Nama itu beberapa kali muncul di beranda Facebook saya. Beliau adalah tersangka dari pembunuhan 3 anaknya. Pada saat itu dia sendiri mencoba untuk bunuh diri, namun gagal. Evy diselamatkan oleh adiknya.
Saya terhenyak. Ada sesuatu yang mengganjal, tak ada ibu normal yang melakukan itu. Pasti ada sesuatu, pasti ada sesuatu kata saya dalam hati. Saya pun mencoba melakukan pengecekan. Mbah Google membenarkan dugaan saya : Evy menderita depresi.
Evy memiliki tiga orang Anak. Berdasarkan berita yang saya himpun usia anaknya yang pertama adalah 6 tahun, yang kedua 4 tahun dan yang terakhir 4 bulan. Ya Allah, hati ini terasa seperti diremas, perih karena saya juga memiliki bayi yang usianya segitu. Saya benci melihat bagaimana media memposisikan Evy layaknya pembunuh berdarah dingin. Kejam! Jahat betul! Tak tahukah kalian, Evy itu diabaikan oleh suaminya! Evy juga dituduh selingkuh oleh suaminya! Dia tak dinafkahi! Dia diabaikan! Dia sakit karena merasa tak dicintai! Dia depresi!
Saya yakin ini hanyalah satu dari sekian banyak fenomena yang acapkali terjadi di lingkungan kita. Tentang istri yang terluka, tentang istri yang harus berjuang sendirian sedangkan suaminya melenggang santai entah kemana dan bersama siapa. Tentang istri yang menuntut hak suami agar pernikahannya diakui, agar anak-anaknya bisa mendapatkan akta kelahiran sehingga bisa bersekolah layaknya anak-anak normal lainnya.
Hei, tahukah kau bagaimana sakitnya melahirkan? Setelah perang antara hidup dan mati, para ibu pun masih harus berjuang untuk menyusui, begadang setiap malam mengatasi anak yang masih beradaptasi dengan dunia luar. Ya kalau asinya lancar, kalau tidak? Ya kalau anaknya baru satu, gimana kalau dua? Tiga? Empat? Padahal saat itu luka bekas jahitan belum sembuh sempurna. Mencuci, memasak, beberes dan mengurus anak terus menerus setiaaapppp hari.
Oh iya, selain itu tambahkan pula belenggu kemiskinan.
Jangan Lupakan kalau Evy juga harus menghadapi semua itu sendirian. SEN.DI.RI.AN.
Taka da teman berbagi. Tak ada teman yang mengerti. Taka da yang mau mengasihi dirinya. Dia haus akan perhatian yang sejak kecil tidak pernah dia rasakan karena ditinggal oleh sang Ibu dan sang nenek yang menitipkannya ke Panti Asuhan.
Bagaimana rasanya kehidupan seperti itu, kutanya padamu duhai kawan?
Getir…
Pahit…
Sanggupkah bila kamu yang diharuskan menjalaninya?
Ya Allah, betapa saya merasakan nyeri mendalam untuk Evy. Betapa saya memahami kekosongan jiwanya. Harapannya untuk dihargai, didampingi dalam suka dan duka serta dicintai sudah terhempas jauh. Hanyut bersama ketidakpedulian suaminya.
Lalu dia ingin kembali kepada si Pemberi Cinta, sang Khalik. Dia mendengar bisikan-bisikan bahwa keputusan kembali pada Sang Pencipta haruslah beserta anak-anaknya. Dia ingin berpisah dengan sesuatu yang bernama derita.
Saya berduka untuk Evy, yang merasa sial karena justru dialah yang selamat. Saya berduka untuk sesosok tubuh yang jiwanya sudah mati…
Seandainya, suami evy juga bisa diseret ke pengadilan sebagai tersangka. Sebab dialah pencetus utama depresi yang diderita evy yang kemudian mendorongnya untuk mengakhiri hidup anak-anak serta dirinya sendiri.
Hanya seandainya.
(Tulisan ini dibuat tidak untuk membenarkan perbuatan evy membunuh ketiga anaknya. Lebih karena memahami depresi yang dialami evy, alasan dibalik keputusannya untuk bunuh diri. Semoga kita selalu dilindungi Allah dan dikuatkan dalam menghadapi segala cobaanNya)
22 Komentar. Leave new
sedih..
Banget mbak..saya berduka sekali untuk beliau..
Ikut sedih melihat penderitaan Evy…
Ya Allah, kasian banget ibu itu:( tega banget suaminya
benar, dan sesungguhnya masih banyak evy2 lain di luar sana. btw, suaminya itu pemilik pondok pesantren loh, sedih ya
sedihh banget,,kasihan
betul mbak. mari kita berdoa dan support untuk evy maupun evy2 lain yang berada diluar sana
Depresi penyakit yang menakutkan.
sangat. depresi itu nyata sekali mbak
Dan tidak banyak yang mau untuk menghimpun informasi demi akurasi kenyataan vs pemberitaan. Lanjut mba!
namanya juga media, yang penting heboh dulu judulnya. padahal kalau digali lagi, si suami adalah pihak yang paling bersalah.
Masya Allah, berat memang menjadi single mother. semoga para suami banyak yang lebih mengerti tentang cinta yang mereka dapatkan.. Aku jadi terinspirasi untuk buat cerpennya mba.. keren..
kalau boleh jujur,menjadi ibu yang tidak single aja berat, apalagi yang single. Aamin, saya berharap tulisan ini menjadi refleksi bagi pasangan suami-istri. Terima kasih banyak atas supportnya mas, keep writing! salam odop
Keren, mengambil sisi yang berbeda.
Kita harus bisa menilai mbak apa latar belakangnya, bagaimana keadaan lingkungannya dan apa motifnya dan sekarang evy pasti sedih karena tidak ada anaknya lagi. Semoga kita bisa lebih peka pada lingkungan sehingga tidak ada evy2 yg lain lagi.
benar, inilah yang saya gali dari beberapa tulisan di media. Latar belakangnya yang kurang kasih sayang karena ditinggal sejak kecil, hidupnya sulit, menjadi istri siri dan lain-lain (nggak sanggup nulisnya karena terlalu menyakitkan). AaMIN, cukup hanya satu evy saja ya mbak..
Semoga Allah menguatkan dan melindungi kita semua. Semoga bu Evy terbimbing hati dan jiwanya. Sedih ?
Iya mbak, aamin ya allah. Saya pun sedih sekali ketika membaca beritanya. Makannya ini saya tulis..
Sedih bacanya. Belasan tahun yl pun ada kisah mirip spt ini. Malahan ibunya latarbelakang pendidikannya tinggi. Depresi tak memandang kaya miskin pandai atau tidak. Semoga kita semua dikuatkan ya…
Betul mbak, setuju sekali. Depresi itu nyata dan tidak pandang bulu. Semoga kita bisa saling berbagi cerita untuk menguatkan ya mbak 🙂
aku speechless baca cerita ibu Evy ini mbak. Spontan langsung pengen meluk anak2ku begitu pertama kali baca cerita ibu Evy di media…..semoga tidak ada Evy2 lain di muka bumi ini ya mbak. Amiiin….
Aamin ya allah..jangan sampai ya mbak. Terima kasih sudah berkenan mampir, membaca dan menaruh jejak. Salam ?