Nabi Yusuf merupakan putra dari Nabi Yaqub, memiliki saudara yang jumlahnya 11 orang dengan Benjamin sebagai adik yang paling disayangi. Suatu hari, Yusuf kecil bermimpi melihat matahari, bulan, dan bintang yang berjumlah 11 bersujud kepadanya.
Yusuf menceritakan tentang mimpi tersebut ke ayahandanya. Nabi Yaqub pun akhirnya menyadari kalau putranya inilah yang akan melanjutkan tugas kenabian. Agar tidak menimbulkan rasa dengki, Nabi Yaqub berpesan kepada Yusuf agar tidak menceritakan mimpi tersebut kepada saudara-saudaranya.
Cerita selanjutnya kita sudah tahu, saudara-saudara Yusuf hendak membunuhnya, namun berakhir dengan memasukkannya ke dalam sebuah sumur. Kemudian mereka pulang dengan membawa pakaian Yusuf yang sudah dilumuri darah kambing untuk memalsukan berita.
Tinggalah Yusuf sendirian, di dalam sumur yang dingin dan gelap. Tak pernah ia bayangkan kalau saudara-saudaranya akan begitu tega untuk menyingkirkannya. Namun Yusuf tak pernah berhenti meminta pertolongan Allah.
Hidup Nabi Yusuf selanjutnya tak mudah. Meski selamat ia diperjualbelikan sebagai budak, digoda oleh istri tuannya, serta dijebloskan ke dalam penjara.
Namun, roda kehidupan berputar. Allah berikan Nabi Yusuf kemampuan untuk menafsirkan mimpi, hingga dirinya bisa menafsirkan mimpi Sang Raja. Nama baiknya yang rusak kemudian dipulihkan dan dia bebas dari penjara. Tidak hanya itu, Nabi Yusuf pun diangkat menjadi bendahara. Hidupnya yang dulu sulit, kini menjadi mudah dengan posisi terhormat.
Lalu tibalah kesempatan itu. Saat dimana saudara-saudaranya yang dulu begitu kejam, datang menghadap hanya untuk meminta makanan yang akan ditukar dengan barang-barang. Mereka tidak tahu kalau orang yang mereka hadapi adalah sang adik yang dulu ditinggalkan ke dalam sumur.
Saat pertama kali membaca cerita Nabi Yusuf, aku merasa kalau beliau mau marah-marah dan menghukum semua saudaranya yang membuat dia menderita, adalah sesuatu yang wajar. Namun, Nabi Yusuf tidak melakukan itu. Beliau memaafkan semua saudaranya.
Memaafkan Itu Sulit
Kalian bisa enggak kayak Nabi Yusuf? Kalau aku nih, jujur ya, sampai saat ini belum bisa. Ada hal-hal yang bisa dengan mudah aku maafkan sampai lupa. Tapi ada juga beberapa sikap serta tindakan orang lain yang membuatku begitu terluka, berdarah-darah, bahkan masih membekas hingga kini meski kejadiannya sudah lama.
Dulu, aku pernah mendapatkan perlakuan yang menyakitkan. Intinya dipermalukan gitu deh, dimarah-marahin di sebuah WAG yang isinya orang banyak. Aku merasa shock dan sangat malu, sampai menangis serta tidak bisa tidur setelah membaca pesan tersebut.
Berulang kali aku melihat, bagian mana yang salah sampai kok ada orang yang tega bersikap demikian. Tapi aku lihat, apa yang kulakukan masih sangat normal. Aku marah sekali karena aku merasa tidak pantas dimarahi di depan publik untuk sesuatu yang tidak aku lakukan. Hanya karena ego orang tersebut saja.
Berhari-hari, bermalam-malam aku enggak bisa tidur nyenyak. Kadang-kadang bengong dan tiap teringat hati terasa panas. Mau memaafkan kok susah, mau tidak memaafkan kok rasanya malah jadi aku yang tersiksa.
Tapi, kalau dimaafkan begitu saja rasanya tidak adil. Sudah mendzolimi orang lain, menyakiti dan membuat susah, tapi enggak minta maaf sama sekali. Merasa salah pun tidak. Bikin gondok emang orang-orang kayak gini.
Ada sebuah istilah yang terkenal: forgiven not forgotten, sudah memaafkan tapi tidak melupakan. Sudah bisa bersikap normal, tapi lebih sering memilih untuk tidak berhubungan. Pokoknya kalau bisa jauh-jauh saja. Aku baca-baca, inipun hal normal.
