Motherhood is a lonely journey. Aku yakin kalau teman-teman pembaca yang sudah menikah dan menjadi ibu pasti bisa relate dengan kalimat tersebut.
Kalian tahu enggak kalau beberapa waktu yang lalu di Stasiun Pasar Minggu ada video yang memperlihatkan kalau seorang ibu hendak melompak ke arah rel untuk bunuh diri bersama bayinya? Aksi si ibu berhasil dihentikan tepat waktu oleh dua orang petugas.
“Biarin Pak!” kata si ibu yang menolak untuk ditenangkan oleh petugas sedangkan anaknya digendong oleh petugas yang lain. Usut punya usut, ternyata beliau ingin mengakhiri hidup karena memiliki masalah keluarga.
Aku yang menonton sekilas video tersebut merasa sedih dan sangat berempati sama si ibu. Aku enggak kenal, tapi aku bisa membayangkan seberat apa beban yang sedang ditanggungnya saat itu hingga memiliki pikiran dan bahkan hampir melaksanakan niatnya untuk pergi ke alam lain lebih dulu dengan sang anak.
Motherhood is A Lonely Journey Because We Keep Silent
Enggak ada yang memberitahuku kalau menjadi ibu tuh bakal seberat itu sampai aku terkaget-kaget. Baru juga hari pertama setelah melahirkan anak pertama dan aku sudah merasa kehilangan energi baik secara mental atau fisik.
Aku pikir, anak bayi akan anteng dan lebih banyak tidur seperti di iklan TV. Aku kira, menyusui itu cukup menjulurkan puting payudara dan si bayi akan mengisapnya. Aku pikir, setelah melahirkan aku akan baik-baik saja.
Faktanya, proses melahirkan memakan waktu yang panjang, hingga belasan jam. Kurang tidur, capek yang luar biasa, serta ditambah dengan nyeri akibat jahitan membuatku hanya ingin tidur dan bermalas-malasan seharian. Tapi aku enggak bisa. Aku harus menyusui bayi yang menangis setiap dua jam sekali, bergantian mengganti popok serta menggendongnya.
Ketika akhirnya pulang ke rumah, aku harus bersiap menyambut tamu-tamu yang datang untuk menengok. Belum lagi kalau tinggal bersama orang tua jaman dulu yang larangannya ada segudang. Mau tidur, mau makan, mau ngemil, mau ini dan mau itu semua serba dilarang. Padahal itu semua dibutuhkan agar tetap bisa bahagia saat menyusui dan mengurus bayi.
Belum lagi kalau ketika menyusui ada masalah, mulai dari payudara bengkak, asi enggak keluar, lecet, berdarah, mastitis. Iiih ya ampun, banyak banget pokoknya yang harus diadepin sama ibu baru tuh. Namun, di saat yang bersamaan, kok rasanya enggak enak kalau terus-terusan ngeluh sama suami yang sama-sama capek.
Akhirnya, semua rasa sakit, lelah, stress, enggak berdaya, bingung, pusing, dan semua emosi negatif lain ditelan sendiri bulat-bulat. Waktu itu, aku enggak tahu kalau memendam atau mengalihkan perasaan itu berbahaya. Soalnya kalau ditumpuk, lama-lama bisa meledak.
Bentuk ledakannya pun macam-macam. Bisa yang nanti jadi baby blues atau malah PPD (Post Partum Depression), kepengen bunuh diri, menyakiti diri sendiri, sering lepas kontrol, dan masih banyak lagi. Intinya, kesehatan mental ibu jadi terganggu.
Saat ini, isu tentang kesehatan mental memang semakin masif dibicarakan di ruang-ruang publik. Tapi di desa-desa atau tempat-tempat terpencil sana, stigma bahwa ibu yang mengeluh capek merupakan ibu yang enggak bersyukur masih melekat sangat erat.
I Write to Express My Feeling, to Share My Story, and to Keep My Sanity
Dulu jaman Facebook lagi hangat-hangatnya, aku cukup sering menulis tentang rasanya menjadi ibu. Bentuk tulisannya bervariasi, kadang murni ngeluh, kadang bertanya, kadang posting foto supaya enggak hilang, kadang sekedar ingin cari perhatian karena suami cuek-cuek saja.
Sampai akhirnya aku ketemu sama Mbak Yeni Sovia (ceritanya aku post di sini) dan berkenalan dengan aktivitas blogging. Ternyata, menulis di blog itu lebih leluasa dibanding di sosial media. Lebih mudah dicari, diarsipkan, dan di share kemana-mana.
Yaudah deh, akhirnya kalau misal gatel pengen beropini panjang karena ada satu kejadian, alih-alih nulis di sosmed aku biasanya memilih untuk posting blog aja. Begitu juga ketika aku merasa butuh mengeluarkan uneg-uneg di dalam hati.
