Tidak pernah terbayang sedikitpun. Bahkan secuilpun, kalau aku akan didapuk menjadi ketua komite sekolah di tempat anakku belajar di tahun ajaran 2022-2023 ini.
Semua terjadi gara-gara mulut besarku yang tidak berhenti bicara menyampaikan ide-ide kegiatan yang aku rasa bagus untuk diselenggarakan di sekolah selama setahun ke depan. Saat itu, aku memang mengutarakannya di tengah rapat koordinasi bersama koordinator kelas dari kelas 1 sampai kelas 6.
Aku rasa, ibu-ibu yang ada di sana beserta kepala sekolah dan perwakilan guru cukup terpukau dengan masukanku. Ketika sadar bahwa aku sudah terlalu banyak bicara, perasaan tidak enak dan was-was langsung menyergap. Benar saja, waktu voting dilakukan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi ketua komite, namaku muncul paling banyak.
Oh Tidaakkkk!
Aku shock berat. Saking enggak bisa mencerna kenyataan bahwa hampir 90% ibu-ibu menulis namaku, aku pun enggak bisa memberikan sambutan meski hanya sepatah dua patah kata. Dalam hati aku panik luar biasa. Aku sadar kalau menjadi ketua komite sekolah, yang merupakan perwakilan orang tua murid dari kelas 1 sampai 6 itu tugasnya sangat berat.
Selama ini, aku jarang sekali pergi ke sekolah kalau bukan untuk sekedar mengantar anak atau mengambil raport di akhir semester. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk mengurus anak nomer dua dan tiga, menulis, beberes, nonton turnamen badminton, dan juga nonton drakor.
Pacaran Sehat Ala Aku : Nonton Badminton di Istora
Didapuk menjadi ketua komite mengharuskanku untuk lebih banyak datang ke sekolah bukan sih? Aduh, membayangkan harus sering-sering menempuh jarak hampir 8km ke sekolah sekali jalan, terutama pada siang hari membuatku berkeringat dingin dan lemas. Apalagi tugas ini juga harus dilakukan secara sukarela alias gratis, makin loyo-lah aku, huhuhu.
Pada akhir acara, orang-orang tersenyum sangat manis sambil mengucapkan selamat kepadaku karena mendapatkan jabatan ketua komite. Aku tentu saja membalas dengan senyum yang tak kalah manis meski dalam hati meringis, hahaha.
Lika-Liku Menjadi Ketua Komite Sekolah
Meski awalnya memang bukan sesuatu yang diharapkan, tapi semuanya sudah qadarullah. Allah sudah menakdirkan demikian sehingga mau tidak mau, suka tidak suka aku berusaha menerima tugas baru ini. Toh aku enggak sendirian. Bersama Mama N sebagai sekretaris dan Mama S selaku bendahara, kami akan mencoba menjadi tim yang solid.
Usut punya usut, ternyata kami bertiga merupakan ibu yang cukup sibuk di rumah dan agak jarang ke sekolah kecuali untuk urusan antar-jemput. Aku pribadi malah lebih jarang lagi karena sesungguhnya si abang ini diantar ayahnya dan pulang dijemput ojol. Jadilah kami sepakat untuk lebih banyak berkoordinasi secara online lewat WA, Voice Call Group atau Video Call Group.
Pokoknya setiap ada pekerjaan seperti membuat rencana kerja dalam setahun, rencana anggaran, atau rapat tim untuk event, kami melakukannya secara online. Sesuatu yang dimaklumi saking jarangnya kami bisa ketemu langsung di sekolah.
Pengecekan berkas, pembuatan pengumuman, sampai aktivitas belanja kebutuhan acara yang menjadi agenda komite disampaikan di grup WA. Berhubung kami bertiga emak rumahan, urusan belanja pun dilakukan di marketplace agar barangnya bisa diantar langsung ke rumah. Lumayan, kami jadi tidak perlu repot keluar, hihihi.
