Rania membolak-balik buku yang dibacanya, pandangannya menerawang. Biasanya dia selalu bisa tenggelam dalam kisah-kisah romantis buku favoritnya. Tapi untuk kali ini,entah kenapa buku-buku itu tak lagi menarik minatnya. Rani bangkit dan menaruh buku itu di nakas samping tempat tidurnya. Setelahnya, dia mengambil posisi tiduran di kasur sambil memeluk guling. Gadis itu mengeluh karena tiga hari ini berlangsung sangat lambat, bahkan sangat sangat sangat lambat. Dia tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan setelah membantu Bunda masak dan membereskan rumah. Dia bosan bermain di luar, dia kehilangan semangat, dia…rindu.
Rindu teramat sangat pada punggung lelaki yang selalu menyampirkan tas di bahu kanannya.
Aufar.
Nama itu semakin lama semakin sering melintasi pikirannya. Terutama pada saat-saat tidak ada kesibukan seperti ini. Bagaimana ya kabar Aufar? Apakah dia sukses mengerjakan latihan ujiannya? Apa dia masih ketus dan dingin seperti biasa? Dan…Apakah dia merindukanku? Pertanyaan yang hanya mampu Rania ungkapkan dalam hati. Pertanyaan yang membuatnya gundah gulana hingga tanpa sadar meremas-remas guling yang ada di dalam pelukannya.
Rania masih belum bisa melupakan momen saat Aufar secara mengejutkan mau merespon tindakannya. Memang hanya sebuah ucapan terima kasih, tapi itu sungguh membuat dirinya tidak bisa berhenti tersenyum semalaman. Rania mendesah lega. Akhirnya, kursus bahasa isyarat yang dia ikuti cukup membuahkan hasil.
Rania menggelindingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Semakin dia memikirkan Aufar, rasa rindu semakin menggerogoti hatinya. Yah, rasa ingin bertemu semakin tak tertahankan. Rania menenggelamkan wajahnya ke dalam guling. Gadis itu menggaruk-garuk rambutnya yang tidak terasa gatal, pikirannya berkelana kemana-mana, berusaha menyusun sebuah rencana.
Setelah menemukan sebuah ide yang dirasanya cukup bagus, Rania berdiri dengan mendadak. Dilihatnya jam dinding, ada waktu dua jam sebelum waktu latihan ujian selesai. Rania segera bergegas, dia tidak boleh menyia-nyiakan waktunya.
***
Rania berjalan tergesa-gesa , setengah berlari ketika dilihatnya gerbang sekolah tampak ramai. Sudah setengah jam berlalu sejak waktu ujian latihan selesai, dia khawatir kalau Aufar sudah pulang. Rania mengamati orang-orang yang lalu-lalang di depannya, ada yang dijemput ada yang berjalan ke depan untuk menyetop angkot. Sambil menonggo Rania merasakan hatinya mencelos, apakah dia terlambat?
Rania memberanikan diri untuk maju selangkah lebih dekat, memasuki gerbang Sekolah Luar Biasa dan mengedarkan pandangan. Suara peluit yang dibunyikan menarik perhatiannya, dia menoleh ke arah lapangan.
Waktu bergerak begitu lambat ketika sebuah sosok menyedot perhatian gadis itu dengan sangat menyeluruh. Sosok yang dirindukannya sedang tertawa saat mengejar bola.
Rania mematung, terpesona.
Ya Tuhan, benarkah itu Aufar? Aufar yang tanpa ekspresi? Aufar yang dingin? Aufar yang itu telah menghilang. Aufar yang saat ini dilihatnya tampak sangat bersemangat dan bergairah. Senyum dan tawa membuatnya seratus kali lebih tampan. Rania merasa hampir meleleh melihat Aufar yang kelihatan sangat macho saat bermain basket.
Rania tidak sadar sudah berapa lama dia berdiri di situ sampai Aufar menoleh ke arahnya, menemukannya berdiri di gerbang sekolah seperti gadis penguntit. Senyum dan tawa Aufar memudar saat menyadari kalau Rania muncul di sekolahnya.
Rania merasa seperti pencuri yang ketahuan sedang menjarah harta orang lain. Dengan gugup dia langsung membalikan badan dan berlari. Rania merasa sangat malu. Dia ingin sekali masuk ke dalam pasir hisap dan tak pernah muncul lagi ke permukaan. Perempuan macam apa dirinya? Berani mengejar-ngejar seorang lelaki yang tidak mengharapkan kehadirannya.
Rania langsung menyetop angkot, dia tidak ingin menoleh ke belakang. Bungkusan kue yang ada di tangannya, diserahkan pada supir angkot.