Sudah berbulan-bulan sejak aku mengalami momen paling berkesan dalam hidup : pergi umroh di bulan ramadhan. Supaya memori tersebut tidak hilang dan kebetulan sudah banyak yang request untuk segera tulis di blog (uhuk), maka aku pun membunuh kemalasanku untuk mulai menulis. So, here we go!
Percaya enggak sih, sebetulnya di awal bulan ramadhan Cucup dengan lugas bilang kalau dia enggak ingin mudik lebaran kemanapun tahun ini. Dia merasa sangat capek dan penat dengan pekerjaan dan hal-hal lain. Kebetulan emang sejak awal tahun keluargaku tuh diuji dengan anak yang gantian masuk rumah sakit, masalah keluarga, dan juga peran terbaru Cucup sebagai koordinator cluster.
Orang yang kenal sama Cucup pasti tahu kalau dia itu introvert. Dulu dia pendiam sekali, terutama sama istrinya sendiri, wkwkwk. Tapi seiring berjalannya waktu sepertinya dia tertular sedikit sikap ekstrovert-ku, ahahaha.
Emang salah satu manfaat punya istri yang suka sekali bicara dan ingin selalu ditanggapi membuat dia jadi lebih luwes untuk ngobrol dan ramah. Saat ini Cucup bisa bersikap ceria layaknya orang ekstrovert, tapi ketika sampai di rumah dan kami cuma berdua saja, dia akan memeluk aku dan bilang, “Aku capek banget.”
Nah, berdasarkan pengalaman di atas aku mencoba memahami ketika dia memutuskan untuk tidak mudik. Dia bilang kalau hanya ingin menikmati waktu yang agak santai bersama aku dan anak-anak tok.
Harus diakui, aku sebetulnya sedih dan kecewa dengan keputusannya. Lha aku kan pengen ketemu dan ngumpul sama saudara-saudara lain sambil makan opor dan minum es buah. Terus disambung dengan jalan-jalan dan kulineran.
But you know what gaes, Cucup bahkan enggak bergeming saat mamanya dan mamaku menelepon menanyakan rencana lebaran tahun ini. Dia dengan tegas mengatakan bahwa kali ini kami akan lebaran di rumah saja. Jika mereka kangen dan ingin bertemu anak-anak, Cucup meminta agar mereka saja yang datang ke rumah kami. Jujur, aku sangat takjub dengan keberanian dia menghadapi para nenek yang juga kecewa karena enggak bisa kumpul keluarga, hahaha.
So yeah, pada titik ini, aku melihat capeknya suami bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Melihat dia begitu serius dengan keputusannya, aku malah jadi berbalik kasihan. Aku masih bersyukur setidaknya dia tidak merasa ‘capek’ jika harus bersama aku dan anak-anak. Seberharga itu aku dan anak-anak bagi dia.
Mendadak Diajak Umroh
Sehari setelah teleponan, mamer (mamanya Cucup) calling lagi. Tapi kali ini topik yang dibicarakan berbeda karena aku melihat raut wajah Cucup berubah serius. Begitu telepon ditutup dia bilang, “Kita perlu bicara deh kayaknya.”
Aku yang lagi beberes rumah tentu saja penasaran. Kami berdua pun masuk ke kamar dan mengambil posisi enak buat bicara.
“Mama berencana ingin umroh ramadhan ini, lebaran di sana. Tapi kita enggak pakai travel karena ada Kak H (keponakan bapak mertua) yang memang tinggal di Madinah dan bersedia membantu saat berada di sana. Mama nawarin apa aku sekalian pengen ikut. Aku pengen ikut, dan berharap kamu juga mau ikut.”
Woh.
Aku bengong sampai semenit. Rasanya isi kepalaku mendadak hilang semua gegara dengar kata Umroh.
Cucup yang gemes lihat aku ngang-ngong-ngang-ngong langsung nyamber, “Kita ada simpanan yang tujuannya untuk beli kendaraan kan. Tapi kalau disuruh milih, kamu lebih milih umroh atau beli mobil?”
“Ya umrohlah!” jawabku tanpa pikir panjang.
Kocak beud pertanyaan Cucup. Mobil mah bisa dibeli nanti-nanti. Tapi pergi ke Baitullah? Ke kota Mekkah? Ke Madinah? Ke tempat Masjid Nabawi berada? Sholat langsung di depan Ka’bah? Hayuklah Gaspol!
Tapi nak-anak gimana?
“Tapi tunggu dulu yo, aku belum bisa kasih keputusan. Aku harus tanya ke Mama (neneknya anak-anak dari pihak aku) dulu. Beliau mau tidak bantuin jaga anak-anak sementara kita ibadah kesana.” tambahku lagi.
Setelahnya, aku sibuk menelepon. Terharu banget saat denger mama langsung bilang yes, udah gak usah khawatirin anak-anak begitu tahu aku punya rencana untuk umroh. Beliau sangat-sangat-sangat mendukung.
Aku sampaikan hasil pembicaraanku sama mama ke Cucup dan dia sangat lega. Sinar wajah doski betul-betul berubah 180 derajat. Dia yang tadinya klemar-klemer enggak semangat tiba-tiba aja jadi cerah lagi. Langsung deh dia sibuk telepon ke mamer untuk mengonfirmasi kesediaan kami ikut umroh bersama mereka.
