Rania tidak bisa tidur.
Hari ini benar-benar aneh bin ajaib. Kenapa di saat dirinya bermaksud untuk menyerah, menjauh mundur dari niat awalnya ingin mengenal Aufar lebih dekat, makhluk itu justru mendekat? Ya Tuhan, lelaki itu masuk ke sekolahnya, mendatangi kelasnya, menanyakan kabarnya. Bayangkan betapa terkejutnya Rania?
Yang lebih parah, setelah semua hal absurd itu terjadi, Aufar tetap membisu. Yah, Rania tahu kalau Aufar itu bisu, tapi bisu yang dimaksud adalah Aufar tidak mau mengatakan apapun lagi. Rania kan jadi penasaran, dan ge er pastinya, jangan-jangan Aufar mulai perduli padanya? Ufh, Rania merasakan rona merah menjalari pipinya saat memikirkan hal itu.
Rania menggerak-gerakkan tangannya, menghapalkan kata-kata dalam bahasa isyarat tangan terbaru. Selama mempelajari bahasa ini, Rania mendapatkan banyak sekali hal-hal yang membuka pikiran. Rania semakin menyadari bahwa menjadi manusia yang secara fisik tidk sempurna itu sangat sulit. Dunia seringkali tidak adil kepada mereka yang memiliki kekurangan, iya kan?
Rania mulai membayangkan, akan seperti apa kalau dirinyalah yang tuna wicara? Frustasi, stress atau bahkan memilih bunuh diri? Rania merasa tidak akan sanggup menghadapi dunia dengan kekejamannya, kepercayaan dirinya pasti hancur lebur. Siapa yang mau berteman dengannya? Siapa yang mau berkomunikasi dengan dirinya? mengetahui dia tidak bisa bicara atau selalu bersuara aneh akan membuat orang justru menghindar bukan?
Tiba-tiba mata Rania terasa panas, cairan bening mulai berkumpul di ujung pelupuk matanya.
“Aufar, kasihan sekali kamu” lalu Rania tersedu. Gadis itu tidak tahan memikirkan masa kecil seperti apa yang harus dihadapi Aufar. Tanpa teman, tanpa seseorang untuk berbagi cerita selain ayah dan ibunya. Hanya sedikit sekali orang-orang yang mau memahaminya.
Sejujurnya, selama tiga hari kemarin Rania banyak merenung, mencoba berpikir dengan mengambil sudut pandang Aufar. Jika dia menjadi Aufar, pantas-lah dia merasa aneh dengan tingkah seorang gadis yang begitu SKSD. Jika dia menjadi Aufar, pasti akan bingung saat bertemu dengan gadis aneh yang tiba-tiba belajar bahasa isyarat tanpa alasan jelas. Jika dia menjadi Aufar, yang tidak pernah berhubungan dekat dengan perempuan manapun selain ibunya, dia pasti akan gugup dan tak tahu harus bagaimana menghadapi seorang gadis yang mendekatinya.
Alasan itulah yang membuat Rania mundur.
Nanti, Rania mundur hanya sejenak. Dia sedang menyusun strategi baru untuk melakukan pendekatan pada Aufar. Lelaki itu berbeda dengan lelaki normal lainnya. Aufar memiliki kepercayaan diri rendah dan perasaan yang lebih sensitif, pengalaman berhubungan dengan perempuan juga sangat minim atau bahkan bisa dibilang nol. Kalau Rania terus memaksakan pendekatan gerilya, dia khawatir membuat Aufar justru menjauh.
Selain itu, Rania sungguh merasa malu. Dia merasa belum menjadi gadis yang pantas untuk bersanding dengan Aufar, sebagai teman dekat. Bukan tidak ya, hanya belum. Dia masih sangat childish, egois, ceroboh dan lain sebagainya. Apalagi mengetahui posisi Aufar yang sedang sibuk menghadapi ujian kelulusan, Rania tidak ingin menjadi pengganggu.
Rania sudah mengobrol banyak hal dengan bunda, salah satunya tentang bentuk nyata sikap menyayangi. Menyayangi tidak harus memiliki. Menyayangi adalah memberi dukungan, mendoakan agar orang yang kita sayangi bisa terus maju ke depan. Dan Rania menginginkan hal itu untuk Aufar. Rania yakin kalau Aufar masih memiliki begitu banyak mimpi untuk dilakukan. Karena itulah Rania memilih untuk mengalah, mundur dan kembali fokus meniti jalan pendidikannya.
Rania berterima kasih sekali pada Aufar. Berkat lelaki itu, Rania tahu betul dia ingin menjadi apa di masa depan nanti. Guru, Rania ingin menjadi guru SLB. Rania menggigit bibir, memikirkan sesuatu. Rania ingin agar Aufar mengerti kalau dia masih ingin menjadi teman Aufar sekaligus menjadi bayangan yang mengamatinya dari jauh. Apa yang harus dilakukan?
Seteah menimbang-nimbang, sebuah keteguhan muncul di wajah Rania. Gadis itu turun dari tempat tidur, mengambil kotak pinsil di dalam tasnya dan menyobek sebuah kertas. Rania mulai menulis surat…