Hayu Dyah Patria adalah salah satu sosok penting di bidang ketahanan pangan Indonesia. Sesungguhnya, Hayu sendiri tidak pernah menyangka kalau takdir akan membawanya untuk semakin menyelami isu-isu pangan di negeri ini.
Baca Juga : Pesan Makan Lewat Ayomakan
Pada tahun 2011 yang lalu, Hayu Dyah Patria mendapatkan penghargaan SATU Indonesia Awards di bidang Pertanian karena berhasil memberdayakan tanaman liar untuk memperbaiki gizi Masyarakat. Sudah belasan tahun berlalu, sehingga rasanya sayang jika dedikasi yang dilakukan oleh Perempuan kelahiran tahun 1981 ini dilewatkan begitu saja.
Mari mengenal lebih jauh tentang seluk-beluk perjuangan Hayu yang memiliki dampak begitu besar pada perbaikan gizi masyarakat desa.
Hayu Dyah Patria : Semua Berawal Dari Skripsi
Anda mungkin bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang mendorong Hayu untuk terjun ke dunia pangan? Sebetulnya, hal ini tidak dilakukan secara tiba-tiba. Latar belakang pendidikannya sangat mendukung aktivitas Hayu saat ini.
Saat menyelesaikan kuliah tingkat sarjana, Hayu diwajibkan untuk membuat skripsi. Dirinya adalah mahasiswi Fakultas Teknologi Pangan dan Gizi dari Universitas Kristen Widya Mandala Surabaya. Ketika itu, dia bingung hendak melakukan penelitian apa.
Hayu melihat bahwa kebanyakan teman satu jurusan membuat nugget atau sosis. Entah kenapa dirinya tidak tertarik untuk melakukan hal yang sama.
“Pokoknya, saya berpikir ingin melakukan hal berbeda.”kata Hayu.
Nah, kemudian dia menemukan sebuah buku dan membacanya. Buku tersebut bisa dibilang melagenda banget, ditulis oleh seorang petani Belanda. Isi buku itu sangat unik karena membahas Kumpulan tumbuh-tumbuhan di Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk segala macam kepentingan.
Ada satu bagian kecil dari tulisan di buku itu yang menarik minat Hayu. Tertulis bahwa ternyata mangrove oleh Masyarakat Papua digunakan sebagai makanan pokok mereka. Mangrove sendiri ada ratusan jenis dan jenis yang bisa diolah ini bernama bruguiera gymnorrhiza.
Nah, tanaman ini ternyata tumbuh di dekat rumah Hayu. Dalam perjalanan dari Gresik menuju kampusnya, ia selalu melewati jalan dan juga tambak-tamabak. Mangrove jenis bruguiera gymnorrhiza yang disebutkan di dalam buku tersebut tumbuh dengan subur di sekitar tambak.
Dari situlah Hayu terinspirasi untuk menjadikannya bahan skripsi. Terbukti, biji dari bruguiera gymnorrhiza bisa diolah menjadi tepung. Namun sayang, skripsi tersebut mendapatkan nilai C dan disebut oleh dosennya tidak memiliki nilai ekonomis.
Hayu bahkan ditanya oleh sang dosen kenapa tidak seperti teman-temannya yang mengolah sosis atau nugget. Meski kecewa, Hayu tetap tak menyerah begitu saja. Setelah lulus pun dia terus meneliti berbagai tanaman lain.
Cerita Dari Dusun Mendira
Hayu memang melakukan pengabdian untuk mengenalkan pemanfaatan tanaman liar di Desa Galengdowo. Namun tak berhenti sampai di situ saja. Saat salah seorang temannya mengatakan bahwa ada sbeuah dusun di Jombang yang miskin dan kekurangan gizi, namanya Dusun Mendira.
Hayu pun datang kesana dan ketika melihat, ia yakin sebetulnya desa tersebut merupakan desa yang kaya. Terdapat hutan di sebelah kiri dan kanan dusun. Bahkan dari kejauhan pun sudah terlihat sosok gunung yang menjulang.
Penuh semangat, Hayu pun mulai berproses bersama ibu-ibu. Dirinya bertanya kepada mereka kira-kira tanaman apa saja yang ada di dusun tersebut yang bisa dimakan. Ibu-ibu dengan antusias menjawab mulai dari sintrong, pegagan, bayem banci, suwek, gadung, dan masih banyak lagi.
