“Umar Masya Allah, itu kenapa darah banyak banget di baju kamu?!” Jerit mama histeris saat menyambut kepulangan kakakku dari sekolah, abang Umar.
Lelaki itu hanya meringis menahan sakit. Pelan-pelan dia membuka bajunya, menampakan luka goresan yang cukup panjang dan dalam di punggungnya.
“Abang, jangan bilang itu karena kena senar layang-layang?” Tanyaku, menahan mual melihat luka milik abang.
Abang hanya mengendikan bahu tak acuh.
“Kayaknya sih begitu, tapi tenang aja Distya, yang bikin abang begini udah dapet tonjokan di matanya kok. Dijamin besok dia enggak bisa sekolah” jawabnya santai.
Mama yang sedang menutul-nutul luka abang dengab revanol langsung menekan kasa ditangannya kuat-kuat. Abang menjerit kesakitan, persis seperti jeritan kucing yang diinjak ekornya.
“Aduh sakit mama, apaan sih?”
“Siapa ngajarin kamu main kekerasan ha? Yang kamu lukai itu anak orang!” Hardik mama sambil menjewer telinga abang.
Lagi, abang menjerit-jerit. Aku tertawa tapi juga khawatir melihat kondisi Abang.
Dadaku berdebar-debar, jangan-jangan? Jangan-jangan abang…
Ting!
Aku mendengar sebuah pesan masuk ke dalam ponsel pintarku. Jantungku berdentam-dentam saat hendak membukanya.
Maaf aku sudah bikin kamu nangis
Kasih tau abangmu kalau sekarang sudah impas
Aku hanya bisa menganga saat membaca pesan dari Arya.
***
“Heh goblok, berani betul kau bikin nangis adikku!”
Sebuah bogem melayang ke arah muka milik Arya. Arya jatuh tersungkur, matanya terasa sakit.
“Gue nggak takut sama elo. Kalau elo nanti bisa berhasil menghindari jebakan gue, baru gue akan minta maaf ke adik lo” sahut Arya sambil memegangi rahangnya yang mulai nyut-nyutan.
Badannya boleh terluka, tapi otaknya masih berjalan. Nanti, nanti dia akan menjebak Umar, pikirnya dalam hati ketika ingat masih memiliki satu gulung senar gelasan dirumah.
2 Komentar. Leave new
Abang yang baik
betul mbak, abang yang baik yang tidak suka melihat adiknya terluka