Hijrah kita berbeda biarlah, toh surga juga yang kita tuju nantinya
– Madam A –
Sudah sejak berhari-hari yang lalu saya membayangkan akan menulis kisah tentang hijrah yang saya alami. Namun, entah kenapa rasanya amat sulit. Saya hanya bisa merenung dan berpikir setiap membuka laptop. Mencoba mengetik satu sampai dua kalimat, untuk kemudian dihapus.
Ada perasaan malu yang menggelitik akal sehat. Malu karena kisah hijrah saya tak sehebat dan sedahsyat orang-orang di luar sana. Malu karena untuk berubah saya membutuhkan waktu yang lama. Malu karena awal mula sekali saya mencoba berubah, meraih kasih sayang Allah bukanlah menjadi alasan utama.
Selain itu, saya juga takut. Takut jika ketika menuliskan hal ini, ada rasa ujub yang muncul. Takut orang-orang akan menilai saya secara berlebihan. Takut dipandang aneh.
Tapi, saya kembali mengingat seorang teman berkata kalau dunia selalu membutuhkan satu lagi cerita baik. Meskipun sudah ada ribuan cerita baik sebelumnya.
Kita tidak pernah tahu, bisa jadi akan ada orang yang tersentuh saat membaca cerita kita. Bisa jadi ada orang yang terinspirasi dengan kisah yang kita anggap receh belaka.
Karena itu, dengan mengucap bismillahirohmanirrohim saya akan mencoba untuk berbagi. Semoga bisa mengambil ibroh dari sharing saya. Ambil baiknya, buang jeleknya. Semoga Allah senantiasa meluruskan niat kita…
***
HIJRAH KARENA FALL IN LOVE
Saya masih ingat sekali, saat hari pertama kuliah mengenakan kain penutup kepala. Teman-teman saya kaget. Tentu saja. Mungkin karena sebelum-sebelumnya, mereka tahu saya adalah orang yang agak sekuler.
Bukan menjadi orang yang anti atau alergi agama. Saya hanya ingin memisahkan kehidupan agama dengan kehidupan sosial. Pokoknya, agama adalah urusan saya dengan Tuhan. Tidak perlu ada seorang pun tahu.
Saya sendiri dulu beranggapan bahwa memakai jilbab itu enggak penting-penting banget. Apalah arti memakai jilbab tapi tidak pernah sholat, suka bergunjing, suka berhutang, atau bersikap kasar. Selain itu, saya sangat menyukai rambut saya yang panjang, hitam, dan lurus. Rasanya eman sekali kalau keindahan ini tidak saya pamerkan.
Alasan lain yang membuat saya enggan memakai jilbab : ribet! Harus memakai dalaman, mix n match dengan warna pakaian yang dikenakan, harus dimodel pula biar enggak ketinggalan jaman. Belum lagi rambut jadi lepek dan bau kalau masih basah sudah ditutupi. Males banget eui rasanya.
Saya terus keukeuh dengan pendirian tersebut. Toh orang tua juga tidak memaksa. Saya sempat berpikir untuk menikmati masa muda sesuka hati dulu, dan berubah nanti saja. Nanti yang dimaksud pun entah kapan.
Tapi takdir memang lucu. Prinsip yang saya pegang teguh itu tiba-tiba goyah karena alasan konyol : bertemu dengan seseorang yang membuat dada saya berdebar-debar.
Pada pertengahan semester satu, saya melihatnya. Seserorang yang penampilannya sangat cupu alias culun punya. Entah kenapa, saya tidak bisa berhenti mencuri pandang makhluk berperawakan tinggi, bahu lebar, wajah agak jerawatan, dan kaca mata yang tak pernah lepas.
Dan…celana yang cingkrang.
Duh, saya betul-betul kepikiran dengan hal ini. Celana cingkrang menunjukkan kalau dia, lelaki yang menarik hati saya ini adalah anak alim. Anak masjid yang tidak mau bersentuhan dengan perempuan. Boro-boro bersentuhan, lha wong saat bicara dengan lawan jenis saja dia menunduk atau memandang hal lain kok, hahaha.
Nah, demi menarik perhatian orang inilah saya nekat untuk memakai jilbab. Kan kan kan, kalau diingat-ingat, rasanya memang enggak banget deh alasan saya menutup aurat tuh. Hanya gara-gara jatuh cinta. Baru sepihak, belum tentu berbalas.
Kebetulan, kami tinggal di kota yang berbeda. Tapi dia tetap tahu dan menyadari kalau saat itu saya telah mengubah penampilan. Sebagai perempuan, saya tentu mengharapkan respon yang positif atas kesediaan saya untuk berubah itu. Namun, harapan itu kandas.
” Hati-hati dengan alasan kamu memakai jilbab. Kalau alasan kamu adalah manusia, saya khawatir ketika manusia itu tidak ada lagi dalam kehidupanmu, kamu akan melepaskan jilbab itu.”
Jleb.