Tapi beneran deh, kami bertiga tuh sebetulnya sering merasa enggak cocok jadi komite sekolah. Habisnya kami merasa lebih nyaman di rumah saja. Kalau dirunut ke belakang, kami baru berkumpul tatap muka biasanya H-1 atau H-2 penyelenggaraan acara.
But you know what? Itu adalah sesuatu yang sangaaaaaaattt aku syukuri. Alhamdulillah, jebul hal-hal yang aku takutkan enggak terlalu banyak terjadi. Kekhawatiranku bahwa tugas-tugas komite akan membuat waktu untuk nonton drakor hilang tidak terwujud.
Well, Tentu saja dalam menyusun sebuah agenda dan melaksanakannya terdapat halangan dan rintangan. Tapi setidaknya, tim yang aku miliki bisa diajak kerja sama sehingga sampai detik ini, 90% agenda bisa terlaksana.
Jujur aku cukup takjub karena kinerja kami bertiga terbilang efektif. Padahal kami ini 90%-nya terhubung secara daring dan hanya 10% saja yang bisa bertemu tatap muka. Kayak WFH gitu loh.
Aku sendiri berasumsi bahwa kinerja kami bisa dibilang cukup baik justru karena jarang diburu-buru wajib ketemu. Biasanya di grup WA, kami berdiskusi cukup santai. Siapapun boleh menjawab ketika waktunya sudah longgar. Terus ketika butuh koordinasi cepat, kami bertiga teleponan.
Kami paham kalau jaman sekarang tuh segala pengaturan bisa dilakukan secara online dulu. Jadi kami ya tetap bisa mencuci baju, ngepel, bahkan nyetrika sambil bahas rencana kegiatan komite sekolah.
Endingnya, pekerjaan rumah selesai, pekerjaan untuk agenda sekolah juga beres. Apalagi kami bertiga sejauh ini bisa saling back up sehingga tidak terlalu stress juga. Meski ya sebagai ketua aku tetap memiliki tanggung jawab paling besar, setidaknya aku tahu anggota timku selalu setia mendukung.
Menjadi Jembatan Bagi Orang Tua Yang Ingin Fasilitas Sekolah Ditambah Ke Pihak Yayasan
Ini dari tadi aku ngoceh melulu tentang komite sekolah. Tapi sebetulnya udah pada tahu belum sih komite sekolah itu apa? Jadi, ini adalah semacam badan yang dibentuk secara resmi sebagai perwakilan orang tua untuk berkomunikasi dengan pihak sekolah maupun Yayasan.
Misal orang tua ada keluhan A atau masukan B yang terkait dengan fasilitas atau program, bisa disampaikan ke komite terlebih dahulu. Komite akan menampung dan menyampaikannya ke sekolah. Namun selain itu, komite juga wajib punya program sendiri yang melibatkan anak-anak maupun orang tua.
Nah, sejak awal tahun ajaran baru 2022-2023 kemarin, orang tua mengeluhkan ketidakberadaan fasilitas sekolah seperti AC, jalanan yang berpasir, serta hal-hal lainnya. Keluhan ini tentu menjadi concern bagi komite sekolah.
Sekilas informasi tentang sekolah anakku, sesungguhnya sekolah ini dibangun dengan semangat go green. Hal ini dibuktikan dengan kelas-kelasnya yang luas serta dilengkapi dengan jendela besar sehingga sirkulasi udaranya cukup bagus. Setiap kelas juga sudah dilengkapi dengan kipas di bagian langit-langit untuk menambah kesejukan. Sekolahnya punya kebun dan beberapa hewan peliharaan.
Namun sayangnya, perubahan iklim memang membuat suhu semakin naik. Banyak anak mengeluhkan ruang kelas yang terasa pengap dan panas di siang hari. Mereka jadi lebih mudah berkeringat dan akhirnya menimbulkan bau tidak sedap.
Guru-guru yang bertugas mengajar di waktu siang sampai menyarankan anak-anak untuk memakai parfum. Ini adalah solusi pendek melawan aroma tubuh anak-anak yang tidak enak.
