Aufar merapikan buku-buku yang ada di perpustakaan sekolahnya. Dia menggerakkan lehernya ke kanan dan ke kiri, tangannya memijat tengkuk yang terasa pegal. Selesai dengan buku-buku dia memperhatikan tumpukan kertas kerja yang berisi soal-soal ujian dan jawaban.
Aufar terlahir sebagai seorang tuna wicara. Entah karena virus atau konsumsi makanan yang tidak baik atau apa pokoknya Aufar tidak bisa bicara. Pita suaranya bermasalah, begitu juga lidahnya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar aneh sekali, seperti orang gagu. Dia samar-samar mengingat masa kecilnya, saat sang mama menyadari kalau dirinya tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun sampai usia tiga tahun, hanya suara-suara teriakan tidak jelas. Mereka membawanya ke dokter dan ahli tumbuh kembang, diperiksa berkali-kali dan vonis itu jatuh. Selamanya dia tak akan bisa bicara.
Syukurlah dia memiliki orang tua yang begitu sabar dan tegar, walau tak sempurna orang tuanya tetap memberikan cinta dan memfasilitasinya senormal semampu yang mereka bisa lakukan. Masa-masa kecilnya tidak begitu menyenangkan, anak-anak tetangga sering menghinanya. Si gagu, itulah salah satu panggilan yang disematkan padanya, selain anak keturunan jin. Ya, tak sedikit yang bilang kalau cacat yang diderita Aufar adalah karena gangguan makhluk halus, pemikiran menggelikan. Tidak tahan dengan gunjingan warga kampung yang tidak memiliki empati, orang tuanya mengambil keputusan untuk pindah ke kota besar yang memiliki fasilitas lengkap.
Mama memilih resign dan mengurus Aufar sendiri secara penuh. Aufar tak mampu mengungkapkan betapa dia mencintai sang mama, yang langsung mengambil kelas pelatihan komunikasi bahasa isyarat secara intensif. Mamanya juga mendatangkan seorang guru privat yang mengajarinya bahasa isyarat. Tak terhitung betapa seringnya Aufar tantrum karena tidak mampu berkomunikasi secara normal, namun mamanya tetap sabar. Sang papa juga tak kalah dalam usahanya menjalin komunikasi dengan Aufar. Lelaki itu selalu memeluknya, mengatakan betapa dirinya bersyukur mendapatkan Aufar, anak yang tampan dan sehat. Kebisuan bukanlah kesalahannya, itu hanya takdir. Kebisuan tak akan pernah menjadi halangan papa dan mama untuk mencintainya. Papa selalu menemaninya bermain lempar bola, layang-layang ataupun bersepeda layaknya hubungan ayah dan anak yang normal. Tak jarang papa mengajak Aufar ke kantor dan dengan bangga memperkenalkan Aufar ke kolega-koleganya.
Sungguh, semua usaha luar biasa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya mengikis habis rasa rendah diri Aufar. Cinta dan kasih sayang melimpah yang didapat membuatnya merasa berharga dan bahagia. Dia tahu tidak akan diterima di sekolah biasa sehingga memilih untuk bersekolah di Sekolah Luar Biasa saat SMP. Setelah beberapa tahun, beradaptasi serta membaur dengan sesama penderita tuna wicara hidupnya sejauh ini terasa normal. Sampai dia melihat gadis itu.
***
Aufar ingat saat gadis itu memperkenalkan diri, namanya Rania, kelas 2 SMA yang memilih penjurusan IPS. Aufar ingin menghindar, dia tidak terbiasa dengan perempuan. Yah, tentu saja dia mengenal beberapa perempuan di sekolahnya, sesama manusia yang memiliki kebutuhan khusus. Dengan mereka ataupun guru-guru, tentu mudah untuk berkomunikasi karena mereka menguasai bahasa isyarat. Tapi Rania, demi Tuhan, dia seorang gadis normal. Kenapa seorang gadis yang mampu bicara, mendengar, berjalan, berlari dan melihat secara normal mau berbicara dan berteman dengannya?
Aufar merasa sangat kikuk, dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Rania. Dia tidak mau mengucapkan sepatah katapun, takut Rania akan mengerut ngeri dan langsung berlari menjauh saat mendengar cara bicaranya yang sangat aneh. Sudah cukup dia dianggap seorang weirdo saat kecil dulu. Dia tidak ingin mengulanginya lagi.
Tapi, well ini sangat aneh karena Rania tahu kekurangannya. Tahu dari mana? Oh ya, tukang foto kopi yang menjadi langganan murid-murid dua sekolahan. Gadis itu bahkan berusaha bicara pelan-pelan, menanyakan apakah dirinya mengerti atau tidak. Ya, pepatah mengatakan ketika kita mempunyai suatu kekurangan akan ada suatu kekuatan lain yang melengkapi. Aufar memiliki kemampuan untuk membaca gerak bibir dengan sangat baik. Sebuah kemampuan yang terbangun berkat usaha dan kerja keras tanpa lelah selama bertahun-tahun.
Gadis itu menarik, Aufar mau tak mau harus mengakuinya. Tidak secantik gadis-gadis di majalah yang dijual tukang koran pinggir jalan tempatnya biasa menyetop angkot. Aura gadis itu, penuh semangat…
Aufar hanya bisa terpana saat melihat gadis itu tersandung dan langsung melakukan gerakan koprol depan. Dan saat dia mengulurkan tangan untuk membantunya, dia tak pernah menyangka akan menemukan sebuah wajah yang begitu…cantik.