Kejadian-Kejadian Menjelang Keberangkatan
Pasca konfirmasiku, mamer dan Cucup langsung gercep cari-cari tiket dan hotel. Kalau aku ingat-ingat, pemesanan tiket tuh baru dilakukan di minggu kedua bulan Ramadhan yang mana harganya melambung lumayan tinggi. Kamar-kamar hotel pun sudah habis dipesan. Hotel yang tersisa jaraknya rata-rata 3km atau lebih dari Masjidil Haram.
Yaaa, namanya juga mendadak umroh ye kan, apalagi di Bulan Ramadhan. Plus, ini Ramadhan pertama pasca pandemi. Tahun sebelumnya Harammain masih ditutup sehingga peminat umroh Ramadhan tahun 2023 ini jumlahnya sangat banyak, sampai jutaan orang.
Tapi alhamdulillah banget, namanya niat baik, Kak H yang tinggal di sana membantu kami mencari penginapan yang dekat dari Masjidil Haram mengingat bapak mertua yang kondisinya mudah lelah. Akhirnya kami dapat penginapan, tidak pesan melalui Traveloka tapi bayar melalui beliau. Penginapan ini jaraknya sekitar 300-an meter, sehingga bisa jalan kaki saja tiap kali mau ke masjid. Masya Allah.
Untungnya, aku dan Cucup sudah punya paspor, anak-anak juga sebetulnya. Kami bikin paspor saat aku menang lomba blog ke Jepang. Kala itu aku enggak bisa berangkat sehingga uangnya diganti cash. Aku berniat pergi ke Malaysia, dengan tujuan Legoland sebagai gantinya. Tapi qadarullah pandemi datang sehingga rencana tersebut batal.
Paspor, tiket pesawat PP, penginapan sudah semua, yang belum tinggal Visa. Kami sempat membuka official website Arab Saudi dan hendak mendaftar visa sendiri, tapi takut gagal granted. Akhirnya masalah Visa pun kami titip ke Kak H. Ternyata Visa umroh memang wajib dibuat melalui travel. Kabarnya, pihak Saudi sendiri memang ingin orang-orang yang datang umroh kesana itu ada penanggungjawabnya.
Nah, permasalahan muncul ketika nama bapak mertua hanya terdiri dari satu suku kata saja. Padahal paspor seharusnya tidak bisa kalau begitu. Masalah kedua adalah saat mama mertua salah menuliskan nama di tiket keberangkatan dan kepulangan. Masalah nama ini ternyata penting banget, beda huruf saja bisa ditolak nanti di imigrasi.
Terus gimana? Ya diberesinlah, masa dicuekin, wkwkwk.
Kalau masalah tiket, suami sampai pergi ke kantornya Saudi Airlines untuk refund dan beli tiket baru (alhamdulillah harganya sama). Eh iya, maskapai yang kami pilih untuk berangkat adalah Scoot. Denger-denger Scoot ini anak perusahaannya Singapore Airlines versi lebih murah (kayak Citilink dan Garuda). Kemudian untuk pulang, baru deh kami pakai Saudi Airlines.
Next masalah paspor. Kayaknya bapak mertua kembali mengurus di Imigrasi terus bikin baru atau gimana aku lupa. Yang pasti, paspor yang beliau pegang saat ini terdiri dari dua suku kata. Long short story masalah paspor dan tiket beres semua.
Dari kejadian kemarin aku jadi belajar kalau mau umroh itu, sejak sebelum berangkat aja harus hati-hati banget dalam berucap dan berpikir. Jangan sampai ngomong sembarangan pokoknya karena bisa kejadian beneran. Kalau misalnya kita udah terlanjur melakukan atau mengatakan hal yang salah, langsung istighfar dan minta ampun sama Allah.
Menitipkan Anak-Anak
Sebetulnya, pergi umroh buatku itu masih sesuatu yang unreal, kayak enggak nyata gitu. Makannya ketika Cucup dan mamer sibuk mengurus berbagai hal terkait umroh, aku masih santai beraktivitas seperti biasa.
Sampai di suatu malam Cucup mengirim sesuatu ke WA-ku : e-Visa Umroh
Pada dokumen yang berlatar belakang warna putih, hijau, kuning, dan tertera tulisan Kingdom of Saudi Arabia, terpampang foto serta namaku. Aku tercekat, Ya Allah, aku beneran mau berangkat umroh!
Rencana dadakan pergi ke Mekkah dan Madinah kini bukan lagi cuma wacana. Sadar akan hal itu, besoknya aku langsung sibuk melakukan berbagai persiapan seperti packing, sounding ke anak-anak, dan menyelesaikan tanggungan pekerjaan.
Untuk pertama kalinya aku enggak galau sama sekali ketika enggak dapat banyak job di bulan Ramadhan. Lha waktu itu sempat ada wa masuk nawarin kerjaan juga aku tolak karena takut enggak mampu menyelesaikan. Aku betul-betul berusaha untuk fokus mengurus masalah umroh ini.
Setiap habis sahur dan sholat subuh, sambil menanti waktu syuruk aku menonton video tentang tata cara umroh melalui youtube. Instagram-ku juga isinya tentang serba-serbi umroh. Mulai dari tips beribadah, sampai rekomendasi es krim enak di Madinah, hahaha.
