Postingan kali ini berbau agak serius, so watch out gaes!
Sudah beberapa hari terakhir ini saya mengalami perenungan yang cukup panjang. Saya menderita innerchild walaupun bukan dalam level yang parah. Saya pun termasuk beruntung karena berani untuk mengakui bahwa saya butuh bantuan. Jangan salah, bahkan untuk mengakui hal tersebut saja saya mesti mengalami banyak hal dulu. Begitu banyak pemikiran dan pertimbangan sebelum akhirnya diambil keputusan untuk berkata “yes, I need help”
Innerchild itu tidak menyenangkan buibu, pakbapak, mas mbak semua. Saya sangat takut serta khawatir kalau-kalau tindakan saya selama ini akan menanamkan innerchild ke anak-anak saya. Hal inilah yang mendorong saya untuk segera memutus mata rantai mimpi buruk tak terelakan itu. Sudah saatnya saya membersihkan diri dan memulai pola asuh yang baru.
Semua hal mudah untuk dikatakan, tapi tidak untuk dilakukan. Bahkan ketika saya sudah berkonsultasi serta mengalami sesi yang cukup menguras tenaga serta menjalani terapi level emosi, kadang hal-hal buruk tetap saja bisa terjadi. Saya masih saja kurang sabar, masih menganggap anak-anak sebagai beban. Saya masih belum bisa melepaskan emosi saya dengan cara yang smooth.
Terkadang, ketika hubungan saya dengan suami sedang blangsak-blangsaknya, api emosi itu semakin mudah untuk tersulut. Hal ini tentu saja menyedihkan. Coba tebak, siapa yang akan menjadi korban dari hal ini? Yak betul, anak-anak.
Setelah berkali-kali mengikuti kelas parenting dari orang yang sama, saya semakin memiliki konsep yang kuat mengenai pola asuh. Anak yang cerdas biasanya adalah anak yang bahagia. Nah, inilah titik paling penting yang harus diperhatikan : Anak yang bahagia itu muncul dari didikan Orang Tua yang Bahagia.
Bahagia.
Tugas ini terlihat simple, tapi dalam kehidupan nyata justru suliiiiittt sekali untuk diaplikasikan. Terlebih ketika ekspektasi dan kenyataan berbeda jauh, duh kebahagiaan mah jadi cuma semacam lagenda dalam ruang hampa.
Apalagi bagi saya yang menaruh keranjang kebahagiaan di tangan orang lain, yaitu suami.
Terdengar konyol kan? Saya pun males mengakui tapi mau gimana lagi, itulah faktanya. Semenjak menikah, pusat dunia saya berganti poros. Kebahagiaan bukan lagi tentang baju bermerk, nongkrong di kafe mahal atau jalan-jalan ke luar negeri.
Suami, dia adalah pusat dunia saya sekarang.
Maka benarlah apa kata bu fithrie, kalau istri adalah penyuplai cinta suami adalah si pemegang cinta. Bagaimana cara si suami menjaga dan merawat cinta itulah yang menjadi hulu dari aliran energi dalam proses membentuk anak yang bahagia.
Tak ada gading yang tak retak.
Bahkan dalam kisah cinta yang sempurna, luka itu pasti ada. Begitu pula dalam kisah saya. Dulu, duluuu sekali ketika berada di awal-awal masa pernikahan, suami pernah melakukan seauatu yang mematahkan hati saya. Sebagai orang dengan kepribadian plegmatis, dia hampir tidak menyadari itu.
Setiap istri pasti setuju, kalau orang lain bilang gendut kita tidak akan ambil pusing. Lalu bagaimana kalau kata gendut itu keluar dari mulut suami? Rasanya pasti pengen lompat ke tengah-tengah jalan tol saat itu juga. Iya kan? Ini adalah contoh betapa setiap detail kata dan perilaku suami itu memiliki efek yang luar biasa pada istri.
Kasus saya bukan tentang gendut-menggendut sih..
Kejadiannya sudah lama, sudah pernah dibahas dan dia pun sudah meminta maaf. Tapi tak disangka, cerita ini berbuntut panjang. Ternyata inilah salah satu penyebab mengapa cara saya memperlakukan si abang dan si adek dengan berbeda.
Ada luka disitu. Sebuah torehan yang tidak bisa sembuh begitu saja walau sudah lewat bertahun-tahun lamanya. Luka itu menancap di alam bawah sadar, rasa sakitnya ini yang menjadi salah satu pemicu kegarangan saya terhadap si abang.
Alhamdulillah, bersyukur sekali rasanya sampah masa lalu itu bisa keluar. Beneran lega, karena sampah itu sudah membusuk begitu lama di dalam diri ini, bercokol dan menggerogoti pikiran.
Lagi-lagi saya yakin hal ini rasanya begitu sulit untuk dipercaya tapii…saya merasakan betul perbedaannya. Selama seharian kemarin saya hampir tidak meninggikan suara ataupun merasa kesal dengan apa yang dilakukan anak-anak. Saya rasa, ini merupakan awal yang bagus untuk sebuah perubahan.
Jadi, jangan pernah, jangaaaannn pernaaahhh mengabaikan perasaanmu wahai para ibu. Dan hei kamu para Ayah, sudah peluk istrimu hari ini? Tahukah kalian kalau pelukan itu bisa meredakan kelelahan istri sampai 50%?
Nggak tahu? Yasudah sana, lakukan segera! Peluk dia, cium dia, katakan bahwa kamu cinta padanya. Maka kamu akan menerima dunia, dijamin.
Pondok Aren, 23 januari 2018
1 Komentar. Leave new