa menahan diri untuk melompat dan berteriak
“Itu suami saya Pak! Suami sayaaa!!”
Mama menjerit sambil menunjuk Andrean dengan tangannya yang gemetar. Andrean sendiri yang awalnya merasa kesal karena tengah malam digangu tampak sangat terkejut dengan kedatangan Pak Santoso maupun istri yang sudah lama ditinggalkannya. Keterkejutan Andrean langsung berubah menjadi kengerian saat mengetahui atasan tempatnya bekerja juga ada di tempat itu, berteriak lantang untuk menangkapnya pada dua orang polisi yang berjaga. Andrean gelagapan, dia tidak bisa berkutik lagi!
Tidak lama kemudian Arnita yang merasa heran dengan suara rebut-ribut di halaman kontrakannya ikut keluar dan berteriak kaget. Dia ketahuan! Dia tertangkap basah! Rasa malu menyelubunginya ketika melihat bagaimana para warga menatapnya dengan jijik. Arnita menjerit-jerit, menunjuk dan menyalahkan Andrean. Suasana pun menjadi gaduh, makin lama makin banyak warga datang untuk melihatnya.
Suasana yang gaduh dapat dipadamkan dengan cepat oleh Pak Santoso. Arnita dan Andrean akhirnya digiring ke kantor Polisi dan dijebloskan ke dalam penjara untuk sementara. Mama yang shock diberi air minum dan ditenangkan oleh istri Pak Santoso serta warga yang lain.
Pagi menjelang, kabar tentang penggrebekan Andrean dan Arnita langsung tersebar kemana-mana. Oma datang menemui Davina dan mamanya, meminta maaf untuk segala perbuatan Andrean dan meminta Mama agar tidak memperpanjang masalah ini. Video tentang penggrebekan sudah diamankan. Keberadaan banyaknya saksi juga membuat nyali Andrean ciut.
Mama dibantu oleh keluarga besarnya langsung mengajukan cerai dari Andrean ke pengadilan Agama. Davina untuk sementara dititipkan dirumah nenek selama beberapa hari dan tidak sekolah sampai suasana kondusif. Davina merasa senang karena dirumah nenek ramai dengan para sepupunya yang lain. Nenek serta kakek juga sangat sayang padanya. Beberapa hari setelahnya Davina bertanya kepada mamanya kapan mereka akan kembali ke rumah. Mama menjawab bahwa rumah itu sudah dijual dan mereka akan pindah keluar kota, tinggal di tempat yang baru.
Saat ini…
Sore itu Davina mengambil tempat duduk di samping mamanya yang sedang asyik melihat tayangan komedi di televisi. Setelah menghitung sampai sepuluh di dalam hati, Davina berkata dengan suara yang pelan pada Mamanya
“Ma, Rega kemarin datang dan..dan melamarku”
Mamanya melongo, dengan segera Televisi dimatikan. Pandangannya kini beralih ke Davina. “Benarkah itu sayang?”
Davina mengangguk “Tapi aku nggak bisa menerima Rega Ma. Aku takut..” jawabnya ragu.
Mama menatap Davina prihatin “Apakah karena…papa kamu?” Tanya Mama tanpa basa-basi
Davina mengangguk lagi.
Sudah tiga belas tahun berlalu sejak Mama dan Papa resmi bercerai, masa yang sesungguhnya lama tapi terasa seperti baru kemarin. Papanya dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara. Selama itu Davina tidak pernah menengoknya. Usia Davina sepuluh tahun saat badai menerpa keluarga mereka. Usia dimana harusnya Davina sedang bahagia-bahagianya menjadi seorang anak kecil.
Mama memutuskan untuk pindah segera setelah semua urusan dengan Andrean selesai. Luka yang ditorehkan Andrean padanya begitu dalam, begitu perih, begitu tak terlupakan. Dirinya sempat berpikir ingin mengakhiri hidup karena beratnya ujian yang dihadapi, tapi bagaimana dengan Davina? Davina adalah jangkarnya, dia menginginkan hanya yang terbaik untuk Davina. Dirinya boleh hancur, tapi Davina tidak.
Mama menyadari bahwa kehidupan tidak akan mudah bagi mereka berdua walaupun Andrean sudah ada di dalam penjara. Davina yang dulu merupakan anak ceria lambat laun berubah menjadi pribadi yang tertutup, minder dan penakut. Davina sangat takut pada laki-laki dan sulit menyesuaikan diri. Akhirnya, dengan bantuan keluarga, mereka berdua mengikuti bimbingan konseling bersama-sama.
Butuh bertahun-tahun untuk mengembalikan kepribadian Davina, itupun tidak sepenuhnya . Hati yang luka bisa sembuh seiring waktu, namun bekasnya tetap ada, tidak akan pernah hilang.
“Masih dendam-kah sama papa nak?” Tanya Mama lembut
Davina terdiam, ada kernyitan di dahi yang menunjukkan bahwa dia sedang berpikir. “Bukan dendam ma, hanya trauma. Aku..aku takut Rega akan seperti papa” jawabnya lesu
Mama menatap putrinya dengan sedih. Andrean sudah mati sebelum keluar dari penjara, bunuh diri karena tidak tahan dengan kehidupan disana. Sungguh mengesalkan karena walaupun pria itu sudah tidak ada di dunia, hantunya tetap muncul dalam kehidupannya dan Davina, menjelma menjadi mosnter bernama trauma masa lalu.