Anak-anak selalu aku ajak untuk menyimak. Mereka excited sekali tiap kali ikutan nonton. Kadang muncul aja celetukan seperti, “Wah nanti Mama mau muterin Ka’bah kayak gitu ya?” atau “Nanti Mama dan Ayah akan terbang lama sekali ya?” atau “Nanti Ayah juga akan pakai pakaian putih (ihram) kayak gitu ya?”
Anak-anak waktu itu juga masih biasa saja setiap kali aku bilang kalau nanti kami akan berlebaran di tempat yang berbeda. Bahkan ketika kami berlima betul-betul berangkat ke Majalengka menggunakan kereta, mereka justru yang paling semangat.
Aku sepertinya enggak akan pernah bisa berhenti mengagumi kekuasaan Allah deh. Allah betul-betul telah mengatur waktu kepergian kami sedemikian rupa. Rencana keberangkatan kami jatuh di saat anak-anak sudah memasuki momen libur lebaran. Terus, mereka akan stay di Majalengka yang mana keluarga besarku juga akan berkumpul.
Jadi, di sana tidak hanya ada mamaku, ada adik-adiknya mamaku juga. Kakek-neneknya anak-anak di sana ada banyak! Belum lagi para tante dan om (sepupu-sepupu aku) yang juga akan datang ke sana beramai-ramai. Setidaknya, akan ada banyak orang yang membantu mamaku mengurus tiga anak yang super aktif, hahaha.
Aku stay di Majalengka cukup singkat. Malam datang, besoknya makan malam (buka puasa bareng) bersama keluarga besar, terus besoknya lagi aku cus berdua sama Cucup ke Jogja sedangkan anak-anak tetap di Majalengka. Well, aku udah cerita belum sih kalau keberangkatan kami itu dari Jogja, bukan Jakarta?
Iyaaa, jadi harga tiket pesawat yang berangkat dari Jogja itu lebih murah sejuta per orang dibanding dari Jakarta. Sejuta dikali dua ya lumayan juga, toh kami memang harus mampir Majalengka juga, sekalian pulang kampung pun.
So, tibalah pagi hari di mana aku harus meninggalkan anak-anak. Meski udah di-sounding, meski kepergianku diniatkan untuk ibadah, ninggalin trio bocils kesayanganku itu berat banget ternyata. Aku pengen membelah diri, sebagian untuk nemenin mereka, sebagian lagi untuk berangkat ke tanah suci. Tapi kan enggak bisa.
Si abang terang-terangan menangis dan minta ikut ketika kami berpamitan. Si teteh lain lagi, dia enggak mau salaman sama aku atau ayahnya. Dia bahkan membuang muka ketika kami hendak memeluk atau menciumnya. Si dedek? Nah, anak ini justru yang paling santai tanpa beban, wkwkwkwk. Padahal dari tiga anak, aku justru paling khawatir sama si dedek yang memang nempel banget sama aku.
Suasana perpisahan sangat heboh, terutama waktu tangis si teteh pecah. Ternyata sikap dinginnya itu memang karena menahan perasaan supaya enggak nangis di depanku atau ayahnya. Tapi ketika kami peluk, dia sesenggukan banget bilang enggak mau ditinggal, mau ikut, mau jadi anak baik asal diajak.
Ya ampun, potek banget hatiku.
Para nenek (mama dan adek-adek beliau) berusaha menahan dan membesarkan hati anak-anak sambil menyuruh kami segera berangkat karena takut macet di jalan dan ketinggalan kereta. Maklum, dari Majalengka aku mesti ke Cirebon dulu untuk naik kereta Taksaka ke arah Jogja.
“Udah enggak papa entar nangis juga, Ajeng sama Mas Ucup berangkat aja bisi ketinggalan kereta.” kata para nenek sambil narikin anak-anak yang enggak mau lepas dari aku. Huhu..
Pada akhirnya apa yang harus terjadi ya terjadi, kami pergi sambil diiringi tangis anak-anak. Aku sendiri berusaha tetap senyum dan tegar, meski ketika pintu mobil ditutup dan roda berputar melaju meninggalkan mereka, aku nangis sesenggukan.
Suami waktu itu cuma nepuk-nepuk punggungku sambil bilang, “Kita pergi buat ibadah, buat Allah, insya Allah, nanti Allah yang akan jaga mereka.”
Baca Juga : Tips Sounding Efektif
Iya aku tahu, tapi kan perasaan sedihku ini tetep valid banget. Lagian, ibu mana yang mau pergi ninggalin anaknya berhari-hari dan enggak sedih. Apalagi kami enggak akan ada di samping mereka di hari raya. Huhuhu.
Aku sangat bersyukur karena punya anggota keluarga yang sangat baik. Menjelang siang salah satu nenek chat aku, mengatakan kalau anak-anak dalam kondisi baik. Masih sedih memang, tapi terawat karena disuapin makan, dibiarkan tidur siang. Selain itu saat siang hari, ada sepupu anak-anak yang juga datang ke Majalengka. Jadilah mereka berlima berkumpul bersama.
Begitu juga ketika aku udah di tanah suci, ada tante dan om yang masih pada kuliah dan bergantian mengasuh anak-anakku di sana. Salah satunya bahkan rutin mengirim foto-foto aktivitas mereka, Masya Allah.