Selama satu jam melakukan diskusi, tercatat ada sekitar seratusan jenis tanaman yang bisa diolah menjadi bahan pangan. Daftar tersebut kemudian ditempel oleh Hayu di dinding.
Ibu-ibu yang melihat akhirnya menyadari bahwa tidak hanya alpukat atau durian saja yang bisa dikembangkan. Dalam waktu singkat, pola pikir para ibu ini berubah. Mereka yang sebelumnya merasa miskin akhirnya sadar kalau sesungguhnya mereka itu kaya karena dikelilingi oleh tumbuhan yang hampir semuanya bisa dikonsumsi.
Ada 40 jenis tanaman liar yang dibudidayakan di sebuah pekarangan yang memiliki luas 3000 meter di Dusun Mendira. Kemudian, ada 10 tanaman liar yang sudah diteliti kandungan nutrisinya.
Ibu Anti Suparni yang merupakan warga di dusun tersebut berkata, “Setelah mengerti kandungan nutrisi, gizi, yang ada di dalam tumbuhan liar itu, jadi semangat lagi mengonsumsinya. Beda sama dulu.” Katanya lugas.
Wajah Ibu Anti pun tampak sangat bangga ketika menyampaikan bahwa warga dusun saat ini tidak lagi minder karena dulu dikenal sebagai desa kurang gizi. Dia berkisah bahwa sekarang, orang-orang sekitar pun jika butuh mencari makanan, pasti datangnya ke Mendira.
Hayu mengungkapkan bahwa untuk mencapai itu semua, tentu saja tidak mungkin tanpa hambatan. Keslitan paling besar adalah setiap kali dia hendak mengajukan dana penelitian untuk menganalisis nutrisi tanaman-tanaman liar yang ditemukan, pihak sana selalu menolak dengan alasan bahwa tenaman itu tidak memiliki nilai ekonomi.
Padahal, menurut Hayu kedaulatan pangan yang sesungguhnya itu dimaknai sebagaimana masyarakat hidup. Abaikan dulu tentang hitungan masalah kalori karena ketika bicara tentang keragaman pangan, apa yang dikonsumsi Masyarakat terutama Masyarakat adat sehari-hari sangat beragam dan sudah berdaulat.
Ia bahkan menjelaskan tanaman liar di sini mengandung nilai gizi yang sangat baik. Krokot sebagai contoh, asam lemak omega 3-nya tinggi dan baik untuk jantung bila dikonsumsi. Jarang sekali tanaman yang mengandung asam lemak omega 3 karena biasanya ditemukan pada ikan.
Ada juga tempuyung dan begagan yang sejak dulu dipercaya sebagai brain tonic, bagus untuk otak dan dijadikan bahan pangan untuk bayi. Hayu menambahkan bahwa jika diteliti lebih jauh, tanaman-tanaman liar justru lebih bergizi dibanding tanaman lain yang sudah dibudidaya seperti kangkung dan bayam.
Terus Mengabdi Dengan Mendirikan Mantasa
Hayu Dyah Patria telah mengidentifikasi hingga 300-an spesies tanaman liar. Namun, Hayu mengoreksi bahwa aslinya bukan dia, tapi Perempuan-perempuan di desa-desa yang dia kunjungilah yang melakukannya.
Hayu bersama kawan-kawan melakukan metode penelitian partisipatoris. Tugasnya lebih kearah menggali dan mendokumentasikan pengetahuan yang sebenarnya sudah diketahui oleh Perempuan-perempuan desa.
Hayu juga menyampaikan bahwa ibu-ibu di desa ini sering merasa kecil, merasa bahwa pengetahuan yang mereka miliki tidak ada nilainya. Kehadiran Hayu dan kawan-kawan lewat Mantasa akhirnya berhasil meyakinkan mereka bahwa pengetahuan yang mereka miliki begitu berharga.
Kini, Hayu bisa bergerak dengan lebih leluasa karena mendirikan Mantasa, sebuah organisasi non profit yang bergerak di bidang pemanfaatan tanaman liar dan ketahanan pangan. Organisasi ini sangat aktif dalam melakukan pengbangan komunitas, riset, dan juga eksposure tentang kerja-kerja yang telah dilakukan.
Jika teman-teman ingin mengetahui lebih jauh tentang Mantasa, silahkan berkunjung ke website mantasa.org . Apa yang dilakukan oleh Hayu, semoga bisa menjadi inspirasi untuk pemuda-pemudi Indonesia lain yang ingin mencapai ketahanan serta kedaulatan pangan.