Aku mengamini hal ini. Aku bahkan menolak untuk memeluk atau mencium si abang saat dia pulang sekolah. Pokoknya dia harus ganti baju, cuci tangan, cuci kaki dulu baru aku mau cium saking baunya. Baju sekolahnya pun wajib direndam pewangi supaya aroma tidak sedap tersingkir.
Ini baru anakku saja loh. Baru satu anak. Sungguh enggak terbayang perjuangan bapak dan ibu guru yang harus mengajar sambil mencium bau badan belasan anak yang keringatan. Di dalam ruang kelas yang terasa panas.
Orang tua murid pun menyatakan hal yang sama. Mereka menerima keluhan anak-anak yang menjadi tidak bisa konsentrasi belajar karena gerah dan badan yang terasa lengket. Bahkan, ada anak yang alerginya kambuh, gatal-gatal dan akhirnya jatuh sakit sehingga tidak bisa sekolah.
Orang tua murid sejak awal tahun ajaran sudah memberi masukan agar kelas dipasang AC sebagai solusi utama. Aku, Mama N, dan Mama S sebagai komite juga sudah berulang kali menyampaikan masalah ini ke kepala sekolah.
Ternyata, kepala sekolah juga sudah mencoba menyampaikan kepada Yayasan. Akan tetapi, karena ini menyangkut fasilitas yang membutuhkan dana besar, pihak Yayasan tidak bisa memutuskan dengan mudah.
Entahlah, aku merasa masalah AC ini pelik banget karena betul-betul stuck di tengah jalan. Aku paham sebagai sekolah swasta, pihak Yayasan tidak bisa sembarangan menambah fasilitas. Apalagi seperti AC yang membutuhkan biaya listrik yang harus dibayar tiap bulan dan perawatan. Tapi aku juga sependapat dengan orang tua murid kalau AC harus diadakan supaya kegiatan belajar mengajar bisa berjalan dengan optimal.
Pada masa-masa stuck itu, aku merasa terjepit. Ada satu momen dimana aku mengantar dan menemani si abang ke sekolah untuk berangkat outing. Di sana, puluhan ibu-ibu lainnya juga ikut mengantar. Aku mengambil posisi berdiri agak mojok supaya tidak terlihat karena khawatir diajak ngobrol sama mama lain yang membahas tentang AC, hahaha.
Lebay bingit emang, tapi aku beneran enggak nyaman loh waktu itu. Lha gimana, komite juga enggak bisa berbuat banyak karena bukan pemegang keputusan kan? Meski semua masukan sudah berkali-kali disampaikan.
Aku memutar otak, memikirkan gimana caranya supaya masalah ini tidak berlarut-larut. Gimana caranya supaya baik orang tua murid maupun pihak Yayasan menemukan solusi terbaik. Gimana caranya masalah ini selesai tanpa aku perlu mencari penjual jubah Harry Potter yang membuat pemakainya seolah menghilang, wkwkwk.
Dan alhamdulillah, akupun menemukannya.
Aku bertanya pada anggota komite yang lain tentang ide untuk membuat angket atau survey online atau apapun itu sebutannya. Nanti, survey/angket ini akan berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai fasilitas apa saja yang dibutuhkan sekolah untuk menunjang kegiatan belajar anak. Orang tua murid tinggal mengisi dan memberikan masukannya.
Aku berpikir bahwa harus ada wadah yang betul-betul bisa menampung semua aspirasi orang tua. Mengadakan acara tatap muka itu sulit dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pun belum tentu bisa langsung berhasil saat itu juga. Mendengar ide ini, anggota komite lain setuju dan merasa bahwa itu adalah ide yang bagus.
Selanjutnya, aku menyampaikan ide ini kepada sekolah sekaligus meminta ijin. Aku sampaikan bahwa angket/survey ini akan disebar serta wajib diisi oleh semua orang tua murid. Agar lebih efektif dan mudah pengaturannya, angket/survey tersebut dibuat menggunakan Google Form yang disebar secara online oleh koordinator kelas masing-masing.