Sedikit tips yang mungkin bisa diingat. Ketika menitipkan anak, aku memberikan jumlah uang yang cukup banyak ke mamaku. Pokoknya aku bilang ke beliau untuk tidak perlu pusing masalah cucian baju, masak, dan lain-lain. Urusan baju lempar laundry, makan tinggal beli, butuh transport tinggal ojol, butuh jajan tinggal beli.
Ngurus tiga anak itu berat dan aku enggak mau membuat mamaku tambah berat. Selain itu, aku juga udah bawain beberapa mainan seperti kartu uno, monopoli, dan juga raket badminton untuk olahraga.
Sakit Sebelum Berangkat
Packing umroh, packing anak-anak, nyelesein kerjaan, nyelesein semua urusan, dan perjalanan ke Majalengka sambil nyiapin sahur, berbuka, dan berpuasa ternyata bikin aku drop. Dalam perjalanan ke Jogja dari Cirebon akhirnya aku membatalkan puasa dan minum paracetamol karena badanku ngilu semua.
Bahkan ketika sampai di Jogja, demamku semakin menjadi. Kakak iparku yang dokter sedikit khawatir karena angka covid memang sedang naik lagi. Jadilah dia menyarankan dan mengantar aku ke ke lab untuk swab tes dulu. Alhamdulillah hasilnya negatif.
Aku dan Cucup sejak awal memang berencana untuk menyediakan jeda satu hari di Jogja supaya bisa istirahat dan siap-siap. Selama sakit itu aku minum obat, tidur dan berusaha untuk makan meski makanan apapun yang masuk ke mulutku terasa pahit.
Mama mertuaku luar biasa baiknya, aku dirawat betul di sana. Dibikinin minum, disediain makan, bener-bener dibiarkan istirahat. Beliau bahkan meminta aku supaya enggak usah puasa ketika berangkat nanti. Lebih baik aku tetap rutin minum obat supaya ketika di sana kondisinya sehat.
Aku sendiri sempet stress, bener-bener enggak nyangka mau berangkat umroh malah sakit. Meski badan cenat-cenut, aku kan tetep sholat tuh. Nah, tiap selesai sholat tuh aku berdoaaaaa banget supaya Allah beri kesembuhan dan kekuatan. Aku juga minta Allah mengampuni semua kesalahanku plus berjuang untuk tetep berprasangka baik.
Mungkin Allah memang sedang ingin menggugurkan dosa sebelum aku berangkat? Toh, banyak hadist yang bilang kalau sakit itu memang menggugurkan dosa. Setelah mencoba mengatur mindset, aku jadi lebih legowo dan menikmati sakitku, hahaha.
Berangkat Ke Mekkah
Rute perjalananku adalah sebagai berikut : rumah – kereta bandara – Bandara YIA – Singapore – Jeddah – Mekkah. Meski pesawatku masih jam setengah 11 siang, kami sudah berangkat sejak jam 6 pagi dari rumah karena mengejar kereta bandara.
Sampai bandara, karena terlalu pagi kami masih harus menunggu untuk proses check in. Btw, itu adalah kali kedua aku ke Bandara YIA dan rasanya emang beda dibanding Adisucipto. Lebih besar, lebih cakep, lebih nyaman. Proses imigrasinya juga cepet banget. Waktu petugas lihat visa umrohku, mereka malah doain juga.
Sambil menunggu boarding, aku jalan-jalan di sekitar dan beli makanan buat beli makan. Meski enggak lapar, aku harus makan supaya bisa minum obat di pesawat nanti. Penerbangan luar negeri boleh aja kok bawa makanan, yang dilarang justru minum.
Anyway, enggak lama kemudian waktu boarding tiba dan kami pun berangkat. Meski penerbangan internasional tapi pesawat yang dipakai tuh kayak penerbangan domestik, kecil. Mungkin karena deket yak, Jogja-Singapura cuma 2 jam.
Btw, aku itu entah sejak kapan jadi takut naik pesawat. Terakhir ke Jogja naik Lion turbulensinya mantep sampe kerasa mau jatuh 2x dan itu bikin trauma. Naik Scoot ini sebetulnya nyaman aja sih, tapi pas mau mendarat turbulensinya emang kenceng karena menembus awan hitam. Cuaca di sana mendung banget.
Tapi alhamdulillah kami mendarat dengan selamat. Begitu turun, kami enggak bisa lama-lama mengagumi bandaranya yang mirip mall itu. Kami hanya punya waktu transit 2 jam saja dan itupun udah kepotong cukup lama untuk turun dari pesawat.
Setelah sempat kebingungan, kami menemukan counter petugas yang memberi tahu kalau kami wajib pindah terminal ke keberangkatan internasional. Menggunakan skytrain, kami pindah terminal sambil menggeret koper kabin.
Begitu sampai di tempat boarding, ternyata banyak penumpang lain yang berasal dari Indonesia dan mau umroh juga. Ada pula calon TKI yang akan dipekerjakan sebagai tenaga tambahan untuk staff dapur haji di Saudi nanti. Orang asing-nya juga lumayan banyak kok, terutama dari Tiongkok.