“Rega bukan papa kamu Davina” kali ini perempuan paruh baya itu berkata lebih tegas.
Davina menunduk,semakin dalam pundaknya berguncang-guncang “aku tahu mama, aku tahu..” isaknya.
Mama memeluk putri semata wayangnya. Matanya memejam untuk berpikir betapa ingin dia menghapuskan segala rasa sakit yang dirasakan Davina.
“Sstt…hei, sudah…sudah..” Mama mengelus bahu Davina, berusaha menenangkannya.
Davina menengadah, memandang wajah sang mama. Manik mata yang tak pernah berhenti memberikan keteduhan.. Begitulah, sedalam apapun papanya menyakiti mama, tak pernah dia menemukan jejak dendam.
“Kamu tahu sayang, membenci itu melelahkan. Apalagi kalau mengingat orang yang kamu benci itu sudah masuk ke dalam tanah” Mama menghembuskan nafas sesaat sebelum melanjutkan kata-katanya “Masa lalu adalah masa lalu, biarlah itu menjadi pelajaran bagi kita berdua. Menyakitkan memang, membekas dan bahkan tak bisa hilang tapi bukankah hidup terus berjalan? Rugi sekali kalau masa depan kita harus ikut rusak hanya karena masa lalu, iya kan?”
Davina mengangguk lemah.
“Maafkanlah papamu. Benar dia berbuat salah, tapi bukankah dia sudah mendapatkan pengadilan di dunia? Tak lama lagi dia juga akan mendapatkan pengadilan di akhirat. Sesungguhnya, tragis sekali hidup papa kamu itu.”
Davina menaruh kepala di bahu ibunya, merasa kembali menjadi seperti anak kecil.
“Memaafkan itu memang sulit Davina, tapi itu bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Sudah cukup kita menderita di masa lalu, jangan sampai kita juga tidak bahagia di masa datang. Atau, kamu memang memilih untuk enggak mau hidup bahagia?”
Davina menggeleng sambil merasakan bagaimana Mama membuatnya tersenyum sedikit.
“Kamu lebih dari berhak untuk meraih kebahagiaan sayang. Coba lihat mama, mama memutuskan untuk menjual dan meninggalkan hampir semua hal di belakang dan pindah untuk memulai hidup berdua yang indah bersama kamu, dan mama sangat bahagia dengan pilihan itu. Lembaran kelam itu sudah mama tutup, mama bahkan tidak sudi untuk membukanya kembali. Mama memilih untuk memaafkan dan maju menikmati kehidupan di depan”
“Sekarang Mama tanya, tolong jawab dengan jujur. Davina, apakah kamu mencintai mas Rega?”
Davina berharap wajahnya tidak merona, “eh”
“Ayo jawab Davina” Desak Mama, memperlakukan Davina seperti anak kecil yang ketahuan mengambil permen tanpa ijin.
Davina berdehem, kikuk antara ingin mengakui atau menghindar. Akhirnya dia memutuskan untuk memberi pengakuan yang paling terbuka . “Iya mama, aku mencintai Mas Rega”
Mama tersenyum, merasa lega dengan jawaban Davina. Perempuan itu meraih kedua tangan Davina. “Hal pertama yang bisa kamu lakukan untuk lepas dari hantu masa lalu setelah memaafkan papamu adalah memberikan kesempatan kepada Mas Rega untuk membahagiakanmu sayang”
“Sangat tidak adil kalau kamu menolaknya tanpa mencoba terlebih dahulu, beri mas Rega kesempatan. Mama yakin kalau lelaki itu tidak akan membuat kamu kecewa Davina” lanjut Mama memberi dorongan.
“Tapi ma, bagaimana kalau..bagaimana kalau..”Davina masih bersikeras dengan “keraguannya.
“Jangan pernah pikirkan hal buruk. Dengarkan mama, kamu.berhak.untuk.bahagia”.
“Sudah tiba saatnya kamu membuka lembaran baru untuk hidupmu sendiri Davina, beranilah, lanjutkan hidup” Tegas Mama.
Davina mengangguk, tetes-tetes air mengalir deras di pipinya.
“Aku sayang sama mama, selalu” Kata Davina sambil memeluk Mama dengan erat.
***
Malam hari setelah menangis di ujung sajadah, Davina meraih ponsel pintarnya. Dia mencari-cari nama Mas Rega dan mulai mengetik
(Mas, aku siap memberi jawaban)
The End
Akhirnyaaaa, selesai juga. Fiuuhh alhamdulillah.
Author’s Note : Cerpen ini dibuat berdasarkan kisah nyata ya. Pak RT yang mencari informasi tentang istri dari si peselingkuh itu benar adanya loh. Terharu ya, masih ada orang-orang yang peduli sampai sedemikian jauh.
Untuk hal-hal lainnya saya ubah sedikit disana dan sedikit disini. Mohon maaf kalau feel-nya kurang. Cerpen ini dibuat mendadak, sambil ngurus anak-anak yang sakit pula, uhuhuhu
Semoga kita semua (terutama saya sendiri) bisa mengambil ibroh dari cerita ini. Dan semoga semua yang membaca cerita ini dijauhkan dari hal-hal yang demikian. S
Salam penuh cinta, kiss kiss
Pondok Aren, 12 Januari 2018