Hasil pengisian Google Form toh bisa diakses secara realtime. Aku jadi tidak perlu melakukan penghitungan secara manual lagi karena hasilnya sudah otomatis tersaji dengan detail. Nantinya, ketika minimal 90% orang tua sudah mengisi, hasil survey/angket tersebut akan dicetak dan diserahkan kepada Yayasan.
Ada dua goals yang aku harapkan terjadi. Pertama, orang tua berkenan menulis masukan serta keluhan secara jelas dan santun. Di dalam angket aku berencana memberi kebebasan kepada orang tua untuk menulis apapun yang ingin disampaikan. Rasanya, sesuatu yang ditulis itu lebih mudah dipahami dan diingat oleh pembacanya.
Goals yang kedua, aku berharap Yayasan berkenan membaca laporan lengkap dari survey/angket yang disebar. Harapannya, mereka jadi tahu apa saja suara hati orang tua murid yang menyekolahkan anaknya di sini. Selain itu, hasil survey/angket tersebut juga bisa menjadi acuan Yayasan dalam memilih fasilitas mana dulu yang jadi prioritas untuk ditambah atau diperbaiki.
Anyway, menyebar form secara online jelas amat praktis dari segala sisi. Aku tidak perlu menghabiskan ratusan lembar kertas dan tinta. Waktu yang dibutuhkan juga lebih sedikit karena hasilnya sudah ada dalam bentuk grafik yang mudah dipahami. Terus yang paling utama nih, orang tua murid jadi tidak bisa menolak mengisi dengan alasan survey/angketnya hilang terselip entah kemana.
Sampai di sini, Kepala sekolah juga menganggap bahwa hal tersebut merupakan masukan yang bagus. Beliau memberikan lampu hijau dan mendukung agar rencana itu dilakukan sesegera mungkin.
Pelaksanaan Rencana
Meski sudah dapat dukungan dan ijin, proyek survey/angket yang aku rencanakan tidak bisa langsung boom jadi begitu saja dong. Aku menjapri masing-masing koordinator kelas dan meminta kepada mereka untuk bertanya kepada orang tua murid, fasilitas apa yang sangat mereka inginkan ada atau butuh diperbaiki.
Keesokan harinya feedback dari para koordinator kelas berdatangan. Aku baca satu persatu dan menuliskannya di selembar kertas. Masukan dari mereka nantinya akan aku bentuk menjadi pertanyaan. Setelah selesai, aku pun mulai membuat survey/angket dengan Google Form.
Ketika berada di depan layar, aku menyadari bahwa ternyata membuat pertanyaan dalam sebuah survey/angket tidak semudah itu. Tidak segampang mengisinya yang tinggal satset-satset Ferguso. Aku harus membuat pertanyaan yang simple tapi sesuai dengan tujuan, dan itu cukup sulit.
Supaya enggak bingung, aku googling. Berselancar di dunia maya melihat berbagai contoh pertanyaan dalam sebuah survey/angket. Aku butuh tahu, bentuk pertanyaan yang seperti apa yang cocok dengan survey/angket ini. Setelah beberapa lama, barulah aku berani untuk membuatnya.
Pertanyaan pertama yang aku tulis tentu saja mengenai AC, sesuatu yang menjadi kebutuhan anak-anak. Pertanyaan selanjutnya adalah tentang kesediaan orang tua untuk menerima jika sekolah memutuskan biaya SPP meningkat terkait dengan pengadaan AC. Sebuah pertanyaan yang jawabannya sangat dibutuhkan oleh pihak Yayasan dan Sekolah.
Pertanyaan ketiga berisi pilihan nominal biaya kenaikan yang dirasa wajar jika AC terpasang. Ini pertanyaan penting agar orang tua murid bisa menghitung kemampuan mereka. Di sisi lain, pihak sekolah maupun Yayasan punya acuan berapa nominal kenaikan yang pantas jika AC betulan dipasang.
Terdapat 26 pertanyaan yang aku buat di dalam survey/angket tersebut. Ada yang berupa pilihan, namun ada juga yang berupa uraian.