Pesawat yang aku naiki untuk ke Jeddah kali ini lebih besar, kursinya ada 9 yang model 3-3-3 gitu. Aku duduk satu deret sama Cucup dan orang asing dari Uzbekistan…yang menetap di Tokyo. Hihihi unik juga ya, orang Uzbek tapi memilih kerja di Jepang instead of negaranya sendiri. Orangnya baik dan suka ngobrol, dia nawarin aku buat duduk di deket jendela, tapi karena aku penakut, tawaran tersebut tentu saja aku tolak.
Mama, Abah, dan adik ipar duduk di deretan sebelahku. Oh iya, pesawat ini enggak ada IFE (In Flight Entertainment), jadi enggak ada TV di kursinya. Cuma karena temen sederetnya asyik ya jadi damai aja. Alhamdulillah perjalanan cukup lancar, sempat sekali dua kali turbulance kuat tapi selama mbak dan mas pramugari wira-wiri bawa makanan aku berusaha tenang.
Nasib orang punya anxiety, aku enggak bisa tidur selama sembilan jam perjalanan. Sebenernya ngantuk dan pengen istirahat, tapi goyang dikit aku langsung melek. Akhirnya, waktu tak pake buat ngaji dan ngobrol-ngobrol aja.
Review singkatku tentang Scoot sih lumayan oke meski enggak ada hiburan. Makanannya nasi dan kari ayam dengan rasa cukup enak, camilannya juga mevvah, plus selimut bisa dibawa pulang. Misal butuh hiburan ya bisa beli Wi-Fi buat di pesawat.
Sebelum mendekati Yalamlam yang merupakan titik awal untuk mengambil miqot, Pilot memberi informasi. Cucup dan bapak mertua bersiap-siap untuk berganti dengan ihram karena ibadah umroh sudah dimulai sejak miqot.
Oh iya, buat yang belum tahu nih, Miqat adalah batas waktu dan tempat bagi dimulainya ibadah haji dan umrah. Apabila melintasi miqat, seseorang yang akan memulai ibadah haji perlu mengenakan kain ihram dan berniat untuk melakukan haji. Ini boleh ya dilakukan di atas pesawat.
Mekkah, I’m Coming!!
Sekitar jam 10 malam, pesawat kami pun mendarat di Jeddah. Ini adalah pengalaman pertamaku terbang dengan durasi yang lama dan saat menjejak tanah, aku lega sampai nangis, ahaha. Btw, untuk perempuan enggak ada pakaian khusus ya, bebas aja yang penting menutup aurat dan mengucapkan niat umroh saat miqot.
Mendarat di Jeddah masih merupakan awal karena kami masih harus mengurus imigrasi dan naik kereta untuk mencapai Mekkah. Antrian imigrasinya panjang tapi alhamdulillah cepat aja. Di sini kami dijemput oleh Kak H, jadi alhamdulillah enggak kebingungan.
Bandara King Abdul Aziz di Jeddah ini udah modern, meski untuk kamar mandinya aku nemu yang jongkok. Terus udah terintegrasi juga dengan stasiun kereta cepat The Harammain yang tujuannya Madinah dan Mekkah. Sambil menunggu waktu keberangkatan, aku tentu saja belanja Al Baik dulu, kuliner terkenal dari Saudi. Soalnya aku nginep di penginapan, bukan di hotel yang memang menyediakan makanan sahur dan berbuka.
Waktu lihat bentukan kereta cepatnya yang mirip sama Shinkansen aku jadi kepikiran si abang. Dia pasti seneng banget kalau ikut karena bisa naik dan ngerasain langsung naik kereta dengan kecepatan tinggi. Interior keretanya juga nyaman banget meskipun aku beli yang kelas ekonomi.
Perjalanan dari Jeddah ke Mekkah naik kereta ini cukup setengah jam. Kalau dari luar, keretanya pasti kelihatan super cepat. Tapi buatku yang duduk dengan nyaman di dalam, malah gak berasa gimana-gimana. Keretanya minim goncangan, adem, harum, pokoknya super duper nyaman.
Selama perjalanan, jantungku berdebar-debar banget. Berasa enggak sabar kayak mau ketemu kekasih. Ada rindu, bahagia, deg-degan, campur aduk semua. Apalagi ketika kami akhirnya sampai di Mekkah dan ketika keluar stasiun, Zam-Zam Tower yang menjadi penanda Harammain udah kelihatan.
Di pelataran stasiun, Cucup tiba-tiba aja gandeng tanganku. Kemudian dengan suara riang layaknya anak kecil yang mau buka kado, dia bilang, “Kita di Mekkah Cin! Kita di Mekkah! Ini bukan mimpi kan Cin?”
Ya Allah, aku ketawa ngelihat dia yang super excited kayak gitu. Jangankan dia, aku aja se;erti masih kayak mimpi kalau inget tadi pagi perasaan di Jogja, eh tahu-tahu udah nyampe Mekkah. Ibarat kata saur di Jogja, pipis di Singapura, buka puasa di daerah India, terus makan malam di Jeddah. Seru enggak sih? Hahaha.
Anyway, malam kami tiba adalah malam 27 Ramadhan sehingga Harammain memang penuuuhhhhh oleh jamaah yang itikaf sampai ke jalan-jalan. Efeknya, jalanan ditutup, bis dan taksi enggak bisa lewat. Terus gimana cara kami sampai ke penginapan dan Harammain?