Otak kita tuh pinter banget loh, dia bisa memberi respon yang tepat. Dia tahu kalau si A membawa trauma sehingga langsung memberi warning untuk hati-hati setiap bertemu. Bukan karena tidak mau, tapi untuk mencegah agar hal yang sama tidak terulang kembali.
Memaafkan Adalah Merdeka Sesungguhnya
Butuh waktu dan usaha yang luar biasa untuk memaafkan kesalahan seseorang yang begitu menyakiti hati. Aku misalnya, menyimak kajian-kajian dari Ustadz Hanan Attaki yang membahas tentang ini. Enggak berhenti sampai di situ, aku bahkan sholat tahajud bermalam-malam loh hanya untuk minta ketenangan hati.
Aku pengen sembuh. Aku pengen bisa normal lagi.
Aku enggak bisa kayak suamiku, yang bilang kalau hal-hal kayak gitu enggak usah dipikirin. Faktanya aku selalu kepikiran dan rasa stress-ku bisa tiba-tiba muncul kalau teringat. Iya, aku stersiksa itu sampai akhirnya nemu tulisan dari mbak Yunda Fitrian.
Memaafkan adalah merdeka yang sesungguhnya.
Ternyata, menyimpan dendam dan rasa sakit hati sangat menguras emosi sehingga mau tidak mau kita harus melakukan rilis alias melepaskan. Supaya apa, supaya kita enggak terbebani sama semua emosi negatif itu tadi.
Gampang? Tentu saja enggak.
Tapi, tidak memaafkan pun sama menyiksanya.
Sama-sama rugi kan? Pihak yang untung adalah yang melukai, meski tentu saja ketika di akhirat nanti balasan yang sesungguhnya sudah menanti.
Tapi, apakah bener demikian? Aku sering berpikir, memangnya aku enggak banyak dosa ya? Memangnya aku suci ya sampai-sampai ngerasa jadi si paling menderita? Rasa sakit hati, malu, marah, semua yang aku rasakan itu valid. Tapi aku juga harus mengambil tindakan supaya ini enggak berlarut-larut.
Aku pengen seperti yang ditulis mbak Yunda : merdeka. Aku enggak mau ngerasa benci sama orang lain. Aku enggak mau memendam luka. Aku pengen bebas.
Belajar Memaafkan, Belajar Berdamai Dengan Diri Sendiri
Kadang kepikiran, sebetulnya diri ini enggak mau memaafkan itu karena apa sih?
Ya kalau aku tentu saja karena beneran terluka dan sakit hati ya. Terus, karena kebanyakan dipendem juga, bukan dirilis. Waktu aku konsultasi ke konselor, salah satu cara supaya hati ini ringan adalah merilis perasaan dan cara merilis paling tepat itu dengan menulis.
Coba deh perhatikan, datang ke konselor atau psikolog pasti salah satu cara healing yang disarankan adalah menulis.
Tapi kalau aku, biasanya aku tambahin dengan berdoa juga. Berdoa minta sama Allah supaya diampuni semua dosa-dosaku dan memohon agar hati ini dilapangkan selapang-lapangnya. Berdoa sama Allah supaya dikaruniakan kesembuhan di hati hingga tidak ada benci lagi.
Bisa jadi, orang yang bikin kita sakit hati ternyata penyambung kita supaya bisa lengket lagi sama Allah kan? Mungkin Allah rindu dengar isak tangis kita di tengah malam untuk bermunajat padanya sehingga ini salah satu takdir yang Dia tentukan?
Meski memang tidak bisa sepenuhnya memaafkan seperti Nabi Yusuf, setidaknya aku cukup bangga pada diri sendiri karena mau berjuang untuk bisa memaafkan orang yang menyakiti hati ini. Beneran deh, aku sangat mengagumi diriku yang porak poranda, tapi mau bangkit, ,melapangkan hati, memaafkan, berdamai dengan diri sendiri dan akhirnya menjadi pribadi yang lebih baik. Meski hanya sedikit.
Nah, aku jadi penasaran sama cerita memaafkan versi teman-teman lainnya. Boleh dong berbagai sama aku. Gimana nih cara kalian memaafkan orang yang senggol bacok sama kalian? Sesulit apa? Sudah bersikap biasa lagi belum?
Taruh ceritanya di kolom komentar ya!