Begitu jadi, aku mencoba melempar form tersebut ke grup yang berisi anggota komite dan juga koordinator kelas. Aku butuh bantuan dari mereka untuk mengecek, apakah survey/angket tersebut sudah sesuai atau barangkali ada yang perlu dikurangi atau ditambah. Aku juga bertanya hal yang sama ke Kepala Sekolah.
Setelah semua pihak menyatakan bahwa form tersebut sudah memuat pertanyaan dan mengakomodasi keinginan oprang tua, barulah aku menyebarkannya. Sebelumnya, aku juga membuat peraturan bahwa survey/angket tersebut memiliki jangka waktu pengisian selama 1 minggu.
Long short story, survey tersebut beneran diisi sama 90% orang tua murid loh. Betul-betul sesuai target, hahaha. Terus setelahnya aku mengolah data dan menyusunnya di sebuah file agar nyaman dibaca. Hasil survey sementara masih bersifat rahasia sampai komite sekolah bisa bertemu dengan pihak Yayasan dan Sekolah untuk membahasnya.
Duduk Bareng & Jawaban Pihak Yayasan
Aku mengabari Kepala Sekolah kalau hasil survey/angket sudah jadi dan siap untuk dibahas bersama pihak Yayasan. Beliau pun segera mengontak Yayasan dan membuat janji temu. Akhirnya dalam jangka waktu yang cukup cepat pasca survey/angket dilakukan, aku dan teman-teman komite untuk pertama kalinya akan bertemu dengan Yayasan.
Kalau ditanya deg-degan atau enggak, tentu saja aku berdebar-debar lah. Misi yang aku bawa ini penting banget. Pundakku aja kerasa berat saking besarnya beban yang harus kugendong, wkwkwk. Hal yang sama dirasakan oleh Mama S dan Mama N, soalnya memang kami bertiga yang akan menghadap.
Akhirnya pertemuan pun tiba. Aku membawa print out hasil survey dan menyerahkannya kepada ibu ketua Yayasan. Aku agak kaget karena ternyata, ketua Yayasan sekolah si abang adalah seorang ibu yang terlihat cantik dan professional. Beliau bahkan sangat asyik untuk diajak ngobrol.
Pada momen tersebut, kepala sekolah dan ketua pelaksana harian sekolah juga hadir dan turut membawa print out hasil survey/angket. Kami membahas dengan sangat nyaman dan terukur karena punya pegangan. Apa yang aku dan teman-teman komite lain sampaikan kepada Yayasan pun berdasarkan apa yang tertulis di dalam lembar hasil.
Hasilnya sendiri, 98% orang tua murid setuju AC dipasang, bersedia membayar jika SPP naik, dan nominal kenaikan yang paling banyak dipilih adalah 50 ribu rupiah. Ini adalah hasil yang bagus dan sangat meyakinkan.
Setelah sekitar 1,5 jam saling menyimak penjelasan dari pihak komite dan sekolah, akhirnya Yayasan memberi keputusan : permintaan pemasangan AC di setiap ruang belajar SD diterima. Yayasan akan segera membeli dan melakukan proses pemasangan dalam jangka waktu paling lambat satu minggu setelah pertemuan.
Aku, Mama N, dan Mama S sempat melongo sebentar sebelum akhirnya mendesah lega saat mendengar penjelasan ibu ketua yayasan. Bahkan tidak hanya AC, jalan depan sekolah pun akan segera diperbaiki agar orang tua dan anak-anak merasa nyaman.
Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah. Detik itu aku merasa punggungku jadi terasa sangat ringan seolah beban berat yang sebelumnya menggayuti sudah terangkat. Kami bertiga mengusap muka sambil mengucapkan alhamdulillah karena kerja keras membuat survey/angket ini membuahkan hasil yang sangat positif.
“Terima kasih banyak ya sudah membuat laporan ini. Ini saya pegang supaya menjadi acuan Yayasan untuk perbaikan fasilitas. Saya jadi benar-benar tahu apa keinginan dan masukan orang tua lewat hasil ini” Kata ibu ketua Yayasan sambil menunjuk print out hasil survey/angket kami.