Alhamdulillah, Kak H yang mendampingi kami berkomunikasi dengan warga dan mengatakan kami bisa naik bis, tapi bis akan turun sekitar 1 km dari Baitullah sehingga kami harus jalan menuju penginapan. Kak H bertanya pada kami apakah berkenan dan kami semua setuju karena memang tidak ada opsi lain.
Akhirnya, sembari membawa bawaan yang seabrek, kami pun berangkat naik bus yang khusus membawa jamaah umroh dari berbagai negara. Sepanjang jalan aku memandangi kota Mekkah pada tengah malam. Pemandangannya bener-bener seperti kota di timur tengah yang aku tonton di TV. Aku notice, ada berbagai kuliner international kayak Mcd atau Burger King gitu-gitu.
Cuma sebentar naik bus, akhirnya kami pun turun. Kak H yang memang sudah hapal dengan jalanan di sana menuntun kami. Katanya, kami harus berjalan di dalam terowongan, menembus Harammain menuju hotel untuk menaruh barang dan istirahat lebih dulu.
Sedikit tips, ada baiknya beli koper baru atau pilih koper yang rodanya kuat kalau mau pergi umroh. Kualitas koper yang dimiliki sangat membantu kita untuk lebih cepat ketika berpindah tempat. Sepanjang jalan aku ketemu sama orang-orang yang juga mau ke Ka’bah.
Berjalan di terowongan ini benar-benar menjadi kenangan yang enggak akan pernah aku lupa. Sepanjang jalan, aku bisa mendengar dengan jelas suara Imam Masjidil Haram : Adurraham As-Sudais. Suara Imam Sudais yang biasanya aku dengar di aplikasi murotal sekarang bisa aku dengar secara langsung. Suara beliau yang begitu merdu nan lantang sedang mengimami sholat malam ratusan ribu jamaah.
Kemudian yang paling membuat aku sampai menangis sambil berjalan dan menggeret koper adalah saat tahu bahwa Imam Sudais MEMBACA SURAT AR-RAHMAN. Tak baleni, SURAT AR-RAHMAN!! Surat favoritkuuuuu!!
Ayat-ayatnya pun terlantun dengan begitu jelas,
Fa-biayyi alaa i Rabbi kuma tukadzdzi ban… (Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?)
Masya Allah, Masya Allah, dadaku bergemuruh, langkahku bergetar saat sadar bahwa Allah menyambut kami semua dengan begitu indahnya. Dengan surat Ar-Rahman, surat yang menggambarkan begitu besar nikmat yang Allah limpahkan kepada manusia. Mataku basah.
Rasanya, semua pengorbanan yang kemarin-kemarin dilakukan, uang, kesedihan berpisah dengan anak sementara, takut naik pesawat, kelelahan selama perjalanan hilaaanggg semua. Terbayar tuntas, tunai dengan sambutan yang begitu luar biasa. Benar-benar enggak terlupakan.
Penginapanku ada di sebuah jalan yang bernama Ajyad Street. Jalanan ini kanan-kirinya penuh dengan jamaah yang mengejar ibadah di malam 27 ramadhan. Takjub melihat orang-orang yang menggelar sajadah mereka di pinggir jalan karena Baitullah sudah sangat penuh kondisinya.
Setelah perjalanan menggeret koper yang begitu magis, akhirnya kami semua sampai di penginapan. penginapanku ini bener-bener kayak losmen bintang satu. Namanya DAR SAUD. Kamarku di lantai 6, paling atas. Lift-nya sungguh enggak meyakinkan tapi bisa dipakai dan aman. Kamarnya mungil dan sederhana, cuma berisi kasur 5 biji, kulkas, lemari kecil, dan kamar mandi. Oh iya, ada AC-nya juga dan sumpah ademmm banget AC-nya!
Begitu sampai, Kak H meminta kami semua untuk istirahat dulu. Tidur sebentar, habis itu makan. Kata beliau kami sebaiknya mulai thawaf sebelum subuh saja karena pada jam tersebut biasanya orang sedang sahur sehingga lantai thawaf lebih sepi. Selain itu, kami memang butuh istirahat juga karena ibadah umroh nanti akan cukup memakan tenaga. Apalagi kami masih jetlag setelah perjalanan panjang dari Yogyakarta.
Akhirnya, UMROH!
Setelah istirahat dan berganti pakaian, rombongan kami pun berangkat menuju Masjidil Haram. Selangkah demi selangkah, aku mengamati jalanan yang luar biasa ramai dengan jamaah yang sudah bubar dan sedang mengantri makan atau duduk sambil menikmati sahur. Jarak antara penginapan dengan pelataran hotel cukup dekat, gak sampai sepuluh menit kami sudah tiba di pelataran yang lantainya terbuat dari marmer. Gemuruh di dadaku semakin gak keruan. Cucup yang aku rasa memiliki perasaan yang sama, menggenggam tanganku kuat.
Thawaf
Kami masuk dari pintu utama Masjidil Haram yang berhadapan langsung dengan Zam-Zam Tower. AKu melihat ke kanan, ke kiri, ke atas, sambil berhati-hati menabrak orang lain karena memang ramai sekali. Ada banyak askar(petugas penjaga Masjidil Haram) yang berjaga sambil berteriak. Laki-laki yang boleh masuk ke pintu utama hanya yang ber-ihram sedangkan peprempuannya bebas.
