Rindu? Apa itu rindu?
“Aufar, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba ke sekolahku, menemuiku dan kemudian pergi tanpa mengatakan apapun? Tunggu, aku paham kalau kamu enggak bisa bicara tapi kita punya banyak cara untuk tetap bisa berkomunikasi walaupun tanpa harus dengan suara. Aufar, jawab? Kumohon, jawab pertanyaanku” Rania bertanya pada Aufar dengan wajah yang tampak sangat memelas.
mereka sudah berhenti berjalan. Kini mereka sedang berdiri besisian di sebelh sebuah pohon yang agak jauh dari gerbang sekolah Rania.
“Baiklah, aku akan ubah pertanyaanku. Yang perlu kamu lakukan hanya menggeleng atau mengangguk” Kata Rania penuh tekad, dia menatap tajam Aufar.
“Apakah kamu memang berencana untuk mengunjungiku?”
Aufar menggeleng
Rania terbata, menatap lelaki di hadapannya dengan takjub.
“Apakah karena ingin bertemu denganku?”
Aufar diam
“Aufar, jawab. Apakah kamu nekat masuk ke sekolahku, karena begitu ingin bertemu denganku?”
Rania memperhatikan raut wajah Aufar yang berubah gusar. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
“Apakah kamu ingin melihatku karena sudh tiga hari tidak ketemu? Ya, aku menghitungnya Aufar, ini hari ketiga sejak aku terpergok melihatmu main basket kemarin” cecar Rania, pandangannya menyelidik.
Aufar mengacak rambutnya lalu menatap Rania tepat di matanya. Mata yang memancarkan pertanyaan dan juga kejujuran.
Aufar mengangkat bahunya, entahlah dia tidak tahu ada apa dengan dirinya. Pikiran dan hatinya sepertinya sedang tidak mau bekerja sama dengan baik.
Bahu Rania turun, lunglai dengan jawaban dari Aufar. Dia marah, dia kesal, dia ingin sekali membenci lelaki di hadapannya yang tidak bisa menjawab dengan tegas. Rania…kecewa.
“Baiklah, terima kasih atas jawabanmu. Aku membencimu Aufar, aku membencimu yang tidak mampu menjawab pertanyaanku dengan ketegasan. Kamu laki-laki Aufar, kamu seharusnya tahu betul dengan perasaanmu. Ini terakhir kali kita berbicara. Aku tidak mau menemuimu lagi, selamat tinggal” Kata Rania memuntahkan segala rasa yang menghimpit di dadanya. Rania mencegah bulir-bulir air matanya yang hendak jatuh dengan membuang muka.
Tersentak dengan kata-kata Rania, Aufar sontak menahan lengan gadis itu, menahannya untuk pergi
“aaaaaaaa” Aufar membuka mulutnya, dia hendak mengatakan maaf tapi yang keluar hanyalah suara aneh tanpa arti.
Rania terkejut.
“Aufar?”tanyanya, mata Rania membulat
Dengan cepat Aufar mengambil handphone dan menuliskan sesuatu
Maaf Rania