Aufar memandang ruang kelasnya yang sudah masih agak ramai. Hari ini hari terakhir latihan ujian, teman-temannya banyak yang tidak langsung pulang. Mungkin, seperti Aufar mereka ingin rehat sejenak dari kejenuhan harus belajar terus menerus. Belum lagi beratnya atmosfir ruangan saat latihan ujian diadakan tadi. Baru latihan saja sudah setegang ini, bagaimana besok saat ujian betulan?
Aufar yang sedang membereskan barang-barangnya menoleh saat merasa punggungnya ditepuk. Andi, salah satu teman sekelasnya nyengir. Lelaki itu membawa bola basket.
“Olahraga sebentar buat melepas penat yuk?” Ajaknya
Aufar balas menyengir dan langsung mengiyakan ajakan temannya itu. Dengan semangat mereka berdua berlarian di lorong. Aufar menarik bajunya keluar dari celana agar bisa bergerak dengan lebih nyaman. Di lapangan teman-teman yang lain ternyata sudah berkumpul. Yang menjadi wasit adalah Andra, seorang tuna rungu juga tuna wicara tapi memiliki penglihatan serta ingatan yang tajam.
Mereka bermain three on three. Enam orang berkumpul di tengah lapangan menempati posisinya masing-masing. Koin dilempar untuk menentukan bola berada di tangan pihak mana, Aufar menunduk, matanya berkonsentrasi penuh. Akhirnya peluit dibunyikan dan bola dilemparkan. Dengan cepat Aufar melompat dan memukul bola tersebut ke lantai. Bola yang memantul itu ditangkap oleh temannya, Aufar segera berlari ke depan, berdempetan dengan lawan yang menempelnya. Sambil memberi kode, bola dilempar ke arah Aufar yang berada tak jauh dari ring. Aufar menangkap dengan sigap, berlari sebentar dan langsung melemparnya ke arah ring. Masuk! Poin untuk tim Aufar.
Pertandingan terus berlanjut selama kurang lebih lima belas menit sampai peluit panjang dibunyikan yang berarti babak pertama telah selesai. Keenam orang menyingkir dari lapangan, mengatur nafas dan minum air. Aufar menghapus keringat yang mengucur dengan lengan. Tak lama kemudian peluit kembali dibunyikan tanda ronde kedua akan segera dimulai. Aufar kembali ke lapangan dan kembali mempersiapkan diri.
Pertandingan berlangsung cukup intens, timnya dan tim lawan bergantian mencetak angka. Saat akhirnya peluit tanda selesainya babak kedua, timnya ternyata kalah tipis, hanya 3 angka. Aufar dan temantemannya tertawa, saling memuji dan memukul pundak. Aufar mengambil tempat di sudut lpangan untuk duduk dan meluruskan kakinya.
Olahraga dan keringat membuatnya bersemangat, pikirannya kembali menjadi lebih segar dan jernih. Selama beberapa hari ini dia terus menerus menenggelamkan dirinya untuk belajar. Aufar berjuang sangat keras mengalihkan pikirannya dari seorang gadis normal yang entah bagaimana memutuskan untuk belajar bahasa isyarat. Rania. Entah bagaimana nama gadis itu mulai menelusup ke dalam relung jiwanya. Nama itu kadang terlewat begitu saja tanpa ia sadari.
Selama dua hari berjalan pulang tanpa ada suara cempreng yang memanggil namanya, menjajari langkahnya, menceritakan kisah-kisah kesehariannya. Aufar merasakan sesuatu, sebuah kekosongan. Aufar berusaha menampiknya, bukankah harusnya ia bersyukur tak ada lagi Rania si pengganggu?
Tapi kenapa? Kenapa hatinya berkata lain?
Bagaimana mungkin hatinya tidak mau menurut dengan pikirannya?
Besok hari sabtu dan minggu, hari libur. Untuk dua hari ke depan dia masih tak akan melihat Rania. memikirkan hal itu membuatnya merasa tidak bersemangat. Apa yang sedang dilakukan gadis itu saat ini?
Aufar menutup matanya dan menggeleng kuat-kuat. Tiak, dia tidak boleh memikirkan gadis itu ataupun gadis manapun. Dia harus okus pada ujian kelulusan dan juga rencana-rencananya saat telah lulus nanti. Dia tidak membutuhkan gangguan apapun, walaupun gangguan itu adalah sesosok gadis yang cantik, menarik dan bersemangat.
Ketika Aufar mengacak rambutnya, Andi memandanginya.
“Ada apa?” tanyanya hanya dengan sebuah sorot mata.
Andi hanya mengendikkan dagunya ke arah gerbang. Aufar langsung menoleh ke balakang. Di sana, berdiri seorang gadis yang akhir-akhir ini menjadi pengganggu pikirannya. Rania.
#onedayonepost #aufar #rania #cerbung #berjuang