Kak H menuntun kami melewati pintu yang luar biasa tinggi. Sambil berjuang menembus keramaian aku berusaha mengontrol dentuman jantung yang maunya loncat-loncat. Di dalam hati, kata-kata “Sedikit lagi, sedikit lagi.” terucap terus. Setelah melewati pintu, Kak H menuntun kami untuk turun ke bawah menggunakan eskalator. Aku sungguh-sungguh enggak sabar, kakiku gemetar. Tahan, sebentar lagi, kataku dalam hati.
Dan, masih terpatri jelas di ingatanku, kenangan bagaimana setelah kami turun lewat eskalator, berjalan sedikit, aku yang terdorong kesana-kemari akhirnya bisa sampai ke lantai Thawaf. Lantai dimana Ka’bah berdiri dengan gagahnya.
Ka’bah, yang selama ini hanya aku bisa lihat lewat TV atau foto atau gambar, berdiri kokoh di hadapanku, di tengah lautan ribuan manusia yang berjalan mengelilinginya. Allah….Allah…Allah….Tangisku pecah lagi. Tangis bahagia seolah bisa bertemu dengan kekasih hati.
Dengan mata basah, Kak H menuntun kami semua untuk memulai thawaf dari Hajar Aswad, tujuh putaran. Selama mengelilinginya kami bisa berdzikir dan juga berdoa. Putaran pertama aku hampir enggak bisa berkata-kata saking takjubnya. Takjub ketika akhirnya bisa berdiri di depan rumah Allah, bisa melihat langit Mekkah, bisa berbaur dengan ribuan orang lain yang juga sama-sama mengagungkan namaNya.
Bibirku kembali basah karena terus menyebut namaNya. Aku sampai lupa berdoa karena yang aku sebut cuma bersyukur dan bersyukur. Terima kasih ya Allah, Engkau ijinkan aku untuk datang ke rumahMu. Terima kasih ya Allah, Engkau cukupkan rejekiku untuk bisa sampai kesini. Terima kasih ya Allah, Engkau mudahkan jalanku. Terima kasih ya Allah, Engkau kuatkan tubuh ini untuk sampai ke Masjidil Haram. Terima kasih, Alhamdulillah, pokoknya hanya berucap itu saking emang bersyukur luar biasa bisa berangkat umroh di akhir bulan Ramadhan…
Selama thawaf, Cucup mendampingi aku terus, kadang di samping, kadang di depan, kadang di belakang. Dia menjaga aku supaya enggak nabrak atau ditabrak orang lain. Tangannya terus menggenggam tanganku, sesekali dia bilang, “Ya Allah Mah, kita beneran ada di sini.” Seolah masih enggak percaya kalau kami betul-betul berada di Masjidil Haram.
Kondisi yang luar biasa padat membuatku enggak berani untuk menembus lautan manusia untuk mencium Hajar Aswad. Kata Kak H enggak apa-apa, karena ini adalah thawaf pertama dan nanti kami bisa thawaf lagi di waktu berikutnya. Selesai thawaf, kami mengambil air Zam-Zam.
Nah, aku mendapat tips dari salah satu teman yang sudah pernah umroh. Kata beliau, untuk menjaga kesehatan sebaiknya mengambil air Zam-Zam yang tidak dingin. Aku sempat mencoba yang dingin sedikit dan memang dingin luar biasa, kayak air es.
Thawaf kami selesai bertepatan dengan adzan subuh. Sebelum adzan dimulai, askar sudah sibuk mengatur jemaah thawaf, diberhentikan lebih dulu untuk sholat subuh dan setelahnya bisa dilanjut lagi. Aku berdua sama mama mertua mencari tempat untuk sholat.
Sholat subuh pertama kali di Masjidil Haram gimana rasanya? NIKMAT BUUNNNNN!! MASYA ALLAH.
Ah, gak ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaanku waktu itu lah. Gabungan antara bahagia, takjub, bingung, pokonya banyak, hahaha.
Tapi nikmatnya memang enggak kaleng-kaleng. Sampai bengong aku itu karena sebelum adzan tuh Masjidil Haram begitu penuhnya sama orang lalu-lalang, terus ketika iqamat dikumandangkan, suasana yang ramai tadi berubah langsung sepi. Hanya suara imam yang terdengar jelas. Semua orang begitu khusuknya sholat.
Ketakjuban lain yang aku rasain adalah ketika semua yang ada di sana, bahkan para askar ikut sholat ketika waktu telah tiba. Semua orang bersujud. Bayangkan, ratusan ribu orang bersujud mengelilingi Ka’bah dan kamu menjadi salah satu diantaranya. Apa enggak merinding?
Sa’i
Berlanjut ke tuntunan selanjutnya yaitu Sa’i. Asli, kalau enggak ada Kak H sebagi pendamping, kami mungkin udah kebingungan karena di sana suasananya sangat ramai. Selain itu, kawasan Masjidil Haram juga besar sekali sehingga kemungkinan tersesat untuk orang yang baru pertama kali datang itu besar.
Kak H melihat kondisi kami semua, terutama Abah. Kemudian beliau memberi saran kalau sebaiknya kami melakukan Sa’i menggunakan skuter. Ibadah Sa’i merupakan salah satu rukun umrah yang dilakukan dengan berjalan kaki bolak-balik 7 kali dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah dan sebaliknya. Kedua bukit yang satu sama lainnya berjarak sekitar 405 meter.