Kami tentu saja mebolehkannya, sangat senang malah karena tujuan pembuatan laporan tersebut telah tercapai dengan maksimal.
Berawal Dari Survey Online, Akhirnya Anak-Anak & Guru Bisa Melakukan KBM Dengan Nyaman
Aku berterima kasih kepada pihak Yayasan karena tidak sampai seminggu, AC sudah terpasang di ruang kelas. Informasi ini aku dapatkan dari orang tua murid yang mengantarkan anaknya hingga ke dalam kelas.
Setelah pertemuan tersebut, aku sempat dipanggil Kepala Sekolah untuk urusan lain. Ketika kami mengobrol, beliau mengucapkan terima kasih bahkan memuji komite sekolah yang begitu cemerlang dalam membuat survey/angket online sehingga Yayasan setuju untuk memasang AC di kelas.
Aku tersipu malu, wkwkwk.
Selama ini masukan mengenai AC menjadi berhenti karena tidak ada medium yang mempertemukan kebutuhan keduanya. Padahal bisa ajdi, visi dan misi orang tua murid, sekolah, dan Yayasan itu sama. Ingin yang terbaik untuk anak-anak.
Melalui survey/angket online yang kubuat, aku pikir orang tua murid menjadi lebih lega karena sudah menuliskan semua ganjalan mereka terkait fasilitas atau program. Terus karena ditulis, jadinya tidak mudah hilang atau dilupakan. Tercatat.
Sebaliknya, pihak Yayasan juga lega karena masukan yang didapat lewat tulisan itu terasa lebih nyaman untuk diresapi. Lebih mudah diingat juga sehingga mereka bisa memetakan rencana kerja Yayasan sesuai keinginan dan kebutuhan dua belah pihak.
“Tahu enggak Mam, kalau kemarin anak-anak ngeluh kepanasan, sekarang mereka bilangnya dingin dan segaar di kelas!” kata kepala sekolah dengan semangat. “Alhamdulillah karena sudah pasang AC, bulan puasa nanti anak-anak dan guru juga bisa belajar dengan nyaman.” Lanjutnya.
Aku tersenyum dan menanggapi laporan beliau dengan kebahagiaan yang sama. Tidak pernah kusangka, angket/survey yang aku buat, sebarkan, dan olah secara online bisa membawa impact ke dunia nyata. Bahkan bisa menjadi jembatan yang menghubungkan kepentingan kedua belah pihak.
Internet Adalah Kunci
Dipikir-pikir, kayaknya aku itu kepikiran untuk bikin survey/angket online karena punya akses terhadap terhadap internet di rumah. Sebagai penulis konten lepas yang kerjanya dari rumah, internet adalah kunci.
Tanpa internet, aku mungkin bakal kesulitan untuk melakukan rapat secara online bersama mama-mama komite sekolah yang lain. Tanpa internet, aku akan kesulitan membuat pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dan ‘ngena’. Tanpa internet, angket/survey itu enggak akan bisa aku sebar secara online. Pokoknya tanpa internet (dan kemudahan dari Allah pastinya), masalah pengadaan AC di sekolah tetap akan menjadi sebuah masalah.
Disadari atau tidak, keberadaan internet memang membuat hidup kita menjadi lebih mudah dan praktis. Segala aktivitas sehari-hari enggak bisa lepas dari internet. Sekedar menjemput anak aja aku pesannya ojek online, hahaha.
Internet tak ubahnya menjadi medium yang mampu mengubah ide menjadi sebuah karya nyata.
IndiHome, Internet yang Menemani Tugasku Menjadi Ketua Komite Sekolah
Ketika memutuskan untuk membeli rumah di Cisauk, Tangerang, salah satu pertanyaan yang aku ajukan pada developer adalah, “Di sini bisa pasang IndiHome kan?”
Pertanyaan yang rasanya konyol tapi jawabannya jadi penentu, hahaha. Gimana ya, aku merasa mati gaya, tidak sanggup harus melewati hari-hari tanpa ada internet yang stabil di rumah. Tahun 2019, Cisauk menjadi suatu daerah yang tidak begitu dikenal soalnya.