Bulan Agustus lalu misalnya, aku mengalami kejadian yang bikin mewek dalam minggu pertama LDM. Supaya enggak stress karena tersimpan di kepala, aku pun mengeluarkannya dalam tulisan dan jadilah sebuah postingan blog pengalaman LDM. Tulisan ini aku share di medsos dan langsung dibaca puluhan orang. Link postingannya ada di bawah ini.
Baca Juga : LDM alias Long Distance Marriage Story
Selesai menulis, entah kenapa pikiranku jadi lebih plong. Urat-urat leher yang tadinya kaku lebih lemes, terus aku bisa ketawa dan senyum-senyum lagi. Padahal sebelum menulis tuh aku bete banget dan ngerasa seisi dunia lagi memusuhiku.
Lebih serunya lagi, ada banyak yang menanggapi tulisan tersebut di DM instagram ataupun langsung di postingan blog-nya. Ya ampun, dapat komentar organik tuh rasanya sungguh membahagiakan! Mood berubah ceria.
Mengekspresikan perasaan lewat tulisan buatku adalah sarana healing terbaik kedua setelah nangis-nangis di ujung sajadah. Sadar enggak sih kalian, kalau ketika menulis di blog atau jurnal pribadi, kita bisa menjadi sangat jujur bahkan pada perasaan negatif. Aku sendiri selalu berusaha untuk tidak berpura-pura, misal kesel ya tulis kesel, misal sedih ya aku akan menuliskan kesedihanku.
Ketika sedang negatif banget, aku bisa menulis tanpa edit. Bablas terus mengeluarkan semua kata-kata yang tersimpan di kepala sampai akhirnya jari-jariku capek sendiri. Setelahnya aku istirahat ambil nafas dan entah kenapa ada rasa bebas serta lega yang memenuhi dada. Enggak salah sih kalau ada yang bilang kalau menulis bisa juga menjadi cara meregulasi emosi.
Anyway, kalau aku cek google search console, tulisan yang paling banyak dibaca justru tulisan organik. Salah satunya cerita tentang gendang telinga Aylan yang nyaris pecah. Hingga sekarang, aku masih sering mendapat email dari orang-orang yang ingin bertanya lebih jauh.
Ada perasaan syukur yang muncul di setiap email atau ketukan DM yang datang gara-gara postingan blog. Tidak sia-sia rasanya aku menghabiskan waktu untuk menulis karena bisa membantu orang lain yang membutuhkan informasi, atau malah jadi menenangkan mereka yang panik.
Rasa syukur ini, merupakan rasa yang juga dibutuhkan untuk healing. Membuatku merasa berharga serta membuatku merasa ada. Menyingkirkan emosi atau pikiran negatif lainnya.
Tulisan paling epic yang pernah kubuat mungkin adalah postingan berjudul “When Love Hurt Your Heart“. Aku menulisanya selama seminggu, berhenti sesekali untuk menangis atau merenung. Maklum, di tulisan itu aku membuka luka serta borok masa lalu di masa awal pernikahan.
Jika sebelum tulisan itu jadi, aku suka tiba-tiba ke-trigger untuk marah-marah dan nangis karena inget masa lalu, setelahnya aku bisa bercerita dengan nada suara dan emosi yang biasa. Enggak lagi terpancing untuk sedih atau kesal karena ya, sudah berlalu.
Aku rasa aku jadi bisa memaafkan perilaku keliru suami di masa lalu dalam proses menuliskan postingan tersebut. Lalu entah gimana ceritanya, begitu aku memaafkan, perlahan-lahan aku sudah “menyembuhkan” diri sendiri. No more hurt feeling.
Motherhood is A Lonely Journey, So Please Write Your Story!
Begitulah, lewat penglaman-pengalaman di atas aku jadi berpikir bahwa menulis merupakan aktivitas yang sangat powerful. Coba bayangkan, andai si ibu yang aku ceritakan di awal tulisan ini memiliki kesempatan untuk duduk dan menulis dengan media apapun, tentang perasaan marah, kesal, kecewa, dan sakit hatinya, mungkin…mungkin beliau bisa jadi berhenti berpikir untuk bunuh diri.
Aku jadi enggak heran kalau banyak psikolog yang menyarankan journaling kepada pasien-pasiennya yang menderita depresi atau stress. Menulis jurnal di malam hari tentang apa saja yang terjadi hari ini, bagaimana kejadiannya, apa yang kita rasakan, secara langsung membuat kita bisa menganalisis diri.
Aku sendiri ketika sudah selesai menulis dan membaca ulang, meski sepahit apapun, tetap bisa menemukan sesuatu untuk disyukuri dan dirayakan. Perasaanku menjadi lebih baik, tidur lebih nyenyak, dan tentu saja jadi lebih siap menyambut esok hari.
Jadi, jangan diam ya bund. Sampaikan semua perasaanmu lewat tulisan. Karena menulis itu menyembuhkan.