Sungguh, jalinan kata yang dia lontarkan bagai pedang yang menembus ulu hati. Harapan saya tergerus habis. Sangat menyakitkan.
Saya tahu niatnya baik, dia ingin memastikan niat saya sudah lurus. Tapi entah kenapa air mata terus menerus mengalir ketika saya selesai membaca pesan singkat tersebut.
Mendadak, saya jadi membenci dirinya. Benciiiiii sekali!
Otak dan perasaan saya berperang. Otak memaksa agar saya mengakhiri perasaan saya untuknya. Tapi perasaan menolak perintah tersebut. Pertikaian batin akhirnya membawa saya kepada sebuah keputusan yang dibangun atas dasar dendam :
” Saya akan terus memakai jilbab, tak peduli apakah dia akan membalas perasaan saya atau tidak. Akan saya tunjukkan bahwa saya bukan orang plin-plan. Akan saya buat dia menyesal karena telah berpikir seperti itu pada saya!”
Maka begitulah. Sejak hari itu saya terus memakai jilbab. Bahkan ketika pergi ke Singapura dan mengajar di Cina. Saya begitu keras kepala untuk tetap memakai jilbab yang merupakan identitas seorang muslimah ini.
Allah memang maha pembolak-balik hati.
Seiring dengan berjalannya waktu, saya semakin menyadari kenapa Allah memerintahkan kaum hawa untuk menutup auratnya. Sebagai contoh, saat di Singapura seorang pedagang makanan meminta saya untuk mencari makan di tempat lain, karena makanan yang dia jual mengunakan daging babi.
Karena dia melihat saya memakai jilbab.
Saat di Cina, teman-teman luar saya tak ada satupun yang berani menawari alkohol. Annika, seorang teman dari Jerman, pernah menjaga pintu kamar. Mencegah teman-teman lelaki untuk masuk karena di kamar, saya tidak mengenakan jilbab. Ketika jilbab saya sudah terpasang sempurna, barulah dia menyingkir dari pintu dan mengijinkan teman-teman lelaki masuk.
Ya Allah, saya betul-betul merasakan bagaimana harga diri dan marwah saya begitu terjaga. Saya juga mengakui kesalahan-kesalahan pemikiran saya dulu. Kini, jilbab menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari identitas saya sebagai manusia.
Anyway, adakah yang penasaran dengan ending kisah saya dan dia?
Jadi begini, pada bulan maret tahun 2012 saya memutuskan untuk mengakhiri “dendam jilbab” pada lelaki itu. Alasannya tentu saja, karena saat itu dia mengucapkan ijab qabul sambil menjabat erat tangan papa.
Kami menikah. *uhuk*
Yah…
Dia memang terus mengikuti sepak terjang saya sebagai seorang gadis yang tidak lagi merasa kaku dengan agamanya. Lalu entah bagaimana, Allah juga membolak-balik hatinya hingga rasa yang dulu pernah mengghinggapi saya kini menjadi rasanya juga.
Dia sangat menyesal pernah mengeluarkan kata-kata yang meragukan niat saya untuk berjilbab. Rasa penyesalan tersebut begitu menggerogotinya, terutama karena dia tahu hal tersebut begitu menyakitkan untuk saya.
Baca Juga : CEMBURU ISTRI HANYA UNTUKMU LOH SUAMI
Maka, agar memastikan bahwa hal tersebut tidak terjadi lagi, dia memutuskan bahwa telah tiba saatnya dia hadir sebagai pelindung dan pembimbing saya. Masya Allah Tabarakallah, sungguh akhir sebuah kisah yang sangat so sweet enggak sih? Hahaha
Semakin mantap untuk berhijab
Kadang, saya ingin menertawai takdir. Jalan hijrah yang saya lalui berangkat dari jatuh cinta, luka, serta dendam. Saya sangat setuju kalau ada yang bilang memakai jilbab adalah pintu pembuka atas perjalanan-perjalanan mengenal islam lebih dalam. Karena itu betul-betul terjadi pada saya.
Dari memakai jilbab, saya menjadi semakin aware dengan islam itu sendiri. Mau tidak mau saya harus belajar untuk menjaga sikap, berkata yang baik, dan bersikap yang sopan. Jilbab adalah bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Sedangkan bila ada hal-hal negatif terlihat di dalam diri, itu karena memang ketidaksempurnaan saya sebagai manusia.
Satu hal yang saya yakini adalah hijrah mengenakan jilbab tidak lantas mengubah kepribadian. Saya tetap bisa menjadi diri sendiri. Saya tetaplah seseorang yang ceria, memiliki hobi membaca dan menulis, juga bermain. Kadang lembut, kadang pethakilan. Kalaulah ada yang berubah itu adalah tentang cara pandang untuk menyikapi sesuatu, sesuai dengan ajaran Islam.