“Tenang bu, sudah ada jaringan IndiHome di sini. nanti begitu rumahnya jadi, ibu bisa langsung pasang.” Jawab pihak developer bangga. Hihihi, memang harus diakui kalau keberadaan IndiHome itu bisa membeli nilai lebih pada lokasi suatu property kok.
Akhirnya aku jadi membeli rumah di situ dan pindah begitu rumahnya jadi di bulan September 2019. Dalam masa pindahan, suami juga langsung mendaftar layanan IndiHome agar aku tidak stress di rumah.
Maklum, waktu itu cluster tempat aku tinggal masih dalam proses pembangunan. Jalanan bahkan masih berbentuk tanah dan ada belasan rumah yang belum dibangun. Penghuni cluster baru ada 5 orang saja. Tapi aku enggak peduli sih, selama ada jaringan IndiHome insya Allah hidupku aman, hahaha.
Anyway, dihitung-hitung berarti aku sudah berlangganan IndiHome hampir 5 tahun. Kalau diibaratkan usia anak, mungkin sedang lucu-lucunya deh. Mana hubungan kami juga mirip-mirip kayak ibu dan anak gitu. Ada sukanya, ada sebelnya, tapi selalu sayang dan butuh.
Sebelnya itu kalau ada kendala koneksi. Tiba-tiba lampu indikator berubah merah dan jaringan hilang begitu saja. Apalagi kalau kejadiannya saat lagi bekerja. Kalau sudah begini, biasanya aku tinggal lapor aja lewat call center atau kontak lainnya yang tersedia. Enggak berapa lama, petugas sudah datang untuk melakukan pengecakan dan perbaikan.
Kok aku bisa tahu? Soalnya tiang IndiHome ada di samping rumahku banget jadi aku jelas tahu semisal teknisi datang. Para teknisinya pun sopan-sopan. Waktu aku dan beberapa warga keluar, mereka mengucapkan permintaan maaf dan ijin melakukan perbaikan.
Percaya atau enggak, hal-hal kayak gini tuh bikin pelanggan ngerasa lebih ayem meski ada masalah. Kayak rela aja kalau selama beberapa waktu ke depan aku enggak bisa akses internet untuk sementara. Setidaknya aku tahu, IndiHome bekerja keras untuk memperbaiki layanan, bukan yang meninggalkan begitu saja.
Ini sebabnya meski semakin lama semakin banyak tawaran dari provider internet yang hadir, aku tetap setia sama Internet Provider dari Telkom Indonesia. Cara mereka menghandle masalah udah oke, apalagi ada tambahan fasilitas untuk langganan Disney yang cucok meong sama anak-anak.
Oh iya, pada saat pandemi kemarin suami juga menambah layanan. Dia ingin upgrade kecepatan karena pemakai internet di rumah makin banyak. Dalam satu waktu ada 3 orang harus melakukan zoom meeting buat sekolah dan bekerja. Prosesnya mudah sekali dan layanan langsung bisa kami rasakan.
IndiHome pula yang selalu mendukung dan membersamaiku selama menjadi ketua komite sekolah sejak bulan Juli 2022 yang lalu. Ada belasan program yang sudah terlaksana dengan baik, dan satu program menanti yaitu End Year. Setelahnya aku akan turun tahta dan posisi ketua komite sekolah akan diganti mama lainnya. Sesuatu yang amat aku tunggu-tunggu, enggak sabar, haha.
Terima kasih banyak ya IndiHome sudah menjadi perangkat pendukung dalam mewujudkan mimpi orang tua murid dan anak-anak untuk memiliki fasilitas terbaik di sekolah. Anakku tidak lagi mengeluh panas dan dia lebih enak dicium meski belum ganti baju.
Percayalah kalau sekarang, setiap melihat AC yang terpasang di setiap ruang kelas di sekolah si abang, aku akan selalu ingat pada jaringan internet kuat dan terbaik dari IndiHome. Insiprasi utama dari survey/angket online yang mampu menjadi jembatan antara orang tua murid, sekolah, dan Yayasan.