Untuk lokasi Sa’i sendiri sebetulnya udah sangat nyaman, adem dan petunjuknya pun jelas. Tapi Kak H bilang kami masih bisa melakukan Sa’i dengan berjalan kaki, nanti. ketika kondisi kami sudah lebih segar dan fit. Kami semua kembali manut. Penyewaan skuter sendiri kalau enggak salah ada di lantai tiga.
Pengguna skuter ada jalannya sendiri, terpisah dari jamaah yang melakukan Sa’i dengan berjalan. Waktu itu, Cucup yang mengendarai sedangkan aku yang fokus dengan bacaan doanya. Rasanya seru sih, dan memang jadi lebih cepat karena jarak yang harus ditempuh kalau bolak-balik sebanyak 7x itu tidak sedikit.
Di sini tersedia air zam-zam juga. Tempatnya pun adem dan nyaman. Kalu udah tahu kisahnya Bunda Hajar, Nabi Ibrahim, dan juga Ismail, melakukan Sa’i jadi lebih menghayati. Aku juga melihat langsing Bukit Shafa dan Marwah. Masya Allah, jadi semakin ngefans sama Bunda Hajar.
Thalallul atau Mencukur Rambut
Thahallul adalah mencukur sebagian rambut kepala atau memendekkannya. Bagi laki-laki lebih utama menggunduli rambutnya, Sementara yang utama bagi perempuan adalah memendekkannya. Makruh bagi wanita untuk menggunduli rambut.
Proses ini kami lakukan di penginapan supaya lebih nyaman. Mama mertua sudah lengkap persiapannya, alat cukur bawa sendiri. Cucup memilih untuk mencukur habis sampai gundul, sedangkan aku dan mamer cuma menggunting rambut saja.
Begitu bercukur selesai, maka selesai sudah ibadah umroh. Kalau ditotal, sesungguhnya ibadah umroh bisa diselesaikan dalam waktu tiga jam saja. Cepet sekali memang, tapi lumayan menguras tenaga. memang bener kok apa yang orang-orang bilang, kalau mau ke Mekkah usahakan untuk minum vitamin dan fit karena meski enggak dirasa, tubuh kita kelelahan.
ISTIRAHAT
Selesai melakukan Thahallul, aku lanjut mandi dan tidur. Bener apa yang dibilang Kak H kalau kami semua sangat butuh istirahat. Tidur di kasur karena seharian kemarin kami tidur sambil duduk. Alhamdulillah aku juga sudah kembali berpuasa. Sayang aja kalau udah sampai Harammain tapi enggak puasa kan?
Suhu di Mekkah juga cukup tinggi waktu itu, sekitar 40an derajat kalau enggak salah. Tapi anehnya, panasnya tuh bukan yang bikin kita berkeringat. Cuman panas yang bikin silau aja sampai harus pakai kacamata hitam. Unik banget emang.
Aku belum sempat diskusi tentang buka puasa nanti sore, tapi mama mertua memberi tahu kalau sore hari nanti kami akan berbuka puasa di Ajyad Hotel. Masya Allah, bener-bener rejeki ketika sedang berada di tanah haram.
Nah, karena ini sudah mencapai 5000 kata, kayaknya aku sudahi dulu ya. Insya Allah nanti dilanjutkan ke Part 2 karena memang masih banyak banget yang mau aku ceritain. Barangkali ada yang penasaran gimana rasanya lebaran di Mekkah? Juga pengalamanku pindah dari penginapan ke Hotel Bintang 4 yang berada di ring 1 Masjidil Haram? Perjalanan ke Madinah? Pengalamanku sakit dan pergi ke RS yang ada di Madinah?
Insya Allah nanti aku lanjutkan. Terus barangkali ada temen-temen yang penasaran ingin melakukan umroh semi mandiri/ semi bacpacker kayak aku, boleh loh kontak aku di instagram @ayuna.family. Daahhhhh!!
4 Komentar. Leave new
Masya Allah, Allahuakbar. Selamat ya, Mbak Ajeng sudah menunaikan ibadah umrah. Aku baca ceritanya sampai akhir. Oooh, ternyata ini 5000 kata, ya? Nggak berasa, euy. Ikutan nangiiis waktu anak-anak nggak mau ditinggalin. Aku ingat waktu itu Yuan cerita, katanya dia dan adik-adik dititipkan di Majalengka.
Semoga nanti bisa kembali lagi bersama anak-anak, ya. Ditunggu juga cerita berikutnya.
5000 kata yang terasa sedikit sekali. Keasyikan baca-baca eh tahu-tahu selesai 🙂 suka sekali baca pengalaman mbak Ajeng. Aku sendiri beberapa kali ngedraf tulisan umroh tapi gak selesai. Ntah kenapa, saking banyaknya yang mau ditumpahkan kayaknya 🙂
Ditunggu part selanjutnya mbak
Masya Allah mba makasih untuk ceritanya, bermanfaat banget dan tambah bikin semangat untuk bisa ke Baitullah..
semoga Allah mudahkan.. aamiin
Ditunggu pisan cerita lanjutannya ya mbaa 🙂
Mbak. Jazakillah khoiron u ceritanya. Saya dan suami mau nekat backpackeran ramadhan ini. Semoga Allah mudahkan