Namun, bukan berarti jalan hijrah ini tanpa hambatan. Justru, ketika seseorang ingin mendekat kepada Allah, cobaannya tambah berat. Ini bukan berarti doa-doa kita tertolak loh. Tapi memang inilah yang namanya kehidupan. Kalau lempeng-lempeng aja bukannya malah bosan?
Bukan bermaksud menantang, tapi seandainya mau melihat lebih jauh, hikmah datangnya ujian sangat banyak. Saya yakin, ujian membuat kita lebih dekat dengan Allah, lebih rajin sholat, lebih lama sujudnya. Dan Allah sangat suka mendengar rintihan doa hamba-hambaNya…
Kita juga jadi lebih sadar diri, ternyata kita ini bukan siapa-siapa tanpa Allah. Ujian membuat kita lebih memaknai waktu dan mensyukuri nikmatNya.
PELAN-PELAN ASAL MANTAP
Sebelum menikah, saya sering memakai jilbab yang bahannya terbuat dari katun paris. Terkadang masih memilih untuk mengenakan celana jeans. Tak jarang juga blouse yang menempel di tubuh panjang lengannya hanya 7/8, bagian pergelangan tangan terihat cukup banyak.
Jadi, memang saat itu saya mantap berjilbab meski belum kaffah.
Suami enggak banyak cincong atau protes sih, dia diem-diem aja. Tapi memang, dia sering menawari saya untuk membeli gamis, atau memberi uang khusus untuk belanja jilbab baru.
Ketika saya memakai rok, atau gamis, atau baju longgar, atau jilbab yang agak lebar, dia akan bilang kalau saya terlihat anggun. Anggun tapi ya, bukan cantik.
Lalu, dia juga sangat support saya untuk masuk ke dalam lingkungan yang memang fokus belajar agama. Belajar tahsin misalnya, dia enggak masalah saya mengeluarkan uang ratusan ribu sebagai biaya pendaftaran dan membeli buku. Dia juga tidak menolak kalau saya mau mengaji tanpa membawa anak-anak supaya bisa fokus.
Di tempat ngaji, saya melihat bagaimana teman-teman memakai jilbab yang lebar dan tetap merasa nyaman. Saya juga memperhatikan kalau gamis-gamis jaman now itu bentuknya lucu, warnanya juga manis.
Saya mencoba untuk beli sebuah jilbab bergo yang lebar. Ternyata tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menjadikannya jilbab favorit kesayangan. Esoknya saya membeli lagi kerudung segiempat dengan panjang 130×130, dan suka sekali karena bisa full menutup dada serta bokong yang makin membesar.HI
HIJRAH ITU INDAH
Sekarang, hampir 11 tahun saya mengenakan penutup kepala setiap keluar rumah atau di rumah tapi bertemu dengan orang yang bukan mahram. Mungkin karena memang sudah terbiasa, hal ini tidak lagi menjadi masalah yang merepotkan.
Poin yang mau saya ceritakan di sini adalah, jangan pernah merasa ragu untuk berubah apapun alasannya. Apalagi kalau hijrah atau berubahnya ke arah yang lebih baik, semakin dekat dengan Allah.
Semoga kita bisa terus dijaga agar istiqomah dalam iman dan islam ya!
Catatan penulis:
Ini adalah sebuah tulisan yang tadinya hendak saya ikutkan ke dalam sebuah kompetisi blog. Namun ternyata saya sudah terlambat sehari untuk submit. Karena dibuang kok rasanya sayang, maka tetap saya publish. Semoga tulisan receh ini bermanfaat 🙂
3 Komentar. Leave new
Mba Ajengggggg tulisannya bagus. Aku serasa membaca sebuah novel. Ngomong2 aku juga punya niat ikut lomba itu. Tapi ternyata hari itu terakhir. Alhirnya aku ga jadi ikut daripada setengah2 🙈
Eh maksud aku. Aku ga jadi ikut lombanya hahaha
Madaaammmm, mengapa semua tulisannya selalu diibaratkan saya membaca novel yak ? 😀
Sama sekali ga ketebak loh.
Saya pikir madam itu udah jilbaban sejak kecil, mengingat penampilannya bukan hanya sekadar berjilbab, gak kayak mamak Rey ini hahaha
Eh ternyata, awal terpikir berhijab ya gegara lelaki yang menarik hati ya? hahaha
masha Allah, betapa beruntungnya dirimu madaammm..
Saya dulu punya banyak teman lelaki yang ber celana cingkrang.
dari yang biasa sampai yang ganteng, namun ga ada satupun yang menarik hati saya.
Mungkin karena penampilannya tersebut, saya jadi semacam takut hahahaha
Ternyata, lelaki2 seperti itu idaman banget, bukan berarti pak suami saya gak idaman sih.
Tapi minimal, kalau menikah dengan lelaki yang punya ilmu agama, kita beneran bisa dibimbing.
Makanya madam sekarang berpenampilan yang masha Allah meneduhkan banget 😀
[…] Baca Juga : Hijab & Kisah Hijrah yang Aneh […]